- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1627
Part 64 - Dia
Spoiler for Part 64 - Dia:
Kemudian terdengar langkah kaki Dinar mendekat ke arah dapur. Sambil memegang ponsel gua yang masih berdering, ia bicara; “Dari Aldina”
Setelah memberikan ponsel gua, Dinar kembali ke depan. Gua bersandar pada dinding dapur, menjawab panggilan sambil menatap ke arah panci berisi air panas di atas kompor.
“Halo…” Sapa gua.
“Sal.. Gua kemarin udah tanda tangan kontrak sama siapa namanya, orang lo, yang kecil?”
“Ketu, eh Yono; Suyono…” Jawab gua.
“Iya, tapi lo belum tanda tangan”
“Belum sampe di gua dokumennya”
“Terus kapan kita bisa kickoff meeting?” Pintanya.
“Ya besok juga bisa. Lagian, meeting kan nggak perlu nunggu dokumen di tanda tangan”
“Perlu” Jawabnya singkat.
Saat tengah bicara melalui sambungan telepon, samar terdengar pagar dibuka dan suara Ketu yang menggema, memanggil nama gua.
“Tuh, kayaknya dokumennya dateng” Ucap gua.
“Alright, tanda tangan terus balikin ke gua salah satu copy-nya”
“Iya”
Kembali terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah dapur. Disusul Ketu muncul sambil membawa sebuah amplop besar berwarna coklat dan pulpen. Melihatnya nggak mengenakan masker, gua lantas mundur beberapa langkah dan mengancamnya; “Masker lo mana? Udah Swab belum?”
Ketu berbalik, meraih masker yang berada di saku belakang celananya, memakainya dan bicara; “Udah Swab tadi sebelum kesini, kemarin juga di swab pas ngambil kontrak ini. Lobang idung sampe ledes”
Ia lalu membuka amplop, mengeluarkan isinya dan meletakkan lembaran kontrak di atas meja dapur dengan pulpen di atasnya. Gua membaca cepat isi dari kontrak tersebut dan membubuhkan tanda tangan pada lembaran terakhir, dimana terdapat nama gua yang posisinya bersebelahan dengan nama; Aldina Putri N
“Bikin apa?” Tanya Ketu seraya melongok ke arah panci berisi air di atas kompor.
“Kopi”
“Itu kayaknya airnya cukup buat bikin dua gelas” Serunya sambil menunjuk ke arah panci.
“Bikin sendiri” Jawab gua, kemudian memasukkan kembali surat kontrak yang sudah ditandatangani ke dalam amplop dan mengembalikannya ke Ketu yang kini sibuk mengambil gelas, ingin membuat kopi.
Nggak menunggu lama, begitu semua urusan dokumen dan legalitas selesai, kami langsung mengadakan kickoff meeting. Dari hasil meeting bersama pihak perusahaan, kami mulai melakukan breakdown tentang task-task yang perlu dikerjakan sesuai dengan skala prioritasnya. Ketu yang akan bertanggung jawab menjadi penghubung antara kami dengan pihak perusahaan untuk hal yang bersifat formal seperti kontrak, legalitas hingga termin pembayaran. Sementara, gua yang bakal bertanggung jawab urusan art direction-nya secara internal.
Ada dua jenis tugas yang harus kami selesaikan; Ilustrasi Medis dan ilustrasi non medis. Untuk ilustrasi medis, hampir sama dengan tugas di proyek sebelumnya, menggambar semua komponen organ manusia tanpa terkecuali. Tentu saja dengan sedikit tambahan beberapa ilustrasi pelengkap seperti jenis-jenis obat, hingga kumpulan berbagai jenis tumbuhan obat dari berbagai belahan dunia. Sementara, untuk ilustrasi non medis digunakan untuk keperluan UI/UX dan komponen visual pelengkap lainnya.
Karena skala proyeknya yang lumayan besar, mereka menuntut proses yang cepat dan tentu saja dengan hasil yang maksimal. Dan, sesuai kesepakatan pada kontrak, timeline, proses approval dan feedback akan diatur oleh pihak mereka.
Hingga minggu-minggu awal pengerjaan semua terlihat normal dan aman. Gua yang sudah terbiasa membuat ilustrasi medis tentu sama sekali nggak menemukan kesulitan. Berbeda dengan Adam yang baru pertama kali terjun mengerjakan ilustrasi seperti ini, ia nampak kesulitan mengikuti pace gua. Untuk itu, gua sengaja mengalihkan Adam untuk mengerjakan ilustrasi non medis yang rencananya baru akan kami kerjakan bersama setelah selesai mengerjakan semua ilustrasi medis-nya.
Malam itu, Ketu menghubungi gua.
“Sal.. wis moco email?” Tanyanya. Nada suaranya terdengar panik nggak seperti biasanya.
“Email apa?” Gua balik bertanya.
“Yaudah baca aja” Jawab Ketu singkat lalu mengakhiri panggilan.
Gua lantas beralih ke layar laptop dan membuka email. Sebuah email dengan subjek ‘REVISI!!!’ berhuruf kapital, lengkap dengan tiga tanda seru. Merasa subjek email tersebut sudah menyakitkan hati, saat membaca isi di dalamnya, hati ini lebih sakit lagi.
Sebuah permintaan revisi untuk ‘semua’ ilustrasi non medis dengan alasan nggak sesuai dengan karakter perusahaan.
‘Hi, ini semua ilustrasi non medisnya emang jelek gini? Bisa diganti dengan yang lebih appealing, lebih engage, dan lebih sesuai dengan karakter perusahaan?’
Di akhir body email terdapat footer dimana tertulis nama si pengirim email; Aldina Putri
“Bangke!!” Seru gua, kemudian meraih ponsel dan bersiap menghubunginya.
Tetapi sebelum itu, gua terlebih dulu kembali mengecek draft ilustrasi yang disubmit oleh Adam pada penyimpanan cloud drive yang disediakan perusahaan.
“Fine-fine aja kok” gua menggumam sendiri sambil terus memeriksa draft ilustrasi milik Adam.
Merasa semuanya baik-baik saja dimata gua. Gua meraih ponsel dan menghubungi Aldina.
Nada sambung terdengar beberapa kali hingga suaranya menyambut gua; “Halo..”
“Apa yang harus direvisi? Semuanya udah sesuai brand guideline yang dulu lo kasih gua” ucap gua tanpa membalas sapaannya.
“Brand guideline-nya udah ganti” Jawabnya santai.
“Lah, terus kenapa nggak dikasih dari kemarin?” Tanya gua lagi dengan nada tinggi.
“Emang nggak dikasih sama AE gua kemarin?” Ia balik bertanya.
“Nggak”
“Dan lo nggak nanya ada perubahan brand guideline apa nggak ke kita”
“Lah kenapa jadi seakan salah gua?”
“Ya terus salah siapa? Gua?” Tanyanya lagi.
“Ya AE lo lah yang salah”
“Yaudah lo marah sana sama AE gua, kenapa malah nge-gas ke gua”
“Gua nggak nge-gas!!”
“Itu nada ngomong lo kenceng”
Gua lantas mencoba mengatur nafas dan mulai bicara dengan nada serendah dan sesopan mungkin.
“Din, kalo kayak gini kan kita jadi rugi waktu, harus ngerevisi sesuatu yang sebenernya bisa nggak revisi seandainya dari pihak lo ngasih brand guideline yang baru”
“Yaudah sorry. Nanti gua suruh AE gua kirim brand guideline yang baru. Sementara ini jangan lo revisi dulu sebelum dapet brand guideline yang baru”
“Satu hal lagi”
“Apa?” Tanyanya.
“Bisa nggak lo kalo kirim email nggak usah pake judul yang nge-gas?”
“Nggak!” Jawabnya singkat.
“…”
“… gua emang kayak gitu” tambahnya.
Gua kembali menghela nafas, mencoba bersabar. ‘Ini si Jeje, pasti sabar banget bisa ngadepin istri modelan kayak gini’ batin gua dalam hati.
“Yaudah, nanti kalo gua udah dapet brand guideline yang baru, dan siap buat revisi kita bahas lagi deh” Ucap gua, nggak mau terlalu lama berdebat dengannya.
“Ok” Jawabnya singkat lalu mengakhiri panggilan.
Penasaran, gua lantas mencari kontak Jeje dan mengiriminya pesan; ‘Gua abis meeting sama bini lo, ternyata nyebelin ya orangnya?’
Bukannya mau berlagak SKSD ke Jeje. Tapi, memang semenjak gua mengenalnya, semenjak bekerja sama di proyek miliknya kami berdua kerap saling bertukar pesan. Ia kerap membalas, komentar gua pada status aplikasi chat miliknya yang ‘hanya’ menampilkan foto atau video anak perempuannya. Ia bahkan hampir nggak pernah ‘update status’ tentang hal lain.
Setali tiga uang dengan Jeje, Aldina pun kerap melakukan hal yang sama; memposting foto atau video anaknya di status aplikasi chat. Dan nggak pernah sekalipun gua melihat ketiganya berada di dalam frame yang sama.
Nggak seberapa lama, datang balasan darinya. Balasan yang singkat dan hampir nggak ada maknanya sama sekali; ‘Haha, sabar ya’.
Saat hendak kembali membalas pesan darinya, ponsel gua berdering. Layarnya memunculkan nama ‘Julian Jonathan’, nama asli dari Jeje yang dulu sempat gua ributkan dengan Ketu.
“Halo…” Sapanya dari ujung sana.
“Halo, wuih Jeje. Apa kabar?” Tanya gua, setelah membalas sapaannya.
“Baik, lo gimana?” Ia balik bertanya.
“Baik, baru aja sembuh covid gua” Jawab gua, sambil tertawa.
“Wah, gimana rasanya”
“Nggak enak lah. Eh ada apaan nih, tumben sampe nelpon segala?” Tanya gua penasaran. Merasa nggak mungkin ‘seorang’ Jeje menghubungi gua hanya karena pesan yang gua kirim berisi keluhan tentang istrinya.
“Oh, nggak. Mau nanya doang, itu lo lagi ada proyek sama Aldina?” ia balik bertanya.
“Iya. Masa lo nggak tau sih?”
“Hahaha, nggak semuanya gua tau kali, Sal” Jawabnya.
“Iya sih, lo kan super sibuk”
“Haha, nggak lah. By the way, lagi ngerjain proyek apa?” Tanyanya lagi, suaranya terdengar penasaran.
“Biasa, proyek modul medical baru” Jawab gua singkat, merasa ia bakal langsung tau walaupun gua hanya membeberkan sedikit info. Tapi, nyatanya Jeje sama sekali nggak tau apapun tentang proyek ini. Apa mungkin Aldina sengaja merahasiakan pekerjaan ini dari suaminya? Apa se-confidential itu? Batin gua dalam hati.
“Apa tuh? Aplikasi medis yang dulu itu? Tanyanya lagi, masih dengan nada suara yang terdengar penasaran.
“Bukan, baru lagi ini mah” Jawab gua.
Kini mulai muncul keraguan untuk memberitahukan semuanya ke Jeje. Takutnya, Aldina memang sengaja merahasiakan ini ke suaminya sendiri. Dan, gua takut malah jadi orang yang membocorkan rahasia ini ke Jeje.
“Oh, gitu…”
“Iya, gitu…”
“Sal..” Panggilnya.
“Yes…”
“Lo yang sabar ya sama dia. Dia cuma sangar dari luarnya aja, aslinya baik kok” Ucapnya. Terasa perubahan nada bicaranya yang kini terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Mirip seperti gaya bicara orang yang tengah memohon.
“Iya, gua coba. Tapi, gua nggak janji deh, bisa bertahan berapa lama, hehehe…”
“Kalo lo udah mulai kehilangan kesabaran, telepon gua ya” Pintanya.
“Iya…”
“Satu lagi, Sal..”
“Apa?”
“Kalo elo, eh kalian butuh apa-apa, butuh bantuan dari gua, let me know ya” Ucapnya.
“Lo bakal bantu?” Tanya gua mencoba memastikan.
“Iya…”
“Apapun itu?”
“Yes, anything. Tapi, dia nggak perlu tau apa-apa…” Jawabnya penuh keyakinan.
—
Satu hal yang gua sadari, setelah selesai berbincang dengan Aldina dan Jeje. Mereka berdua pasti nggak pernah ngobrol tentang pekerjaan jika berada di rumah. ‘Apa mungkin semua orang kaya begitu?’ gua mencoba menebak. Hal lain yang gua dapatkan adalah, rasa kepedulian Jeje terhadap istrinya yang besar.
Gua lantas tertawa sendiri, saat mengingat pernah menggambar wajah Aldina karena parasnya yang cantik. ‘Kok bisa-bisanya gua, menggambar sosok perempuan yang merupakan istri orang’.
“Bego dah gua” Gumam gua pelan.
Proyek modul medis berlangsung tanpa banyak kendala setelahnya. Tentu saja dengan mengesampingkan protes-protes kecil Aldina tentang look and feel ilustrasi non medis yang dibuat oleh Adam. Sejatinya, ia sama sekali nggak tau kalau yang membuat ilustrasi tersebut adalah Adam. Jadi, semua komplain dan protes pasti dialamatkan ke gua. Ya, memang begitu fungsi art director, selain menjadi pengarah seni, kita juga harus siap jadi bantalan omelan dari klien
Tapi, karena sudah mendapat peringatan dari Jeje, kalau Aldina hanya ‘galak’ di luarnya saja. Dan, tentu saja karena gua sudah sangat terbiasa dengan perlakuannya yang ‘kasar’, gua jadi nggak pernah mengambil hati dari semua ucapan dan tindakannya.
“Masa kayak gini sih, Sal?” Komplain Aldina saat kami berdua tengah mereview set ilustrasi untuk komponen UI/UX.
“Kayak gini tuh, kayak gimana?” Gua balik bertanya.
“Ehmmm…” Terlihat ia tengah berpikir seraya menatap ke arah kamera. Terbukti, kalau ia hanya ingin mencari-cari kesalahan dari ilustrasi kami.
“Alah, lo emang mau nyari-nyari kesalahan aja kali…” Ucap gua.
Merasa nggak terima dengan ucapan gua barusan, Aldina lalu kembali bicara; “Ini gua nggak suka style model kayak gini, ya. Ganti”
“Ganti style kayak apa? Sebelumnya kan kita udah sepakat pake style kayak gini. Kalo ganti style, berarti semua komponen yang udah jadi ikut diganti dong?” Protes gua.
“Yaudah Ganti semua” Balasnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Gua mencoba tetap bersabar, padahal dibalik layar, tangan gua sudah mengepal menahan amarah yang mungkin saja sebentar lagi pecah.
“... Kapan, kira-kira bisa lo ganti semua?” Tambahnya.
Gua menghela nafas, mengaturnya, kemudian mulai bicara; “Gini Din, lo yakin mau diganti semua style ilustrasinya?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“...”
“... Kalo menurut lo di part ini ada yang kurang, kasih tau aja kurangnya dimana. Biar kita revisi bagian ini aja”
“...”
“... Sebelumnya kan kita udah sepakat kalau bakal pake style ilustrasi minimalis dengan outline. Kalau ganti style, kita harus ulang semua dari awal. Selain makan waktu, juga bakal makan tenaga…”
“Ssstt… iya udah, udah, ngerti gua. Yaudah ganti ini aja, warnanya di reverse” Jawabnya seraya melingkari salah satu ilustrasi yang tengah kami bahas dengan kursor mousenya.
Masih belum puas dan ingin balik ‘menyerangnya’, gua lantas bertanya; “Kenapa?”
“Kekmana ya, jelasinnya. Udah revisi aja lah. Banyak cakap lo” Jawabnya, ketus.
“Yaudah…”
—
Minggu berganti bulan, dari sisi kami proyek PWA-nya Aldina berjalan dengan lancar dan kini bahkan hampir selesai. Sementara, Ketu dan Andika sudah berhasil mendapat beberapa klien lain yang menunggu antrian. Walaupun proyek berikutnya nggak punya nominal yang ‘wah’ seperti proyek PWA-nya Aldina, tapi paling nggak kami masih punya ‘pegangan’ untuk tetap bertahan.
Di Sisi lain, Covid-19 masih terus merajalela. Namun, masyarakat sepertinya sudah sedikit terbiasa dengan gaya hidup yang baru; gaya hidup dibawah bayang-bayang pandemi. Menurut gua pribadi, selain mendatangkan banyak dampak buruk buat semua orang, pandemi nyatanya punya sisi lain yang menimbulkan dampak positif.
Kita jadi terbiasa hidup sehat. Terbiasa memakai masker, sering mencuci tangan bahkan sekarang, gua rajin berolahraga. Sesuatu yang dulu hampir nggak pernah gua lakukan. Ya, walaupun olahraga yang gua lakukan hanya olahraga ringan seperti berlari, tapi buat gua ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa.
Dan sejak pemerintah menggalakkan program vaksin. Kami secara bertahap mulai kembali bekerja bersama-sama di studio. Sejatinya, bekerja remote dari rumah dan tempat tinggal masing-masing cukup ideal dan terbukti efektif. Hanya saja, kami sedikit kesulitan untuk saling berkomunikasi perkara pekerjaan. Apalagi, di bidang usaha seperti studio kecil kami ini, ‘arahan langsung’ adalah sesuatu yang sulit dilakukan melalui sambungan jarak jauh.
Tapi, gua punya alasan lain dibaliknya.
Gua mau dihibur.
Sejak kepergian Poppy dan wabah Covid-19 melanda, gua kerap sendirian di apartemen. Yang membuat hati terus merasa sepi, dan bikin gua nggak berhenti merindukannya. Dengan bekerja di studio, berkumpul dan bercanda bersama, sedikit-banyak rasa gundah gulana di dalam hati sedikit terobati. Ya walaupun kadang, saat malam menjelang, saat sendirian di apartemen, kekosongan kembali hinggap dan menemani hingga pagi.
“Wis jan, sue-sue tangan tipis. Ketmau wis ping piro wasuh-wasuh…” Gumam Ketu seraya membasuh tangannya di wastafel sesaat setelah mengambil pesanan makan siang yang digantung di pagar studio.
“Ya mending tangan yang tipis mas, daripada nyawa yang tipis, kena covid” Balas Adam, yang kebetulan mendengar gumaman pelan Ketu.
“Wis vaksin, Dam?” Tanya Ketu ke Adam, setelah ia membasuh tangannya dan kini tengah menyemprotkan disinfektan ke kemasana makanan.
“Udah kemarin, bareng sama Mas Marshall, sama Andika” Jawab Adam.
“Kamu, Nar?” Kini ia beralih ke Dinar.
“Udah mas, kemarin di puskesmas deket rumah” Jawabnya.
“Aku emoh ah… Vaksin itu konspirasi. Ketoke, covid ini juga sengaja dibikin sama pembuat vaksin deh…” Ucap Ketu, menggelontorkan teorinya. Yang tentu saja langsung dibalas oleh kami semua dengan ‘Boooo’.
Iya, sejak awal digaungkan, kami memang sering ngobrol dan bercanda soal vaksin. Gua juga nggak mau munafik lah. Kita semua pasti pernah bercanda soal vaksin. Ngata-ngatain pemerintah. Ngata-ngatain orang yang ogah divaksin kayak Ketu, atau sebaliknya. Tapi, bercandaan kami hanya bersifat internal, nggak ada yang berani terang-terangan bercanda soal vaksin ini di muka umum.
Sementara, untuk urusan covid itu sendiri, sampai saat ini masih belum ada yang berani bercanda di hadapan gua dan Dinar. Karena mereka mungkin tau kalau bercanda akan hal itu bakal menyakiti hati kami berdua.
Namun, gua juga sadar betul, kalau nanti, suatu saat, bercanda soal pandemi dan vaksin akan menjadi hal yang lumrah. Seiring dengan berjalannya waktu, gua yakin orang-orang akan semakin ngga sensitif terhadap situasi ini, dan mulai bisa terbuka menertawakannya. Tanpa tujuan menyakiti orang lain sama sekali.
Dengan harapan gua juga bisa melumrahkan hal itu.
“Vaksin lah tu, ikut dan percaya aja sama pemerintah” Ucap gua, sambil terus bekerja.
“Emoh…” Jawabnya singkat, kemudian melengos pergi ke teras dengan membawa jatah makan siang miliknya.
Setelah memberikan ponsel gua, Dinar kembali ke depan. Gua bersandar pada dinding dapur, menjawab panggilan sambil menatap ke arah panci berisi air panas di atas kompor.
“Halo…” Sapa gua.
“Sal.. Gua kemarin udah tanda tangan kontrak sama siapa namanya, orang lo, yang kecil?”
“Ketu, eh Yono; Suyono…” Jawab gua.
“Iya, tapi lo belum tanda tangan”
“Belum sampe di gua dokumennya”
“Terus kapan kita bisa kickoff meeting?” Pintanya.
“Ya besok juga bisa. Lagian, meeting kan nggak perlu nunggu dokumen di tanda tangan”
“Perlu” Jawabnya singkat.
Saat tengah bicara melalui sambungan telepon, samar terdengar pagar dibuka dan suara Ketu yang menggema, memanggil nama gua.
“Tuh, kayaknya dokumennya dateng” Ucap gua.
“Alright, tanda tangan terus balikin ke gua salah satu copy-nya”
“Iya”
Kembali terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah dapur. Disusul Ketu muncul sambil membawa sebuah amplop besar berwarna coklat dan pulpen. Melihatnya nggak mengenakan masker, gua lantas mundur beberapa langkah dan mengancamnya; “Masker lo mana? Udah Swab belum?”
Ketu berbalik, meraih masker yang berada di saku belakang celananya, memakainya dan bicara; “Udah Swab tadi sebelum kesini, kemarin juga di swab pas ngambil kontrak ini. Lobang idung sampe ledes”
Ia lalu membuka amplop, mengeluarkan isinya dan meletakkan lembaran kontrak di atas meja dapur dengan pulpen di atasnya. Gua membaca cepat isi dari kontrak tersebut dan membubuhkan tanda tangan pada lembaran terakhir, dimana terdapat nama gua yang posisinya bersebelahan dengan nama; Aldina Putri N
“Bikin apa?” Tanya Ketu seraya melongok ke arah panci berisi air di atas kompor.
“Kopi”
“Itu kayaknya airnya cukup buat bikin dua gelas” Serunya sambil menunjuk ke arah panci.
“Bikin sendiri” Jawab gua, kemudian memasukkan kembali surat kontrak yang sudah ditandatangani ke dalam amplop dan mengembalikannya ke Ketu yang kini sibuk mengambil gelas, ingin membuat kopi.
Nggak menunggu lama, begitu semua urusan dokumen dan legalitas selesai, kami langsung mengadakan kickoff meeting. Dari hasil meeting bersama pihak perusahaan, kami mulai melakukan breakdown tentang task-task yang perlu dikerjakan sesuai dengan skala prioritasnya. Ketu yang akan bertanggung jawab menjadi penghubung antara kami dengan pihak perusahaan untuk hal yang bersifat formal seperti kontrak, legalitas hingga termin pembayaran. Sementara, gua yang bakal bertanggung jawab urusan art direction-nya secara internal.
Ada dua jenis tugas yang harus kami selesaikan; Ilustrasi Medis dan ilustrasi non medis. Untuk ilustrasi medis, hampir sama dengan tugas di proyek sebelumnya, menggambar semua komponen organ manusia tanpa terkecuali. Tentu saja dengan sedikit tambahan beberapa ilustrasi pelengkap seperti jenis-jenis obat, hingga kumpulan berbagai jenis tumbuhan obat dari berbagai belahan dunia. Sementara, untuk ilustrasi non medis digunakan untuk keperluan UI/UX dan komponen visual pelengkap lainnya.
Karena skala proyeknya yang lumayan besar, mereka menuntut proses yang cepat dan tentu saja dengan hasil yang maksimal. Dan, sesuai kesepakatan pada kontrak, timeline, proses approval dan feedback akan diatur oleh pihak mereka.
Hingga minggu-minggu awal pengerjaan semua terlihat normal dan aman. Gua yang sudah terbiasa membuat ilustrasi medis tentu sama sekali nggak menemukan kesulitan. Berbeda dengan Adam yang baru pertama kali terjun mengerjakan ilustrasi seperti ini, ia nampak kesulitan mengikuti pace gua. Untuk itu, gua sengaja mengalihkan Adam untuk mengerjakan ilustrasi non medis yang rencananya baru akan kami kerjakan bersama setelah selesai mengerjakan semua ilustrasi medis-nya.
Malam itu, Ketu menghubungi gua.
“Sal.. wis moco email?” Tanyanya. Nada suaranya terdengar panik nggak seperti biasanya.
“Email apa?” Gua balik bertanya.
“Yaudah baca aja” Jawab Ketu singkat lalu mengakhiri panggilan.
Gua lantas beralih ke layar laptop dan membuka email. Sebuah email dengan subjek ‘REVISI!!!’ berhuruf kapital, lengkap dengan tiga tanda seru. Merasa subjek email tersebut sudah menyakitkan hati, saat membaca isi di dalamnya, hati ini lebih sakit lagi.
Sebuah permintaan revisi untuk ‘semua’ ilustrasi non medis dengan alasan nggak sesuai dengan karakter perusahaan.
‘Hi, ini semua ilustrasi non medisnya emang jelek gini? Bisa diganti dengan yang lebih appealing, lebih engage, dan lebih sesuai dengan karakter perusahaan?’
Di akhir body email terdapat footer dimana tertulis nama si pengirim email; Aldina Putri
“Bangke!!” Seru gua, kemudian meraih ponsel dan bersiap menghubunginya.
Tetapi sebelum itu, gua terlebih dulu kembali mengecek draft ilustrasi yang disubmit oleh Adam pada penyimpanan cloud drive yang disediakan perusahaan.
“Fine-fine aja kok” gua menggumam sendiri sambil terus memeriksa draft ilustrasi milik Adam.
Merasa semuanya baik-baik saja dimata gua. Gua meraih ponsel dan menghubungi Aldina.
Nada sambung terdengar beberapa kali hingga suaranya menyambut gua; “Halo..”
“Apa yang harus direvisi? Semuanya udah sesuai brand guideline yang dulu lo kasih gua” ucap gua tanpa membalas sapaannya.
“Brand guideline-nya udah ganti” Jawabnya santai.
“Lah, terus kenapa nggak dikasih dari kemarin?” Tanya gua lagi dengan nada tinggi.
“Emang nggak dikasih sama AE gua kemarin?” Ia balik bertanya.
“Nggak”
“Dan lo nggak nanya ada perubahan brand guideline apa nggak ke kita”
“Lah kenapa jadi seakan salah gua?”
“Ya terus salah siapa? Gua?” Tanyanya lagi.
“Ya AE lo lah yang salah”
“Yaudah lo marah sana sama AE gua, kenapa malah nge-gas ke gua”
“Gua nggak nge-gas!!”
“Itu nada ngomong lo kenceng”
Gua lantas mencoba mengatur nafas dan mulai bicara dengan nada serendah dan sesopan mungkin.
“Din, kalo kayak gini kan kita jadi rugi waktu, harus ngerevisi sesuatu yang sebenernya bisa nggak revisi seandainya dari pihak lo ngasih brand guideline yang baru”
“Yaudah sorry. Nanti gua suruh AE gua kirim brand guideline yang baru. Sementara ini jangan lo revisi dulu sebelum dapet brand guideline yang baru”
“Satu hal lagi”
“Apa?” Tanyanya.
“Bisa nggak lo kalo kirim email nggak usah pake judul yang nge-gas?”
“Nggak!” Jawabnya singkat.
“…”
“… gua emang kayak gitu” tambahnya.
Gua kembali menghela nafas, mencoba bersabar. ‘Ini si Jeje, pasti sabar banget bisa ngadepin istri modelan kayak gini’ batin gua dalam hati.
“Yaudah, nanti kalo gua udah dapet brand guideline yang baru, dan siap buat revisi kita bahas lagi deh” Ucap gua, nggak mau terlalu lama berdebat dengannya.
“Ok” Jawabnya singkat lalu mengakhiri panggilan.
Penasaran, gua lantas mencari kontak Jeje dan mengiriminya pesan; ‘Gua abis meeting sama bini lo, ternyata nyebelin ya orangnya?’
Bukannya mau berlagak SKSD ke Jeje. Tapi, memang semenjak gua mengenalnya, semenjak bekerja sama di proyek miliknya kami berdua kerap saling bertukar pesan. Ia kerap membalas, komentar gua pada status aplikasi chat miliknya yang ‘hanya’ menampilkan foto atau video anak perempuannya. Ia bahkan hampir nggak pernah ‘update status’ tentang hal lain.
Setali tiga uang dengan Jeje, Aldina pun kerap melakukan hal yang sama; memposting foto atau video anaknya di status aplikasi chat. Dan nggak pernah sekalipun gua melihat ketiganya berada di dalam frame yang sama.
Nggak seberapa lama, datang balasan darinya. Balasan yang singkat dan hampir nggak ada maknanya sama sekali; ‘Haha, sabar ya’.
Saat hendak kembali membalas pesan darinya, ponsel gua berdering. Layarnya memunculkan nama ‘Julian Jonathan’, nama asli dari Jeje yang dulu sempat gua ributkan dengan Ketu.
“Halo…” Sapanya dari ujung sana.
“Halo, wuih Jeje. Apa kabar?” Tanya gua, setelah membalas sapaannya.
“Baik, lo gimana?” Ia balik bertanya.
“Baik, baru aja sembuh covid gua” Jawab gua, sambil tertawa.
“Wah, gimana rasanya”
“Nggak enak lah. Eh ada apaan nih, tumben sampe nelpon segala?” Tanya gua penasaran. Merasa nggak mungkin ‘seorang’ Jeje menghubungi gua hanya karena pesan yang gua kirim berisi keluhan tentang istrinya.
“Oh, nggak. Mau nanya doang, itu lo lagi ada proyek sama Aldina?” ia balik bertanya.
“Iya. Masa lo nggak tau sih?”
“Hahaha, nggak semuanya gua tau kali, Sal” Jawabnya.
“Iya sih, lo kan super sibuk”
“Haha, nggak lah. By the way, lagi ngerjain proyek apa?” Tanyanya lagi, suaranya terdengar penasaran.
“Biasa, proyek modul medical baru” Jawab gua singkat, merasa ia bakal langsung tau walaupun gua hanya membeberkan sedikit info. Tapi, nyatanya Jeje sama sekali nggak tau apapun tentang proyek ini. Apa mungkin Aldina sengaja merahasiakan pekerjaan ini dari suaminya? Apa se-confidential itu? Batin gua dalam hati.
“Apa tuh? Aplikasi medis yang dulu itu? Tanyanya lagi, masih dengan nada suara yang terdengar penasaran.
“Bukan, baru lagi ini mah” Jawab gua.
Kini mulai muncul keraguan untuk memberitahukan semuanya ke Jeje. Takutnya, Aldina memang sengaja merahasiakan ini ke suaminya sendiri. Dan, gua takut malah jadi orang yang membocorkan rahasia ini ke Jeje.
“Oh, gitu…”
“Iya, gitu…”
“Sal..” Panggilnya.
“Yes…”
“Lo yang sabar ya sama dia. Dia cuma sangar dari luarnya aja, aslinya baik kok” Ucapnya. Terasa perubahan nada bicaranya yang kini terdengar lebih rendah dari sebelumnya. Mirip seperti gaya bicara orang yang tengah memohon.
“Iya, gua coba. Tapi, gua nggak janji deh, bisa bertahan berapa lama, hehehe…”
“Kalo lo udah mulai kehilangan kesabaran, telepon gua ya” Pintanya.
“Iya…”
“Satu lagi, Sal..”
“Apa?”
“Kalo elo, eh kalian butuh apa-apa, butuh bantuan dari gua, let me know ya” Ucapnya.
“Lo bakal bantu?” Tanya gua mencoba memastikan.
“Iya…”
“Apapun itu?”
“Yes, anything. Tapi, dia nggak perlu tau apa-apa…” Jawabnya penuh keyakinan.
—
Satu hal yang gua sadari, setelah selesai berbincang dengan Aldina dan Jeje. Mereka berdua pasti nggak pernah ngobrol tentang pekerjaan jika berada di rumah. ‘Apa mungkin semua orang kaya begitu?’ gua mencoba menebak. Hal lain yang gua dapatkan adalah, rasa kepedulian Jeje terhadap istrinya yang besar.
Gua lantas tertawa sendiri, saat mengingat pernah menggambar wajah Aldina karena parasnya yang cantik. ‘Kok bisa-bisanya gua, menggambar sosok perempuan yang merupakan istri orang’.
“Bego dah gua” Gumam gua pelan.
Proyek modul medis berlangsung tanpa banyak kendala setelahnya. Tentu saja dengan mengesampingkan protes-protes kecil Aldina tentang look and feel ilustrasi non medis yang dibuat oleh Adam. Sejatinya, ia sama sekali nggak tau kalau yang membuat ilustrasi tersebut adalah Adam. Jadi, semua komplain dan protes pasti dialamatkan ke gua. Ya, memang begitu fungsi art director, selain menjadi pengarah seni, kita juga harus siap jadi bantalan omelan dari klien
Tapi, karena sudah mendapat peringatan dari Jeje, kalau Aldina hanya ‘galak’ di luarnya saja. Dan, tentu saja karena gua sudah sangat terbiasa dengan perlakuannya yang ‘kasar’, gua jadi nggak pernah mengambil hati dari semua ucapan dan tindakannya.
“Masa kayak gini sih, Sal?” Komplain Aldina saat kami berdua tengah mereview set ilustrasi untuk komponen UI/UX.
“Kayak gini tuh, kayak gimana?” Gua balik bertanya.
“Ehmmm…” Terlihat ia tengah berpikir seraya menatap ke arah kamera. Terbukti, kalau ia hanya ingin mencari-cari kesalahan dari ilustrasi kami.
“Alah, lo emang mau nyari-nyari kesalahan aja kali…” Ucap gua.
Merasa nggak terima dengan ucapan gua barusan, Aldina lalu kembali bicara; “Ini gua nggak suka style model kayak gini, ya. Ganti”
“Ganti style kayak apa? Sebelumnya kan kita udah sepakat pake style kayak gini. Kalo ganti style, berarti semua komponen yang udah jadi ikut diganti dong?” Protes gua.
“Yaudah Ganti semua” Balasnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Gua mencoba tetap bersabar, padahal dibalik layar, tangan gua sudah mengepal menahan amarah yang mungkin saja sebentar lagi pecah.
“... Kapan, kira-kira bisa lo ganti semua?” Tambahnya.
Gua menghela nafas, mengaturnya, kemudian mulai bicara; “Gini Din, lo yakin mau diganti semua style ilustrasinya?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“...”
“... Kalo menurut lo di part ini ada yang kurang, kasih tau aja kurangnya dimana. Biar kita revisi bagian ini aja”
“...”
“... Sebelumnya kan kita udah sepakat kalau bakal pake style ilustrasi minimalis dengan outline. Kalau ganti style, kita harus ulang semua dari awal. Selain makan waktu, juga bakal makan tenaga…”
“Ssstt… iya udah, udah, ngerti gua. Yaudah ganti ini aja, warnanya di reverse” Jawabnya seraya melingkari salah satu ilustrasi yang tengah kami bahas dengan kursor mousenya.
Masih belum puas dan ingin balik ‘menyerangnya’, gua lantas bertanya; “Kenapa?”
“Kekmana ya, jelasinnya. Udah revisi aja lah. Banyak cakap lo” Jawabnya, ketus.
“Yaudah…”
—
Minggu berganti bulan, dari sisi kami proyek PWA-nya Aldina berjalan dengan lancar dan kini bahkan hampir selesai. Sementara, Ketu dan Andika sudah berhasil mendapat beberapa klien lain yang menunggu antrian. Walaupun proyek berikutnya nggak punya nominal yang ‘wah’ seperti proyek PWA-nya Aldina, tapi paling nggak kami masih punya ‘pegangan’ untuk tetap bertahan.
Di Sisi lain, Covid-19 masih terus merajalela. Namun, masyarakat sepertinya sudah sedikit terbiasa dengan gaya hidup yang baru; gaya hidup dibawah bayang-bayang pandemi. Menurut gua pribadi, selain mendatangkan banyak dampak buruk buat semua orang, pandemi nyatanya punya sisi lain yang menimbulkan dampak positif.
Kita jadi terbiasa hidup sehat. Terbiasa memakai masker, sering mencuci tangan bahkan sekarang, gua rajin berolahraga. Sesuatu yang dulu hampir nggak pernah gua lakukan. Ya, walaupun olahraga yang gua lakukan hanya olahraga ringan seperti berlari, tapi buat gua ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa.
Dan sejak pemerintah menggalakkan program vaksin. Kami secara bertahap mulai kembali bekerja bersama-sama di studio. Sejatinya, bekerja remote dari rumah dan tempat tinggal masing-masing cukup ideal dan terbukti efektif. Hanya saja, kami sedikit kesulitan untuk saling berkomunikasi perkara pekerjaan. Apalagi, di bidang usaha seperti studio kecil kami ini, ‘arahan langsung’ adalah sesuatu yang sulit dilakukan melalui sambungan jarak jauh.
Tapi, gua punya alasan lain dibaliknya.
Gua mau dihibur.
Sejak kepergian Poppy dan wabah Covid-19 melanda, gua kerap sendirian di apartemen. Yang membuat hati terus merasa sepi, dan bikin gua nggak berhenti merindukannya. Dengan bekerja di studio, berkumpul dan bercanda bersama, sedikit-banyak rasa gundah gulana di dalam hati sedikit terobati. Ya walaupun kadang, saat malam menjelang, saat sendirian di apartemen, kekosongan kembali hinggap dan menemani hingga pagi.
“Wis jan, sue-sue tangan tipis. Ketmau wis ping piro wasuh-wasuh…” Gumam Ketu seraya membasuh tangannya di wastafel sesaat setelah mengambil pesanan makan siang yang digantung di pagar studio.
“Ya mending tangan yang tipis mas, daripada nyawa yang tipis, kena covid” Balas Adam, yang kebetulan mendengar gumaman pelan Ketu.
“Wis vaksin, Dam?” Tanya Ketu ke Adam, setelah ia membasuh tangannya dan kini tengah menyemprotkan disinfektan ke kemasana makanan.
“Udah kemarin, bareng sama Mas Marshall, sama Andika” Jawab Adam.
“Kamu, Nar?” Kini ia beralih ke Dinar.
“Udah mas, kemarin di puskesmas deket rumah” Jawabnya.
“Aku emoh ah… Vaksin itu konspirasi. Ketoke, covid ini juga sengaja dibikin sama pembuat vaksin deh…” Ucap Ketu, menggelontorkan teorinya. Yang tentu saja langsung dibalas oleh kami semua dengan ‘Boooo’.
Iya, sejak awal digaungkan, kami memang sering ngobrol dan bercanda soal vaksin. Gua juga nggak mau munafik lah. Kita semua pasti pernah bercanda soal vaksin. Ngata-ngatain pemerintah. Ngata-ngatain orang yang ogah divaksin kayak Ketu, atau sebaliknya. Tapi, bercandaan kami hanya bersifat internal, nggak ada yang berani terang-terangan bercanda soal vaksin ini di muka umum.
Sementara, untuk urusan covid itu sendiri, sampai saat ini masih belum ada yang berani bercanda di hadapan gua dan Dinar. Karena mereka mungkin tau kalau bercanda akan hal itu bakal menyakiti hati kami berdua.
Namun, gua juga sadar betul, kalau nanti, suatu saat, bercanda soal pandemi dan vaksin akan menjadi hal yang lumrah. Seiring dengan berjalannya waktu, gua yakin orang-orang akan semakin ngga sensitif terhadap situasi ini, dan mulai bisa terbuka menertawakannya. Tanpa tujuan menyakiti orang lain sama sekali.
Dengan harapan gua juga bisa melumrahkan hal itu.
“Vaksin lah tu, ikut dan percaya aja sama pemerintah” Ucap gua, sambil terus bekerja.
“Emoh…” Jawabnya singkat, kemudian melengos pergi ke teras dengan membawa jatah makan siang miliknya.
Lanjut ke bawah
Diubah oleh robotpintar 21-05-2024 17:38
Herisyahrian dan 35 lainnya memberi reputasi
36
Kutip
Balas
Tutup