Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Gua melipat surat dengan kop apotik yang Poppy gunakan sebagai alas menulis dan memasukkan kembali surat tersebut ke dalam amplop. Kemudian memeriksa isi kotak berwarna hijau dan menemukan sebuah cincin di dalamnya. Cincin yang dulu sempat gua berikan kepada Poppy, cincin lamaran. Sambil tersenyum, gua mengambil cincin tersebut, dan mencoba mengenakannya di jari kelingking kiri.
Seraya mengangkat tangan ke atas, gua mamandangi jari dengan cincin milik Poppy di sana. Ditengah kegelapan ruangan, pantulan cahaya matahari yang masuk menembus ventilasi membuat cincin tersebut berkilau terang dan terlihat hangat. Sehangat senyumnya yang hingga kini masih bisa gua rasakan.
Dering ponsel membuyarkan lamunan. Gua meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, menjawab panggilan nyokap yang lagi-lagi memberi kabar buruk.
Seakan nggak cukup siksaan di dunia ini akibat kehilangan kekasih. Kini Bokap dan Nyokapnya juga pergi menyusul kepergian Poppy. Sementara, Dinar berada dalam perawatan intensif di bawah pengawasan bokap dengan kondisi yang mengkhawatirkan.
“Covid anjing!” Gua berseru setelah mengakhiri panggilan telepon dari nyokap.
Beruntung, beberapa hari berselang bokap memberi kabar kalau kondisi Dinar sudah mulai membaik. Ia sudah sadar dan kini bahkan sudah bisa berdiri juga berkegiatan sendiri. Nggak mau mengambil resiko, karena tempatnya bakal tergeser oleh pasien lain yang kondisinya lebih gawat dan kehilangan perawatan, Bokap lalu memberi usulan agar Dinar dirawat secara mandiri di rumah. Tapi, tentu saja jika ia dirumah nggak bakal ada orang yang mengurusnya. Jadi, gua berinisiatif untuk mengosongkan studio dan menggunakannya sebagai tempat perawatan Dinar.
Tadinya gua berniat menggunakan apartemen gua untuk tempat tinggal Dinar sementara, tapi dengan kondisinya yang masih terpapar covid, pasti bakal ada banyak halangan dari pihak pengurus apartemen. Ditambah lagi, kamar apartemen gua yang berada di lantai 20 pasti sedikit banyak akan menyulitkan jika terjadi apa-apa.
Jadi, menurut gua menjadikan studio ini sebagai tempat karantina sekaligus perawatan Dinar adalah sebuah solusi cepat yang tepat.
“Ah, edan… Ojo, Sal” Seru Ketu lewat panggilan telepon saat gua mengutarakan niat menjadikan studio kerja sebagai tempat perawatan Dinar.
“Emang kenapa sih, Tu. Lagian ini tempat juga sekarang nggak dipake kerja” Respon gua.
“Lah tapi kan si Adam sama Andika tinggal disana, kepiye… Kamu mau mereka juga ketularan?”
“Adam sama Andika suru tempatin apartemen gua aja..” Gua memberi solusi. Solusi yang juga dibantah oleh Ketu.
“Lah terus kamu mau tidur dimana? Di sana, di studio, jaga Dinar, kalau kamu ketularan kepiye. Ojo Sal..”
Gua menghela nafas panjang, sambil terus memutar otak, mencari jalan keluar yang tepat untuk masalah ini. Tapi, setelah menimbang cukup lama, hanya ini satu-satunya solusi cepat yang terpikir. Akhirnya gua kembali menghubungi Ketu dan mulai membujuk serta mencoba meyakinkannya dengan berbagai cara, akhirnya ia setuju.
Nggak menunggu lama, hari itu juga, dengan bantuan Adam dan Andika, kami berempat langsung beres-beres barang milik mereka dan membawanya ke kamar apartemen gua. Sementara, gua hanya mengambil beberapa pasang pakaian, alat kerja seadanya, memasukkannya ke dalam tas dan membawanya dari apartemen ke studio.
Agar proses pemindahan Dinar nggak menarik perhatian tetangga sekitar, bokap sengaja datang tengah malam, menggunakan mobil pribadi miliknya untuk mengantar Dinar ke studio. Iya, disini, gua sengaja nggak memberikan informasi ke siapa-siapa perkara ada pasien Covid-19 yang dirawat mandiri di rumah kontrakan yang gua sewa. Kalau tetangga tau, gawat. Bisa-bisa, satu kampung ini nantinya bakal di isolasi.
Untuk mencegah kebocoran informasi, gua memaksa Ketu agar nggak memberikan informasi apapun ke Nina tentang hal ini. Mudah-mudahan, ia amanah menjaga rahasia.
Begitu bokap selesai memindahkan Dinar ke dalam kamar di lantai atas, ke kamar yang dulu sempat menjadi kamar gua, ia lalu memberikan beragam instruksi ke gua perihal perawatan pasien Covid-19 seperti Dinar.
“Papah bawain tabung oksigen buat jaga-jaga seandainya saturasi oksigennya turun…” Ucapnya yang terdengar agar samar karena tertutup masker dan pakaian APD lengkap. Saat ini, kami bahkan bicara saling berjauhan, karena bokap yang sering melakukan kontak langsung dengan pasien covid-19, yang tentu ingin menjaga jarak dengan gua.
“Ok…”
“Terus, obatnya nanti Papah anter seminggu sekali. Kalau pagi, suru dia berjemur sebentar. Terus olahraga yang ringan-ringan aja…”
“Ok…”
“Yang paling penting, dia nggak boleh kontak fisik sama siapapun. Termasuk sama kamu”
“Terus kalau aku mau ngasih obat dan makan ke dia, gimana?”
“Kasih makan pakai tempat khusus yang bisa langsung dibuang. Kumpulkan sampah-nya di plastik tersendiri nanti biar Papah yang ambil seminggu sekali. Kalau ada hal yang gawat, telpon Papah, jangan bertindak sendiri. Ngerti?” Tanyanya, masih sambil berdiri di ujung anak tangga lantai dua. Sementara, gua berada di ujung tangga di bawah.
Sebelum pergi, Bokap sempat meninggalkan beberapa alat seperti oximeter, APD, Masker khusus, sarung tangan dan penyemprot ruangan berukuran besar yang berisi desinfektan. Begitu ia pergi gua lantas menyemprot seluruh ruangan dengan alat tersebut.
Tapi, nyatanya instruksi dari Papah hanyalah teori semata. Pada prosesnya sangat sulit memberi perawatan ke pasien Covid tanpa harus kontak fisik dengannya. Apalagi, kondisi Dinar masih naik turun, kadang saat malam hari ia bakal demam tinggi hingga mengigau yang terdengar sampai lantai bawah.
Sementara, gua hanya bisa duduk di lantai bawah, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Beberapa hari berselang, saat semuanya berjalan normal dan gua sudah melakukan instruksi dari bokap sesuai petunjuk dan arahannya, tiba-tiba, tenggorokan gua terasa sakit. Nggak hanya itu, gua juga mulai merasa demam dan kepala pusing luar biasa.
Gua meraih ponsel dan mulai menghubungi nyokap.
“Mah, aku kayaknya kena deh” ucap gua ke nyokap melalui sambungan telepon.
“Hah., serius Sal. Apa yang kamu rasain sekarang? Demam? Pusing?” Tanyanya, bertubi-tubi.
“Iya kayaknya demam sama pusing, tenggorokan sakit…” Jawab gua.
“Anosmia nggak?”
“Apa tuh?”
“Bisa nyium dan ngerasain sesuatu nggak?” Tanyanya.
Gua lantas berdiri, meraih kemasan biskuit yang semalam sempat gua buka lalu mulai memakannya; Hambar.
Nggak habis akal, gua meraih sebatang rokok kemudian menyulutnya; nggak ada rasanya.
“Iya kayaknya” Jawab gua ke nyokap.
“Yaudah, tunggu, Mamah kesana ya” ucapnya.
“Nggak usah Mah, nanti Mamah malah ketularan” Jawab gua, mencoba mencegahnya datang kesini.
“Ah, mamah kan setiap hari juga ketemu sama pasien di RS…”
“Ya beda, mah… udah pokoknya nggak usah kesini. Bilangin Papah juga kalo ngirim obat di gantung di pager aja” Ucap gua kemudian mengakhiri panggilan. Bukan nggak mau Nyokap datang kesini untuk memeriksa gua, tapi hanya khawatir jika ia datang dengan menggunakan APD lengkap, nanti tetangga yang melihat malah jadi panik.
Gua lantas mengambil oximeter, memasangnya di ujung jari dan menyalakan alat tersebut. Beberapa saat berikutnya, layar oximeter menampilkan angka yang menunjukkan kadar oksigen gua masih dalam batas wajar.
Karena masih merasa demam dan pusing, gua menyandarkan tubuh di kursi meja kerja seraya memejamkan mata, mencoba untuk tidur.
Suara pagar yang terbuka membuat gua terbangun. Dengan cepat, gua berdiri dan mengintip dari balik jendela. Rupanya nyokap yang datang. Dengan masker berlapis menutupi sebagian wajahnya, ia membuka pagar dan masuk ke area teras. Terlihat ia membawa sebuah box yang kemudian diletakkannya di lantai, kemudian mengetuk pintu sambil memanggil nama gua; “Sal, Sal..”
Gua nggak membuka pintu, dan menjawab dari dalam; “Ya Mah. Mamah kenapa kesini?”
“Udah jangan banyak cingcong, buka pintunya” Ucapnya dari sisi luar pintu.
“Nggak Mah, Jangan…” Jawab gua, khawatir. Apalagi ia nggak mengenakan APD.
Ia terdiam sebentar kemudian kembali bicara. “Buka sedikit aja, Mamah mau ambil test kami doang kok…”
“Tapi, Mamah nggak masuk kan?” Tanya gua memastikan.
Ia kembali terdiam sebentar kemudian baru memberi jawaban; “Iya…”
Gua lantas memutar kunci dan sedikit membuka pintu. Dengan cepat nyokap mendorong masuk kotak yang tadi dibawanya. Kotak yang mirip dengan cooler box namun yang ini terlihat lebih kokoh dan kuat dengan sebuah kunci kombinasi pada bagian sisi penutupnya. Setelahnya, gua langsung kembali menutup pintu.
Kondisi kotak sudah terbuka, di dalamnya terdapat berbagai alat yang gua nggak tau fungsinya.
“Cuci tangan dulu, Sal” Ucap nyokap ke gua dari balik pintu.
Gua lalu berdiri, menuju ke wastafel dan mencuci tangan. Kemudian kembali duduk di balik pintu.
“Buka kotaknya, terus disana ada swab stick, yang bentuknya kayak tabung pulpen” Ucapnya.
Gua mencari-cari alat yang dimaksud nyokap dan menemukan yang sesuai dengan deskripsinya. Sebuah tabung yang mirip pulpen dengan ujung berwarna biru yang sepertinya bisa diputar.
“Udah…”
“Nanti kamu harus mendongak, masukin swab stick ke dalam rongga hidung ya, Sal…”
“Hah!? Sakit nggak?” Tanya gua, ragu dan takut.
“Sakit sedikit” Jawab nyokap santai.
Gua terdiam, nggak merespon.
“... Yaudah mana sini, Mamah aja makanya” Nyokap menambahkan.
Tapi, gua bergeming. Nggak mau menularkan virus ini ke nyokap, seandainya memang benar kalau gua positif.
“Nggak usah, aku bisa kok”
“Ok, Kamu tau nasofaring nggak?” Tanyanya lagi.
Gua terdiam, menatap ke arah langit-langit, mencoba mengingat.
“Oh, Tau…” Seru gua, bangga. Ternyata ada untungnya juga sering membuat ilustrasi medis dan anatomi tubuh manusia, sedikit banyak gua jadi hafal nama-nama latin dari organ dalam.
“...”
“... Yang ada di atas tenggorokan kan? Yang ada dibelakang hidung?” Tanya gua mencoba mengkonfirmasi.
“Ih Iya, bener. Pinter kamu nak” Respon nyokap.
“Haha…”
“Nah, nanti kalau sudah dimasukkan hingga menyentuh nasofaring. Kamu putar swab sticknya lima kali ya”
“Oh, Ok…”
“Udah siap?” Tanyanya.
“Udah…”
“Boleh buka sedikit pintunya nak, biar mamah bisa lihat?” Pintanya.
Gua lantas membuka kembali pintu, membiarkan Nyokap mengintip sedikit agar ia bisa memantau yang gua lakukan.
“Ok, Putar ujung yang warna biru, terus tarik keluar.. Hati-hati jangan sampai kotor” Ucap nyokap memberi instruksi.
Gua lantas mengikuti instruksinya; memutar swab stick dan mengeluarkan dari tabung-nya.
“... Ok, sekarang kamu masukkan ke hidung, pelan-pelan aja ya nak…” Tambahnya.
Gua kembali mengikuti instruksi darinya; mendongak, dan mulai memasukkan swab stick ke dalam rongga hidung.
Ada rasa dingin dan gatal yang gua rasakan. Apalagi saat gua terus mendorong swab stick hingga menyentuh ujung atas tenggorokan; ada sensasi aneh yang terasa di tenggorokan menembus ke rongga mulut.
Sementara, dari balik pintu, nyokap masih terus memberikan panduannya; “Oke terus diputar nak, diputar-putar, pelan-pelan aja ya nak…”
Setelah melakukan semua instruksinya, gua menarik keluar swab stick dan rongga hidung.
“... Ok, sekarang masukin lagi swab stick-nya ke dalam catridge” Ucap Nyokap.
Gua memasukkan swab stick ke dalam tabung dan memutar ujungnya agar posisinya terkunci.
“Udah…” Jawab gua seraya menggosok permukaan hidung yang terasa gatal.
“Ok, sekarang kamu cari tabung satu lagi di dalam kotak. Ada tulisannya; tabung reagen…” Ucap nyokap.
Gua beralih ke kotak dan mulai mencari tabung yang dimaksud oleh nyokap.
“Ada, nih” Jawab gua, seraya mengangkat tabung yang dimaksud.
“Ok, Sekarang masukkan swab stick tadi ke dalam tabung reagen. Terus celupin naik turun selama 15 detik”
Gua lantas mengikuti arahannya.
“... Keluarin swab stick dari tabung reagen. Terus Tutup yang rapat sambil diketuk pelan..” Tambahnya.
“...”
“... Kalo udah, masukin ke dalam box, terus sini keluarin…” Tambahnya.
Gua memasukkan kembali alat-alat tersebut ke dalam box, kecuali swab stick dan mendorongnya keluar melalui celah, dan menutup pintu. Kemudian bergeser ke samping agar bisa melihat apa yang akan dilakukan oleh nyokap.
Sambil duduk di lantai teras, nyokap terlihat mulai memakai sarung tangan, mengeluarkan tabung berisi cairan yang tadi gua gunakan, mencampurnya dengan bahan lain yang gua nggak tau apa dan meletakkannya kembali di dalam box.
Ia lalu menatap gua melalui kaca jendela. Walaupun menggunakan masker, gua tau kalau saat ini ia tengah tersenyum, senyum yang terlihat tulus dibalik ekspresi lelahnya yang sulit digambarkan.
“Tunggu ya, nanti kalau cartridge ini ada dua garis, berarti kamu positif” Ucap nyokap.
Gua mengangguk dari balik jendela.
Setelah beberapa menit, ia meraih cartridge dari dalam box dan menunjukkannya ke gua. Terlihat ada dua garis penanda di huruf C dan T pada permukaan cartridge, yang artinya gua positif Covid-19.
“... Ini bisa aja nggak 100% akurat, Sal. Tapi, paling nggak kalau gejalanya udah ada bisa jadi memang kamu positif”
“...”
“... Kamu minum obat ini, sehari tiga kali, abis makan ya. Terus istirahat yang teratur, jangan begadang, kalau sempat olahraga dan berjemur sebentar” Ucapnya, seraya mengeluarkan beberapa tabung kecil yang berisi obat-obatan.
Ia meletakkan tabung berisi obat-obatan tersebut di lantai, kemudian berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Terima kasih ya Mah” Ucap gua pelan. Entah ia mendengar ucapan gua barusan atau tidak.
Setelah ia pergi, gua membuka pintu, mengambil obat dari teras dan kembali masuk ke dalam.
—
Setelah gua dikonfirmasi positif Covid-19, ada sedikit kelegaan di dalam hati. Ini berarti gua bisa mengurus dan merawat Dinar tanpa harus takut terinfeksi.
Tapi ada hal yang terasa mengganjal di dalam hati. Kenapa gua yang terinfeksi Covid nggak mengalami gejala yang menakutkan, nggak membuat gua payah, gua bahkan hanya merasa demam sebentar, kemudian hilang. Kini, yang tersisa hanya rasa gatal di tenggorokan dan kehilangan indra perasa. Kenapa, Poppy dan ribuan orang lainnya sampai harus meregang nyawa, bertarung hidup dengan virus sialan ini.
Penasaran, gua mencoba menghubungi nyokap dan bertanya alasannya.
“Banyak faktornya, Sal…” Ucap Nyokap.
“...”
“... Bisa karena respons Imun yang berlebihan atau dikenal dengan nama badai sitokin. Badai sitokin ini bikin tubuh melepaskan terlalu banyak protein yang malah merusak jaringan dan organ”
“...”
“... Atau mungkin kamu punya sistem kekebalan yang lebih efisien dalam mengenali dan melawan infeksi.”
“...”
“... Dan yang paling bahaya itu biasanya; adanya komorbid atau penyakit bawaan si pasien. Misalnya penyakit jantung, diabetes, hipertensi, penyakit paru-paru kronis. Nah, kalau si pasien ini punya komorbid, biasanya bisa memperburuk gejala”
“...”
“... Masih banyak sih faktor lainnya, kalau Mamah jelasin disini kayak ngasih kuliah jadinya, hehe.. Nanti kapan-kapan Mamah jelasin deh..”
“Iya Mah… Makasih ya penjelasannya”
Sejak saat itu, gua mulai memberanikan diri naik ke atas, ke lantai dua dan menemui Dinar.
“Eh, Kak… Kok kesini?” Tanya Dinar sambil berteriak dari dalam kamar.
“Gapapa, gua positif juga…” Jawab gua.
Ia lalu membuka pintu kamar dan terlihat ia sudah cukup sehat. Wajahnya, walau tertutup masker tapi nampak cerah, nggak kayak orang sakit.
“Ayo…” Ajak gua, kemudian mulai menarik tangannya keluar dari kamar.
Kami menuju ke bagian belakang lantai dua, gua membuka pintu yang berdecit. Area balkon sempit menyambut kami berdua. Gua keluar dan mulai menaiki tangga besi menuju ke area rooftop.
“Sini…” Seru gua saat tiba di atas, seraya menatapnya yang masih berada di bawah.
Dengan penuh keraguan, Dinar mulai menaiki tangga besi, perlahan hingga berhasil menyusul gua di area rooftop.
Kini tempat ini terlihat berantakan karena nggak terurus. Beberapa lampu yang tergantung bahkan terlihat gosong karena konslet atau terbakar.
Gua lantas duduk di lantai rooftop, menghadap ke arah timur tempat sebentar lagi matahari akan terbit. Gua mendongak, menatap ke arah Dinar yang masih berdiri, nampak bingung.
Ia lalu duduk di sebelah gua, menatap ke arah yang sama.
Nggak seberapa lama, langit perlahan-lahan berubah warna, dari gelap yang pekat menjadi gradasi biru, ungu, dan akhirnya oranye keemasan. Cahaya fajar mulai menyinari gedung-gedung di sekitar, menciptakan bayangan panjang dan rasa hangat yang semu.
Angin pagi yang sejuk bertiup lembut, membuat aroma embun dan bau lumut tercium. Gua menoleh dan mendapati Dinar tengah menatap ke arah timur. Ia kini sudah melepas masker yang menutupi wajahnya, rambutnya yang pendek sebahu berantakan sedikit oleh hembusan angin. Sementara, kedua tangannya saling menggenggam memeluk lutut, menikmati momen dengan penuh kedamaian.
Matahari terus naik, menyebarkan cahaya emasnya ke seluruh penjuru, mengusir sisa-sisa kegelapan malam.
“Namanya Arunika” Ucap Dinar lirih.
“Apa?”
Ia lalu menunjuk ke arah matahari yang baru saja terlihat.
Well, tell me do you think it'd be all right
If I could just crash here tonight
You can see I'm in no shape for driving
And anyway I've got no place to go
And you know it might not be that bad
You were the best I'd ever had
If I hadn't blown the whole thing years ago
I might not be alone
Tomorrow we can drive around this town
And let the cops chase us around
The past is gone but something might be found
To take its place...hey jealousy
Hey jealousy
Hey jealousy
Hey jealousy
And you can trust me not to think
And not to sleep around
And if you don't expect too much from me
You might not be let down
'Cause all I really wants to be with you
Feeling like I matter too
If I hadn't blown the whole thing years ago
I might be here with you
Tomorrow we can drive around this town
And let the cops chase us around
The past is gone but something might be found
To take its place...hey jealousy
Tomorrow we can drive around this town
And let the cops chase us around
The past is gone but something might be found
To take its place...hey jealousy
Well, tell me do you think it'd be all right
If I could just crash here tonight
You can see I'm in no shape for driving
And anyway I've got no place to go
And you know it might not be that bad
You were the best I'd ever had
If I hadn't blown the whole thing years ago
I might not be alone
Tomorrow we can drive around this town
And let the cops chase us around
The past is gone but something might be found
To take its place...hey jealousy
Hey jealousy
She took my heart
Well there's only one thing I couldn't start