- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![kakeksegalatahu](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/09/30/avatar7218841_11.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
buljaw dan 152 lainnya memberi reputasi
153
231.5K
Kutip
3.7K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#1481
Part 60 - Seperti Jelaga
Spoiler for Part 60 - Seperti Jelaga:
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/05/15/6448808_20240515045719.jpg)
Baru selesai nyokap menelpon gua, ponsel kembali berdering. Kali ini layarnya menampilkan nama Poppy.
“Halo…”
“Halo, Sal… Liat berita nggak?” Ia langsung bertanya. Gua yakin kalau niatnya menelpon pasti sama dengan nyokap barusan.
“Ini lagi liat, berita Corona kan?” Gua menebak.
“Iya… Gimana ya?”
“Apanya yang gimana?” Gua balik bertanya.
“Lah, ini persiapan nikah bakal keganggu nggak ya kira-kira?” Tanyanya lagi.
“Nggak lah. Virus kayak gini mah orang Indonesia udah pada kebal” Jawab gua.
Di momen ini, gua memang nggak punya kekhawatiran apa-apa terkait virus yang baru saja ‘resmi’ masuk ke Indonesia.
“Mmm… Mudah-mudahan deh. Tadi Mamah telpon gua, katanya mau ngirim masker sama hand sanitizer..” Ucapnya.
“Hah! Kok bisa dia telpon lo duluan?” Gua bicara, mengeluh. Merasa dianaktirikan oleh nyokap sendiri. ‘Kok bisa-bisanya nyokap nelpon Poppy duluan, terus baru nelpon gua. Gua kan anaknya’ Batin gua dalam hati.
“Ya nggak tau, coba tanya Mamah sana” Poppy menjawab santai.
“Males”
“Lo lagi apa?” Tanyanya.
“Tadi sih lagi ngerokok di balkon. Terus Mamah telpon suru ngeliat berita” Gua memberi jawaban, sesuai dengan apa yang tadi terjadi.
“Oh..”
“Yaudah, gua tutup ya”
“Lah, lo nggak nanya gua lagi ngapain?” Poppy mengajukan protes.
Gua menghela nafas panjang kemudian berniat untuk bertanya kepadanya. Namun, Poppy sudah keburu kembali bicara.
“... Menghela nafas lagi! Kayaknya ogah banget nanya kabar gua” Tambahnya. Rupanya, helaan nafas gua tadi terdengar olehnya.
“Ya nggak gitu Pop. Kita kan tadi ketemu di studio”
“Terus, kalo tadi udah ketemu, nggak perlu nanya kabar lagi?” Tanyanya.
“Iya Maaf… Lo lagi ngapain Pop?” Gua bertanya, mengikuti keinginannya.
“Gampang bener minta maaf”
“Lah, elu nya gampang bener ngambek”
“Siapa yang ngambek?” Tanyanya.
Besoknya, gua, Poppy dan teman-teman yang lain masih berkegiatan seperti biasa. Nggak ada satu pun dari kami yang memakai masker, masih menyepelekan virus Corona yang marak di berita. Nggak hanya di berita di televisi, tema obrolan kami di studio pun nggak jauh dari virus Corona ini. Yang kerap dijadikan bahan bercandaan antara Ketu dan Adam.
“Jangankan peringatan virus Corona, di Indonesia peringatan ‘Awas Mati’ di bungkus Rokok aja dilanggar…” Seru Ketu yang disusul gelak tawa yang lainnya.
“Orang kita mah gampang Mas, Sakitnya apapun dikasih teh anget langsung mendingan” Timpal Adam yang juga langsung disambit gelak tawa yang lain.
Ketu lalu berpaling ke gua, lantas bicara; “Noh, Mbiyen Marshall kalo makan nggak pernah cuci tangan, padahal abis ngaduk semen. Sampai sekarang, masih idup, sehat walafiat…”
Mendengar ucapan Ketu barusan Poppy lantas menoleh ke arah gua, ekspresinya terlihat nggak percaya dan mempertanyakan kebenaran cerita tersebut. Yang tentu saja langsung gua respon dengan gelengan kepala; “Nggak, bohong dia” Jawab gua sambil berbisik.
Nyatanya, efek pemberitaan virus Corona yang membabi buta di media bukan malah bikin masyarakat lebih bersikap bijak, dengan menjaga kesehatan dan meminimalisir kontak dengan orang lain. Justru, kepanikan timbul karena banyak orang yang borong bahan pokok rumah tangga di agen-agen dan supermarket. Hal yang tentu saja bikin stok barang menipis, dan harga barang jadi naik setinggi langit karena langka; Panic buying.
“Kalo gini sih, kita bukan mati karena virus Corona. Tapi, karena egoisnya orang-orang berduit yang borong barang-barang pokok buat ditimbun…” Ucap gua seraya mengganti channel televisi dan menyerahkan remote-nya ke Poppy yang masih duduk di sofa.
Saat hendak bersiap ke balkon apartemen, terdengar suara ketukan di pintu. Gua bergegas membukanya, disusul nyokap yang terlihat berdiri di depan pintu. Sementara di sebelahnya terlihat seorang petugas keamanan berdiri sambil membopong sebuah kardus berukuran super besar.
“Taro situ aja, Mas… Terima kasih ya” Ucap nyokap ke petugas keamanan apartemen tersebut seraya menyerahkan beberapa lembar uang sebagai tip.
“Bawa masuk, Sal. Tapi jangan dibuka dulu” Ucap nyokap ke gua sambil menunjuk ke arah kardus besar di sisinya. Tanpa banyak bicara, gua mengikuti perintahnya; membawa kardus besar itu masuk ke dalam. Sementara, nyokap ikut masuk. Namun, alih-alih menuju ke ruang TV, ia langsung menuju ke kamar mandi. Dan keluar beberapa saat kemudian, sudah berganti pakaian dan sambil menenteng sebuah plastik yang lalu ia letakkan di dekat pintu keluar.
“Apa itu?” Tanya gua, menunjuk ke arah plastik hitam yang ia letakkan di dekat pintu keluar.
Poppy yang mendekat ke arah kami berdua, lalu mulai menyodorkan tangannya ke nyokap, namun, nyokap dengan cepat menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya sebelum menyambut tangan Poppy.
“Baju kotor mamah” Jawabnya.
“Kenapa taro disitu Mah, taro di keranjang sana aja, besok biar Marshall cuci” Ucap Poppy.
“Nggak jangan. Mau dibuang nanti”
“Kenapa?” Tanya gua
“Tadi abis Mamah pake ke supermarket. Takut ada virusnya..”
“Terus itu apa?” Kini giliran Poppy yang bertanya, seraya menunjuk ke arah kardus besar di depan pintu.
“Beras, Minyak, Tissu, Hand sanitizer, Susu, Masker, Beras…” Nyokap menyebutkan satu-persatu isi dari kardus tersebut sambil mencoba mengingat.
Mendengar ucapan nyokap barusan sontak Poppy langsung menoleh ke arah gua dan tersenyum. Senyumannya seakan meledek akan ucapan gua sebelumnya perihal berita tentang panic buying di televisi tadi.
“... Nanti kalo pas ngeluarin sekalian di semprot pake sanitizer ya, Sal” Nyokap menambahkan, kemudian duduk di sofa, meraih remote dan mulai mencari channel berisi berita tentang virus Corona.
Gua dan Poppy lalu menyusul. Poppy duduk di sofa, di sebelah nyokap, sementara gua duduk di lantai. Kami bertiga menatap ke arah yang sama, ke layar televisi, menyaksikan berita terkini tentang perkembangan kasus virus Corona yang semakin lama terdengar semakin ‘mengerikan’.
“Sal, studio tutup aja dulu. Dari pada resiko..” Nyokap memberikan usul. Yang tentu saja langsung gua respon dengan penolakan.
“Ah, ngapain. Kan kita juga nggak berhubungan sama orang luar” Jawab gua.
“Lah, si Ketu, Ketu itu bukannya sering meeting sama klien?” Tanya nyokap.
“Iya…”
“Ntar kalo dia jadi carrier, terus menularkan kalian gimana?”
Gua menghela nafas, ingin membantah ucapan nyokap tapi rasa-rasanya nggak bakal efektif. Jadi gua hanya diam dan mengangguk. Menyadari hal ini, Poppy yang angkat bicara, mewakili gua; “Iya, Mah.. Nanti kita kasih tau aja supaya sebisa mungkin meetingnya online aja”.
“Nah.. Terus, kalo bisa karyawan kamu yang dua orang itu, yang tinggal di studio, siapa namanya?”
“Adam sama Andika…”
“Iya, suruh si Adam sama Andika itu jangan keluar-keluar dulu sementara” Tambah nyokap.
“Lah terus beli makan gimana?” Tanya gua.
“Ya order online kan bisa” Nyokap memberi usulan.
Lagi, gua yang enggan membantah ucapannya hanya mengangguk. Di dalam hati, nggak ada sama sekali rencana untuk mengikuti semua instruksinya.
Buat gua sendiri, hadirnya virus Corona di Indonesia bukanlah perkara besar. Paling hanya sebuah virus ‘remeh’ yang bisa hilang dengan cepat dan kemudian semua bakal kembali normal seperti sedia kala.
Tapi ternyata tebakan gua salah.
Tepat satu minggu sejak nyokap memberi peringatan ke gua, jumlah orang yang tertular virus semakin banyak dan proses penularannya pun terjadi semakin cepat. Sementara, cara bekerja kami di studio nggak banyak berubah; Ketu dan Andika masih kerap pergi keluar untuk bertemu dan meeting dengan calon klien, sementara Poppy juga masih pulang-pergi dari rumah ke studio dengan menggunakan KRL.
Menyadari hal tersebut, gua mulai aware dengan semua kekhawatiran nyokap. Perlahan, gua mulai membuat kebijakan agar Ketu dan Andika mengusahakan meeting dengan calon klien dengan cara online. Sementara, untuk Poppy gua sempat mengutarakan usul agar ia nggak perlu ke studio dan mulai bekerja dari rumah.
“Besok nggak usah ke sini, Pop. Kerja dari rumah aja” Ucap gua ke Poppy saat kami berdua tengah ngobrol di teras studio selepas makan siang.
“Ih, ogah ah…” Jawabnya singkat.
“Ck.. Ngeyel bener dibilangin…”
“Ah, lo kemarin-kemaren denial ama virus ini. Kok sekarang mulai beda?”
“Ya lo liat aja di berita, jumlah yang terjangkit udah banyak dan penularannya cepat banget” Ucap gua.
“Kalo gua dirumah, nggak bisa ketemu lo dong” Ucapnya.
“Iya, sebentar doang. Kan masih bisa video call, masih bisa ketemuan juga” Jawab gua, mencoba menghiburnya.
Poppy nggak menjawab, hanya terdiam sambil menundukkan kepala. Setelah beberapa lama, barulah ia kembali angkat bicara; “Tapi lo juga di apartemen juga, jangan keluar-keluar ya” Pintanya.
“Iya…”
Sementara Ketu, Adam dan Andika juga langsung setuju dengan instruksi dari gua perkara cara bekerja kami. Mulai besok, Ketu dan Andika akan sebisa mungkin meeting online dengan calon klien dan juga menghindari untuk keluar untuk membeli makan. “Order online aja…” Ucap gua, yang lalu direspon dengan anggukan kepala mereka semua.
Nyatanya, virus Corona yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Covid-19 semakin lama semakin ‘brutal’ dan merajalela. Nggak main-main, jumlah yang terjangkit saat ini meningkat lebih dari 1000% dari sejak berita awal kemunculannya.
Pun, urusan pekerjaan di studio dengan kebijakan baru sama sekali nggak ada kendala yang berarti. Pekerjaan berjalan normal, jumlah klien bukannya berkurang, malah semakin banyak. Kini mulai masuk klien-klien dari pemerintahan yang meminta dibuatkan ilustrasi untuk infografis seputar virus ini. Masalah lain justru hadir dari sisi persiapan pernikahan gua dan Poppy. Beberapa lokasi yang sebelumnya direncanakan sebagai tempat mengadakan acara pernikahan mulai memberi kabar kalau mereka nggak bisa lagi menyediakan tempat sampai batas waktu yang belum ditentukan. Nggak hanya tempat, beberapa EO dan catering yang sempat masuk radar Poppy juga melakukan hal yang sama; mundur teratur. Alasannya sama dan seragam; ‘Covid-19’.
“Ck.. Terus gimana?” Tanya gua ke Poppy, melalui sambungan video call.
“Nggak tau nih.. Pending dulu aja kali ya, Sal” Poppy memberi usulan.
“Ya kayaknya emang harus gitu. Atau bisa sih sebenernya kita nikah sederhana aja, Ijab kabul di KUA”
“Nggak ada resepsi?” Tanyanya.
“Iya..” Gua menjawab singkat.
“Ih Nggak seru lah” Ucapnya.
“Yaudah pending aja dulu… Paling nggak lama lagi nih virus cabut dari Indonesia” Gua bicara, memberi tebakan.
Nyatanya tebakan gua salah. Bukannya mereda, Covid-19 ini malah tambah ‘sangar’. Nggak lama berselang, pemerintah mulai mengumumkan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar atau bisa disingkat PSBB, dimana tujuannya adalah membatasi aktivitas masyarakat dalam skala besar untuk mengurangi kontak fisik dan memperlambat penularan virus.
Satu minggu kemudian, pemerintah mulai menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Semua lini mengalami perubahan akibat kondisi ini. Jalan-jalan yang biasanya ramai dan penuh kemacetan kini nampak sepi. Mall-Mall dan pusat perbelanjaan juga terkena imbasnya; yang biasanya ramai dengan pengunjung kini tampak sepi dan nggak sedikit toko dan tempat usaha yang tutup karena nggak ada pelanggan. Paling hanya toko-toko dan supermarket yang menjual kebutuhan pokok yang tetap buka, itu pun dengan pembatasan yang super ketat.
Hingga sebuah panggilan telepon dari Poppy malam itu membuat kekhawatiran gua semakin memuncak.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Sal…” Sapa Poppy dari ujung sana, suaranya terdengar berbeda, terdengar serak dan nggak nyaman.
“Kenapa lo?” Tanya gua, mulai khawatir.
“Gua kayaknya demam deh” Ucapnya lirih.
“Yah, Kan…”
“Pilek juga..”
“Udah tes belum?” Tanya gua dengan nada cemas.
“Belum, nggak mau ah. Takut” Jawabnya.
“Yah, Pop.. Tes dong…”
“Nggak mau ah…”
“Yaudah istirahat dulu deh, minum obat, nanti gua tanya mamah dulu..”
“Iya…”
“Terus jangan kemana-mana ya, jangan keluar dari kamar” Gua menambahkan, yang lalu direspon dengan lirih oleh Poppy.
Setelahnya, gua langsung menghubungi nyokap dan menjelaskan duduk perkara tentang kondisi Poppy kepadanya. Nyokap dan Bokap yang memang praktisi kesehatan tentu terdengar nggak panik dan dengan santai merunut cerita gua.
“Besok Mamah, kirim orang ke alamat Poppy ya Sal, biar di test aja sekeluarga” Ucap nyokap sebelum mengakhiri panggilan.
“Iya…” Gua menjawab singkat, kemudian kembali menghubungi Poppy melalui pesan singkat, memberi kabar kalau besok akan ada orang yang datang untuk melakukan tes Swab dan PCR di rumahnya.
Besoknya, gua nggak bisa tenang saat bekerja. Berkali-kali gua menatap layar ponsel menunggu balasan pesan dari Poppy tentang hasil test yang kini telah dilakukan di rumahnya. Dan setelah cukup lama dan lelah menderita karena menunggu, ponsel gua berdering. Nama Poppy muncul di layarnya, dengan cepat gua meraih ponsel dan menjawab panggilan.
“Halo, Pop. Gimana?” Gua langsung bertanya kepadanya. Namun, nggak ada jawaban darinya. Ia hanya terdiam.
“Pop?” Gua kembali memanggil namanya.
Setelah beberapa saat barulah ia bicara dengan suara yang lebih sengau dari sebelumnya, lebih serak dari sebelumnya, lebih letih dari sebelumnya; “Gua kena, Sal”
“Hah, gimana?”
“Gua positif covid…” Poppy mengulang ucapannya.
“Yah, kan… Elo sih nggak ati-ati, pasti lo keluar-keluar nggak pake masker, jarang cuci tangan, terus pasti pada makan sembarangan…” Ucap gua.
“...”
“... Kan gua udah bilang” Belum selesai gua bicara, Poppy memotong kalimat gua.
“Sal, gua juga nggak mau kali kena covid. Gua juga udah jaga-jaga, udah ikutin protokol. Tapi, kenapa lo masih ngomel aja?” Tanyanya dengan suara lirih.
Gua terdiam, teringat ucapan nyokap waktu itu, saat kami ngobrol perkara protokol kesehatan selama pandemi; ‘Secara keseluruhan, meskipun protokol kesehatan memang penting dan efektif dalam mengurangi risiko penularan, Tapi, nggak ada metode yang bisa memberikan perlindungan 100%. Tetap waspada dan terus memperbarui informasi tentang langkah pencegahan agar meminimalkan risiko tertular’.
Gua berdiri, meraih jaket dari dalam kamar, memakai masker dan bersiap pergi.
“Gua kesana sekarang…” Ucap gua. Yang lantas dijawab dengan teriakan olehnya; “Jangan!”
“Jangan, Sal… Semuanya dirumah positif, pokoknya lo jangan kesini” Serunya.
“Hah!? Terus nanti kalian gimana? Makannya gimana? Obatnya gimana?” Tanya Gua, cemas.
“Gapapa, tadi kata orang yang ngetes kita, Mamah bakal ngasih ngirim obat secara reguler” Jawabnya.
“Terus nanti makannya gimana?” Tanya gua.
“Gampang lah itu, kan kita bisa masak” Jawabnya.
“Terus gua harus gimana ini, Pop? Masa gua diem aja sih?” Tanya gua, mulai kesal.
“Ya, lo doain kita aja Sal…” Ucapnya.
Mendengar kata-katanya barusan membuat gua kesal dan marah. Kesal karena nggak bisa berbuat apa-apa dikala Poppy sakit. Marah karena merasa selama ini kurang melindunginya hingga ia bisa terjangkit virus laknat ini.
‘Dari 10 juta penduduk Jakarta, kenapa harus Poppy?’ Batin gua dalam hati.
Gua melempar ponsel ke atas sofa lalu keluar ke balkon, kemudian berteriak sekeras mungkin; “Covid Anjing!!”
—
Secara berkala nyokap selalu memberikan update terkait kondisi dari Poppy dan keluarganya. Nyokap bahkan hingga turun tangan sendiri memeriksa kondisi mereka, tentu saja dengan protokol yang ketat dan menggunakan APD yang lengkap. Nggak hanya, Poppy dan keluarganya saja, sejak Covid-19 bertransformasi menjadi pandemi, bokap dan nyokap menjadi super sibuk karena harus membantu beberapa rumah sakit untuk mengurus dan merawat pasien Covid-19 lain. Apalagi dengan latar belakang Bokap sebagai dokter spesialis Paru yang berkaitan erat dengan virus sejenis Covid-19.
Tapi, hal itu nggak berlangsung lama. Bokap dan nyokap yang kelimpungan karena banyaknya pasien di rumah sakit sudah nggak sanggup lagi datang ke rumah Poppy untuk memeriksa dan memberi mereka obat dan suplemen. Sedangkan kondisi mereka semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Akhirnya dengan koneksi Bokap dan Nyokap, Poppy sekeluarga berhasil dibawa ke salah satu rumah sakit tempat bokap dan nyokap bekerja. Tapi, bantuan dari bokap dan nyokap ternyata hanya bisa sampai sejauh itu.
“Lo gimana sekarang?” Tanya gua ke Poppy melalui sambungan telepon.
“Masih di bangsal rumah sakit nih.. Nggak kebagian kasur, Sal..” Jawab Poppy dengan suara lirih.
“Yah…”
“Tadi ada kata Mamah ada kasur kosong, terus gua minta Bapak sama Ibu yang duluan”
“Terus lo gimana? Dinar gimana?” Tanya gua.
“Gampang nanti..” Jawabnya, seakan menyepelekan apa yang dirasakan.
“Jangan gampang-gampang Pop. Sekarang apa yang lo rasain?”
“Gua sih udah nggak demam. Tapi nggak bisa nyium apapun, Sal.. Terus..” Ucapannya lalu terhenti.
“Terus apa?” Tanya gua.
“Terus, agak sesak nafas kadang-kadang..”
“Duh, kenapa nggak bilang dari tadi sih…”
Gua lantas mengakhiri panggilan dan langsung beralih menghubungi nyokap.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga suaranya yang terdengar lelah menyapa gua; “Ya Sal…”
“Mah, Itu si Poppy sesak nafas.. Kenapa belum dapat perawatan juga?” Tanya gua, tentu saja dengan nada sedikit meninggi.
“Iya sayang, sabar ya.. Kita disini juga lagi ngusahain supaya semuanya bisa ditangani. Nanti, Papah langsung cek Poppy deh abis ini…”
“Iya, Mah… Minta tolong ya Mah…” Ucap gua pelan.
Besoknya, Dinar sudah mendapat kasur dan perawatan langsung. Gua yang geram tentu saja kembali menelpon nyokap dan bokap, menanyakan kenapa Poppy belum juga mendapat jatah kasur dan perawatan. Menurut Bokap, mereka sudah memberikan jatah tempat untuk Poppy, namun selalu ditolaknya. Ia justru memberikan kesempatan lain untuk orang yang kondisinya lebih parah dari dirinya sendiri.
“Apaan sih lo, Pop!” Seru gua melalui sambungan telepon.
“Gua udah mendingan, Sal…”
“Bohong! Terus lo dimana sekarang? Masih di bangsal?” Tanya gua.
“Iya, masih”
“Gua kesana ya?”
“Jangan! Lagian juga lo nggak bakal boleh masuk Sal. Percuma” Jawabnya.
“Tapi gua stress banget Pop. Pusing…”
“Kenapa?”
“Karena nggak bisa berbuat apa-apa” Gua menjawab pelan.
“Yah, jangan sedih dong Sal. Gua gapapa kok… Gua kan kuat” Ucapnya.
“...”
“... Nanti kalau gua udah sembuh, ajak gua pergi liburan ya Sal”
“Iya, Mau liburan kemana?”
“Ke luar negeri…”
“Yaudah sembuh aja dulu. Jangankan keluar negeri. Ke luar angkasa juga gua jabanin” Ucap gua, sambil terus berharap ia bisa segera sembuh dan terbebas dari virus sialan ini.
Nyatanya, itu adalah percakapan terakhir kami berdua.
Lanjut ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 15-05-2024 10:01
![jenggalasunyi](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/31/avatar10662509_10.gif)
![delet3](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/18/avatar8286249_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
pavidean dan 36 lainnya memberi reputasi
37
Kutip
Balas
Tutup