- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
cinkbee dan 148 lainnya memberi reputasi
149
208.1K
Kutip
3.3K
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1431
Part 58 - Masa - masa
Spoiler for Part 58 - Masa - masa:
Gua berdiri di atas trotoar jalan, terasa kecil, sangat kecil di antara tingginya gedung-gedung pencakar langit yang berdiri pongah. Sambil menatap ke arah padatnya lalu lintas dengan bising suara klakson dan deru mesin kendaraan menjadi latarnya. Siang itu Jakarta terasa panas membara, membuat kedua mata gua lelah karena selalu memicing untuk menatap, mencari-cari plat nomor mobil yang sesuai dengan taksi online yang baru saja gua pesan melalui aplikasi ponsel.
Sebuah mobil sedan eropa berwarna hitam terlihat melambat. Dengan lampu sign kirinya berkedip cepat, mobil itu lalu menepi dan berhenti tepat di depan gua. Detik berikutnya, kaca pintu di sisi penumpang sebelah kiri turun dengan cepat. Seorang perempuan yang sebelumnya sempat meeting dengan gua di sebuah kedai kopi di gedung yang lokasinya tepat berada di belakang gua menunjukkan wajahnya. Dari balik kemudi, ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke kiri, ke arah kaca yang kini terbuka. Dengan kacamata hitam menutupi kedua matanya, dan tanpa ekspresi apapun, ia bicara; “Bareng nggak?”
Gua menoleh ke kiri dan kanan, ke arah orang-orang yang juga sepertinya tengah menunggu jemputan, ojek atau taksi online.
“Woy.. elo! Iya elo. Mau bareng nggak?” Ucapnya lagi, kali ini sambil menunjuk ke arah gua.
“Oh… nggak. Nggak usah, gua udah order taksi online. Makasih” Jawab gua seraya sedikit membungkuk agar nggak perlu berteriak-teriak.
“Yaudah” Gumamnya pelan, lalu kaca mobil menutup dan ia pun pergi.
Beberapa menit berselang, taksi online yang gua pesan datang. Nggak banyak basa-basi, gua langsung masuk ke dalam mobil seraya mengibaskan kaos untuk menghilangkan panas yang sejak tadi terasa seperti di sauna.
“Pak minta tolong AC nya gedein dikit dong” Pinta gua ke supir taksi online.
“Wah ini udah dingin mas, kalo digedein lagi, boros bensinnya” Jawab si supir taksi online tanpa berpaling dari kemudi di hadapannya.
Gua menghela nafas, langsung menyerah karena malas berdebat, dan mulai menyandarkan kepala pada sisi jendela sambil melihat catatan meeting tadi di layar ponsel.
Untuk pertama kalinya, gua bertemu dan meeting dengan calon klien. Sesuatu yang selama ini selalu gua hindari karena berbagai alasan. Alasan utamanya ya tentu saja karena males ketemu dan ngobrol dengan orang asing.
Calon klien ini bukanlah sosok asing, setidaknya dimata gua yang bahkan sudah sangat familiar dengan garis wajah, ekspresi dan tatapan matanya yang tegas, bahkan cenderung galak. Tapi, buatnya, gua mungkin hanya orang asing yang kebetulan bisa membantu membuat ilustrasi di proyek barunya.
Sosoknya terlihat dingin, ia hanya bicara seperlunya, lugas dan to the point.
Pemilihan kata yang ia gunakan saat bicara juga terdengar profesional, menandakan kalau dirinya bukan sosok sembarangan. Ya kalo nggak ni orang pinter banget atau tajir banget. Malah mungkin bisa keduanya; perempuan yang pinter sekaligus tajir banget.
Perempuan itu meminta bantuan gua untuk membuat ‘illustration medical set’ yang nantinya bakal digunakan di aplikasi medis yang sedang digarapnya. Jika, proyek ini setuju gua ambil, maka gua diharuskan membuat ilustrasi segala sesuatu yang ada di dalam tubuh, misalnya aliran darah, tulang, sendi-sendi, hingga virus dan bakteri. Gampangnya, gua bakal menggambar anatomi manusia agar memudahkan orang awam mengetahui nama, lokasi dan informasi lainnya tentang anatomi tersebut.
Jadi, nantinya saat negosiasi harga dan timeline sudah beres, kami akan dikenalkan oleh tim developer dan praktisi medis dari perusahaannya untuk detail pembahasan lebih lanjut. Sementara, isi meeting tadi hanya membicarakan garis besar dan style seperti apa yang ia mau nantinya.
Gua mencari nama Ketu dari daftar kontak dan menyematkan catatan meeting tadi kemudian mengirimnya via pesan singkat.
‘Ok nanti kita bahas dirumah’ balas Ketu.
Beberapa jam berikutnya, gua sudah duduk diatas kursi panjang dari besi di peron stasiun Sudimara; menunggu Poppy. Iya, hari ini ia kebetulan pergi ke kantor di daerah Tangerang. Biasanya, dari kantor ia ‘nebeng’ bareng Mbak Nindy, managernya. Yang kebetulan tinggal nggak jauh dari stasiun.
Sementara, gua sengaja turun di stasiun ini untuk bertemu dengan Poppy sebentar, kemudian gua melanjutkan perjalanan ke stasiun Cisauk dan Poppy ke arah sebaliknya; stasiun Palmerah. Hal seperti ini kerap kami lakukan saat Poppy dapat giliran ke kantor.
Setelah cukup lama menunggu, terlihat sosok Poppy berjalan cepat mendekat ke arah gua. Sambil tergopoh-gopoh dengan tas dan paperbag dalam genggamannya ia melayangkan senyumnya yang sumringah.
“Tumben lama?” Tanya gua begitu ia sampai.
“Macet, Sal” Jawabnya lalu duduk di sebelah gua dan langsung menyandarkan kepalanya di pundak.
“Capek?” Tanya gua.
“Ho oh” gumamnya pelan seraya mengangguk.
“Udah makan?” Tanya gua lagi, kali ini seraya mencoba menoleh, menatap ke arahnya.
Poppy lalu merespon dengan gelengan kepala.
Masih sambil menyandarkan kepalanya di bahu, Poppy bertanya; “Gimana tadi meetingnya? Sukses?”
“Ya gitu deh” Gua menjawab singkat. Sebuah jawaban yang bukanlah jawaban.
“Ya gimana?” Tanyanya lagi.
“Lo mau denger cerita gua apa mau makan dulu?” Gua balik bertanya.
“Denger cerita lo sambil makan” jawabnya, seraya menegakkan tubuhnya dan pasang tampang ceria.
“Nasi goreng apa pecel ayam?”
“Nasi goreng!” Poppy berseru.
“…”
“… Tapi, nasi goreng yang di slipi ya, Sal” tambahnya.
“Yah, gua balik lagi dong”
Sesaat kemudian kami sudah berada di dalam gerbong kereta yang membawa gua kembali ke stasiun Palmerah.
Seperti menapaki jalan kenangan yang telah terlupakan, gua terhanyut dalam aliran ingatan masa lalu, teringat akan momen-momen saat kami berdua berjalan bersama menerobos pasar, menyusuri gang sempit dari stasiun Palmerah ke tukang nasi goreng langganan kami.
Rasanya seperti baru kemarin, saat pertama kami berdua makan nasi goreng di sini, ditempat ini. Padahal, sudah cukup lama Poppy nggak mengajak gua makan disini lagi. Entah bagaimana dengan dirinya.
Sambil duduk di kursi plastik di dalam tenda yang ramai pelanggan, menunggu nasi goreng pesanan, Poppy mulai menagih cerita tentang kejadian tadi siang; tentang pertemuan gua dengan si calon klien. Sesuatu hal yang kerap gua hindari.
“Terus?” Tagihnya sambil terus mengunyah.
“Udah…” jawab gua, merasa semua kejadian saat meeting tadi sudah diceritakan kepadanya.
“Apaan sih, meeting masa gitu doang? Mending telponan aja” respon Poppy.
“Ya nggak tau deh” Jawab gua singkat.
Poppy lantas berhenti makan, meletakkan sendoknya dan mulai melirik ke arah gua dengan tatapan yang penuh kecurigaan.
“Cakep?” Tanyanya, masih dengan tatapan curiga dan nada bicara yang nyinyir.
“Apanya?” Gua balik bertanya. Berlagak, hanya untuk menggodanya.
“Yeuuh… Jangan pura-pura bego, Cewek tadi, yang lo ajak meeting…” Serunya seraya memukul pundak gua beberapa kali.
“Bukan gua yang ngajak” balas gua, meralat ucapannya barusan.
“Iya, iya, siapa kek yang ngajak. Pertanyaan gua adalah; dia cakep nggak?” Tanyanya lagi, kini dengan nada sedikit memaksa.
Gua diam, menatap ke arahnya sambil terus tersenyum, sengaja ingin menggodanya. Karena saat merajuk, Poppy akan terlihat lucu dan menggemaskan.
Melihat sikap gua barusan, yang hanya diam sambil cengengesan, Poppy lantas menghentakan kakinya seraya melengos.
“Bodo ah, elo mah ditanyain malah cengengesan” ujarnya, lalu kembali makan dalam diam.
Sementara sekarang giliran gua yang gantian berhenti makan. Lalu mulai menatapnya sambil bertopang dagu, memandangi wajah cemberutnya yang menggemaskan. Tentu saja masih sambil tersenyum.
“Iya Pop”
“…”
“… dia cakep” akhirnya gua memberi jawaban setelah cukup puas menatapnya.
“…”
“… dia udah nikah” gua menambahkan.
“Kalo belum?” Tanya Poppy, tanpa berpaling dari porsi nasi goreng miliknya yang hampir habis.
“Ya nggak tau deh” jawab gua, tentu saja berkelakar.
Tapi, candaan itu sepertinya malah bikin Poppy semakin naik pitam. Dengan cepat ia mengayunkan sendok yang sebelumnya digunakan makan untuk memukul kepala gua.
‘Pletak!’
“Sakit Pop” Seru gua seraya mengusap kepala dengan dan mulai memunguti sisa-sisa butiran nasi yang menempel.
“Genit!” Serunya.
“Bercanda Pop, Bercanda… Gua tuh seneng banget kalo ngeliat lo cemberut; gemes” Gua bicara, memberi alasan. Dan kali ini alasan gua langsung diterima olehnya. Poppy tersenyum, seraya menempelkan dua jari telunjuknya di pipi, persis seperti cover model majalah remaja.
Siapa yang sangka, gadis manis yang suka merajuk ini sekarang adalah pacar gua.
“Sal..”
“Ya…”
“Liat deh nih…” Poppy mengeluarkan ponselnya, membuka galeri dan menunjukkan layarnya ke gua.
“Lo yang buat?” Tanya gua begitu melihat sebuah ilustrasi ikan yang seperti berada di tengah lautan. Gua mengambil ponsel dari tangannya agar bisa melihat dengan lebih jelas.
“Iya…” Jawabnya sambil tersenyum.
“Keren” Gumam gua pelan, kemudian menggeser layar ke kiri. Gambar selanjutnya masih dengan gaya ilustrasi yang sama namun sepertinya belum sempat diberi warna.
“Ini apa? Lanjutannya?” Tanya gua begitu melihat gambar selanjutnya.
“Iya, jadi gua mau buat kayak yang punya lo waktu itu. Biar ada jalan ceritanya” Jawab Poppy.
“Oh… Keren, keren… ini belum kelar kan?” Tanya gua lagi.
“Belum, belum sempet…” Jawabnya singkat.
“Terus itu ceritanya tentang apa?”
“Mmmm… Tentang perjalanan seekor ikan, yang pengen banget ke daratan, pengen nyoba jadi manusia…” Poppy memberi penjelasan singkat tentang ilustrasi miliknya. Ia lalu mengambil kembali ponsel dari tangan gua.
“Ngapain tuh ikan, iseng banget?”
“Ya, mau nyari arti hidup” Ucapnya sambil terkekeh, membuat gua curiga kalau jawabannya barusan hanya asal belaka.
“Terus, nanti berhasil tuh ikan jadi manusia?” Tanya gua penasaran.
“Nggak. Ntar pas sampe daratan, mati dia…”
“Yaah, sad ending dong”
“Nggak, tenang aja. Pas dia mati, jiwanya jadi janin manusia sedangkan jasadnya jadi bunga” Poppy menjelaskan.
“Ah, lagian kenapa pake mati segala sih?”
“Ya biar seru, Sal… Lagian kan, emang sesuatu yang indah itu pasti butuh pengorbanan. Butuh rasa kehilangan…” Ia menambahkan.
“Hmmm… psikopat” Gumam gua pelan.
Poppy kembali menunjukkan sesuatu melalui layar ponselnya. Gambar yang gua kenali sebagai karya milik gua yang dulu sempat dibeli oleh salah satu pejabat dengan harga fantastis.
“Kalo ini, coba ceritain dengan lebih detail tentang gambar lo yang ini” Pintanya, seraya menyodorkan ponselnya ke gua.
“Hmmm… Sebenarnya sederhana aja sih Pop. Jadi masing-masing sketsa bangunan itu adalah perjalanan hidup gua.”
“Tapi, gambar pertama malah sekolah SMA lo, Bukan rumah lo?” Tanya Poppy.
“Ya sebenarnya, gambar pertama ya rumah gua. Tapi sengaja nggak gua sertakan di pameran”
“Malah lo pajang di langit-langit kamar” Tebak Poppy, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
“Gambar kedua baru sekolah SMA gua, gambar ketiga bangunan penjara, gambar ke empat kedai kopinya mas Angga…”
“Nah, terus kira-kira bakal ada gambar selanjutnya nggak?” Tanyanya.
“Nggak tau deh. Harusnya sih bakalan ada…”
“Yah, berarti si pejabat yang beli set karya lo itu nggak dapet lengkap dong, ya… Kasian” Gumamnya pelan.
“Haha, biarin aja. Toh dia juga nggak tau kan kalo jumlahnya segitu” Gua menjawab seraya mengembalikan ponsel miliknya.
“Iya sih…”
Tanpa terasa, kami berdua sudah tiba tepat di depan rumah Poppy. Sementara, ia terus berjalan menuju ke muka rumahnya, gua hanya berdiri dalam diam, menatapnya. Setelah beberapa langkah, Poppy berbalik, menoleh ke arah gua. Ia pasang tampang sedih yang sengaja dibuat-buat, lalu perlahan berjalan kembali ke arah gua.
Langkahnya terhenti saat ia sudah berada tepat di hadapan gua. Poppy memberi pelukan, pelukan yang sangat erat. Lalu, sambil mendongak, ia menatap gua dan bicara; “Lo tau nggak apa yang selalu gua doakan?”
Gua menggeleng.
Poppy tersenyum sebentar, kemudian melanjutkan kalimatnya; “... Gua meminta agar elo dikuatkan. Supaya bisa keluar dari kesedihan dan kemalangan”
Kini gua yang tersenyum.
Seraya membelai kepalanya, gua balik mengajukan pertanyaan kepadanya; “Kenapa elo malah berdoa buat gua? Kenapa nggak buat diri lo sendiri dulu?”
“Udah. Dulu gua selalu berdoa meminta agar dipertemukan dengan orang yang tepat. Dan sekarang, elo adalah jawaban dari doa gua…”
“Oh… Ini berarti doa yang baru ya?”
“Iya…” Jawabnya sambil mengangguk pelan.
Sementara, dari ujung mata gua menyadari kalau sejak tadi ada yang mengintai kami berdua melalui tirai dibalik kaca jendela ruang tamu.
“Udah masuk sana…” Ucap gua, sambil berusaha melepas pelukannya yang semakin erat.
“Kenapa sih emangnya, gua masih mau meluk lo” Jawab Poppy, yang hampir saja merajuk lagi.
“Ada Dinar ngintip” Jawab gua, berbisik tepat di telinganya.
Mendengar bisikan gua barusan, Poppy langsung mendengus, melepas pelukannya, berbalik dan pergi. Sambil terus berjalan ia mengankat tangannya dan bicara pelan; “Ati-ati ya pulangnya”
“Iya…” Jawab gua pelan. Kemudian pergi.
—
Hari-hari berikutnya hubungan gua dengan Poppy semakin baik. Mungkin nggak bakal bisa lebih baik dari ini. Bokap dan nyokap gua yang kelihatannya malah lebih sayang dan perhatian ke Poppy ketimbang gua.
Apa-apa; Poppy.
“Lah, Poppy nya mana, Sal?”, “Sal, ini nanti buat Poppy”, “Sal, Baju kamu kok itu-itu mulu sih, Poppy apa nggak komplain?”, “Sal, Mamah buatin ini untuk Poppy”. Dan masih banyak hal lainnya yang selalu melibatkan Poppy. Kadang, gua bahkan sempat merasa cemburu; cemburu ke pacar sendiri.
Begitu pula dengan Bokap dan nyokapnya Poppy yang selalu memperlakukan gua layaknya keluarga sendiri. Saking dekatnya, Bokapnya Poppy bahkan memberi nama gua; Bro Marshall di kontak ponselnya. Hal yang baru gua ketahui dari Poppy saat ia sempat meminjam ponselnya untuk menghubungi gua.
“Buset, rasanya kayak pacaran sama Om Om, sama temen bokap gua” Ucap Poppy kala mengetahui hal itu.
Sementara, untuk urusan hubungan yang lebih lanjut, pihak keluarga Poppy sudah seringkali bertanya ke gua perihal tersebut; “Kapan mau nikah?”, “Tunangan aja dulu, Sal”, “Jangan lama-lama, nanti keburu tua” dan masih banyak hal lain yang terus ditujukan ke kami berdua. Hal yang tentu saja membuat Poppy nggak nyaman, karena merasa beban tersebut selalu ditujukan ke gua.
“Apaan sih, Pak… Buru-buru banget kayak pengen kemana aja, kita kan mau nabung dulu…” Ujar Poppy, membalas kalimat ‘tagihan’ dari bokapnya.
Gua sendiri nggak ada pertimbangan apapun. Selama Poppy nya mau dan bersedia; menikah? Ayo aja!
Tapi, Poppy sendiri yang belum mau melanjutkan hubungan kami ini ke jenjang berikutnya. Alasanya sederhana; Ia merasa belum bisa membuat hidup orang tuanya nyaman. Sejauh yang gua tau, selama ini, sebagian besar penghasilan Poppy dari bekerja ia sisihkan, ditabung guna membeli rumah yang layak dan modal usaha untuk bokap, nyokapnya. Apalagi, setelah ia lulus kuliah, karena nggak ada lagi beban biaya tambahan, jumlah uang yang ditabungnya semakin besar. Terkadang, ia malah terlihat irit jika berhubungan dengan dirinya sendiri. Lama, ia menimbang-nimbang, mencari perbandingan selisih harga yang lebih murah hanya untuk membeli barang sepele; seperti alat makeup dan perlengkapan mandi.
Sedangkan, saat gua berniat membantunya dengan memberikan sedikit uang tambahan, Poppy malah ngomel panjang lebar dan seakan merasa sedang direndahkan.
“Apaan sih! Masih sanggup gua, Sal!” Serunya kala itu.
Hubungan yang baik bukan berarti nggak ada kendala sama sekali. Seringkali kami berdebat karena urusan-urusan sepele macam ‘memberi uang tambahan’, datang telat saat janjian, pesan yang tak kunjung dibalas, atau sekedar panggilan telepon yang nggak dijawab. Namun, perdebatan itu nggak pernah berlangsung lama. Setelah salah satu dari kami meminta maaf sambil bergurau, saling berkompromi, hubungan kembali baik-baik saja seperti sedia kala.
Orang lain seperti Ketu, Nina hingga Mbak Nindy bahkan menganggap hubungan kami berdua terlalu ‘lurus’. Menurut mereka, pertengkaran juga dibutuhkan dalam sebuah hubungan. “Biar ada bumbu-bumbunya” Ujar Ketu suatu ketika.
Bulan berganti tahun.
Nggak cuma minim masalah, saking baiknya hubungan kami berdua, gua bahkan merasakan dampak langsungnya. Dimana perlahan, sedikit-demi sedikit Poppy mulai berhasil merubah sikap gua. Gua yang tadinya selalu merasa minder, dan tertutup, kini mulai mencoba membuka diri. Mulai belajar kembali bersosialisasi.
"Kalo di depan gua aja cerewet banget kayak perkutut abis makan kroto. Giliran ketemu orang, diem aja..." Keluh Poppy waktu itu.
"Ya, namanya malu, nggak enak hati" Jawab gua.
"Kenapa malu sih?" Tanyanya.
Gua lalu mulai menjelaskan, alasan perubahan sikap gua sejak keluar dari penjara. Jika bertemu dengan orang baru, ada semacam perasaan was-was di dalam hati, takut latar belakang gua yang mantan napi diketahui oleh lawan bicara.
"Lah, tapi kan si orang ini nggak tau kalo lo mantan napi?" Tanya Poppy lagi, begitu mendengar penjelasan gua.
"Iya, gua ngerti. Tapi, di sini, di dalam hati, tuh rasanya kayak gitu Pop. Ngerti kan?"
Poppy mengangguk, sambil tersenyum. Kemudian mendekat dan memberi pelukan. "Mulai besok, biar gua temenin lo kalo ketemu sama orang baru..." Ucapnya lirih.
Sejak saat itu, Poppy selalu sebisa mungkin menemani gua kala bertemu dengan orang baru atau meeting dengan klien. Biasanya, Poppy akan menggenggam lembut tangan gua, seakan memberikan keyakinan dan suntikan rasa percaya diri yang tinggi dengan genggamannya.
Membuat gua percaya kalau, nggak ada yang mesti dikhawatirkan lagi.
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 13-05-2024 10:02
pavidean dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Kutip
Balas
Tutup