Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #63 : Istri yang Tak Cinta


Terkadang aku bertanya-tanya kenapa aku menikahi istriku. Pernikahan kami … entah bagaimana aku harus menjelaskannya. Tak ada kdrt maupun masalah keuangan, hanya saja pernikahan ini terasa begitu sunyi.

Tak ada yang saling menyapa saat pulang dan pergi, tak ada pertanyaan mau makan apa, tak ada basa basi meski sekedar bertanya pekerjaan dan sebagainya. Jika bukan karena masalah Zion anak kami, mungkin kami tak akan saling berbicara.

Carla istriku. Wanita cantik yang juga sukses dalam pekerjaannya. Memang agak memalukan, tapi gajinya lebih besar dariku. Berkatnya kami tak pernah pusing mengenai cicilan rumah, pembantu, dan biaya sekolah anak. Sebenarnya gajiku sendiri tidaklah kecil, tapi dia tetap kukuh ingin bekerja.

Secara finansial kehidupan kami memang berlebih, tapi sejujurnya aku tak terlalu menginginkan itu. Aku lebih suka jika dia menjadi ibu rumah tangga biasa dan mengurus rumah serta anak. Banyak yang bilang itu sama saja merendahkan wanita, tapi aku ingin anakku tumbuh dengan merasakan masakan ibunya, bukan masakan orang lain.

Aku tak tahu seperti apa keluarga yang seharusnya. Ayahku meninggal saat aku masih kecil jadi ibuku membesarkanku seorang diri. Entah bagaimana pasangan suami istri yang sudah menikah sepuluh tahun bersikap, tapi kuyakin tak seharusnya sedingin ini.

Aku dan Carla sudah pisah ranjang. Tak ada lagi keintiman di antara kami sejak Zion lahir. Bukannya aku tak pernah minta, tapi dia selalu mengeluh dan beralasan lelah. Lama kelamaan aku pun berhenti meminta.

Saat awal menikah dulu kami juga tak banyak bicara. Mungkin karena kami berdua tipe pendiam jadi aku menganggapnya normal saja. Meski begitu Carla sering menghabiskan waktu lama di telepon dengan Sera, teman Sma nya. Terkadang aku berharap dia bisa menceritakan pengalaman sehari-harinya padaku juga.

Aku tak ingat kenapa aku menikahinya, tapi melihat pernikahanku sekarang hanya ada pikiran untuk mengakhiri hubungan tanpa cinta ini. Aku tak bahagia, tapi bukan itu alasan utamanya. Ada dua hal yang membuatku merasa hubungan ini tak layak dipertahankan.

Yang pertama adalah saat Zion lahir.
Jujur saja itu adalah momen yang menegangkan bagiku. Aku menginjak pedal gas sekeras yang aku bisa, tapi bayinya sudah lahir saat aku sampai di rumah sakit. Aku sudah membayangkan diriku menemani dan memberinya sandaran di masa-masa yang berat, mungkin itu akan jadi titik awal hubungan yang lebih romantis, tapi ternyata sedikit harapan itu pun buyar tanpa bekas.

Meski demikian aku tetap bersyukur atas kelahiran bayi laki-laki yang sehat. Meski sesaat, aku juga bisa melihat wajah Carla yang jauh lebih lembut dari biasanya. Kuyakin kelahiran seorang anak akan benar-benar menghangatkan rumah tangga kami.

Carla dan bayi kami menginap di rumah sakit malam itu. Sera datang jauh-jauh saat mendengar kabar ini dan karena Carla terlanjur tidur akulah yang harus menemaninya.

Aku dan Sera tak terlalu dekat. Kami hanya bertemu sekali saat pernikahan. Untungnya dia tipe orang yang mudah bergaul sehingga kami bisa mengobrol dengan lancar. Dia banyak bercerita tentang Carla saat masih Sma dan aku mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Eh, ngomong-ngomong bayinya mau dikasih nama siapa?” tanyanya.

“Oh itu, kami udah ngobrol. Karena anak kami laki-laki jadi namanya Zion. Carla yang pilih namanya.”

“Zion? Oh! Sama kayak nama mantannya dong?”

Di situlah aku mulai ragu. Apa benar itu anakku?

***


Selain melahirkan dan menyusui, aku tak merasa Carla pernah melakukan tugas sebagai seorang istri. Merawat anak sepenuhnya diserahkan ke pembantu dan Carla kembali sibuk bekerja. Dia sudah bilang hanya ingin satu anak jadi di situlah akhir dari kerjasama kami. Sisanya terasa seperti hidup dua orang yang diikat oleh satu rumah.

Di atas kertas kami adalah suami istri, tapi aku tak yakin Carla tahu apa yang boleh dan tak boleh istri lakukan. Dia sering pulang kerja begitu larut tanpa memberi kabar, berangkat pagi buta juga tak memberi kabar. Bahkan ada kejadian dia tugas ke luar kota selama beberapa hari tanpa memberitahuku. Aku sampai mengira dia diculik.

Aku tak ingin berpikir aneh-aneh, tapi tentu saja aku curiga kalau dia selingkuh di belakangku. Sudah berkali-kali aku mencoba menanyakan hal ini padanya, tapi keraguan dalam diriku terus menghalangi.

Mungkin aku memang penakut. Aku tak ingin kehilangannya meski dia tak pernah mengharapkanku. Walaupun dia menamai anak kami dengan nama mantannya, aku tak bisa merasa marah. Mungkin jauh di dalam hati aku … takut pada Carla.

Untuk mengalihkan diri aku berusaha menjadi ayah yang baik bagi Zion. Meski tak terlalu mendapat kasih sayang ibu, dia tumbuh menjadi anak yang tidak cerewet. Terkadang aku mencoba mengajak Carla liburan bertiga untuk memberi Zion kenangan keluarga, tapi seperti biasa Carla hanya menolak.

Meski menamai anaknya dengan nama mantan, Carla bahkan tak menunjukkan kasih sayang pada anaknya. Kira-kira kenapa bisa begitu? Dia benar-benar … tidak peduli.

Kejadian kedua yang benar-benar mengguncang emosiku adalah saat Zion jatuh sakit. Aku membawanya ke rumah sakit dan ternyata dia harus dioprasi akibat usus buntu. Aku menghubungi Carla, tapi dia tak kunjung datang.

Sepanjang malam aku terjaga. Untungnya operasi itu sukses. Zion harus rawat inap selama tiga hari dan selama tiga hari pula Carla sama sekali tak menanyakan keadaan anaknya.

“Kamu kenapa sih?” tanyaku saat pulang dengan emosi yang berhasil kutahan. Aku tak ingin anakku terbangun mendengar orangtuanya berkelahi.

“Kenapa?”

“Anakmu sakit lo Carla! Kok bisa-bisanya kamu cuek gitu aja?”

“Kan kau ada di sana. Kalaupun aku ke sana nggak akan ngaruh apa-apa kan?”

“Tapi Zion itu anakmu lo. Masa kau nggak khawatir sedikit pun sama keadaan anakmu? Memangnya kamu nggak sayang sama dia?”

“Memangnya yang pengen anak siapa?”

Siapa?

Pertanyaan itu menggema dalam kepalaku. Siapa yang ingin punya anak? Kalau bukan untuk punya anak untuk apa manusia menikah? Di seluruh dunia sudah menjadi peraturan tak tertulis bahwa anak merupakan tanggungjawab orangtuanya.

Namun berdebat dengan Carla adalah hal yang tidak berguna. Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak paham. Siapa sebenarnya yang sudah kunikahi? Kenapa aku bisa sampai menikahinya? Wanita yang dulu begitu kukagumi, kupandang sebagai seorang dewi, ternyata hanya memberi siksaan demi siksaan.

Jadi, apakah rumah tangga ini pantas untuk dipertahankan? Apa lagi alasan untuk terus bersama? Mengapa kita terus berdekatan jika hanya saling menyakiti layaknya dua landak dalam satu lubang?

Rumah tangga ini sudah retak, hanya tinggal nama. Tapi kenapa nama itulah yang paling sulit untuk diputus?

***


Aku tak pernah membayangkan pernikahanku akan berakhir dengan perceraian. Aku mengira seburuk apa pun pernikahan aku akan bisa menahannya. Meski sudah mempersiapkan hati sebelum menikah, ternyata aku tetap menuliskan namaku di atas surat perceraian.

Aku tak tahu apakah aku akan menikah lagi, tapi lebih baik bagi Zion untuk kehilangan seorang ibu sejak dini sebelum dia mulai bertanya apa yang salah dengan orangtuanya. Meski tak bisa menyelamatkan pernikahanku, setidaknya aku bisa menyelamatkan anakku.

Aku memilih menyerahkannya di malam hari saat Zion sudah tidur. Hanya kami berdua. Aku tak yakin ini akan jadi keributan. Mungkin Carla bahkan tidak akan peduli.

Namun menyerahkannya membutuhkan jauh lebih banyak keberanian dari yang aku kira. Carla pulang larut dan langsung pergi begitu saja. Mungkin dia hendak ke supermarket untuk membeli jajanan kesukaannya. Dia suka wafer coklat meski benci mengurus remah-remahnya. Dia suka memakan itu sebagai cemilan jika masih harus mengurus pekerjaan di rumah.

Ahh, mengapa kenangan seperti itu muncul saat hubungan ini perlu diakhiri? Otak memang bekerja dengan cara yang misterius.

Suara pelan dari kamar Carla mengalihkan perhatianku. Suara nada dering. Tampaknya Carla lupa membawa ponselnya. Kira-kira siapakah itu? Selingkuhannya? Mungkin ini waktu yang tepat untuk mencari bukti. Setidaknya bukti itu akan mengubur seluruh perasaan ini selamanya.

Namun ternyata itu cuma Sera. Dia memang sudah kenal Carla sejak lama, tapi hubungan yang bertahan sampai dewasa cukup layak untuk dipuji.

“Halo?”

“Hmm? Ahh, Zaki ya? Carla mana?”

“Belanja … mungkin.”

“Ooh. Kalau gitu aku telpon nanti aja.”

“Okay.”

“….”

“….”

“Kau ada masalah?”

Mungkin seharusnya aku yang mengakhiri panggilan terlebih dahulu. Tampaknya Sera merupakan golongan orang yang menganggap diam = masalah.

“Nggak kok.”

“Carla ya? Aku nggak tahu kenapa tapi dia nggak pernah cerita kehidupan rumah tangga kalian? Pasti susah kan punya istri kaya dia? Dia ada buat salah atau gimana?”

“Buat salah … nggak kok.”

Dia tidak berbuat apa-apa.

“Zion itu orangnya gimana ya?”

Tanpa sadar pertanyaan itu terlepas begitu saja. Di antara semua yang salah dengan Carla, mengapa itu yang paling ingin kutanyakan? Ada yang salah dengan dirinya sebagai manusia. Itu yang harusnya kutanyakan padanya.

“Zion itu … ganteng, pintar, agak sombong, tapi dewasa. Kau cemburu ya? Ngapain sih cemburu sama orang mati?”

“Ha?!”

“Ha apaan? Kok kau nggak tau sih?! Kan kejadiannya sebulan sebelum kalian nikah.”

Entah kenapa ingatan itu muncul begitu saja seolah sudah lama ada di sana. Benar juga, aku kenal Zion. Tak pernah kenalan, tapi aku tahu dia. Aku yang selalu memandang Carla dari jauh selalu merasa panas melihat mereka berdua saja.

“Meninggal … gara-gara apa?”

“…. Kok kau lupa sih? Zion itu bunuh diri gara-gara nggak direstui. Keluarga Carla itu keras banget. Waktu kau lamar dia juga dites macam-macam kan?”

Ingatan masa lalu itu mengalir lagi. Benar juga, Carla benar-benar stress karena Zion meninggal. Dia yang sebelumnya tak pernah melihatku jadi tak waras dalam berpikir. Aku yang melihat kesempatan langsung menemui orangtuanya. Itulah kebenaran di balik pernikahan kami.

“Aku nggak mau ngomong begini sih,” ucap Sera di ujung sana, “tapi kalian udah nikah sepuluh tahun kan? Harusnya lukanya udah sembuh. Walau awalnya nggak saling cinta, tapi kalau udah berjalan sepuluh tahun pasti baik-baik aja kan? Iya kan?!”

Aku tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Aku mengingat jelas apa yang Carla katakan padaku sebelum pernikahan kami. Saat itu aku merasa bahagia sehingga kebahagiaan itu menutupi kutukan yang menjadi jawaban atas tindakannya selama ini.

“Aku nggak akan pernah cinta sama kau. Aku akan melahirkan anakmu, tapi cukup itu aja. Yang penting keluargaku tutup mulut, aku nggak peduli hal yang lain.”

Carla sudah menutup hatinya dan menolak mencintai orang lain. Dia tak peduli dengan hubungan suami istri, pernikahan ini cuma alat untuk menutup mulut keluarganya. Sama seperti dia tidak peduli padaku. Dia tak pernah mencoba untuk mencintai sampai-sampai aku pun menyerah untuk mencintainya.

Lalu mengapa dia menamai anak kami dengan nama mantannya? Mungkin itu adalah caranya untuk tak pernah melupakan bahwa dia tak seharusnya mencintaiku. Satu-satunya anak, satu-satunya pengikat kami, itu akan menjadi pengingatnya selalu.

Jadi, siapa yang sebenarnya salah?

Apakah keluarga ini memang pantas diselamatkan?

***


Carla pulang satu jam kemudian dengan seplastik besar belanjaan. Tanpa mengucapkan apa-apa dia masuk ke kamarnya, meninggalkanku sendirian di kegelapan. Dia tak ingin mencoba dan aku tak berani mencoba. Apakah dua garis tanpa titik temu bisa menciptakan ruang? Tidak, dua atau satu garis harus merubah jalur.

Aku tak yakin apakah aku melakukan hal yang benar. Mungkin memang tak ada hal yang benar dalam hubungan kami. Meski demikian, satu kenangan indah dirinya tersenyum dibalut mentari membuatku memilih untuk bertindak.

Aku bangkit dan memasuki kamar Carla yang tidak terkunci. Pelan-pelan aku menyusup dan berbaring di sebelahnya. Tindakan kecil itu ternyata membangunkannya. Dia tidak berteriak, dia terdiam dan menunggu apa sebenarnya yang ingin aku lakukan.

“Hei ….”

Aku bisa dengar napasnya berhenti. Kira-kira apa yang ada dalam benaknya? Mungkinkah dia ketakutan?

“Kau … mau cerai?”

Perlahan-lahan napasnya mengalir lagi seiring tubuhnya berbalik menatapku. Meski dalam gelap aku bisa merasakan mata kami saling bertatapan.

“Nggak,” balasnya singkat. “Kau boleh main sama cewek lain sepuasmu, tapi aku nggak mau cerai.”

Apa itu yang dia khawatirkan? Kebutuhanku sebagai laki-laki? Mungkin dia tak tahu bahwa seorang pria juga butuh dicintai.

“Kalau kau nggak mau kau harus ikut aturanku.”

Tubuhnya menegang. Ini pertama kali aku benar-benar merasa punya kontrol terhadapnya. Jika ada masalah dalam keluarga ini maka itu akan menjadi rumor buruk yang mempengaruhi citra keluarganya. Untuk Carla yang seumur hidup dikekang oleh aturan keluarga, hal yang paling tidak dia inginkan adalah terus diatur meski sudah dewasa.

“Apa … maumu apa?”

Aku mengangkat tangan dan membelai wajahnya. Aku tahu tak ada cinta dalam sentuhan ini, tapi aku mencoba mengabaikannya. Kesampingkan dulu cinta, aku hanya ingin melakukan sesuatu untuknya tak peduli itu baik maupun buruk. Jika tak melakukan apa-apa maka tak akan ada hasil apa-apa. Selama aku melakukan sesuatu setidaknya aku bisa berjuang mendapatkan hasil yang baik.

“Aku mau … anak kedua,” bisikku pelan dan jelas. “Aku juga mau kau resign dari pekerjaanmu dan jadi ibu rumah tangga. Aku mau kau mulai perhatikan Zion, beri dia kasih sayang seorang ibu. Kau juga harus ikut kalau kami jalan-jalan ke luar. Kalau kau nggak mau kuceraikan, kau harus nurut semua kataku.”

Sejak saat dia tunduk dan menerima pernikahan denganku, aku tahu dia sudah jadi milikku. Terserah seperti apa aku mau memperlakukannya. Boneka tali yang bernama Carla hanya bisa menurut.

Malam itu aku berhasil menguasainya. Aku tak memperdulikan moral, tapi aku mencoba menunjukkan kasih sayang dalam setiap tindakan meski semua adalah paksaan. Selama ini Carla menutup hatinya dan menolak melakukan apa pun yang bisa membuka celah itu. Namun sekarang dia harus melakukannya. Dia tak bisa lari lagi. Meski harus memaksa aku akan membuka hatinya untuk mencintaiku.

Menjijikkan memang. Aku memaksanya melakukan semua hal yang tak dia inginkan. Namun aku bahagia. Jika hubungan sebelumnya tak membahagiakan kami berdua maka setidaknya sekarang satu orang merasa bahagia.

Bahkan, mungkin lebih.

“Aku berangkat dulu.”

Kupeluk dan kucium bibirnya. Tak ada perlawanan darinya, sudah lama tidak ada. Saat aku berbalik hendak menutup pintu, aku bisa melihat senyuman di wajahnya saat membantu Zion merapikan sarapannya. Itu bukanlah senyum yang bisa dibuat-buat. Meski tak pernah mengakuinya, tapi aku yakin ada titik lembut yang mulai tercipta dalam hati boneka itu.

Titik itu akan semakin besar seiring dengan bertambahnya jumlah anak yang perlu diurus. Kini seorang anak tak akan lagi menjadi pengingat baginya untuk tidak mencintai, tapi menjadi pengingat bahwa dia harus mencintai mereka.

Jika saja aku tak pernah melakukan apa pun, mungkin aku akan tetap menderita dalam pernikahan yang begitu dingin. Bisa saja aku gagal, bisa saja pernikahan ini benar-benar akan hancur, tapi aku tak akan menyesal meskipun itu terjadi.

Karena aku mencintai. Itu saja cukup menjadi alasan untuk berbuat kejam.

***TAMAT***
rianda26
kedubes
bonekdroid
bonekdroid dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.6K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
sudirmanrahAvatar border
sudirmanrah
#4
Yang abg tuliskan mungkin hanyalah sebuah cerpen, tetapi aku merasakannya bg. Dan kehidupan kami sudah hancur selama 5 bulan ini. Cuma yg menjadi pembeda dari cerita abg hanya masalahnya saja, biniku pergi meninggalkanku karena memilih orang tuanya. Maaf bg jadi curhat disini
vhynoosz
ih.sul
bonek.kamar
bonek.kamar dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.