- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1396
Part 57 - Dunia yang Tak Lagi Sama
Spoiler for Part 57 - Dunia yang Tak Lagi Sama:
“Gimana aku bisa ikhlasin kamu kalo nggak pergi, Sal?” Tata balik bertanya.
“Yaudah, jangan ikhlasin gua. Jangan!” Jawab gua.
“Aku jadi bingung deh sama kamu, Sal…”
“...”
“... Tempo hari kamu bilang aku harus ngelupain kamu, biar nggak ada yang tersakiti. Sekarang, giliran aku mau menyerah, mau pergi dari kalian, kamu malah ngelarang” Tambahnya.
“Tapi kan nggak harus pergi, Ta…” Pinta gua. Jujur, gua sedikit khawatir jika Tata harus pergi. Apalagi mengingat ucapannya waktu di kedai kopi tempo hari, saat dia bilang ‘Kayaknya mendingan aku mati aja nggak sih’. Takut, jika Tata diluar jangkauan gua, dia bakal melakukan hal yang menakutkan.
Iya, rasa cinta gua ke Tata memang sepertinya sudah hilang, terkubur oleh rasa sakit hati yang mendalam. Tapi, nggak serta merta menghilangkan empati gua terhadap dirinya. Walau bagaimanapun, Tata pernah mengisi hari-hari gua dengan senyumnya, dengan rasa cintanya yang sebesar gunung.
“Terus gimana? Kalau aku tetap disini, bagaimana mungkin aku bertahan, ngeliat hubungan kalian berdua?” Tanyanya.
“Emang nggak bisa ya, kalau lo tetap berada di jangkauan gua?” Tanya gua.
“Cuma untuk ngeliat kalian berdua bahagia?” Ia balik bertanya.
“...” Sementara gua hanya bisa terdiam, nggak punya respon atas ucapannya barusan.
“... Mending pergi” Tambahnya.
“Tapi, bisa nggak lo janji?”
“Janji apa?” Tanyanya.
“Janji nggak bakal berbuat nekad”
“Iya, Sal… Aku janji” Jawabnya, lirih.
Walau gua tau kalau ucapannya nggak benar-benar serius, hanyalah retorika belaka untuk mengakhiri obrolan. Tapi, gua tetap mencoba percaya kepadanya dan tetap berharap kalau ia bakal baik-baik saja di sana.
“... Aku pamit sekarang ya, Sal. Takutnya nanti kalau mau pergi aku nggak punya keberanian lagi untuk ketemu atau telpon kamu…”
“Iya…”
“'Dulu, kamu adalah segalanya bagiku…” ucapnya dengan suara yang rapuh namun tetap mencoba terdengar tegar.
“...”
“... Tetapi sekarang, aku harus melepaskan tanganku. Doakan aku supaya bisa melupakan m dan menemukan kebahagiaan” Tambahnya dengan suara yang serak.
“...”
“...Terima kasih untuk segalanya, dan maafkan aku” Ujar Tata, lalu mengakhiri panggilan.
Gua meletakkan ponsel di atas meja, sambil menatap kosong ke arah langit yang menghitam melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka lebar, gua menghela nafas panjang.
Ada sedikit kelegaan di dalam hati, yang bercampur dengan rasa khawatir. Namun, gua mencoba untuk meyakinkan diri sendiri kalau ini mungkin jalan yang terbaik untuk kami; untuk gua, Tata dan bahkan Poppy.
Setelah menyelesaikan satu task lagi, gua lalu tertidur di ata meja kerja.
Sinar matahari menerpa mata, menembus masuk melalui jendela yang sejak semalam gua biarkan dalam kondisi terbuka. Gua meraih ponsel dan melirik ke arah layarnya; masih belum ada balasan pesan dari Poppy.
Gua mencari namanya pada history panggilan dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali namun nggak ada jawaban darinya. ‘Ah mungkin belum bangun’ gua membatin dalam hati.
Beberapa saat berselang, saat gua tengah bersiap untuk mandi, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Poppy beserta dengan foto dirinya. Gua meraih ponsel dan menjawab panggilannya; “Halo, Pop?”
“Ya…”
“Baru bangun?” Tanya gua.
“Iya, kenapa?” Poppy menjawab singkat lalu balik bertanya.
“Semalem nyampe jam berapa? Kok tumben nggak ngabarin?” Tanya gua lagi.
“Jam berapa ya? Lupa. Abis itu langsung tidur, ngantuk banget” Jawab Poppy dengan nada suara datar.
“Oh… yaudah kalo gitu, gua pikir lo sakit” Gua memberi tebakan.
Lalu sama-sama terdiam, yang terdengar hanya deru nafas kami berdua.
“Sal… Kemarin lo kenapa?” Tiba-tiba Poppy bertanya, tentang sesuatu yang kemarin sudah ditanyakannya.
“Kenapa apanya?” Gua balik bertanya.
“Kemaren abis buang sampah, tiba-tiba sikap lo berubah” Poppy menambahkan, seakan ingin mengingatkan gua tentang kejadian kemarin. Rupanya, ia menyadari perubahan sikap gua sesaat setelah gua tanpa sengaja melihat Tata saat membuang sampah.
“Oh, gak ada apa-apa kok” Jawab gua, berbohong.
“Terus pas pulang, nggak sengaja gua ngeliat Tata di Minimarket depan” Tambahnya.
“...” Mendengar hal tersebut tentu membuat gua langsung diam karena kaget.
‘Bagaimana mungkin kebetulan bisa sepresisi ini?’Batin gua dalam hati.
“... Dan tadi malam, Tata telepon gua, dia pamitan, katanya menyerah dan menitipkan lo ke gua. Kayak pengen pergi” Poppy menambahkan. Suaranya terdengar semakin lirih dengan nada yang masih sama seperti sebelumnya; Datar.
“...” Sementara, gua masih terdiam. Berada diantara kebimbangan; melanjutkan kebohongan atau berterus terang kepadanya.
“... Ada penjelasan?” Tanyanya lagi karena nggak mendapat respon darinya.
“Nggak ada. Nggak ada yang harus dijelaskan” Jawab gua, memutuskan untuk berbohong saja.
“Oh okay then. Kalo gitu nggak ada yang perlu dibahas lagi” Balas Poppy, lalu berusaha mengakhiri panggilan.
“Pop…” Panggil gua sebelum ia mengakhiri pembicaraan.
“Apa?”
“Sekarang lo mau gua gimana?” Tanya gua. Yang lantas diresponnya dengan nada suara serendah mungkin; “Gua mau lo jujur”
Nggak mau ia tersakiti hatinya karena kebohongan gua yang kemungkinan besar nanti juga bakal terungkap. Gua berubah pikiran; bakal mengakui semuanya.
“Iya, kemaren gua ketemu sama Tata, setelah kalian pulang.”
“Oh…” Poppy memberi respon singkat.
“Dia juga ngomong hal yang sama kayak yang dia omongin ke elo” Gua menambahkan.
“Terus?”
“Udah, gitu aja” Jawab gua.
“Thank you ya, Sal. Udah mau jujur…” Ucapnya pelan.
“Sorry Pop..” Gua mencoba meminta maaf karena sudah berbohong.
“Sal…”
“Kenapa Pop?”
“Lo tau nggak gimana caranya agar nggak kehilangan sesuatu?” Tanyanya pelan dan lirih.
Pertanyaan yang sebelumnya pernah gua dengar dari Tata sewaktu kesini kemarin. Karena merasa punya jawabannya, gua langsung bicara; “Ya, jangan memilikinya”
Nggak ada respon apapun dari Poppy, ia hanya terdiam lalu mengakhiri panggilan. Merasa harus ada yang dijelaskan kepadanya, gua bergegas mandi dan bersiap menuju ke rumahnya.
Setelah hampir satu setengah jam berikutnya, gua sudah berada tepat di depan rumah Poppy. Bokapnya terlihat tengah duduk di kursi kayu panjang di teras rumahnya, menikmati sebatang rokok dengan gelas kopi di sisinya. Ia langsung berdiri dan tersenyum begitu melihat kehadiran gua.
“Sini…” Panggilnya sambil melambaikan tangan.
Gua membalas senyum kemudian mendekat dan duduk di atas kursi kayu tepat di sebelahnya.
“Rokok…” Ucapnya seraya menyodorkan bungkusan rokok ke arah gua.
“Ada Om” Respon gua lalu mengeluarkan bungkusan rokok punya gua sendiri, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
“Poppy-nya ada Om?” Tanya gua.
“Ada… Sebentar” Jawabnya. Kemudian mulai berteriak ke arah dalam rumah, memanggil nama Poppy.
“... Ngopi ya Sal?” Tanyanya, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
Merasa nggak ada respon dari panggilannya barusan, Bokapnya Poppy kembali berteriak memanggil nama anak sulungnya itu; “Pop, Poppy…”
Nggak seberapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat keluar, ke arah kami berdua di susul jawaban dari Poppy; “Apaan sih Pak?”.
Poppy berdiri di ambang pintu, tertegun begitu melihat ke arah gua. Ingin sekali gua menyapanya saat itu, tapi ada rasa nggak enak karena bokapnya masih terus saja mengajak gua ngobrol. Apalagi, saat ini topik obrolan mulai diarahkannya ke dunia politik.
Menyadari kehadiran anaknya, Bokapnya langsung memberi perintah; “Pop, bikinin Kopi, buat Marshall”
Tanpa bantahan dan keluhan, Poppy berbalik menuju ke dalam, ke dapur. Nggak seberapa lama, ia kembali. Kini dengan segelas kopi hitam lengkap dengan tutup gelas plastik berwarna biru.
“Sini, sini taro sini” Ucap Bokapnya seraya menunjuk ke arah area kosong di atas kursi kayu panjang, di antara gua dan bokapnya. Pandangan kami bertemu saat Poppy meletakkan gelas di atas kursi kayu. Sambil memberi tatapan, ia bertanya dengan suara sangat pelan; “Ngapain lo?”
Tentu saja gua nggak langsung menjawab, karena bokapnya Poppy masih nyerocos perkara isu politik terhangat, yang bisa gua lakukan hanya tersenyum.
Setelah meletakkan gelas berisi kopi, Poppy lantas kembali masuk ke dalam. Gua sempat melirik ke arahnya, ke dalam ruang tamu. Terlihat ia duduk di atas kursi, sambil menonton televisi.
Sementara, gua masih terjebak dalam obrolan politik dengan bokapnya. Sambil terus meladeni ucapannya, gua terus mencoba mencari celah agar bisa keluar dari situasi sulit ini.
Tepat saat, Bokapnya Poppy menyeruput Kopi, gua yang serasa mendapat angin segar langsung angkat bicara; “Om, boleh saya ajak Poppy keluar hari ini?”.
“Ya boleh dong” Jawab Bokapnya seraya meletakkan gelas kopi ke tempatnya semula. Kemudian memanggil Poppy, dan bilang kalau gua ingin mengajaknya keluar. Sesuatu yang sejatinya nggak perlu disampaikan karena gua bisa bicara langsung dengan Poppy.
“Pop, Marshall mau ngajak keluar katanya” Seru Bokapnya ke Poppy yang masih berada di ruang tamu. Sementara, Poppy terlihat masuk ke dalam, lalu kembali beberapa saat berikutnya dengan pakaian yang berbeda; ia terlihat cantik dan modis.
Tanpa bicara, Poppy langsung berlalu dari pintu rumah hingga ke arah gang; seakan mengabaikan gua dan bokapnya yang berada di teras rumah. Gua dan Bokapnya saling pandang sebentar menyikapi kelakuan Poppy, lalu berpamitan dan bergegas menyusulnya.
“Pop” Gua memanggilnya yang kini sudah berada di ujung gang.
Poppy ngga menggubris panggilan gua, ia malah terus melangkah, menjauh.
Menyadari kalau saat ini Poppy tengah merajuk akibat perbincangan kami lewat telepon tadi pagi, gua berusaha membujuknya.
“Poppy” Panggil gua lagi, kali ini sambil berusaha mempercepat langkah dan menyusulnya.
Saat posisi gua sudah berada tepat di sebelahnya, barulah gua bicara; “Pop.. Ayo kita ngobrol”
“Ngobrol aja sana sama bokap gua!” Seru Poppy tanpa berpaling.
“Lho, gua pikir lo bakal seneng kalo gua ngobrol sama bokap lo?” Respon gua, menebak arah pikirannya.
Poppy lantas menghentikan langkah, berpaling ke arah gua lalu bicara; “Iya, gua seneng. Tapi, kok rasanya kayak lagi dibohongi aja. Tiba-tiba lo dateng, ngobrol sama bokap gua layaknya sahabat. Dan gua nggak tau apa-apa”
‘Oh jadi ini penyebab ia merajuk. Karena gua datang tanpa memberinya kabar dan tiba-tiba ngobrol dengan bokapnya yang selama ini ia tau kalau kami berdua nggak sejalan’
Gua tersenyum sebentar, kemudian mencoba meraih tangannya, Namun yang terjadi ia malah menepis tangan gua. Nggak cuma itu, ia bahkan memberi ancaman; “Jangan pegang-pegang!”
Mendapat perlakuan seperti itu, gua jelas merasa geli. Karena seumur-umur, baru kali ini gua melihat Poppy merajuk seperti anak kecil; menggemaskan. Membuat gua tersenyum lalu tertawa. Sadar kalau senyum dan tawa gua malah tambah membuatnya kesal, akhirnya gua mulai bercerita. Cerita tentang awal pertemuan gua dengan bokapnya, yang terjadi saat gua mengantarkannya pulang selepas dari rumah Mamah.
Selesai mendengar penjelasan gua, Poppy nggak sedikitpun merubah ekspresi wajahnya yang masih terlihat kesal.
“Sekarang udah boleh pegang?” Tanya gua, sambil menunjuk ke arah tangannya, mencoba memberi rayuan yang sepertinya gagal.
“Coba aja kalo berani!” Jawab Poppy.
“Ok, lo butuh penjelasan apa lagi?” Tanya gua.
“Tata…” Poppy menjawab; Ketus.
“Di sini? Sekarang?” Tanya gua lagi, merasa jalanan bukanlah tempat yang tepat untuk memberi penjelasan.
Mendengar pertanyaan gua, Poppy menghentikan langkahnya lalu mendongak, menatap gua lalu bicara sambil pasang tampang sini; “Terus di mana? Kapan? Besok? Minggu depan? Tahun depan?”
“...”
“... Nggak tau deh, kalo gua kemaren nggak ngeliat Tata. Mungkin sampe sekarang gua juga nggak tau. Mungkin juga lo nggak bakal pernah cerita!” Tambahnya.
‘Oh, ternyata dia beneran merajuk tentang percakapan kami tadi pagi’ Batin gua dalam hati.
“Nggak gitu, Pop…” Gua memberi bantahan.
“Terus gimana?”.
Gua terdiam sebentar untuk mengambil nafas, kemudian kembali bicara; “Dulu, gua selalu menggambar bangunan karena sebuah alasan; menurut gua bangunan nggak pernah berubah dan selalu memberi naungan, dari derasnya hujan, dari teriknya matahari. Nggak seperti manusia yang selalu berubah, dan nggak bisa menjadi tempat berlindung…”
“...”
“... Dan Tata adalah sosok manusia pertama yang gua gambar. Bukan, bukan karena ia nggak pernah berubah, bukan juga karena ia bisa memberi perlindungan.”
“Terus kenapa?” Tanyanya, memotong ucapan gua yang belum selesai.
“Sederhana…”.
“Karena dia cantik?” Poppy memberi tebakan dengan kembali memotong kalimatnya.
Merasa kalau tebakannya benar, gua lalu menganggukkan kepala.
Melihat respon gua barusan, Poppy lantas menghentakkan kakinya kemudian berlalu sambil menggumam pelan; “Genit!”.
Nggak seberapa lama, kami kemudian tiba di kedai kopi tempat gua dulu gua bekerja. Ini salah satu tempat yang sempat terpikir untuk bicara, tanpa harus ngobrol urusan penting di jalanan. Poppy nggak mengajukan protes, ia tetap mengikuti gua, menaiki anak tangga besi menuju ke lantai dua, dimana akses utama menuju kedai berada.
Suara lonceng terdengar begitu gua membuka pintu. Kami lalu disambut oleh sambutan pramusaji yang juga merupakan teman-teman gua. Sementara, Poppy langsung menuju ke salah satu meja yang terletak di balkon, gua menuju ke meja konter untuk memesan kopi sekalian berbincang dengan Dahlan dan Ahmad.
Begitu kopi selesai dibuat, gua lantas menyusul Poppy dengan gelas kopi di tangan.
“Buat gua? Terus punya lo mana?” Tanya Poppy saat menyadari kalau gua hanya membawa segelas kopi, bukannya dua.
“Gua kan tadi udah ngopi di rumah lo” Jawab gua singkat.
“Manis nggak ini?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menunjuk gelas kopi yang kini berada tepat dihadapannya.
“Manis…” Gua memberi jawaban.
Poppy lantas meletakkan sedotan dan mulai menyeruput kopi sambil menatap ke arah gua. Seakan curiga kalau gua berbohong tentang manis atau pahit kopi tersebut.
“Terus sampe mana tadi?” Tanya Poppy.
“Sampe lo ngatain gua genit” Gua menjawab.
“Oh, elo denger. Bagus deh”
“Masih mau denger lanjutannya?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“Hmmm… Rasanya kesel pas denger, cemburu. Tapi, kalo nggak denger, penasaran” Gua menjawab.
“...”
“... Yaudah lanjut. Karena dia cantik jadi lo mulai gambar dia..” Poppy menambahkan.
“Di kehidupan gua saat itu, gua akhirnya dapet semangat lagi. Dapet motivasi untuk tetap berangkat ke sekolah, dimana seperti yang mungkin lo tau, gua udah kehilangan keinginan untuk sekolah sejak lama…”
“...”
“... Tata mengubah gua, mengubah hidup gua. In a good way and also in a bad way…”
“...”
“... Tata yang dulu gua kenal adalah perempuan yang mandiri, pintar dan penuh keceriaan. Dan, melihat dia seperti sekarang, jujur bikin sedikit banyak ada bagian di sini yang terluka”
“Tunggu dulu, Sal..” Poppy memotong ucapan gua.
“Gua belum selesai, Pop…” Sanggah gua.
“Nggak! Tunggu dulu… Gua mau nanya dulu. Jawaban lo dari pertanyaan ini bakal memutuskan apa obrolan ini terus berlanjut atau nggak”
“...” Gua langsung terdiam begitu mendengar ucapannya barusan, kemudian mengangguk. Memberinya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
“... Sekarang lo masih sayang sama dia nggak?” Tanya Poppy. Kini nada bicaranya terdengar lugas dan tegas.
“Harus gua jawab ya?” Gua balik bertanya.
“Iya lah!”
Entah dari mana datangnya keberanian ini. Tiba-tiba ada hasrat dan dorongan yang kuat untuk berdiri, mendekat ke arahnya dan memberikan ciuman di tengah kerumunan orang-orang.
Mendapat perlakuan seperti itu, Poppy langsung mundur dan memukul gua beberapa kali. Ia lalu menatap sekeliling, terlihat beberapa pengunjung, termasuk Dahlan dan Ahmad menatap ke arah kami berdua. Dengan cepat ia mulai mengambil tas dan menutupi wajahnya.
“Bego lo!” Serunya.
“Gua masih perlu jawab pertanyaan lo tadi nggak?” Tanya gua.
“...” Poppy terdiam, sepertinya masih merasa malu dan shock. Saat ini terlihat, wajahnya mulai memerah.
“Masih perlu jawaban nggak?” Gua mengulang pertanyaan, yang lalu dijawab dengan cepat olehnya; “Nggak usah!”
Setelah kejadian itu, kami lalu sama-sama terdiam. Gua menikmati rokok seraya menatap ke bawah, ke arah jalanan yang kini mulai dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. Sementara, Poppy terlihat sibuk dengan ponselnya.
Setelah cukup lama tenggelam dalam diam, Poppy mulai kembali bicara; “Udah, gini aja? Lo ngajakin keluar cuma buat ngopi disini?”.
“Nggak. Gua bahkan tadinya nggak mau ngajak lo kesini. Tapi, daripada ngobrol di jalan…”
“Terus?”
“...” Gua terdiam, nggak tau harus memberi jawaban apa; Bingung.
“… Mau nonton?” Poppy memberikan penawaran.
“Nonton film?”.
“Iya, masa nonton kebakaran”
“Di bioskop?” Tanya gua lagi.
“Iya, biar kayak orang-orang” Jawabnya. Yang lalu gua respon dengan anggukan setuju.
Setelahnya, hubungan gua dengan Poppy mulai nampak seperti hubungan layaknya orang berpacaran. Hari-hari kami diisi dengan saling bertukar kabar melalui pesan singkat, tak jarang juga kami saling menelpon di malam hari hanya sekedar untuk bercerita tentang kejadian hari itu. Di kala weekend, kami berdua akan pergi keluar untuk menonton film di bioskop, makan di restoran murah atau hanya sekedar duduk-duduk sambil ngobrol di kursi panjang di peron stasiun.
—
“Yaudah, jangan ikhlasin gua. Jangan!” Jawab gua.
“Aku jadi bingung deh sama kamu, Sal…”
“...”
“... Tempo hari kamu bilang aku harus ngelupain kamu, biar nggak ada yang tersakiti. Sekarang, giliran aku mau menyerah, mau pergi dari kalian, kamu malah ngelarang” Tambahnya.
“Tapi kan nggak harus pergi, Ta…” Pinta gua. Jujur, gua sedikit khawatir jika Tata harus pergi. Apalagi mengingat ucapannya waktu di kedai kopi tempo hari, saat dia bilang ‘Kayaknya mendingan aku mati aja nggak sih’. Takut, jika Tata diluar jangkauan gua, dia bakal melakukan hal yang menakutkan.
Iya, rasa cinta gua ke Tata memang sepertinya sudah hilang, terkubur oleh rasa sakit hati yang mendalam. Tapi, nggak serta merta menghilangkan empati gua terhadap dirinya. Walau bagaimanapun, Tata pernah mengisi hari-hari gua dengan senyumnya, dengan rasa cintanya yang sebesar gunung.
“Terus gimana? Kalau aku tetap disini, bagaimana mungkin aku bertahan, ngeliat hubungan kalian berdua?” Tanyanya.
“Emang nggak bisa ya, kalau lo tetap berada di jangkauan gua?” Tanya gua.
“Cuma untuk ngeliat kalian berdua bahagia?” Ia balik bertanya.
“...” Sementara gua hanya bisa terdiam, nggak punya respon atas ucapannya barusan.
“... Mending pergi” Tambahnya.
“Tapi, bisa nggak lo janji?”
“Janji apa?” Tanyanya.
“Janji nggak bakal berbuat nekad”
“Iya, Sal… Aku janji” Jawabnya, lirih.
Walau gua tau kalau ucapannya nggak benar-benar serius, hanyalah retorika belaka untuk mengakhiri obrolan. Tapi, gua tetap mencoba percaya kepadanya dan tetap berharap kalau ia bakal baik-baik saja di sana.
“... Aku pamit sekarang ya, Sal. Takutnya nanti kalau mau pergi aku nggak punya keberanian lagi untuk ketemu atau telpon kamu…”
“Iya…”
“'Dulu, kamu adalah segalanya bagiku…” ucapnya dengan suara yang rapuh namun tetap mencoba terdengar tegar.
“...”
“... Tetapi sekarang, aku harus melepaskan tanganku. Doakan aku supaya bisa melupakan m dan menemukan kebahagiaan” Tambahnya dengan suara yang serak.
“...”
“...Terima kasih untuk segalanya, dan maafkan aku” Ujar Tata, lalu mengakhiri panggilan.
Gua meletakkan ponsel di atas meja, sambil menatap kosong ke arah langit yang menghitam melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka lebar, gua menghela nafas panjang.
Ada sedikit kelegaan di dalam hati, yang bercampur dengan rasa khawatir. Namun, gua mencoba untuk meyakinkan diri sendiri kalau ini mungkin jalan yang terbaik untuk kami; untuk gua, Tata dan bahkan Poppy.
Setelah menyelesaikan satu task lagi, gua lalu tertidur di ata meja kerja.
Sinar matahari menerpa mata, menembus masuk melalui jendela yang sejak semalam gua biarkan dalam kondisi terbuka. Gua meraih ponsel dan melirik ke arah layarnya; masih belum ada balasan pesan dari Poppy.
Gua mencari namanya pada history panggilan dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali namun nggak ada jawaban darinya. ‘Ah mungkin belum bangun’ gua membatin dalam hati.
Beberapa saat berselang, saat gua tengah bersiap untuk mandi, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Poppy beserta dengan foto dirinya. Gua meraih ponsel dan menjawab panggilannya; “Halo, Pop?”
“Ya…”
“Baru bangun?” Tanya gua.
“Iya, kenapa?” Poppy menjawab singkat lalu balik bertanya.
“Semalem nyampe jam berapa? Kok tumben nggak ngabarin?” Tanya gua lagi.
“Jam berapa ya? Lupa. Abis itu langsung tidur, ngantuk banget” Jawab Poppy dengan nada suara datar.
“Oh… yaudah kalo gitu, gua pikir lo sakit” Gua memberi tebakan.
Lalu sama-sama terdiam, yang terdengar hanya deru nafas kami berdua.
“Sal… Kemarin lo kenapa?” Tiba-tiba Poppy bertanya, tentang sesuatu yang kemarin sudah ditanyakannya.
“Kenapa apanya?” Gua balik bertanya.
“Kemaren abis buang sampah, tiba-tiba sikap lo berubah” Poppy menambahkan, seakan ingin mengingatkan gua tentang kejadian kemarin. Rupanya, ia menyadari perubahan sikap gua sesaat setelah gua tanpa sengaja melihat Tata saat membuang sampah.
“Oh, gak ada apa-apa kok” Jawab gua, berbohong.
“Terus pas pulang, nggak sengaja gua ngeliat Tata di Minimarket depan” Tambahnya.
“...” Mendengar hal tersebut tentu membuat gua langsung diam karena kaget.
‘Bagaimana mungkin kebetulan bisa sepresisi ini?’Batin gua dalam hati.
“... Dan tadi malam, Tata telepon gua, dia pamitan, katanya menyerah dan menitipkan lo ke gua. Kayak pengen pergi” Poppy menambahkan. Suaranya terdengar semakin lirih dengan nada yang masih sama seperti sebelumnya; Datar.
“...” Sementara, gua masih terdiam. Berada diantara kebimbangan; melanjutkan kebohongan atau berterus terang kepadanya.
“... Ada penjelasan?” Tanyanya lagi karena nggak mendapat respon darinya.
“Nggak ada. Nggak ada yang harus dijelaskan” Jawab gua, memutuskan untuk berbohong saja.
“Oh okay then. Kalo gitu nggak ada yang perlu dibahas lagi” Balas Poppy, lalu berusaha mengakhiri panggilan.
“Pop…” Panggil gua sebelum ia mengakhiri pembicaraan.
“Apa?”
“Sekarang lo mau gua gimana?” Tanya gua. Yang lantas diresponnya dengan nada suara serendah mungkin; “Gua mau lo jujur”
Nggak mau ia tersakiti hatinya karena kebohongan gua yang kemungkinan besar nanti juga bakal terungkap. Gua berubah pikiran; bakal mengakui semuanya.
“Iya, kemaren gua ketemu sama Tata, setelah kalian pulang.”
“Oh…” Poppy memberi respon singkat.
“Dia juga ngomong hal yang sama kayak yang dia omongin ke elo” Gua menambahkan.
“Terus?”
“Udah, gitu aja” Jawab gua.
“Thank you ya, Sal. Udah mau jujur…” Ucapnya pelan.
“Sorry Pop..” Gua mencoba meminta maaf karena sudah berbohong.
“Sal…”
“Kenapa Pop?”
“Lo tau nggak gimana caranya agar nggak kehilangan sesuatu?” Tanyanya pelan dan lirih.
Pertanyaan yang sebelumnya pernah gua dengar dari Tata sewaktu kesini kemarin. Karena merasa punya jawabannya, gua langsung bicara; “Ya, jangan memilikinya”
Nggak ada respon apapun dari Poppy, ia hanya terdiam lalu mengakhiri panggilan. Merasa harus ada yang dijelaskan kepadanya, gua bergegas mandi dan bersiap menuju ke rumahnya.
Setelah hampir satu setengah jam berikutnya, gua sudah berada tepat di depan rumah Poppy. Bokapnya terlihat tengah duduk di kursi kayu panjang di teras rumahnya, menikmati sebatang rokok dengan gelas kopi di sisinya. Ia langsung berdiri dan tersenyum begitu melihat kehadiran gua.
“Sini…” Panggilnya sambil melambaikan tangan.
Gua membalas senyum kemudian mendekat dan duduk di atas kursi kayu tepat di sebelahnya.
“Rokok…” Ucapnya seraya menyodorkan bungkusan rokok ke arah gua.
“Ada Om” Respon gua lalu mengeluarkan bungkusan rokok punya gua sendiri, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
“Poppy-nya ada Om?” Tanya gua.
“Ada… Sebentar” Jawabnya. Kemudian mulai berteriak ke arah dalam rumah, memanggil nama Poppy.
“... Ngopi ya Sal?” Tanyanya, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
Merasa nggak ada respon dari panggilannya barusan, Bokapnya Poppy kembali berteriak memanggil nama anak sulungnya itu; “Pop, Poppy…”
Nggak seberapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat keluar, ke arah kami berdua di susul jawaban dari Poppy; “Apaan sih Pak?”.
Poppy berdiri di ambang pintu, tertegun begitu melihat ke arah gua. Ingin sekali gua menyapanya saat itu, tapi ada rasa nggak enak karena bokapnya masih terus saja mengajak gua ngobrol. Apalagi, saat ini topik obrolan mulai diarahkannya ke dunia politik.
Menyadari kehadiran anaknya, Bokapnya langsung memberi perintah; “Pop, bikinin Kopi, buat Marshall”
Tanpa bantahan dan keluhan, Poppy berbalik menuju ke dalam, ke dapur. Nggak seberapa lama, ia kembali. Kini dengan segelas kopi hitam lengkap dengan tutup gelas plastik berwarna biru.
“Sini, sini taro sini” Ucap Bokapnya seraya menunjuk ke arah area kosong di atas kursi kayu panjang, di antara gua dan bokapnya. Pandangan kami bertemu saat Poppy meletakkan gelas di atas kursi kayu. Sambil memberi tatapan, ia bertanya dengan suara sangat pelan; “Ngapain lo?”
Tentu saja gua nggak langsung menjawab, karena bokapnya Poppy masih nyerocos perkara isu politik terhangat, yang bisa gua lakukan hanya tersenyum.
Setelah meletakkan gelas berisi kopi, Poppy lantas kembali masuk ke dalam. Gua sempat melirik ke arahnya, ke dalam ruang tamu. Terlihat ia duduk di atas kursi, sambil menonton televisi.
Sementara, gua masih terjebak dalam obrolan politik dengan bokapnya. Sambil terus meladeni ucapannya, gua terus mencoba mencari celah agar bisa keluar dari situasi sulit ini.
Tepat saat, Bokapnya Poppy menyeruput Kopi, gua yang serasa mendapat angin segar langsung angkat bicara; “Om, boleh saya ajak Poppy keluar hari ini?”.
“Ya boleh dong” Jawab Bokapnya seraya meletakkan gelas kopi ke tempatnya semula. Kemudian memanggil Poppy, dan bilang kalau gua ingin mengajaknya keluar. Sesuatu yang sejatinya nggak perlu disampaikan karena gua bisa bicara langsung dengan Poppy.
“Pop, Marshall mau ngajak keluar katanya” Seru Bokapnya ke Poppy yang masih berada di ruang tamu. Sementara, Poppy terlihat masuk ke dalam, lalu kembali beberapa saat berikutnya dengan pakaian yang berbeda; ia terlihat cantik dan modis.
Tanpa bicara, Poppy langsung berlalu dari pintu rumah hingga ke arah gang; seakan mengabaikan gua dan bokapnya yang berada di teras rumah. Gua dan Bokapnya saling pandang sebentar menyikapi kelakuan Poppy, lalu berpamitan dan bergegas menyusulnya.
“Pop” Gua memanggilnya yang kini sudah berada di ujung gang.
Poppy ngga menggubris panggilan gua, ia malah terus melangkah, menjauh.
Menyadari kalau saat ini Poppy tengah merajuk akibat perbincangan kami lewat telepon tadi pagi, gua berusaha membujuknya.
“Poppy” Panggil gua lagi, kali ini sambil berusaha mempercepat langkah dan menyusulnya.
Saat posisi gua sudah berada tepat di sebelahnya, barulah gua bicara; “Pop.. Ayo kita ngobrol”
“Ngobrol aja sana sama bokap gua!” Seru Poppy tanpa berpaling.
“Lho, gua pikir lo bakal seneng kalo gua ngobrol sama bokap lo?” Respon gua, menebak arah pikirannya.
Poppy lantas menghentikan langkah, berpaling ke arah gua lalu bicara; “Iya, gua seneng. Tapi, kok rasanya kayak lagi dibohongi aja. Tiba-tiba lo dateng, ngobrol sama bokap gua layaknya sahabat. Dan gua nggak tau apa-apa”
‘Oh jadi ini penyebab ia merajuk. Karena gua datang tanpa memberinya kabar dan tiba-tiba ngobrol dengan bokapnya yang selama ini ia tau kalau kami berdua nggak sejalan’
Gua tersenyum sebentar, kemudian mencoba meraih tangannya, Namun yang terjadi ia malah menepis tangan gua. Nggak cuma itu, ia bahkan memberi ancaman; “Jangan pegang-pegang!”
Mendapat perlakuan seperti itu, gua jelas merasa geli. Karena seumur-umur, baru kali ini gua melihat Poppy merajuk seperti anak kecil; menggemaskan. Membuat gua tersenyum lalu tertawa. Sadar kalau senyum dan tawa gua malah tambah membuatnya kesal, akhirnya gua mulai bercerita. Cerita tentang awal pertemuan gua dengan bokapnya, yang terjadi saat gua mengantarkannya pulang selepas dari rumah Mamah.
Selesai mendengar penjelasan gua, Poppy nggak sedikitpun merubah ekspresi wajahnya yang masih terlihat kesal.
“Sekarang udah boleh pegang?” Tanya gua, sambil menunjuk ke arah tangannya, mencoba memberi rayuan yang sepertinya gagal.
“Coba aja kalo berani!” Jawab Poppy.
“Ok, lo butuh penjelasan apa lagi?” Tanya gua.
“Tata…” Poppy menjawab; Ketus.
“Di sini? Sekarang?” Tanya gua lagi, merasa jalanan bukanlah tempat yang tepat untuk memberi penjelasan.
Mendengar pertanyaan gua, Poppy menghentikan langkahnya lalu mendongak, menatap gua lalu bicara sambil pasang tampang sini; “Terus di mana? Kapan? Besok? Minggu depan? Tahun depan?”
“...”
“... Nggak tau deh, kalo gua kemaren nggak ngeliat Tata. Mungkin sampe sekarang gua juga nggak tau. Mungkin juga lo nggak bakal pernah cerita!” Tambahnya.
‘Oh, ternyata dia beneran merajuk tentang percakapan kami tadi pagi’ Batin gua dalam hati.
“Nggak gitu, Pop…” Gua memberi bantahan.
“Terus gimana?”.
Gua terdiam sebentar untuk mengambil nafas, kemudian kembali bicara; “Dulu, gua selalu menggambar bangunan karena sebuah alasan; menurut gua bangunan nggak pernah berubah dan selalu memberi naungan, dari derasnya hujan, dari teriknya matahari. Nggak seperti manusia yang selalu berubah, dan nggak bisa menjadi tempat berlindung…”
“...”
“... Dan Tata adalah sosok manusia pertama yang gua gambar. Bukan, bukan karena ia nggak pernah berubah, bukan juga karena ia bisa memberi perlindungan.”
“Terus kenapa?” Tanyanya, memotong ucapan gua yang belum selesai.
“Sederhana…”.
“Karena dia cantik?” Poppy memberi tebakan dengan kembali memotong kalimatnya.
Merasa kalau tebakannya benar, gua lalu menganggukkan kepala.
Melihat respon gua barusan, Poppy lantas menghentakkan kakinya kemudian berlalu sambil menggumam pelan; “Genit!”.
Nggak seberapa lama, kami kemudian tiba di kedai kopi tempat gua dulu gua bekerja. Ini salah satu tempat yang sempat terpikir untuk bicara, tanpa harus ngobrol urusan penting di jalanan. Poppy nggak mengajukan protes, ia tetap mengikuti gua, menaiki anak tangga besi menuju ke lantai dua, dimana akses utama menuju kedai berada.
Suara lonceng terdengar begitu gua membuka pintu. Kami lalu disambut oleh sambutan pramusaji yang juga merupakan teman-teman gua. Sementara, Poppy langsung menuju ke salah satu meja yang terletak di balkon, gua menuju ke meja konter untuk memesan kopi sekalian berbincang dengan Dahlan dan Ahmad.
Begitu kopi selesai dibuat, gua lantas menyusul Poppy dengan gelas kopi di tangan.
“Buat gua? Terus punya lo mana?” Tanya Poppy saat menyadari kalau gua hanya membawa segelas kopi, bukannya dua.
“Gua kan tadi udah ngopi di rumah lo” Jawab gua singkat.
“Manis nggak ini?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menunjuk gelas kopi yang kini berada tepat dihadapannya.
“Manis…” Gua memberi jawaban.
Poppy lantas meletakkan sedotan dan mulai menyeruput kopi sambil menatap ke arah gua. Seakan curiga kalau gua berbohong tentang manis atau pahit kopi tersebut.
“Terus sampe mana tadi?” Tanya Poppy.
“Sampe lo ngatain gua genit” Gua menjawab.
“Oh, elo denger. Bagus deh”
“Masih mau denger lanjutannya?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“Hmmm… Rasanya kesel pas denger, cemburu. Tapi, kalo nggak denger, penasaran” Gua menjawab.
“...”
“... Yaudah lanjut. Karena dia cantik jadi lo mulai gambar dia..” Poppy menambahkan.
“Di kehidupan gua saat itu, gua akhirnya dapet semangat lagi. Dapet motivasi untuk tetap berangkat ke sekolah, dimana seperti yang mungkin lo tau, gua udah kehilangan keinginan untuk sekolah sejak lama…”
“...”
“... Tata mengubah gua, mengubah hidup gua. In a good way and also in a bad way…”
“...”
“... Tata yang dulu gua kenal adalah perempuan yang mandiri, pintar dan penuh keceriaan. Dan, melihat dia seperti sekarang, jujur bikin sedikit banyak ada bagian di sini yang terluka”
“Tunggu dulu, Sal..” Poppy memotong ucapan gua.
“Gua belum selesai, Pop…” Sanggah gua.
“Nggak! Tunggu dulu… Gua mau nanya dulu. Jawaban lo dari pertanyaan ini bakal memutuskan apa obrolan ini terus berlanjut atau nggak”
“...” Gua langsung terdiam begitu mendengar ucapannya barusan, kemudian mengangguk. Memberinya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
“... Sekarang lo masih sayang sama dia nggak?” Tanya Poppy. Kini nada bicaranya terdengar lugas dan tegas.
“Harus gua jawab ya?” Gua balik bertanya.
“Iya lah!”
Entah dari mana datangnya keberanian ini. Tiba-tiba ada hasrat dan dorongan yang kuat untuk berdiri, mendekat ke arahnya dan memberikan ciuman di tengah kerumunan orang-orang.
Mendapat perlakuan seperti itu, Poppy langsung mundur dan memukul gua beberapa kali. Ia lalu menatap sekeliling, terlihat beberapa pengunjung, termasuk Dahlan dan Ahmad menatap ke arah kami berdua. Dengan cepat ia mulai mengambil tas dan menutupi wajahnya.
“Bego lo!” Serunya.
“Gua masih perlu jawab pertanyaan lo tadi nggak?” Tanya gua.
“...” Poppy terdiam, sepertinya masih merasa malu dan shock. Saat ini terlihat, wajahnya mulai memerah.
“Masih perlu jawaban nggak?” Gua mengulang pertanyaan, yang lalu dijawab dengan cepat olehnya; “Nggak usah!”
Setelah kejadian itu, kami lalu sama-sama terdiam. Gua menikmati rokok seraya menatap ke bawah, ke arah jalanan yang kini mulai dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. Sementara, Poppy terlihat sibuk dengan ponselnya.
Setelah cukup lama tenggelam dalam diam, Poppy mulai kembali bicara; “Udah, gini aja? Lo ngajakin keluar cuma buat ngopi disini?”.
“Nggak. Gua bahkan tadinya nggak mau ngajak lo kesini. Tapi, daripada ngobrol di jalan…”
“Terus?”
“...” Gua terdiam, nggak tau harus memberi jawaban apa; Bingung.
“… Mau nonton?” Poppy memberikan penawaran.
“Nonton film?”.
“Iya, masa nonton kebakaran”
“Di bioskop?” Tanya gua lagi.
“Iya, biar kayak orang-orang” Jawabnya. Yang lalu gua respon dengan anggukan setuju.
Setelahnya, hubungan gua dengan Poppy mulai nampak seperti hubungan layaknya orang berpacaran. Hari-hari kami diisi dengan saling bertukar kabar melalui pesan singkat, tak jarang juga kami saling menelpon di malam hari hanya sekedar untuk bercerita tentang kejadian hari itu. Di kala weekend, kami berdua akan pergi keluar untuk menonton film di bioskop, makan di restoran murah atau hanya sekedar duduk-duduk sambil ngobrol di kursi panjang di peron stasiun.
—
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 10-05-2024 17:51
Herisyahrian dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Kutip
Balas
Tutup