Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

afryan015Avatar border
TS
afryan015
AGRAPANA "NYAWA INGKANG DIPUN GANTOSAKEN"
     AGRAPANA "NYAWA INGKANG DIPUN GANTOSAKEN"
Bab 1


“Bu pokoknya Tias maunya kamar di lantai dua ya, sepertinya disana kamarnya nyaman” ucap Tias kepada Ibunya.


“Iya terserah kamu, yang penting kita pindahkan dulu barang bawaan kita ini kedalam, dan nanti kita tata semua bersama sama biar cepat selesai” ucap ibunya sambil melangkah kedalam rumah membawa kardus berisi barang dari rumah lama.


“Pokoknya terserahkamu saja yas, yang penting kamu nyaman tinggal disini, apa lagi di lantai dua ada tempat yang bisa kamu gunakan buat ngerjain pekerjaan kamu kan” imbuh ayah Tiyas yang sedang menurunkan barang – barang dari mobil bak yang membawa perabotan rumah mereka.


Tias dan keluarganya baru pindah ke rumah kontrakan yang baru, karena rumah kontrakan mereka yang lama sudah tidak bisa diperpanjang lagi, dan hari ini mereka mulai memindahkan perabotan rumah ke kontrakan yang baru.


Ayah Tias merasa beruntung mendapatkan rumah kontrakan yang murah dengan luas rumah yang cukup lega dibandingkan dengan kontrakan sebelumnya, ditambah lagi halaman yang juga luas, apalagi kontrakan yang sekarang memiliki dua lantai, dimana dilantai satu memiliki fitur, satu ruang tamu, dua kamar dengan salah satunya kamar utama, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang keluarga yang terbilang cukup luas dan halaman belakang yang terbilang cukup luas untuk menjemur pakaian, sedangkan untuk di lantai dua memiliki firur satu kamar dengan balkon, satu ruangan yang cukup untuk digunakan bersantai atau digunakan sebagai ruang kerja, dan satu kamar mandi, dengan fasilitas seperti itu Ayah Tias mendapatkan harga yang cukup terjangkau, dan rumah itu pun belum lama ditinggalkan oleh penyewa sebelumnya.


Tias membantu orang tuanya membawa masuk barang barang yang berada diluar untuk dimasukan kedalam rumah, satu persatu box kardus mulai dibuka dan dikeluarkan isinya untuk ditata pada tempat yang mereka inginkan, suasana riang keluarga kecil itu terdengar saat mereka sedang beristirahat disiang hari untuk melepas lelah karena sejak pagi berberes dan menata rumah.


“Hahaha, Apa lagi waktu Tias masih kecil ya yah, manjanya bukan main, dikit dikit buk, dikit dikit buk, sampe mau beol aja harus ada ibu, pernah waktu itu ibu di panggil Tias yang katanya mau beol tapi ibu lagi repot masak, bukannya pergi ke WC sendiri malah lompat – lompat kecil dibelakang ibu sambil sambil megangin pantat haha” ucap ibu Tias bercerita sambil terkakak.


“Ah ibu ah, itu kan dulu waktu aku kecil bu, sekarang kan udah nggak” dengan wajah cemberut menahan malu Tias protes pada ibunya.


“Haha terus yah, pas mau ibu angkat Tias buat dibawa ke WC, eh dia malah nangis sambil bilang, udah keluar bu, ahahaha” ucap ibu Tias tidak bisa menahan tawanya.


“Haha, namanya juga masih kecil ya yas, sini nggak usah cemberut, sini ayah cium” ucap ayah Tias membujuknya supaya tidak cemberut.


“Ah ibu tuh, sukanya ngejek aku terus” sambil mendepet ayahnya seolah mengadu.


“Udah nggak papa, eh tapi kok bau apa gitu ya ada yang aneh, kamu nggak beol kan yas?” ucap ayah Tias menggodanya.


“Ah ayah ih, sama aja, nggak lah aku udah bukan anak kecil lagi, ah udah ah aku mau keatas dulu ngerapiin kamar aku” sambil melepaskan pelukan ayahnya, Tias lantas bangkit dari posisi duduknya dan langsung melangkah ke lantai dua dengan menutup wajahnya karena tersipu malu namun gengsi untuk menunjukan pada kedua orang tuanya.


“ih ih ih cemberut sambil cengar cengir itu, nggak usah di tutupin, ibu udah liat kok haha” ucap ibu Tias menggoda.


“Haha, jangan kelamaan ya Yas, habis ini kita keluar buat makan, nanti kalo ayah panggil turun ya” ucap ayah Tias.


“Iya yah” ucap Tias singkat.


Setelah sampai di lantai dua, Tias mengambil beberapa kardus yang berada di ruangan yang sepertinya akan digunakan Tias sebagai tempat bersantai sekalikus beraktifitas, satu box kardus diraihnya untuk kemudian diletakan didalam kamar yang akan ditempatinya, box kardus itu kemuda dibukanya dan dikeluarkannya lah isi – isi didalamnya kemudian diletakan di atas kasur yang sebelumnya sudah ditata bersama dengan ayahnya, beberapa box yang isinya merupakan barang barang milik Tias sudah terbuka, dan satu persatu ditata pada tempatnya, seperti pakaian, buku buku dan lainnya ditata dengan sangat cekatan oleh Tias, dan tidak lupa gorden penutup jendela pun dia pasang, setelah dirasa lelah, Tias memutuskan untuk berhenti sebentar untuk beristirahat sebelum nyelesaikan menata barang yang masih tergeletak bukan pada tempatnya.


Teringat dengan perkataan ayahnya kalau mereka akan pergi makan siang diluar, lantas Tias menuju ke arah anak tangga lalu bertanya dengan nada yang kencang supaya orang tuanya di bawah mendengar.


“Yah? mau keluar makan siangnya jam berapa?” ucap Tias berteriak dari lantai dua.


“Sebentar lagi ya, ini masih tanggung beresin ruang tengah, biar nanti bisa buat santai dulu, soalnya nggak bakal selesai satu hari ini” ucap ayah Tias menjawab dari bawah.


“Oh ya udah yah, aku dikamar ya, mau istirahat sebentar, capek banget, nanti kalau mau berangkat panggil aku jangan ditinggal” ucap Tias membalas jawaban dari ayahnya.


“Iya tenang aja, sana istirahat dulu” dengan suara sambil membersihkan dan menata ruangan ayahnya menjawab.


Tias pun kembali kedalam kamarnya dan langsung mengarah ke kasur yang sepertinya terlihat sangat nyaman untuk ditiduri sebentar, “Bruughhh” suara tubuh Tias beradu dengan kasur umpuk terdengar saat Tias menjatuhkan dirinya dalam kondisi terlentang.


“Hmmhhh nyamannya, rasanya enak banget” ucap Tias berbicara sendiri sembari tangannya merangsak masuk kedalam saku celananya untuk meraih ponsel yang dia simpan disaku.


Tias dengan asiknya mengadu ibu jarinya dengan ponselnya untuk membuka beberapa informasi dan hal hal menarik lainnya yang bisa dia kases dari dalam ponselnya itu, semua aplikasi Novel kemudian dia buka untuk melanjutkan bacaan yang sebelumnya belum selesai dia baca.


Tak lama setelah dia asik membaca Novel dari ponselnya, tiba – tiba mata yang sedang asik memandang layar ponsel itu menjadi sedikit berat untuk membuka matanya, rasa kantuk sepertinya mulai menyerang Tias, maklum lah karena merasa lelah setelah dari pagi hingga siang ini dia terus berberes rumah baru alisa pindahan, dan tanpa sadar ponsel itu pun terlepas dari genggaman tangan Tias yang akhirnya ponsel itu harus beradu dengan wajahnya.


“Aduh, sakit, sakit” sambil menggosok wajahnya untuk meredakan rasa sakit akibat hantaman ponsel itu, Tias kemudian merubah posisi nya menjadi miring kesamping dan berbicara pada batinnya “mungkin tidur sebentar nggak papa kali ya, kan ibu sama ayah masih bersih bersih”. tak perlu waktu lama akhirnya Tias pun terlelap dalam tidurnya karena kelelahan.


“srek, srek, skrek” suara sapu bergesekan dengan lantai terdengar di luar kamarnya, Tias berfikir itu adalah orang tuanya yang sedang membersihkan ruangan yang berada di depan kamarnya itu, karena memang ruangan itu belum dibersihkan karena masih digunakan untuk meletakan barang – barang yang akan ditata di lantai dua ini.


“Bu, udah siap belum, kita mau keluar jam berapa” dengan keadaan masih terpejam Tias berkata.


“......” namun sama sekali tidak ada jawaban dari luar kamarnya.


“Bu, ih jawab lah, aku udah lapar ini” ucap Tias sedikit kesal.


“......” namun kembali lagi pertanyaan yang di ucapkan Tias sama sekali tidak mendapat jawaban dari ibunya.


Karena tidak mendapat jawaban, Tias pun kemudian membuka matanya dan ternyata saat dia membuka matanya kondisi kamarnya sudah sedikit gelap karena adanya awan mendung diluar rumah yang menandakan akan turun hujan, melihat hal itu, Tias kemudian bergegas keluar kamar dan menghampiri suara itu, dan saat sampai diluar kamar, Tias tidak mendapati ibunya berada disana, hanya ada sapu yang bersadar pada tembok dengan bagian sisinya terdapat kotoran yang sudah terkumpul.


“Duk duk duk” suara langkah kaki terengar menuruni anak tangga menuju ke lantai satu, Tias kemudian segera mengejar kearah suara langkah kaki itu sambil bertanya “bu, kapan kita keluarnya ini? keburu hujan lho” namun pertanyaan itu sama sekali tidak dijawab, Tias melihat dari atas lanti dua bahwa ibunya itu turun dan berjalan menuju kearah dapur, karena merasa kesal tidak mendapat jawaban dan dicueki oleh ibunya, Tias kemudian mencoba untuk bertanya pada ayahnya, walaupun dia belum melihat ayahnya berada disana.


“Yah, kapan kita mau keluar buat makan, keburu hujan nih” Tias berkata sambil berjalan turun dan mengikuti ibunya.


Namun hal sama juga terjadi, tidak ada tanggapan atau jawaban dari ayahnya, yang mungkin memang sedang tidak berada disana, karena saat Tias sampai di lantai bawah pun, dia tidak melihat adanya sosok ayahnya disana, yang ada hanya keheningan rumah tanpa adanya aktifitas, namun sosok ibu Tias masih terlihat sedikit berbelok kearah salah satu sudut di ruang dapur, hingga akhirnya dia tidak melihat sosok ibunya lagi, dan karena butuh jawaban diapun mengejar ibunya ke dapur, berharap kalau dia bertanya secara langsung dengan jarak dekat akan langsung direspon.


Setelah Tias berjalan ke arah dapur, kini dia terkejut karena tidak mendapati ada seorangpun yang berada disana, padahal dia jelas jelas melihat kalau ibunya berjalan menuju kearah dapur ini, wajah bingung terlihat jelas pada raut muka Tias, otaknya seakan tidak bisa menerima apa yang baru saja dia liat, hal itu membuatnya berdiri mematung sambil memikirkannya.


Namun tak berselang lama, suara motor terdengar dari depan rumah dan berhenti disana, mendengar saura motor itu, Tias kemudian tersadar dari lamunanya karena memikirkan sosok yang tadi dia lihat, Tias kemudian berjalan menuju ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.


“Ceklek, ceklek” suara kunci pintu dibuka dari luar rumah.


“Assalamu’alaikum, buruan masuk yah, itu jangan lupa makanannya dibawa masuk, cepetan yah, keburu ujan nih, laper juga” ucap ibu Tias meminta suaminya untuk cepat masuk membawa makanan yang baru saja mereka beli.


“Wa’alaikum salam, loh ibu dari mana sama ayah?” tanya Tias keheranan melihat orang tuanya datang dari luar rumah.


“Ini, baru aja beli makanan buat kita makan siang, maaf ya kelamaan, abisnya lumayan antri tadi dipenjual nasi padangnya, kayaknya sih enak soalnya antri” ucap ibu Tias sambil membawa makanan yang baru saja diberikan ayah Tias padanya untuk segera dihidangkan.


“Loh ayah sama ibu udah dari tadi keluar, kok nggak bangunin aku sih?” dengan nada kesal Tias merajuk pada orang tuanya.


“Nggak tega ayah mau bangunin kamu yas, soalnya dari cara tidurmu kayaknya kamu capek banget, jadi ayah putusin buat biarin kamu tidur dan ayah sama ibu beli makanan buat dibungkus” sambil mengelus kepala Tias, ayahnya berlalu melewatinya.


“Jadi dari tadi aku sendirian dirumah?” tanya Tias pad orang tuanya.


“Iya, maaf ya, udah sekarang yang penting kita makan dulu, ini ibu siapun dulu ya di meja makan, eh iya ayah, tolong tutupi jendela balkon lantai dua ya, soalnya mau hujan, takut airnya nanti masuk kerumah” ucap ibu Tias.


Dengan ekspresi bingungnya, Tias hanya bisa terdiam, dia masih memikirkan sosok yang dia lihat tadi saat turun dari lantai dua, karena apa yang dia lihat itu perwujudannya sangat mirip dengan sosok ibunya.


Tidak mau berfikir macam – macam, Tias berusaha bersikap positif dan beranggapan apa yang dia lihat itu tidak benar, mungkin karena efek dari bangun tidur dimana nyawanya belum kembali seutuhnya.


Tias juga tidak menceritakan hal tersebut pada orang tuanya, dia tidak mau dianggap penakut oleh kedua orang tuanya, apalagi rumah ini baru saja akan dia tempati, tidak mungkin karena menganggap hal seperti itu serius membuatnya menjadi takut untuk tinggal disini.


Mencoba untuk melupakan hal yang baru saja dia lihat, Tias kemudian menyusul ibunya kedapur untuk menyiapkan makanan yang sudah dibeli tadi, sambil menyiapkan makanan, Tias terus melihat kesekeliling dapur, walaupun dalam pikirannya ingin melupakan hal tadi, namun bayangan itu terus muncul didalam otaknya, dengan kata lain otaknya masih belum menerima hal yang masih belum bisa masuk kedalam akal, karena Tias merasa setelah dia bangun tidur, dia merasa sudah sadar sepenuhnya.


Setelah semua makanan siap untuk disajikan, Tias diminta oleh ibunya untuk memanggil ayahnya turun kebawah supaya mereka bisa makan bersama, beberapa kali Tias mencoba memanggil dari arah tangga menuju lantai dua, ayahnya hanya menjawab sebentar, mungkin ayah Tias sambil mengecek barang – barang yang berada di lantai dua.


Karena terlalu lama, Tiaspun kemudian menyusul ke lantai dua dimana ayahnya berada, dan sesampainya di sana, ternyata ayahnya sedang asik melihat atau mengecek isi dari kotak yang belum dibuka, memastikan kalau semua barang sudah berada disini, jadi tidak perlu untuk kembali lagi ke kontrakan lama karena ada yang tertinggal.


“Ih ayah nih, udah ayo turun dulu, aku udah lapar lho, malah asik ngecek barang, kan bisa nanti” dengan sedikit kesal Tias meraih tangan ayahnya untuk segera turun kebawah.


“hehe iya, iya, ayo kita turun, ini ayah nyalain lampu sekalian, kayaknya mau ujan besar soalnya makanya gelap banget” ucap ayahnya sambil meraih saklar lampu dan menyalakannya.


Setelah itupun Tias turun bersama ayahnya menuju kearah meja makan, disana ibu Tias sudah menunggu sambil menonton TV yang kebetulan televisi masih bisa terlihat dari meja makan, Tias dan ayahnya pun kemudian duduk dikursi meja makan dan langsung menyantab makanan yang sudah tersaji.


Obrolan meja makan tak pernah mereka lewatkan, suasana keakraban mereka menandakan keluarga yang sangat harmonis, suasana hangat sangat nampak pada keluarga Tias ini, namun saat sedang asiknya ngobrol sambil menyantab makanan yang sudah dibeli tadi, hujan deraspun akhirnya turun, langit gelap sudah tidak bisa membendung volume air yang ditampungnya.


Suara gemricik air hujan beradu dengan genteng rumah terdengar sangat keras, angin berhembus dengan cukup kencang terlihat dari jendela yang menampakan dedaunan bergoyang dengan cepat karena tertiup angin.


Karena curah hujan yang cukup besar, ditambah petir mulai bergelegar di langit, TV yang tadinya menyala, terpaksa harus dimatikan karena takutnya TV itu akan tersambar petir, dan benar saja tak berselang lama setelah TV itu dimatikan oleh ibu Tias, “DIIIAARRR” suara petir menggelegar seolah tepat berada diatas rumah mereka, listrikpun padam, membuat rumah menjadi sedikit gelap karena masih ada cahaya yang masuk dari jendela.


Karena lampu padam, ibu Tias langsung berinisiatif mencari lilin untuk menerangi meja makan, soalnya tidak nyaman apabila makan namun dalam kondisi minim cahaya, disaat bersamaan dari arah lantai dua, tiba – tiba .....
Diubah oleh afryan015 12-03-2024 13:55
imron444
delet3
scorpiou
scorpiou dan 28 lainnya memberi reputasi
29
6.7K
307
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Tampilkan semua post
afryan015Avatar border
TS
afryan015
#67
Bab 18

Setelah pak Harjo menyanggupi untuk menerawang calon dari sosok tersebut, masih dengan tubuh Tias, dia yang masih dalam keadaan duduk kemudian berdiri sambil meraih tanganku dengan lembut, hal itu jelas memancing amarah Shinta yang begitu protective padaku, tampang marah Shinta langsung mucul diwajahnya yang juga memerah, tangan yang mengepal seolah siap untuk memukul sosok itu yang masih berada di tubuh Tias.
“Dasar makhluk olo, ngopo kowe nyekel tangane Ryan?” dengan nada marah Shinta memegang pergelangan tangan Tias dengan sangat kencang, yang membuat sosok itu merasakan kesakitan.
(Dasar makhluk rendahan, kenapa kamu memegangi tangan Ryan?
“Wes Ta, ra popo ben e sek, ojo gampang emosinan” ucapku meminta Shinta untuk sabar.
(Sudah Ta, tidak apa apa, biarkan dulu, jangan mudah emosi)
Entah Shinta begitu karena cemburu atau memang ingin melindungi, Tapi ya begitulah Shinta setiap perempuan yang sekiranya memang tidak baik untukku atau yang menyipan rasa padaku, pasti respon Shinta seperti itu, dan aku pastikan untuk kali ini dia cemburu karena sosok yang memegangiku menggunakan tubuh seorang gadis, dan disisi lain dia juga memproteksi diriku karena sosok sebenarnya yang berada di tubuh Tias masih belum bisa di percaya sepenuhnya.
Sambil menggandeng tanganku, dia berkata lirih dan menyebutkan bahwa namanya adalah Murni, dia berkata akan menunjukan sosok yang dia sebut adalah calon suaminya, dan dia akan memperlihatkan padaku bagaimana dia berpisah dengan calon suaminya itu, padahal beberapa hari yang akan datang dia sebenarnya akan melaksanakan pernikahan.
Murni yang berada di tubuh Tias menariku untuk pindah ke Gazebo untuk memperlihatkan hal hal itu padaku, dan sesampainya di Gazebo, Murni melepaskan tanganku dan langsung mengambil posisi duduk bersilah membelakangi ku sambil menutup mata, dia juga kemudian memintaku untuk ikut duduk bersilah dibelakangnya, dengan kedua tanganku ditempelkan pada punggung Tias, dan diminta untuk menutup mata juga, hal itu dia minta untuk memperlihatkanku suatu hal.
Setelah melakukan apa yang diminta oleh Murni, aku paham apa yang akan dia lakukan, aku mulai memfokuskan pikiranku dengan dibantu oleh Shinta untuk mempercepat, dan tidak perlu waktu lama, saat aku terpejam, setitik cahaya terlihat sangat kecil, dan tiba tiba melesan menuju kearahku hingga pada akhirnya….
“Wes le, jajal buka mata mu” suara Murni terdengar cukup jelas disampingku.
(Sudah, coba buka matamu)
Perlahan aku membuka mataku karena masih merasa silau dengan cahaya yang tiba tiba melesat kearahku tadi, dan saat aku mulai perlahan membuka mataku, aku diperlihatkan pada sebuah bangunan rumah yang dindingnya masih terbuat dari kayu dan juga anyaman bambu, rumah itu memiliki halaman yang masih campur dengan jalan desa yang terbuat dari tanah, jarak antara rumah itu dengan rumah tetangganya berjarak satu rumah, atau tidak berdepetan dengan rumah lain, dan saat aku melihat kesekeliling, rumah disekitar sana juga masih menggunakan bahan yang sama terbuat dari kayu dan anyaman, hanya beberapa yang terbuat dari kayu dan beton, ayam peliharaanpun masih banyak berkeliaran disekitar sana.
Suasana alam yang asri sangat dirasakan dalam pandangan itu, jarak antar rumah yang belum berdekatan, suara hewan yang masih banyak terdengar, terlihat juga beberapa orang yang masih berjalan tanpa beralas kaki sambil membawa rumput yang mereka kumpulkan disebuah karung lalu dibawanya dengan cara menyunggi di atas kepala mereka, sifat ramah antar tetangga masih begitu kental dirasakan, terbukti masih banyak orang yang berinteraksi disana.
Sepertinya aku dibawa kesebuah desa disekitaran tahun tujuh puluhan, dan dipastikan juga desa ini sangat jauh dari kotanya, karena penduduk disini begitu terlihat sederhana dan terlihat juga profesi utama didesa ini adalah petani.
Namun saat aku melihat kearah kiri ku, aku dikejutkan oleh seorang wanita dengan paras cantik dengan rambut sepundak mengenakan pakaian berwarna merah mudah berlengan pendek dan bergelembung, ditambah dengan rok putih sebetis yang membuatnya begitu terlihat anggun, sosok itu sedang menatap kearah rumah tua yang berada didepan kita, rumah yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu dihiasi beberapa tumbuhan dan bunga, aku yang melihat tumbuhan yang berada di halaman rumah itu ikut bernostalgia, karena bunga sepatu dan bunga matahari mini sangat identik dengan masa masa saat aku kecil.
“Apik yo hawane nengkene, ayem rasane” ucap wanita cantik itu disampingku.
(Bagus ya suasananya disini, nyaman rasanya)
“Nggih mbak Sae engast teng mriki hawane, tapi ngapunten mbak, mbak niki Murni?” tanyaku menebak
(Iya mbak, bagus banget disini suasanya, tapi maaf mbak, mbak ini Murni?)
“…..” wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa memang dia adalah Murni.
“Nanging opo koe ngerti, neng tempat ayem koyo ngene iki, jebule ono wong seng sek rupane apik, nanging atine luweh bosok ketimbang bathang kewan” ucap Murni yang seketika setelah mengucapkan itu langsung merubah ekspresinya seolah sangat marah.
(Tapi apa kamu tahu, di tempat nyam seperti ini, ternyata ada orang yang wajahnya baik, tapi hatinya lebih busuk dari pada bangkai hewan)
“La Sinten niku mbak, nopo mergo niku mbak Murni dados kados niki?” tanyaku pada Murni.
(Memang siapa itu mbak, apa karena itu mbak Murni jadi seperti ini?)
“….” Untuk pertanyaan itu Murni sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, dia malah hanya berdiam diri sambil terus menatap kearah rumahnya ini, wajahnya yang terdiam perlahan dari matanya terlihat linangan air mata, suara tangis kecil terdengar walau ekpresi Murni tidak menunjukan sedang menangis.
Aku belum mau menanyainya lagi untuk lebih dalam, aku membiarkan dia untuk sejenak sembari aku melihat kesekeliling rumah itu, dan ternyata aku juga baru menyadari bahwa Shinta berada disitu juga, dan karena melihat dan terbawa suasana masalalu, tanpa sadar aku meraih Shinta dan menggenggam tangannya sambil berbisik padanya.
“Ta, aku kangen bapak karo ibu” ucapku lirih sambil memegangi tangannya.
Shinta hanya membalas dengan memegang tanganku dengan kencang sebagai tanda dia paham dengan apa yang sedang aku rasakan sekarang.
Setelah beberapa saat, terdengar ada seorang mengendari sebuah sepeda kumbang berjalan menuju kerumah tua itu, pemuda gagah dengan tinggi proposional itu kemudian berhenti tepat dirumah sederhana milik Murni.
Kami hanya mengamati kedatangan lelaki itu untuk melihat apa yang nantinya akan terjadi, dan saat kedatangan sosok lelaki itu, aku melihat ekspresi Murni langsung berubah tersenyum, seolah dia adalah orang yang memiliki arti didalam hatinya.
Pemuda itu turun dari sepedanya dan kemudian berjalan menuju pintu rumah sederhana itu dan mengetuknya sambil mengucapkan salam dan menunggu respon dari orang yang berada didalam rumah itu.
Suara grendel pintu terdengar yang tandanya pintu itu akan dibuka, setelah itu keluarlah seorang lelaki paruh baya mengenakan pakaian komprang yang sudah lusuh, senyum ramah dari dari lelaki paruh baya itu menyambut lelaki yang akan bertamu.
“Ngapunten pak, Murni enten?” tanya ramah lelaki itu.
(Maaf pak, Murni ada?)
“Oalah Den Mana, wonten kok den, monggo pinarak melbet, mriki den, ngapunten panggonane mboten resik, wontene kados niki” ucap lelaki paruh baya itu mempersilahkan pemuda bernama Mana itu untuk masuk.
(Oalah Den Mana, ada kok den, silahkan masuk, sini den, maaf tempatnya tidak bersih, adanya seperti ini)
“Alah mboten nopo – nopo pak, kulo ngentosi mriki mawon, mung ajeng ketepang sekedap mawon, tak tenggo mriki mawon pak” ucap Pemuda bernama Mana menuju kursi yang terbuat dari bambu didepan rumah sederhana itu.
(Alah nggak papa pak, saya nunggu disini saja, hanya mau bertemu sebentar saja, saya tunggu disini saja pak)
“Melbet mawon den, bilih tesih dangu, amergo Murni tasih Siram” ucap lelaki paruh baya yang pastinya itu adalah ayah dari Murni.
(Masuk saja den, takutnya masih lama, karena Murni lagi mandi)
Murni juga saat melihat sosok ayahnya itu sempat terengar lirih oleh telingaku kalau dia menyebut kata “bapak” dari nadanya dia sangat rindu pada ayahnya itu.
Saat lelaki yang bernama Mana itu duduk dan menunggu, terlihat ayah Murni kemudian masuk dan meminta pada istrinya untuk membuatkan minuman untuk Mana, dan disaat itu lah aku mulai bertanya pada sosok Murni yang berdiri sampingku itu, aku menanyakan siapakah pemuda bernama Mana itu, awalnya Murni masih tetap berdiam diri dan terus fokus menatap tajam kearah pemuda itu seolah dia sangat rindu padanya, dan karena aku belum mendapatkan jawaban atas pertanyaanku, aku kembali lagi menanyakan hal yang sama, dan dia mengatakan bahwa sosok pemuda bernama Mana itu adalah kekasihnya dan namanya lengkapnya adalah Resmana, jarak umur antara dia dan Resmana selisih sepuluh tahun, dan Alasan Murni suka pada sosok Resmana adalah karena Resmana adalah sosok lelaki yang berbeda dengan sosok lelaki lain didesanya yang suka menggodanya, dan alasan Resmana mencintai Murni dilain karena prilaku Murni yang juga sopan dan anggun, Murni ini juga adalah kembang Desa saat itu.
Aku mulai menyadari, itu adalah sosok lelaki yang nantinya harus aku bantu untuk Murni bertemu dengan nya.
Seolah film yang dipercepat, tiba tiba semua gerakan yang kami lihat terlihat seperti itu, dan kembali normal saat sosok Murni dari dalam rumah mulai keluar untuk menemui pemuda bernama Resmana itu, mereka berdua kemudian saling berbincang, hingga pada akhirnya Resmana memberikan sebuah benda yang dibungkus dengan kain berwarana coklat.
Murni yang diberikan terlihat sangat senang saat menerima bungkusan itu, Resmana juga terlihat begitu senang melihat reaksi dan ekspresi dari Murni, dan dibukalah bungkusan itu, yang ternyata berisi satu stell pakaian yang kini dipakai oleh Murni yang berdiri disampingku ini.
Terlihat Murni yang berada disampingku ini entah kenapa langsung mebalikan badanya membelakangi reka adegan yang sedang dia tunjukan padaku, saat aku bertanya dia kenapa bertingkah seperti itu, dia hanya menjawab untuk terus memperhatikan reka adegan tersebut.
Akupun menuruti apa maunya, setelah Murni membuka bungkusan itu dia begitu sangat senang namun kesenangan itu tidak bertahan lama, pasalnya setelah beberapa menit kemudian datanglah seorang lelaki yang bisa dibilang seumuran dengan ayah dari Murni, hanya saja dia berpakaian sangatlah rapi, dia juga mengendarai sebuah sepeda kumbang, namun saat datang wajahnya terlihat tidak ramah.
Lelaki paruh baya yang datang membawa sepeda kumbang itu begitu turun dari sepeda, tepat dihadapan Resmana dan Murni yang duduk didepan rumah Murni, langsung menyeret Resmana dan langsung meminta Resmana untuk segera pulang, Resmana juga di omeli habis habisan oleh lelaki itu, dia mengatakan sudah berkali kali untuk tidak menjalin hubungan dengan Murni.
Resmana ini merupakan anak dari orang yang bisa dibilang berada, kalau dibandingkan dengan keluarga Murni, ibarat Bumi dan Langit sangat jauh, sedangkan ayah Murni merupakan salah satu pekerja dari ayah Resmana, ayah Murni bekerja sebagai petani bayaran yang diminta untuk mengolah sawah milik ayah Resmana.
Karena merasa ada keributan diluar rumah, ayah Murnipun akhirnya keluar dan dia begitu terkejut dengan kedatangan juragannya didepan rumah.
“Ya Allah enten nopo niki Ndoro?” ucap ayah Murni setelah mengetahui juragannya ada didepan rumahnya
(Ya ALlah ada apa ini Tuan)
“Koe, wes tak kandani bola bali, jogonen anakmu ben ra cedak cedak karo anaku, opo kurang akeh aku mbayar upahmu, terus koe ngekon anakmu nyedaki anaku?” ucap juragan ayah Tias penuh amarah.
(Kamu, udah aku katakan berkali kali, jaga anakmu supaya tidak dekat dengan anaku, apa masih kurang banyak bayaranmu, terus kamu menyuruh anakmu untuk mendekati anaku)
“Ampun juragan, mboten, kulo mboten enten niatan kados niku” dengan tertunduk ayah Murni menjawab, dan ditariknya tangan Murni untuk mundur.
(Ampun juragan, tidak, saya tidak ada niatan seperti itu)
“Wes, saiki bubar, Koe, sakiki muleh, ndang!!, Wedokan sek luweh ayu iseh akeh, golek sek sak perantaran karo dewe, ojo karo sek koyo ngono!!” sambil menghardik, ayah Resmana menyeret anaknya untuk ikut pulang.
(Sudah, sekarang bubar, kamu, sekarang pulang, cepat!! Perempuan yang lebuh cantik masih banyak, cari yang sederajad sama kita, jangan sama yang seperti itu!!)
Singkat cerita Resmana dan ayahnya pun akhirnya pulang meninggalkan Murni dan keluarganya, terlihat wajah sedih pada Resmana dan Murni, namun pada malam harinya Resmana tetap saja mencari cara untuk keluar rumah dan bertemu dengan Murni, al hasil berhasilah usahanya untuk bertemu pada malam harinya, Resmana kembali bertemu dengan Murni disebuah pertigaan jalan kampung yang hanya ada satu lampu jalan dimasa itu, namun sialnya, mereka di pergoki oleh preman yang merupakan peliharaan dari ayah Resmana.
Preman itu memang mendapat perintah untuk selalu berpatroli disekitar desa, karena memang kebanyakan tanah dan sawah disana merupakan hak milik dari ayah Resmana, dan preman itu juga mengetahui bahwa Resmana tidak boleh berhubungan dengan Murni.
Resmana yang mengetahui hal itu langsung kabur dan meminta Murni untuk segera lari untuk pulang, Preman itu tidak mengejar Murni melainkan mengejar Resmana dengan tujuan untuk diserahkan kembali pada ayahnya dan berhasil, setelah Resmana kembali dirumah, dia dihajar habis habisan oleh ayahnya, dan disaat itu juga ayah Resmana mengatakan padanya bahwa itu adalah terakhir Resmana dapat melihat Murni.
Aku sempat bingung dengan apa yang dikatakan ayah Resmana itu, apakah maksunya terakhir kali itu adalah Resmana akan dikirim keluar kota, atau dia akan dikurung, belum ada fikiran negatif saat melihat kejadian itu.
Adegan kembali terlihat seperti dipercepat lagi, kali ini dilihatkan bahwa Murni berhasil pulang dengan nafas yang terengah engah karena berlari, dan sesampainya didalam rumah Murni langsung menuju kamarnya untuk menenangkan diri, orang tua Murni ternyata sudah terlelap dalam tidurnya.
Dari luar rumah, aku melihat adanya sebuah cahaya merah yang memancarkan energi negatif melesat begitu cepat merangsak masuk menembus atap rumah Murni, dan setelah itu terdengar suara teriakan yang begitu melengking dari dalam rumah Murni itu.
Tak berselang lama, Murni keluar dari rumah itu namun aku melihat ada sesuatu yang aneh, aura yang terpancar dari nya sama persis dengan aura yang dipancarkan oleh cahaya merah tadi, Murni keluar dengan pakaian yang diberikan Resmana tadi, dia berjalan entah kemana yang jelas dia menuju ke sebuah kebun milik.
Singkat cerita Murni berhenti di tengah – tengah sebuah kebun jagung, dan ternyata disana telah menunggu....
merlianarian457
bebyzha
delet3
delet3 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.