“Kalau perlu? Kalau lo perlu sesuatu itu, dan lo perlu memilikinya? Gimana?” Tanya gua.

“...”

“... Jadi terpaksa memilikinya kan?” Gua menambahkan. Sementara, Tata hanya terdiam sambil menatap gua.

Selesai memasak mie instan, gua mengajaknya kembali ke ruang tamu. Gua meletakkan mangkuk berisi mie instan panas di atas meja, lalu memberi kode agar ia makan.

“Masih panas, Sal” Gumamnya pelan.

Gua menunduk, mengambil lembaran kertas dari kolong meja dan mulai mengipas tepat di atas mangkuk untuk menghilangkan uap panas dari mangkuk mie instan.

“Udah tuh” Ucap gua.

Tata tersenyum sebentar kemudian mulai makan

“Besok-besok jangan gitu lagi, Ta” Gua kembali bicara, merujuk ke tindakannya hari ini; sengaja menunda makan padahal nggak ada kendala apapun.

“Gitu gimana?” Tata malah balik bertanya, masih sambil terus makan.

“Ya kayak tadi. Ngapain duduk diem disana seharian” Jawab gua.

Tata lalu merespon dengan mengangkat kedua bahunya ke atas, seakan nggak ingin memberi janji nggak akan mengulangi sikapnya hari ini.

Selesai Tata makan, kami berbincang, mulai ngobrol dari hati ke hati.

“Sal..”

“Ya…”

“Ilmu Ikhlas itu belajarnya dimana ya?” Tiba-tiba, Tata mengajukan pertanyaan yang sangat nggak umum.

“Hahaha, nggak tau…” Jawab gua yang nggak siap dengan pertanyaan model begitu.

“...”

“... Kenapa emangnya? Kok tau-tau mau belajar ilmu ikhlas?”

“Gapapa, biar hati lega aja gitu”

“Emang apa sih yang mau lo ikhlasin?” Tanya gua sambil menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara.

“Kamu” Jawab Tata seraya menatap gua.

“Lo pikir gampang?” Tanya gua lagi, yang lalu direspon olehnya dengan gelengan kepala.

“...”

“... Kalo gampang, mungkin gua udah mengikhlaskan lo sejak dulu, Ta” Gua menambahkan.

Selama ini, sejak kasus di gudang olahraga, entah sudah ratusan cara gua coba untuk merelakannya dan nggak pernah berhasil. Bahkan hingga saat ini, sekarang ini, masih ada rasa sakit di hati saat melihatnya bersama dengan orang lain. Masih ada rasa cemburu yang membakar hati.

Tapi meninggalkan seseorang bukan berarti harus merelakannya. Meninggalkan Tata, bukan berarti gua bisa dengan mudahnya mengikhlaskan hati terhadapnya. Walau harus berpisah dengannya, tapi gua mau bisa selalu tau kabarnya, kondisinya dan semua tentangnya. Kalau ada yang bilang gua egois; Biar saja, gua nggak peduli!

Tata mematikan rokok, dengan menekan puntungnya pada asbak di atas meja, kemudian berdiri seperti tengah bersiap untuk pergi. Gua dengan cepat mencegah dengan meraih tangannya; “Mau kemana?”.

“Pulang” Jawab Tata.

“Nanti aja” Balas gua, nggak mau ia pulang sendirian. Nanti, setelah Ketu pulang, rencananya gua sendiri yang akan mengantarnya sampai ke rumah.
Mendengar permintaan dari gua, Tata kembali duduk dan menyandarkan tubuh pada sofa. Tapi, nggak ada lagi pembicaraan antara kami berdua; hanya duduk dalam diam.

Nggak lama berselang, terdengar suara pagar terbuka, disusul Ketu masuk ke dalam area teras dengan mengendarai sepeda motor. Sementara, Nina terlihat turun dari boncengan sepeda motor. Gua berdiri dan mengajak Tata; “Yuk”.

Gua bersiap di atas motor, mulai menyalakan mesin dan menyodorkan helm ke arah Tata. Penuh keraguan, seakan ia nggak percaya dengan gua yang bisa naik motor, Tata meraih helm yang gua berikan, memakainya dan mulai naik, duduk di boncengan sepeda motor.

Ditengah perjalanan pulang, saat kondisi jalan cukup lengang dan laju sepeda motor nggak terlalu kencang karena berada di kawasan pemukiman, Tata bicara; “Sal,Kamu udah kenal sama keluarganya Poppy?”.

“Udah” Jawab gua singkat.

“Oh..”

“Kenapa?” Gua balik bertanya.

“Gapapa… Kalo bokap nyokap lo? Poppy juga udah kenal?”

“Udah…” Jawab gua lagi.

“Oh..”

“Katanya mau belajar ilmu ikhlas, tapi masih nanya-nanya kayak gitu?” Tanya gua.

“Iya, namanya juga penasaran” Tata memberi jawaban dengan nada kecewa lalu mulai memukuli gua berkali-kali.

Setelahnya, di sisa perjalanan, kami hanya terdiam. Sesekali, terlihat dari kaca spion Tata membentangkan kedua tangan, mencoba merasakan hembusan angin malam yang dingin.

Setibanya di depan rumah, Tata nggak langsung turun dari boncengan. Ia hanya terdiam duduk tepat di belakang.

“Sal..” Panggilnya.

“Ya…”.

“Pulangnya hati-hati ya” Ucapnya, seraya turun dari boncengan sepeda motor, melepas helm dan menyerahkannya ke gua.

“Iya…” Jawab gua singkat.

“Sal..” Panggilnya lagi.

“Ya…”

“Doakan aku ya”.

“Hah, kenapa?” Tanya gua, penasaran.

“Gapapa… Doain aja supaya aku bisa dengan cepat mengikhlaskan kamu…” Balasnya.

“Iya…” Gua menjawab, sambil tersenyum dan mengangguk.

“Terus…” Tata berhenti bicara, seakan tercekat nggak mampu melanjutkan kalimat.

“...”

“...Jangan terluka lagi ya, Sal…” Tambahnya.

Setelah selesai bicara, ia dengan cepat berbalik dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan gua sendiri yang bahkan belum sempat meresponnya.
—

Setibanya di rumah, sekembalinya gua mengantar Tata, gua langsung mencoba menghubungi Poppy, karena belum ada kabar juga darinya sejak pulang dari sini. Nggak ada nada sambung yang terdengar, hanya suara datar milik operator yang memberitahu kalau nomor sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Khawatir, gua lantas menghubungi nyokap dan menanyakan tentang keberadaan Poppy.

“Udah dari tadi kok, Sal. Mamah drop dia di dekat gang rumahnya kok” Jawab nyokap saat gua tanya perihal Poppy. Mendapat jawaban dari nyokap membuat kekhawatiran gua sedikit mereda. ‘Ah, mungkin saja ia sudah tertidur akibat kelelahan’ Batin gua dalam hati.

Gua lantas mengetik sebuah pesan dan mengirimkannya ke nomor Poppy, seandainya ia nanti bangun, ia bisa langsung tau kalau gua mencarinya; ‘Lo udah sampe rumah Pop? Kok tumben nggak ngabarin?’

Kemudian duduk di kursi di lantai dua dan mulai bersiap untuk kembali bekerja.
Gua menatap ke arah layar ponsel yang menampilkan jam 3 dini hari, sementara masih belum ada balasan dari Poppy. Tiba-tiba, layar ponsel berubah, menampilkan nama Tata di layarnya dan mulai berdering.

‘Jam segini?’ batin gua dalam hati, lalu menjawab panggilannya.

“Halo..” Sapa gua.

“Halo, Sal…” Sapa Tata di ujung sana.

“Kenapa, Ta? Lo gapapa kan?” Tanya gua.

“Gapapa kok… Kamu lagi ngapain, Sal?” Ia balik bertanya.

“Masih Kerja”

“Jam segini?”

“Iya… Nah, lo sendiri ngapain jam segini belum tidur?” Tanya gua.

“Belum ngantuk” Jawabnya singkat.

“...”

“... Oiya, Sal…”

“...”

“... Kalo aku mau pergi gapapa kan?” Tanyanya, seakan meminta izin ke gua.
“Hah?! Kenapa harus izin ke gua?” Gua balik bertanya.

“Karena kali ini kayaknya aku bakal pergi jauh…”

“...”

“...dan lama”

“Tapi balik lagi kan?” Tanya gua, mencoba memastikan.

“...” Tata nggak menjawab, hanya terdiam.

“... Tapi, balik lagi kan?” Tanya gua lagi.

“Nggak kayaknya…” Jawab Tata.

“Jangan…”

“Gimana aku bisa ikhlasin kamu kalo nggak pergi, Sal?” Tata balik bertanya.

“Yaudah, jangan ikhlasin gua. Jangan!” Jawab gua.
—