- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1363
Part 56 - Jangan Pergi
Spoiler for Part 56 - Jangan Pergi:
Nggak mau terlihat kucel dan seperti baru bangun, karena sudah jam 10. Gua lantas bergegas ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan gosok gigi.
Tapi, saat baru saja gua keluar dari kamar, Poppy sudah terlihat berdiri di anak tangga paling atas. Di Belakangnya terlihat bayangan dua orang yang tengah menaiki anak tangga.
‘Mampus!’ gua membatin dalam hati.
Namun, yang gua lihat bukannya orang tua Poppy seperti yang Ketu sebelumnya katakan. Melainkan nyokap dan Bokap gua sendiri.
“Mah” Gua menyapa nyokap yang baru muncul, disusul bokap dibelakangnya.
“Baru bangun?” Tanya nyokap yang lalu mendekat ke gua dan memberikan kecupan. Sementara bokap hanya terus berlalu ke arah ujung ruangan, ke tempat meja kerja gua berada. Ia berdiri, menatap sekeliling sambil berkacak pinggang.
Nyokap ikut menyusul ke arah Bokap dan bertanya; “Mana kamar mu, Sal?”
Gua membatalkan rencana ke kamar mandi dan kembali untuk membuka pintu kamar. Begitu pintu terbuka, Nyokap dan Bokap langsung masuk ke dalam kamar, layaknya komandan tentara tengah melakukan inspeksi di barak anggotanya. Enggan kena protes perkara perabotan, tata letak dan hal sepele lainnya, gua bergegas keluar dan melanjutkan rencana sebelumnya; ke kamar mandi.
Sambil berjalan gua berbisik ke arah Poppy yang masih berdiri di ujung tangga; “Gua mandi dulu dah”
“Jangan lama-lama” Balas Poppy, lalu terlihat menyusul ke arah kamar gua.
Entah percakapan apa yang terjadi diantara mereka bertiga di sana.
Begitu gua selesai mandi, mereka bertiga sudah nggak lagi berada di dalam kamar, melainkan di luar, berdiri dekat dengan meja kerja gua yang langsung menghadap ke arah jendela. Sementara, Poppy berdiri, bersandar pada dinding tepat di sebelah pintu kamar.
Terlihat bokap dan nyokap bergantian memeriksa lembaran-lembaran kertas yang tergeletak di atas meja sambil sesekali menyunggingkan senyum. Melihat hal tersebut, tentu bikin hati gua sumringah, senyum yang akhirnya muncul setelah sekian lama mereka nggak pernah menggubris semua pencapaian gua selama ini.
Selepas berganti pakaian, gua masih mendapati mereka berdua berdiri menatap lembaran gambar gua di atas meja. Gua beralih ke Poppy, mengernyitkan dahi; “Nggak diajak turun?” Bisik gua, yang lalu direspon oleh Poppy dengan mengangkat kedua bahunya.
“Di bawah aja Mah, Pah, disini nggak ada tempat duduk” ucap gua, merasa di sini, di lantai dua kurang nyaman untuk mereka, karena nggak ada tempat untuk duduk. Kalau memang mau duduk ya harus duduk di lantai.
Bokap dan nyokap setuju, kami lalu turun ke lantai bawah, lalu sama-sama duduk di sofa ruang tamu. Sementara, mereka duduk bersantai, gua berinisiatif untuk membuat minuman. ‘Masa iya, ada tamu nggak disuguhin minum, apalagi ini tamunya bukan tamu sembarangan, bokap dan nyokap sendiri’ Batin gua dalam hati.
Di saat seperti ini, gua cukup senang dengan pola pikir Ketu yang seakan sudah menyiapkan segalanya. Teh, gula, dan perkakas dapur lain seperti panci, wajan hingga dispenser. Bahkan saat ini kami punya lebih dari setengah lusin gelas dan piring, yang mana sebelumnya, kami hanya punya satu piring plastik yang dipakai bergantian.
Gua berdiri, menatap ke arah air yang mulai meletup, menimbulkan gelembung-gelembung di permukaan; mendidih. Lalu terdengar langkah kaki mendekat ke arah dapur, Poppy.
“Ngapain?” Tanyanya, sambil terus mendekat.
“Bikin Teh” Gua memberi jawaban.
“Udah nggak usah, kata bokap lo nanti pesen aja” Balasnya seraya menggoyangkan tangannya dan bersiap menarik gua ke depan, ke arah ruang tamu.
“Lah tanggung ini…” Bantah gua sambil menunjuk ke arah air yang sudah mendidih.
Poppy mematikan kompor dengan memutar knopnya dan menatap gua lalu bicara; “Udah jangan bawel deh, Sal” Sambil mencoba menarik gua ke ruang tamu.
Di ruang tamu terlihat Ketu sudah berdiri sambil bersandar pada dinding, menatap ke arah nyokap dan bokap gua sambil pasang tampang tersenyum. Sepertinya ia baru saja kembali dari mengantar pulang Nina.
Menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan dengan Ketu, gua lantas mencoba memperkenalkannya; “Mah, Pah, kenalin ini Ketu…” ujar Marshall.
Begitu mendengar ucapan gua, ekspresi wajah Ketu langsung berubah.
Terlihat perubahan ekspresi di wajah Ketu begitu mendengar Marshall memanggil mereka dengan sebutan “Mah” dan “Pah”. Lalu berpaling dan bicara dengan suara yang amat lirih, bahkan nyaris tak terdengar; “Nyokap Bokap kamu?” yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
Mengetahui hal tersebut, ia lalu dengan cepat membungkuk, menyalami nyokap dan bokap gua kemudian mulai menyebutkan nama asli dan aliasnya.
Sementara nyokap, bokap dan Poppy duduk di atas sofa, gua dan Ketu duduk di lantai, dekat dengan pintu yang sengaja dibiarkan terbuka agar bisa merokok tanpa mengganggu mereka. Nyokap terlihat sibuk menatap layar ponselnya, memesan aneka makanan dan minuman. Setelahnya, kami sibuk berbincang, ngobrol, saling bertukar cerita dan bercanda bersama.
“Sal, kamu bener mau tinggal disini aja? Nggak mau pulang ke rumah?” Tiba-tiba, nyokap mengajukan pertanyaan ke gua di sela-sela obrolan.
Bukannya gua nggak mau, tapi gua hanya masih merasa belum siap untuk kembali. Masih ada perasaan segan dan malu yang merayap di dalam hati. Tapi, seandainya pun hati ini sudah siap dan tak ada kendala lain, gua juga berpikir dua kali untuk kembali tinggal di rumah nyokap, karena merasa gua sudah cukup terbiasa dengan tinggal sendirian.
Gua tersenyum sebentar kemudian menggeleng.
“… kan kamar kamu juga kosong, Sal” tambah nyokap, berusaha meyakinkan gua.
Mendengar hal tersebut, bokap lalu angkat bicara; “Udah, Mah. Gapapa biarin aja Marshall di sini. Biar sekalian belajar mandiri…”
Tanpa aba-aba, Ketu lalu merespon ucapan bokap; “Ah kalo urusan Mandiri sih Marshall udah nggak usah belajar lagi om, wis lihai dia”
Sontak, bokap dan nyokapnya langsung saling pandang begitu mendengar perkataan Ketu barusan.
“Ya kalau mau tinggal sendiri, carilah rumah yang lebih besar, lebih bagus” tambah Bokap.
Lagi, Ketu kembali merespon ucapan dari bokapnya; “Wah, ini sih mendingan Om. Kontrakan kita sebelumnya malah luwih cuilik dari iki. Cuma tiga petak” Ujar Ketu sambil terus mengunyah makanan.
Seakan nggak mau kalah, Poppy ikut nimbrung; ikut menambahkan informasi dari Ketu; “Apalagi pas masih di slipi. Kost-an Marshall ada di lantai tiga, cuma satu petak dan nggak ada ventilasinya”.
Mendengar informasi dari Ketu dan Poppy barusan, Bokap terlihat cukup kaget. Nggak hanya Bokap, Nyokap malah terlihat lebih shock, ia bahkan sampai memegangi dadanya.
“Bener Sal?” Tanya nyokap ke gua, yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
Begitu melihat respon dari gua, sontak nyokapnya langsung turun dari sofa, mendekat ke gua dan memberikan pelukan. Mendapat perlakuan seperti itu, dipeluk erat oleh nyokap di depan Ketu dan Poppy tentu saja membuat gua salah tingkah. Gua sadar, mungkin saja nyokap merasa menyesal karena mengetahui kalau gua; anak satu-satunya ini pernah tinggal di tempat yang menurutnya nggak layak.
“Makanya ayo ikut Mamah pulang aj, Sal” Ajak nyokap, sambil mulai terisak.
Lagi, gua memberi penolakan dengan menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“… Tapi, kalau Mamah telepon harus langsung kamu jawab ya, Sal” tambahnya.
“Iya, Mah” Gua menjawab singkat.
Nyokap lantas melepas pelukannya, memegang kedua pipi gua dengan tangannya yang hangat dan mulai memberi tatapan. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Maafin Mamah ya, Sal…” Ucapnya pelan.
“Iya, Mah…” Jawab gua singkat, seraya mencoba menyeka air mata yang mulai menetes di pipinya.
“...”
“... Udah, Mamah jangan nangis lagi ya. Aku kan sekarang udah baik-bai aja. Udah punya tempat tinggal yang layak, udah punya kerjaan, dan punya teman yang baik…” Gua menambahkan.
Nyokap lantas mengangguk dan kembali duduk.
Nggak mau suasana jadi kelam, Poppy lantas mengarahkan topik pembicaraan ke hal lain, membuat suasana kembali cair dan kami kembali larut dalam obrolan yang santai. Sementara yang lain terus berbincang, gua yang nggak tahan melihat sampah berserakan, mulai membereskan sisa kemasan makanan, mengumpulkannya ke dalam plastik dan membawanya ke tempat sampah di luar.
Saat baru saja keluar dari pintu, gua sempat melihat sekelebat sosok yang berjalan cepat meninggalkan area depan pagar. Gua buru-buru keluar, menuju ke arah pagar. Terlihat sesosok perempuan tengah berjalan menjauh dari arah rumah gua menuju ke ujung gang. Dari sini, dari tempat gua berdiri, gua dapat mengenali sosok tersebut; Tata.
Sempat terbesit keinginan untuk mengejar, dan menyusulnya, namun sekarang rasanya bukan waktu yang tepat, jadi gua urungkan niat tersebut, kemudian menyelesaikan membuang sampah dan kembali ke dalam.
Di dalam, gua nggak bisa kembali catch-up dengan obrolan, karena kepikiran oleh kehadiran Tata barusan. Membayangkan ia datang kesini, dan mendapati kami ngobrol, berbincang, bercengkrama bersama sambil ketawa-ketiwi.
Sementara, bisa saja saat melihat hal tersebut hatinya teriris pedih.
Poppy, yang sepertinya menyadari perubahan sikap gua lantas mendekat, menggeser duduknya dan bertanya ke gua; “Lo kenapa, bengong aja”.
“Gapapa” Jawab gua singkat.
Seakan nggak langsung percaya dengan jawaban dari gua, Poppy pasang tampang curiga dan terus mengajukan pertanyaan yang sama; “Kenapa? Bengong aja?” yang tentu saja, gua juga terus menjawab dengan jawaban yang sama; “Gapapa”.
Sore, menjelang Magrib, nyokap dan bokap sudah bersiap untuk pulang.
Sebelum pulang, bokap sempat memberi wejangan ke gua yang isinya kira-kira tentang perasaan Nyokap yang masih memendam rasa sesal dan kerinduannya ke gua. Bokap juga menyarankan agar gua lebih sering menghubungi nyokap dan jangan segan untuk berkunjung ke rumah. Gua merespon wejangan dan saran dari bokap dengan anggukan kepala.
Saat semua sudah siap, Nyokap menatap ke arah Poppy; “Ayo Pop…” Ajak nyokap sambil memberikan kode ke Poppy agar ikut serta dengannya.
Poppy terlihat menggelengkan kepalanya, lalu tatapannya ia alihkan ke gua, seakan masih ada yang perlu ia bicarakan dengan gua. Sementara, gua yang masih terus kepikiran dengan keberadaan Tata tentu saja nggak nyaman jika Poppy tetap tinggal di sini.
“Udah sana bareng aja” Gua bicara ke Poppy, mencoba membujuknya agar segera pulang.
Poppy menggeleng; “Orang gua masih mau sama elo”.
“Ya tapi kan abis ini gua juga langsung mau kerja” Balas gua, berbohong. Gua tau, yang gua lakukan ini salah, tapi ini juga demi kebaikan dirinya. Gua nggak mau, ia sakit hatinya saat tau kalau gua mengkhawatirkan Tata.
Mendengar balasan gua barusan, Poppy nampak kesal, ia menghentakkan kaki, meraih tas dan menyusul bokap nyokap ke arah mobil.
Nggak lama berselang, mobil yang mereka bertiga tumpangi lalu pergi dan menghilang ditelan tikungan.
Gua berbalik, memakai sandal dan segera bergegas keluar, menuju ke ujung gang. Entah apa yang gua pikirkan saat ini. Padahal, bisa saja Tata sudah pergi dan pulang kembali ke rumahnya. Namun, di dalam hati ini seperti ada dorongan, ada paksaan agar gua segera bergegas mencari dirinya. Ada sisi hati kecil gua yang mengatakan kalau Tata masih menunggu.
Sementara, Ketu terlihat mengeluarkan sepeda motor dan bersiap untuk pergi; “Mau kemana, Sal?” Tanyanya seraya menyalakan mesin motor.
“Ke depan” Jawab gua, asal.
“Bareng nggak?” Ketu memberikan tawaran tumpangan.
Gua menggeleng dan membiarkannya pergi lebih dulu. Kemudian berjalan ke arah yang sama dengannya, ke depan gang. Gua lalu berbelok ke kanan, masuk ke area deretan ruko; menuju ke salah satu minimarket yang berada di sana.
Dari kejauhan terlihat sosok perempuan tengah dikerubungi oleh beberapa pria yang gua kenali sebagai tukang parkir disana. Setelah melihat lebih dekat, gua cukup yakin kalau perempuan tersebut adalah Tata.
Nggak pikir panjang, gua dengan cepat mendekat, menyeruak para pria di sana. Terlihat Tata tengah menunduk, kedua tangannya ia gunakan untuk menutup telinganya, sementara matanya terpejam. Gua lantas meraih tangan, menggenggamnya dan bersiap mengajaknya pergi dari sana.
Namun, Tata nggak langsung berdiri. Ia membuka matanya dan menatap ke arah gua. Setelah beberapa saat barulah ia ikut berdiri dan segera mengikuti gua. Sementara, para pria yang berada di sana langsung mundur beberapa langkah begitu mengetahui ada orang yang datang untuk perempuan yang mereka ganggu. Percayalah, orang-orang seperti mereka hanya jago menggertak saja, mereka nggak bakal berani melawan.
Sambil terus berjalan, sesekali gua menoleh ke arahnya yang kini masih nampak pucat dengan keringat membasahi hampir seluruh dahinya, hingga ke dagu. Ia lalu balas menatap gua dan tersenyum.
‘Bisa-bisanya dia tersenyum’ Batin gua dalam hati.
Begitu kami berdua sudah berada di luar area ruko, gua melambatkan langkah dan bertanya kepadanya; “Ngapain?”
Tata nggak memberikan jawaban, ia hanya terdiam sambil kembali menundukkan kepalanya. Terlihat tangan kirinya mengepal, seperti tengah menggenggam sesuatu dengan erat. Gua meraih tangannya, dan dengan hati-hati mencoba membuka kepalan tangannya tersebut. Yang ternyata berisi sampah kemasan roti. Gua meraih plastik kemasan tersebut dan membuangnya.
Karena nggak mendapat jawaban darinya, gua kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. “Ngapain?”.
“Nggak ngapa-ngapain” Tata menjawab lirih.
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar jawaban itu darinya. Merasa kalau ‘nggak ngapa-ngapain’ bukanlah sebuah jawaban.
“Nggak ngapa-ngapain tuh bukan jawaban” Gua merespon.
Tanpa meminta persetujuan darinya, gua kembali meraih tangan dan membawanya ke arah rumah.
Sambil terus berjalan, gua kembali mengajukan pertanyaan untuknya; “Dari kapan?” Ingin memastikan kalau ia adalah benar-benar sosok yang gua lihat saat tadi siang membuang sampah.
“Tadi siang” Jawabnya, singkat.
“Tadi siang!?” Gua pura-pura terkejut begitu mendengar jawabannya barusan.
“Iya”
“Udah makan?” Tanya gua. Yang lantas direspon oleh Tata dengan menganggukkan kepalanya.
“...Makan apa?” Tanya gua lagi.
“Roti”
“Roti doang?”
“Sama air mineral” Tambahnya.
Gua tertegun begitu mendengar jawaban darinya. Dengan kondisinya saat ini, ia bisa saja membeli makanan yang layak, mungkin bisa saja ia makan di restoran mewah. Tapi, kenapa nggak ia lakukan?
Setibanya di rumah kontrakan, gua langsung membawanya masuk ke dalam. Memberikan kode kepadanya agar duduk di sofa, sementara gua langsung beranjak ke dapur, mencari makanan yang bisa dikonsumsinya. Namun, nggak ada makanan yang tersisa, hanya cemilan dan snack yang rasa-rasanya nggak bakal bikin kenyang.
Gua lantas berinisiatif menyalakan kompor, bersiap memasak mie instan untuknya.
Saat tengah memasak mie instan, terdengar langkah kaki mendekat, menuju ke dapur; Tata. Ia menatapku sambil tersenyum.
“Makan mie gapapa kan?” Gua mengajukan pertanyaan, takut kalau ia nggak diperbolehkan makan, masakan instan.
Tata menjawab pertanyaan gua dengan anggukan kepala. Dan tentu saja, senyuman manis masih terpasang di wajahnya.
Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding, terus menatap gua yang masih memasak mie instan.
“Aku tau gimana cara agar kita nggak kehilangan sesuatu” Ia tiba-tiba bicara, seraya menatap ke arah langit-langit dapur.
“Gimana?” Tanya gua.
“Jangan memilikinya” Jawabnya singkat.
---
Tapi, saat baru saja gua keluar dari kamar, Poppy sudah terlihat berdiri di anak tangga paling atas. Di Belakangnya terlihat bayangan dua orang yang tengah menaiki anak tangga.
‘Mampus!’ gua membatin dalam hati.
Namun, yang gua lihat bukannya orang tua Poppy seperti yang Ketu sebelumnya katakan. Melainkan nyokap dan Bokap gua sendiri.
“Mah” Gua menyapa nyokap yang baru muncul, disusul bokap dibelakangnya.
“Baru bangun?” Tanya nyokap yang lalu mendekat ke gua dan memberikan kecupan. Sementara bokap hanya terus berlalu ke arah ujung ruangan, ke tempat meja kerja gua berada. Ia berdiri, menatap sekeliling sambil berkacak pinggang.
Nyokap ikut menyusul ke arah Bokap dan bertanya; “Mana kamar mu, Sal?”
Gua membatalkan rencana ke kamar mandi dan kembali untuk membuka pintu kamar. Begitu pintu terbuka, Nyokap dan Bokap langsung masuk ke dalam kamar, layaknya komandan tentara tengah melakukan inspeksi di barak anggotanya. Enggan kena protes perkara perabotan, tata letak dan hal sepele lainnya, gua bergegas keluar dan melanjutkan rencana sebelumnya; ke kamar mandi.
Sambil berjalan gua berbisik ke arah Poppy yang masih berdiri di ujung tangga; “Gua mandi dulu dah”
“Jangan lama-lama” Balas Poppy, lalu terlihat menyusul ke arah kamar gua.
Entah percakapan apa yang terjadi diantara mereka bertiga di sana.
Begitu gua selesai mandi, mereka bertiga sudah nggak lagi berada di dalam kamar, melainkan di luar, berdiri dekat dengan meja kerja gua yang langsung menghadap ke arah jendela. Sementara, Poppy berdiri, bersandar pada dinding tepat di sebelah pintu kamar.
Terlihat bokap dan nyokap bergantian memeriksa lembaran-lembaran kertas yang tergeletak di atas meja sambil sesekali menyunggingkan senyum. Melihat hal tersebut, tentu bikin hati gua sumringah, senyum yang akhirnya muncul setelah sekian lama mereka nggak pernah menggubris semua pencapaian gua selama ini.
Selepas berganti pakaian, gua masih mendapati mereka berdua berdiri menatap lembaran gambar gua di atas meja. Gua beralih ke Poppy, mengernyitkan dahi; “Nggak diajak turun?” Bisik gua, yang lalu direspon oleh Poppy dengan mengangkat kedua bahunya.
“Di bawah aja Mah, Pah, disini nggak ada tempat duduk” ucap gua, merasa di sini, di lantai dua kurang nyaman untuk mereka, karena nggak ada tempat untuk duduk. Kalau memang mau duduk ya harus duduk di lantai.
Bokap dan nyokap setuju, kami lalu turun ke lantai bawah, lalu sama-sama duduk di sofa ruang tamu. Sementara, mereka duduk bersantai, gua berinisiatif untuk membuat minuman. ‘Masa iya, ada tamu nggak disuguhin minum, apalagi ini tamunya bukan tamu sembarangan, bokap dan nyokap sendiri’ Batin gua dalam hati.
Di saat seperti ini, gua cukup senang dengan pola pikir Ketu yang seakan sudah menyiapkan segalanya. Teh, gula, dan perkakas dapur lain seperti panci, wajan hingga dispenser. Bahkan saat ini kami punya lebih dari setengah lusin gelas dan piring, yang mana sebelumnya, kami hanya punya satu piring plastik yang dipakai bergantian.
Gua berdiri, menatap ke arah air yang mulai meletup, menimbulkan gelembung-gelembung di permukaan; mendidih. Lalu terdengar langkah kaki mendekat ke arah dapur, Poppy.
“Ngapain?” Tanyanya, sambil terus mendekat.
“Bikin Teh” Gua memberi jawaban.
“Udah nggak usah, kata bokap lo nanti pesen aja” Balasnya seraya menggoyangkan tangannya dan bersiap menarik gua ke depan, ke arah ruang tamu.
“Lah tanggung ini…” Bantah gua sambil menunjuk ke arah air yang sudah mendidih.
Poppy mematikan kompor dengan memutar knopnya dan menatap gua lalu bicara; “Udah jangan bawel deh, Sal” Sambil mencoba menarik gua ke ruang tamu.
Di ruang tamu terlihat Ketu sudah berdiri sambil bersandar pada dinding, menatap ke arah nyokap dan bokap gua sambil pasang tampang tersenyum. Sepertinya ia baru saja kembali dari mengantar pulang Nina.
Menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan dengan Ketu, gua lantas mencoba memperkenalkannya; “Mah, Pah, kenalin ini Ketu…” ujar Marshall.
Begitu mendengar ucapan gua, ekspresi wajah Ketu langsung berubah.
Terlihat perubahan ekspresi di wajah Ketu begitu mendengar Marshall memanggil mereka dengan sebutan “Mah” dan “Pah”. Lalu berpaling dan bicara dengan suara yang amat lirih, bahkan nyaris tak terdengar; “Nyokap Bokap kamu?” yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
Mengetahui hal tersebut, ia lalu dengan cepat membungkuk, menyalami nyokap dan bokap gua kemudian mulai menyebutkan nama asli dan aliasnya.
Sementara nyokap, bokap dan Poppy duduk di atas sofa, gua dan Ketu duduk di lantai, dekat dengan pintu yang sengaja dibiarkan terbuka agar bisa merokok tanpa mengganggu mereka. Nyokap terlihat sibuk menatap layar ponselnya, memesan aneka makanan dan minuman. Setelahnya, kami sibuk berbincang, ngobrol, saling bertukar cerita dan bercanda bersama.
“Sal, kamu bener mau tinggal disini aja? Nggak mau pulang ke rumah?” Tiba-tiba, nyokap mengajukan pertanyaan ke gua di sela-sela obrolan.
Bukannya gua nggak mau, tapi gua hanya masih merasa belum siap untuk kembali. Masih ada perasaan segan dan malu yang merayap di dalam hati. Tapi, seandainya pun hati ini sudah siap dan tak ada kendala lain, gua juga berpikir dua kali untuk kembali tinggal di rumah nyokap, karena merasa gua sudah cukup terbiasa dengan tinggal sendirian.
Gua tersenyum sebentar kemudian menggeleng.
“… kan kamar kamu juga kosong, Sal” tambah nyokap, berusaha meyakinkan gua.
Mendengar hal tersebut, bokap lalu angkat bicara; “Udah, Mah. Gapapa biarin aja Marshall di sini. Biar sekalian belajar mandiri…”
Tanpa aba-aba, Ketu lalu merespon ucapan bokap; “Ah kalo urusan Mandiri sih Marshall udah nggak usah belajar lagi om, wis lihai dia”
Sontak, bokap dan nyokapnya langsung saling pandang begitu mendengar perkataan Ketu barusan.
“Ya kalau mau tinggal sendiri, carilah rumah yang lebih besar, lebih bagus” tambah Bokap.
Lagi, Ketu kembali merespon ucapan dari bokapnya; “Wah, ini sih mendingan Om. Kontrakan kita sebelumnya malah luwih cuilik dari iki. Cuma tiga petak” Ujar Ketu sambil terus mengunyah makanan.
Seakan nggak mau kalah, Poppy ikut nimbrung; ikut menambahkan informasi dari Ketu; “Apalagi pas masih di slipi. Kost-an Marshall ada di lantai tiga, cuma satu petak dan nggak ada ventilasinya”.
Mendengar informasi dari Ketu dan Poppy barusan, Bokap terlihat cukup kaget. Nggak hanya Bokap, Nyokap malah terlihat lebih shock, ia bahkan sampai memegangi dadanya.
“Bener Sal?” Tanya nyokap ke gua, yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
Begitu melihat respon dari gua, sontak nyokapnya langsung turun dari sofa, mendekat ke gua dan memberikan pelukan. Mendapat perlakuan seperti itu, dipeluk erat oleh nyokap di depan Ketu dan Poppy tentu saja membuat gua salah tingkah. Gua sadar, mungkin saja nyokap merasa menyesal karena mengetahui kalau gua; anak satu-satunya ini pernah tinggal di tempat yang menurutnya nggak layak.
“Makanya ayo ikut Mamah pulang aj, Sal” Ajak nyokap, sambil mulai terisak.
Lagi, gua memberi penolakan dengan menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“… Tapi, kalau Mamah telepon harus langsung kamu jawab ya, Sal” tambahnya.
“Iya, Mah” Gua menjawab singkat.
Nyokap lantas melepas pelukannya, memegang kedua pipi gua dengan tangannya yang hangat dan mulai memberi tatapan. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Maafin Mamah ya, Sal…” Ucapnya pelan.
“Iya, Mah…” Jawab gua singkat, seraya mencoba menyeka air mata yang mulai menetes di pipinya.
“...”
“... Udah, Mamah jangan nangis lagi ya. Aku kan sekarang udah baik-bai aja. Udah punya tempat tinggal yang layak, udah punya kerjaan, dan punya teman yang baik…” Gua menambahkan.
Nyokap lantas mengangguk dan kembali duduk.
Nggak mau suasana jadi kelam, Poppy lantas mengarahkan topik pembicaraan ke hal lain, membuat suasana kembali cair dan kami kembali larut dalam obrolan yang santai. Sementara yang lain terus berbincang, gua yang nggak tahan melihat sampah berserakan, mulai membereskan sisa kemasan makanan, mengumpulkannya ke dalam plastik dan membawanya ke tempat sampah di luar.
Saat baru saja keluar dari pintu, gua sempat melihat sekelebat sosok yang berjalan cepat meninggalkan area depan pagar. Gua buru-buru keluar, menuju ke arah pagar. Terlihat sesosok perempuan tengah berjalan menjauh dari arah rumah gua menuju ke ujung gang. Dari sini, dari tempat gua berdiri, gua dapat mengenali sosok tersebut; Tata.
Sempat terbesit keinginan untuk mengejar, dan menyusulnya, namun sekarang rasanya bukan waktu yang tepat, jadi gua urungkan niat tersebut, kemudian menyelesaikan membuang sampah dan kembali ke dalam.
Di dalam, gua nggak bisa kembali catch-up dengan obrolan, karena kepikiran oleh kehadiran Tata barusan. Membayangkan ia datang kesini, dan mendapati kami ngobrol, berbincang, bercengkrama bersama sambil ketawa-ketiwi.
Sementara, bisa saja saat melihat hal tersebut hatinya teriris pedih.
Poppy, yang sepertinya menyadari perubahan sikap gua lantas mendekat, menggeser duduknya dan bertanya ke gua; “Lo kenapa, bengong aja”.
“Gapapa” Jawab gua singkat.
Seakan nggak langsung percaya dengan jawaban dari gua, Poppy pasang tampang curiga dan terus mengajukan pertanyaan yang sama; “Kenapa? Bengong aja?” yang tentu saja, gua juga terus menjawab dengan jawaban yang sama; “Gapapa”.
Sore, menjelang Magrib, nyokap dan bokap sudah bersiap untuk pulang.
Sebelum pulang, bokap sempat memberi wejangan ke gua yang isinya kira-kira tentang perasaan Nyokap yang masih memendam rasa sesal dan kerinduannya ke gua. Bokap juga menyarankan agar gua lebih sering menghubungi nyokap dan jangan segan untuk berkunjung ke rumah. Gua merespon wejangan dan saran dari bokap dengan anggukan kepala.
Saat semua sudah siap, Nyokap menatap ke arah Poppy; “Ayo Pop…” Ajak nyokap sambil memberikan kode ke Poppy agar ikut serta dengannya.
Poppy terlihat menggelengkan kepalanya, lalu tatapannya ia alihkan ke gua, seakan masih ada yang perlu ia bicarakan dengan gua. Sementara, gua yang masih terus kepikiran dengan keberadaan Tata tentu saja nggak nyaman jika Poppy tetap tinggal di sini.
“Udah sana bareng aja” Gua bicara ke Poppy, mencoba membujuknya agar segera pulang.
Poppy menggeleng; “Orang gua masih mau sama elo”.
“Ya tapi kan abis ini gua juga langsung mau kerja” Balas gua, berbohong. Gua tau, yang gua lakukan ini salah, tapi ini juga demi kebaikan dirinya. Gua nggak mau, ia sakit hatinya saat tau kalau gua mengkhawatirkan Tata.
Mendengar balasan gua barusan, Poppy nampak kesal, ia menghentakkan kaki, meraih tas dan menyusul bokap nyokap ke arah mobil.
Nggak lama berselang, mobil yang mereka bertiga tumpangi lalu pergi dan menghilang ditelan tikungan.
Gua berbalik, memakai sandal dan segera bergegas keluar, menuju ke ujung gang. Entah apa yang gua pikirkan saat ini. Padahal, bisa saja Tata sudah pergi dan pulang kembali ke rumahnya. Namun, di dalam hati ini seperti ada dorongan, ada paksaan agar gua segera bergegas mencari dirinya. Ada sisi hati kecil gua yang mengatakan kalau Tata masih menunggu.
Sementara, Ketu terlihat mengeluarkan sepeda motor dan bersiap untuk pergi; “Mau kemana, Sal?” Tanyanya seraya menyalakan mesin motor.
“Ke depan” Jawab gua, asal.
“Bareng nggak?” Ketu memberikan tawaran tumpangan.
Gua menggeleng dan membiarkannya pergi lebih dulu. Kemudian berjalan ke arah yang sama dengannya, ke depan gang. Gua lalu berbelok ke kanan, masuk ke area deretan ruko; menuju ke salah satu minimarket yang berada di sana.
Dari kejauhan terlihat sosok perempuan tengah dikerubungi oleh beberapa pria yang gua kenali sebagai tukang parkir disana. Setelah melihat lebih dekat, gua cukup yakin kalau perempuan tersebut adalah Tata.
Nggak pikir panjang, gua dengan cepat mendekat, menyeruak para pria di sana. Terlihat Tata tengah menunduk, kedua tangannya ia gunakan untuk menutup telinganya, sementara matanya terpejam. Gua lantas meraih tangan, menggenggamnya dan bersiap mengajaknya pergi dari sana.
Namun, Tata nggak langsung berdiri. Ia membuka matanya dan menatap ke arah gua. Setelah beberapa saat barulah ia ikut berdiri dan segera mengikuti gua. Sementara, para pria yang berada di sana langsung mundur beberapa langkah begitu mengetahui ada orang yang datang untuk perempuan yang mereka ganggu. Percayalah, orang-orang seperti mereka hanya jago menggertak saja, mereka nggak bakal berani melawan.
Sambil terus berjalan, sesekali gua menoleh ke arahnya yang kini masih nampak pucat dengan keringat membasahi hampir seluruh dahinya, hingga ke dagu. Ia lalu balas menatap gua dan tersenyum.
‘Bisa-bisanya dia tersenyum’ Batin gua dalam hati.
Begitu kami berdua sudah berada di luar area ruko, gua melambatkan langkah dan bertanya kepadanya; “Ngapain?”
Tata nggak memberikan jawaban, ia hanya terdiam sambil kembali menundukkan kepalanya. Terlihat tangan kirinya mengepal, seperti tengah menggenggam sesuatu dengan erat. Gua meraih tangannya, dan dengan hati-hati mencoba membuka kepalan tangannya tersebut. Yang ternyata berisi sampah kemasan roti. Gua meraih plastik kemasan tersebut dan membuangnya.
Karena nggak mendapat jawaban darinya, gua kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. “Ngapain?”.
“Nggak ngapa-ngapain” Tata menjawab lirih.
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar jawaban itu darinya. Merasa kalau ‘nggak ngapa-ngapain’ bukanlah sebuah jawaban.
“Nggak ngapa-ngapain tuh bukan jawaban” Gua merespon.
Tanpa meminta persetujuan darinya, gua kembali meraih tangan dan membawanya ke arah rumah.
Sambil terus berjalan, gua kembali mengajukan pertanyaan untuknya; “Dari kapan?” Ingin memastikan kalau ia adalah benar-benar sosok yang gua lihat saat tadi siang membuang sampah.
“Tadi siang” Jawabnya, singkat.
“Tadi siang!?” Gua pura-pura terkejut begitu mendengar jawabannya barusan.
“Iya”
“Udah makan?” Tanya gua. Yang lantas direspon oleh Tata dengan menganggukkan kepalanya.
“...Makan apa?” Tanya gua lagi.
“Roti”
“Roti doang?”
“Sama air mineral” Tambahnya.
Gua tertegun begitu mendengar jawaban darinya. Dengan kondisinya saat ini, ia bisa saja membeli makanan yang layak, mungkin bisa saja ia makan di restoran mewah. Tapi, kenapa nggak ia lakukan?
Setibanya di rumah kontrakan, gua langsung membawanya masuk ke dalam. Memberikan kode kepadanya agar duduk di sofa, sementara gua langsung beranjak ke dapur, mencari makanan yang bisa dikonsumsinya. Namun, nggak ada makanan yang tersisa, hanya cemilan dan snack yang rasa-rasanya nggak bakal bikin kenyang.
Gua lantas berinisiatif menyalakan kompor, bersiap memasak mie instan untuknya.
Saat tengah memasak mie instan, terdengar langkah kaki mendekat, menuju ke dapur; Tata. Ia menatapku sambil tersenyum.
“Makan mie gapapa kan?” Gua mengajukan pertanyaan, takut kalau ia nggak diperbolehkan makan, masakan instan.
Tata menjawab pertanyaan gua dengan anggukan kepala. Dan tentu saja, senyuman manis masih terpasang di wajahnya.
Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding, terus menatap gua yang masih memasak mie instan.
“Aku tau gimana cara agar kita nggak kehilangan sesuatu” Ia tiba-tiba bicara, seraya menatap ke arah langit-langit dapur.
“Gimana?” Tanya gua.
“Jangan memilikinya” Jawabnya singkat.
---
Lanjut Ke Bawah
Diubah oleh robotpintar 08-05-2024 18:07
funy2020 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
Kutip
Balas
Tutup