- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1330
Part 55 - Serba Salah
Spoiler for Part 55 - Serba Salah:
Gua berniat melanjutkan tidur begitu selesai bicara dengan Marshall melalui sambungan ponsel. Tapi, karena banyak pikiran yang berseliweran di kepala, mata ini rasanya enggan terpejam. Gua bangkit, melipat selimut dan merapikan ranjang, sesuatu yang jarang sekali gua lakukan.
Selesai beres-beres kamar, gua lalu bergegas mandi.
“Mau pergi?” Tanya nyokap saat melihat gua menuju ke kamar mandi dengan berkalung handuk.
“Nggak” Jawab gua singkat.
“Tumben mandi” Gumamnya pelan sambil berlalu.
Selesai mandi, gua kembali ke bawah, menuju ke dapur, menatap ke arah nyokap yang tengah sibuk memasak. Melihat gua hanya berdiri dan menatap ke arahnya, nyokap lantas tersenyum dan bicara; “Kenapa? Nggak ada kerjaan? Sini bantuin ibu”
Gua membalas senyumnya kemudian mendekat. Nyokap lantas menyerahkan pisau dapur yang berada di genggamannya, lalu menunjuk ke arah kacang panjang di atas meja. “Tuh, bantuin motongin kacang panjang aja”
Tanpa banyak bicara, gua lantas mengikuti instruksinya, mengambil plastik berisi kacang panjang, talenan kemudian duduk di lantai dan mulai memotong kacang panjang.
“Minggu gini, tumben nggak pergi?” Tanya nyokap.
“Nggak. Kan pemotretannya udah kemarin” Gua menjawab.
“Oh.. Terus di rumah aja?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
Masih kepikiran ucapan Marshall di akhir pembicaraan kami tadi, gua jadi nggak fokus memotong. Akibatnya, jari telunjuk kiri gua teriris pisau dapur. Gua sendiri nggak begitu menyadarinya, justru nyokap yang langsung berteriak dan merebut pisau dari genggamanku ketika melihat darah yang menetes dari ujung jari.
“Poppy!.. Kamu gimana sih, ngelamun” Serunya, kemudian buru-buru menarik gua ke arah wastafel. Menyalakan kran air dan membiarkan ujung jari gua berada di bawah aliran air kran.
Nyokap lantas menuju ke kamar dan kembali dengan obat luka beserta plester. Sementara, Bokap yang sepertinya tengah asyik ngopi sambil merokok di teras, langsung berlari ke arah dapur begitu mendengar teriakan nyokap tadi; “Ono opo?” tanyanya, seraya menatap ke arah nyokap lalu berpaling ke tangan gua yang tengah diberi obat dan plester oleh nyokap.
“Ini kena pisau” Jawab nyokap tanpa memalingkan pandangannya dari jari tangan gua.
“Duh, mbok sing ati-ati, Pop” Ucapnya sambil mendekat.
Bokap menatap ke arah ujung jari gua, lalu tersenyum dan memberi tepukan; “Halah, rapopo kok.. Adoh seko weteng” Ujarnya lalu kembali ke teras.
“Kenapa sih Pop, ngelamun?” Tanya Nyokap ke gua. Kini gua nggak lagi diperbolehkan membantunya memotong sesuatu.
“Gapapa…” Gua menjawab singkat, lalu duduk di kursi plastik sambil memandangi nyokap memasak.
Nggak lama berselang, saat semua masakan nyokap hampir matang, terdengar suara Bokap memanggil gua; “Pop, Poppy…”
“Ya…” Jawab gua tanpa beranjak.
Merasa gua nggak menghampirinya, Bokap kembali memanggil; “Pop, Poppy…”
Gua menghela nafas, kemudian berdiri dan bergegas menuju ke depan, menghampiri bokap. Sambil berjalan, gua bicara; “Apaan sih Pak?”. Dan gua langsung tertegun kala melihat seorang pria tengah duduk di sebelah bokap, mereka nampak berbincang sambil merokok.
Marshall yang duduk membelakangi gua, lantas menoleh dan tersenyum. Gua yang masih kaget sampai nggak bisa berkata apa-apa, hanya terdiam, mematung.
Menyadari kehadiran gua, bokap lantas ikut menoleh dan bicara, memberi perintah; “Pop, bikinin Kopi, buat Marshall”
Mendengar ucapan bokap tentu saja bikin gua semakin kaget. Pertama; Mereka berdua seharusnya nggak seakrab sekarang, sejauh yang gua tau, bokap masih sedikit menentang hubungan kami. Kedua; Marshall kan tamu gua, harusnya bokap bilang ‘Pop, ini ada Marshall’, bukannya langsung ujug-ujug minta bikinin kopi, layaknya Marshall adalah sahabatnya.
Masih menahan rasa bingung campur heran, gua berbalik dan menuju ke dapur.
“Mau ngapain?” Tanya nyokap, saat melihat gua mengambil gelas dari rak piring
“Bikin kopi”
“Buat?” Tanyanya lagi.
“Marshall” Jawab gua.
Mendengar jawaban gua, nyokap terlihat nggak terkejut. Ia malah dengan santainya, meraih gelas dari tangan gua, mengambil toples plastik berisi kopi bubuk, menuangkan dua sendok kopi kedalam gelas.
“Manis nggak?” Tanya nyokap ke gua, yang lalu gua respon dengan mengangkat kedua bahu; nggak tau.
“... Piye sih. Kamu nggak pernah bikinin kopi buat Marshall?” Tanyanya lagi.
Gua menggeleng.
Nyokap lantas meraih toples berisi gula, dan menuang satu sendok kecil kedalam gelas yang sudah terisi bubuk kopi dan dengan sigap menuang air panas dari termos. Gua kini hanya kebagian mengaduknya hingga tercampur, meletakkan penutup gelas plastik berwarna biru dan dengan hati-hati membawanya ke depan, ke arah teras.
“Sini, sini taro sini” Ucap Bokap seraya menunjuk ke arah area kosong di atas kursi kayu panjang, diantara mereka duduk. Sambil meletakkan gelas kopi tersebut, gua menyempatkan diri menatap ke arah Marshall yang saat ini terlihat juga tengah menatap ke arah gua.
“Ngapain lo?” Tanya gua ke Marshall dengan suara pelan, sangat pelan.
Marshall nggak langsung menjawab, ia hanya tersenyum, kemudian beralih ke bokap gua yang baru saja memberi pertanyaan untuknya. Pertanyaan seputar dunia politik. Hal yang gua yakin, Marshall bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara hal beginian.
Namun, tebakan gua salah. Marshall menjawab pertanyaan bokap dengan cepat dan percaya diri. Ia bahkan beretorika tentang teori-teori mengatasi banjir Jakarta yang nggak pernah usai.
“Geser” Ucap gua lagi.
Tanpa berpaling, ia menggeser duduknya, memberikan sedikit celah untuk gua agar bisa duduk. Namun, bokap melarang gua duduk; “Awas Pop, terguling ini kalo bertiga” Ucapnya.
“Hhhh…” Gua menghela nafas panjang, kembali berdiri dan masuk ke dalam. Di ruang tamu, gua langsung menjatuhkan diri di atas kursi, meraih remote dan menyalakan televisi.
Dari posisi duduk saat ini, gua mampu mendengar obrolan mereka walaupun samar. Rupanya mereka berdua masih tenggelam dalam obrolan tentang dunia politik. Lalu, tiba-tiba obrolan terhenti, mereka sama-sama diam, gua bahkan hingga mengecilkan volume televisi untuk memastikannya.
Kemudian terdengar samar ucapan Marshall ke bokap; “Om, boleh saya ajak Poppy keluar hari ini?” Tanyanya.
“Ya boleh dong” Jawab Bokap, yang tentu saja langsung membuat gua kembali mengernyitkan dahi. ‘Pasti ada hal yang gua nggak tau’ batin gua dalam hati.
“Pop, Poppy” Seru bokap.
Gua berdiri, dan keluar.
“... Tuh, Marshall mau ngajak keluar katanya” Tambah Bokap seraya menunjuk ke arah Marshall.
Gua lalu merespon dengan anggukan kepala lalu masuk, naik ke atas, ke kamar untuk berganti pakaian. Menit berikutnya gua sudah kembali berada di bawah, di teras rumah, sudah siap untuk pergi.
Tanpa bicara, gua langsung ngeloyor dari teras, keluar ke arah gang; mengabaikan mereka berdua. Marshall lalu dengan cepat pamit ke bokap lalu segera berlari untuk menyusul gua.
“Pop” Panggilnya, saat kami sudah berada di gang nggak jauh dari rumah.
Gua nggak menggubrisnya, hanya terus melangkah. Saat ini, gua seperti merasa dibohongi. Di tambah obrolan kami pagi tadi, rasa-rasanya cukup lumrah kalau gua kesal.
“Poppy” Panggilnya lagi, kali ini sambil berusaha mempercepat langkah dan menyusul gua.
Saat posisinya sudah berada tepat di sebelah gua, ia menoleh dan kembali bicara; “Pop.. Ayo kita ngobrol”
Tanpa berpaling, gua lalu memberinya jawaban; “Ngobrol aja sana sama bokap gua!”
“Lho, gua pikir lo bakal seneng kalo gua ngobrol sama bokap lo?” Ucap Marshall.
Gua menghentikan langkah, berpaling ke arahnya lalu bicara; “Iya, gua seneng.
Tapi, kok rasanya kayak lagi dibohongi aja. Tiba-tiba lo dateng, ngobrol sama bokap gua layaknya sahabat. Dan gua nggak tau apa-apa”
Marshall tersenyum sebentar, kemudian mencoba meraih tangan gua. Sontak gua lantas melepaskannya, lalu memberinya ancaman; “Jangan pegang-pegang!”
Bukannya merasa bersalah, Marshall malah kembali tersenyum dan tertawa. Detik berikutnya, tawanya hilang lalu mulai bercerita; cerita tentang awal pertemuan dengan bokap gua yang terjadi saat kami ia mengantarkan gua pulang selepas dari rumah orang tuanya.
Tanpa sengaja, mereka bertemu di gang dekat rumah, dan Bokap ternyata mengajak Marshall ngobrol sambil ngopi di warung depan. Dari sanalah awal ‘persetujuan’ bokap atas hubungan kami berdua dan dekatnya mereka.
Selesai mendengar penjelasan Marshall, gua berdehem sebentar, menatapnya kemudian memberi respon singkat; “Oh”.
“Sekarang udah boleh pegang?” Tanya Marshall sambil menunjuk ke arah tangan gua.
Gua pasang tampang sinis, meliriknya dan memberi jawaban; “Coba aja kalo berani!”
“Ok, lo butuh penjelasan apa lagi?” Tanyanya.
“Tata…” Jawab gua, ketus.
“Di sini? Sekarang?” Tanyanya lagi.
Gua kembali menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Masih sengaja pasang tampang sinis, gua bicara; “Terus di mana? Kapan? Besok? Minggu depan? Tahun depan?”
“...”
“... Nggak tau deh, kalo gua kemaren nggak ngeliat Tata. Mungkin sampe sekarang gua juga nggak tau. Mungkin juga lo nggak bakal pernah cerita!” Gua menambahkan.
“Nggak gitu, Pop…” Bantahnya.
“Terus gimana?” Tanya gua lagi.
Marshall terdiam sebentar sebelum akhirnya kembali bicara; “Dulu, gua selalu menggambar bangunan karena sebuah alasan; menurut gua bangunan nggak pernah berubah dan selalu memberi naungan, dari derasnya hujan, dari teriknya matahari. Nggak seperti manusia yang selalu berubah, dan nggak bisa menjadi tempat berlindung…”
“...”
“... Dan Tata adalah sosok manusia pertama yang gua gambar. Bukan, bukan karena ia nggak pernah berubah, bukan juga karena ia bisa memberi perlindungan.”
“Terus kenapa?” Tanya gua, memotong kalimatnya.
“Sederhana…” Jawabnya dengan ekspresi wajah datar.
“Karena dia cantik?” Gua kembali memotong bicaranya.
Marshall lalu merespon dengan anggukan kepala.
“Genit!” Gua berseru pelan, sangat pelan.
Kami lalu tiba di kedai kopi tempat dulu Marshall bekerja. Tanpa meminta persetujuan lebih dahulu, ia langsung melangkahkan kakinya, menaiki anak tangga besi menuju ke lantai dua, dimana akses utama menuju kedai berada.
Suara lonceng terdengar begitu ia membuka pintu. Kami lalu disambut oleh
sambutan pramusaji yang juga merupakan para teman-temannya. Marshall terlihat ngobrol sebentar dengan Dahlan sambil memesan kopi, sementara gua langsung menuju ke salah satu meja yang berada di balkon.
Beberapa saat berikutnya, Marshall mendatangi gua dengan membawa segelas kopi. Ia meletakkan gelas kopi tersebut dan mendorongnya ke arah gua.
“Buat gua? Terus punya lo mana?” Tanya gua.
“Gua kan tadi udah ngopi di rumah lo” Jawabnya singkat.
“Manis nggak ini?” Tanya gua lagi, kali ini sambil menunjuk gelas kopi yang kini berada tepat dihadapan gua.
“Manis…”
Gua lalu mulai menyeruput kopi dan berpaling, menghadap ke arahnya.
“Terus sampe mana tadi?” Tanya gua, merujuk ke percakapan kami berdua yang sempat terinterupsi.
“Sampe lo ngatain gua genit” Jawab Marshall singkat.
“Oh, elo denger. Bagus deh”
“Masih mau denger lanjutannya?” Tanyanya.
“Hmmm… Rasanya kesel pas denger, cemburu. Tapi, kalo nggak denger, penasaran” Gua menjawab.
“...”
“... Yaudah lanjut. Karena dia cantik jadi lo mulai gambar dia..” Gua menambahkan.
“Di kehidupan gua saat itu, gua akhirnya dapet semangat lagi. Dapet motivasi untuk tetap berangkat ke sekolah, dimana seperti yang mungkin lo tau, gua udah kehilangan keinginan untuk sekolah sejak lama…”
“...”
“... Tata mengubah gua, mengubah hidup gua. In a good way and also in a bad way…”
“...”
“... Tata yang dulu gua kenal adalah perempuan yang mandiri, pintar dan penuh keceriaan. Dan, melihat dia seperti sekarang, jujur bikin sedikit banyak ada bagian di sini yang terluka” Marshall bicara sambil memegangi dadanya.
“Tunggu dulu, Sal..” Gua lagi-lagi memotong kalimatnya. Ingin langsung bertanya apakah masih ada rasa sayang untuknya.
Tapi sepertinya Marshall kali ini nggak mau kalimatnya terpotong.
“Gua belum selesai, Pop…” Ucapnya.
“Nggak! Tunggu dulu… Gua mau nanya dulu. Jawaban lo dari pertanyaan ini bakal memutuskan apa obrolan ini terus berlanjut atau nggak”
“...” Marshall terdiam sebentar, kemudian mengangguk. Memberikan gua kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
“... Sekarang lo masih sayang sama dia nggak?” Tanya gua dengan nada tegas dan intonasi yang jelas. Ini merupakan pertanyaan terpentingnya, pertanyaan yang bakal menentukan kelangsungan obrolan ini dan tentu saja kelangsungan hubungan kami berdua.
Marshall terdiam, nggak langsung menjawab. Gua memaklumi sikapnya. Siapapun jika diberikan pertanyaan seperti ini pasti nggak bisa langsung memberikan jawaban, apalagi perkara hubungan percintaan.
“Harus gua jawab ya?” Tanyanya.
“Iya lah!”
Marshall tiba-tiba berdiri, beranjak dari kursinya, terasa detak jantung gua melonjak ketika dia tiba-tiba mendekat. mendekat. Ia lalu membungkuk, memposisikan wajahnya tepat di hadapan gua. Gua terpaku, dan sebelum gua sempat melayangkan protes atau bergerak, bibirnya sudah menyentuh bibir gua dengan lembut. Sementara, tangan kirinya ia posisikan dibelakang kepala gua.
Semuanya terasa berputar. Aromanya, sentuhan bibirnya yang hangat, dan tubuhnya yang begitu dekat, membuat gua hampir lupa kalau kami nggak sendiri. Ada orang lain di sekitar kami, tapi dalam momen yang singkat itu, gua merasa kalau dunia kami hanyalah kita berdua.
Iya, ia mencium gua di depan umum.
Sontak, gua langsung mundur, dan memukul dadanya. Kemudian menatap sekeliling. Terlihat beberapa pengunjung, termasuk Dahlan dan pramusaji lainnya menatap ke arah kami berdua. Merasa malu, gua lalu mulai menutupi wajah dengan tas.
“Bego lo!” Seru gua ke Marshall. Yang kini malah tersenyum lalu kembali duduk di kursinya.
“Gua masih perlu jawab pertanyaan lo tadi nggak?” Tanyanya.
“...” Gua terdiam, masih merasa malu dan shock. Mungkin saat ini, wajah gua terlihat merah dan merona saking malunya.
Marshall lalu kembali mengulangi pertanyaannya; “Masih perlu jawaban nggak?”
“Nggak usah!” Jawab gua sambil terus menutupi wajah dengan tas. Saat ini gua merasa berbunga-bunga. Walau awalnya terasa seperti tersambar petir, Tapi begitu menyadari kalau ciuman tadi adalah sebuah jawaban darinya, seketika Senyum gua merekah, karena sekarang tau kalau gua adalah miliknya.
Kami lalu sama-sama terdiam. Gua berlagak memainkan ponsel dengan hanya membuka lockscreen, menguncinya, membukanya kembali, sambil sesekali menyeruput kopi. Sementara, Marshall terlihat menikmati rokoknya seraya menatap ke arah lain.
Setelah cukup lama tenggelam dalam diam, gua memberanikan diri memulai obrolan lagi.
“Udah, gini aja? Lo ngajakin keluar cuma buat ngopi disini?” Tanya gua.
“Nggak. Gua bahkan tadinya nggak mau ngajak lo kesini. Tapi, daripada ngobrol di jalan…”
“Terus?”
“…” Marshall nggak menjawab, ia malah menggaruk-garuk kepalanya; bingung.
“… Mau nonton?” Gua menambahkan, memberi opsi.
“Nonton film?” Tanyanya.
“Iya, masa nonton kebakaran”
“Di bioskop?” Tanyanya lagi.
“Iya, biar kayak orang-orang” Jawab gua.
Marshall lalu mengangguk; setuju.
Setelah menghabiskan kopi, kami berdua lalu pergi dari kedai. Yang tentu saja diiringi dengan tatapan ‘jijik’ para pengunjung lain.
“Sumpah! Gua nggak mau kesini lagi” gumam gua pelan sesaat setelah kami keluar dari kedai kopi. Malu!
Kami berdua masih berdiri di depan kedai kopi, sejak tadi Marshall hanya terdiam sambil menatap layar ponsel; entah apa yang dilakukannya. Awalnya gua pikir ia tengah memesan taksi online untuk kami berdua, namun saat gua mengintip ke arah layar ponselnya, ia malah tengah browsing; mencari lokasi bioskop.
Mengetahui hal tersebut, gua langsung memukul bahunya. Marshall yang terkejut lalu menoleh; “Kenapa?” Tanyanya, heran.
“Gua pikir dari tadi lo mesen taksi online. Panas tau!” Seru gua, kemudian mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai memesan taksi online dengan tujuan yang gua tentukan sendiri. Rasanya percuma bertanya kepadanya yang sama sekali nggak tau apa-apa tentang ‘berkencan’.
Satu jam berikutnya, kami berdua sudah berada di salah satu mall di bilangan Jakarta Barat. Layaknya muda-mudi yang dimabuk cinta, kami berdua berjalan, bersisian sambil saling menggenggam tangan. Kami menghabiskan waktu dengan menonton film, memilih resto dengan harga paling murah dan makan di sana, berkeliling mall hanya untuk melihat-lihat pakaian, sepatu dan barang lainnya tanpa ada keinginan untuk membeli.
“Ini ngedate pertama kita lho, Sal” Ucap gua sambil berdiri di hadapannya yang tengah merokok. Kini kami berdua tengah berada di lobby mall, menunggu taksi online yang akan membawa kami pulang.
“Makan di tukang nasi goreng, nggak masuk itungan ya?” Tanyanya.
“Nggak lah” Jawab gua singkat. Ya sebenarnya, itu tetap masuk hitungan. Tapi, gua cuma mau melabeli malam ini sebagai malam yang spesial aja; our very first date.
Selesai beres-beres kamar, gua lalu bergegas mandi.
“Mau pergi?” Tanya nyokap saat melihat gua menuju ke kamar mandi dengan berkalung handuk.
“Nggak” Jawab gua singkat.
“Tumben mandi” Gumamnya pelan sambil berlalu.
Selesai mandi, gua kembali ke bawah, menuju ke dapur, menatap ke arah nyokap yang tengah sibuk memasak. Melihat gua hanya berdiri dan menatap ke arahnya, nyokap lantas tersenyum dan bicara; “Kenapa? Nggak ada kerjaan? Sini bantuin ibu”
Gua membalas senyumnya kemudian mendekat. Nyokap lantas menyerahkan pisau dapur yang berada di genggamannya, lalu menunjuk ke arah kacang panjang di atas meja. “Tuh, bantuin motongin kacang panjang aja”
Tanpa banyak bicara, gua lantas mengikuti instruksinya, mengambil plastik berisi kacang panjang, talenan kemudian duduk di lantai dan mulai memotong kacang panjang.
“Minggu gini, tumben nggak pergi?” Tanya nyokap.
“Nggak. Kan pemotretannya udah kemarin” Gua menjawab.
“Oh.. Terus di rumah aja?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
Masih kepikiran ucapan Marshall di akhir pembicaraan kami tadi, gua jadi nggak fokus memotong. Akibatnya, jari telunjuk kiri gua teriris pisau dapur. Gua sendiri nggak begitu menyadarinya, justru nyokap yang langsung berteriak dan merebut pisau dari genggamanku ketika melihat darah yang menetes dari ujung jari.
“Poppy!.. Kamu gimana sih, ngelamun” Serunya, kemudian buru-buru menarik gua ke arah wastafel. Menyalakan kran air dan membiarkan ujung jari gua berada di bawah aliran air kran.
Nyokap lantas menuju ke kamar dan kembali dengan obat luka beserta plester. Sementara, Bokap yang sepertinya tengah asyik ngopi sambil merokok di teras, langsung berlari ke arah dapur begitu mendengar teriakan nyokap tadi; “Ono opo?” tanyanya, seraya menatap ke arah nyokap lalu berpaling ke tangan gua yang tengah diberi obat dan plester oleh nyokap.
“Ini kena pisau” Jawab nyokap tanpa memalingkan pandangannya dari jari tangan gua.
“Duh, mbok sing ati-ati, Pop” Ucapnya sambil mendekat.
Bokap menatap ke arah ujung jari gua, lalu tersenyum dan memberi tepukan; “Halah, rapopo kok.. Adoh seko weteng” Ujarnya lalu kembali ke teras.
“Kenapa sih Pop, ngelamun?” Tanya Nyokap ke gua. Kini gua nggak lagi diperbolehkan membantunya memotong sesuatu.
“Gapapa…” Gua menjawab singkat, lalu duduk di kursi plastik sambil memandangi nyokap memasak.
Nggak lama berselang, saat semua masakan nyokap hampir matang, terdengar suara Bokap memanggil gua; “Pop, Poppy…”
“Ya…” Jawab gua tanpa beranjak.
Merasa gua nggak menghampirinya, Bokap kembali memanggil; “Pop, Poppy…”
Gua menghela nafas, kemudian berdiri dan bergegas menuju ke depan, menghampiri bokap. Sambil berjalan, gua bicara; “Apaan sih Pak?”. Dan gua langsung tertegun kala melihat seorang pria tengah duduk di sebelah bokap, mereka nampak berbincang sambil merokok.
Marshall yang duduk membelakangi gua, lantas menoleh dan tersenyum. Gua yang masih kaget sampai nggak bisa berkata apa-apa, hanya terdiam, mematung.
Menyadari kehadiran gua, bokap lantas ikut menoleh dan bicara, memberi perintah; “Pop, bikinin Kopi, buat Marshall”
Mendengar ucapan bokap tentu saja bikin gua semakin kaget. Pertama; Mereka berdua seharusnya nggak seakrab sekarang, sejauh yang gua tau, bokap masih sedikit menentang hubungan kami. Kedua; Marshall kan tamu gua, harusnya bokap bilang ‘Pop, ini ada Marshall’, bukannya langsung ujug-ujug minta bikinin kopi, layaknya Marshall adalah sahabatnya.
Masih menahan rasa bingung campur heran, gua berbalik dan menuju ke dapur.
“Mau ngapain?” Tanya nyokap, saat melihat gua mengambil gelas dari rak piring
“Bikin kopi”
“Buat?” Tanyanya lagi.
“Marshall” Jawab gua.
Mendengar jawaban gua, nyokap terlihat nggak terkejut. Ia malah dengan santainya, meraih gelas dari tangan gua, mengambil toples plastik berisi kopi bubuk, menuangkan dua sendok kopi kedalam gelas.
“Manis nggak?” Tanya nyokap ke gua, yang lalu gua respon dengan mengangkat kedua bahu; nggak tau.
“... Piye sih. Kamu nggak pernah bikinin kopi buat Marshall?” Tanyanya lagi.
Gua menggeleng.
Nyokap lantas meraih toples berisi gula, dan menuang satu sendok kecil kedalam gelas yang sudah terisi bubuk kopi dan dengan sigap menuang air panas dari termos. Gua kini hanya kebagian mengaduknya hingga tercampur, meletakkan penutup gelas plastik berwarna biru dan dengan hati-hati membawanya ke depan, ke arah teras.
“Sini, sini taro sini” Ucap Bokap seraya menunjuk ke arah area kosong di atas kursi kayu panjang, diantara mereka duduk. Sambil meletakkan gelas kopi tersebut, gua menyempatkan diri menatap ke arah Marshall yang saat ini terlihat juga tengah menatap ke arah gua.
“Ngapain lo?” Tanya gua ke Marshall dengan suara pelan, sangat pelan.
Marshall nggak langsung menjawab, ia hanya tersenyum, kemudian beralih ke bokap gua yang baru saja memberi pertanyaan untuknya. Pertanyaan seputar dunia politik. Hal yang gua yakin, Marshall bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara hal beginian.
Namun, tebakan gua salah. Marshall menjawab pertanyaan bokap dengan cepat dan percaya diri. Ia bahkan beretorika tentang teori-teori mengatasi banjir Jakarta yang nggak pernah usai.
“Geser” Ucap gua lagi.
Tanpa berpaling, ia menggeser duduknya, memberikan sedikit celah untuk gua agar bisa duduk. Namun, bokap melarang gua duduk; “Awas Pop, terguling ini kalo bertiga” Ucapnya.
“Hhhh…” Gua menghela nafas panjang, kembali berdiri dan masuk ke dalam. Di ruang tamu, gua langsung menjatuhkan diri di atas kursi, meraih remote dan menyalakan televisi.
Dari posisi duduk saat ini, gua mampu mendengar obrolan mereka walaupun samar. Rupanya mereka berdua masih tenggelam dalam obrolan tentang dunia politik. Lalu, tiba-tiba obrolan terhenti, mereka sama-sama diam, gua bahkan hingga mengecilkan volume televisi untuk memastikannya.
Kemudian terdengar samar ucapan Marshall ke bokap; “Om, boleh saya ajak Poppy keluar hari ini?” Tanyanya.
“Ya boleh dong” Jawab Bokap, yang tentu saja langsung membuat gua kembali mengernyitkan dahi. ‘Pasti ada hal yang gua nggak tau’ batin gua dalam hati.
“Pop, Poppy” Seru bokap.
Gua berdiri, dan keluar.
“... Tuh, Marshall mau ngajak keluar katanya” Tambah Bokap seraya menunjuk ke arah Marshall.
Gua lalu merespon dengan anggukan kepala lalu masuk, naik ke atas, ke kamar untuk berganti pakaian. Menit berikutnya gua sudah kembali berada di bawah, di teras rumah, sudah siap untuk pergi.
Tanpa bicara, gua langsung ngeloyor dari teras, keluar ke arah gang; mengabaikan mereka berdua. Marshall lalu dengan cepat pamit ke bokap lalu segera berlari untuk menyusul gua.
“Pop” Panggilnya, saat kami sudah berada di gang nggak jauh dari rumah.
Gua nggak menggubrisnya, hanya terus melangkah. Saat ini, gua seperti merasa dibohongi. Di tambah obrolan kami pagi tadi, rasa-rasanya cukup lumrah kalau gua kesal.
“Poppy” Panggilnya lagi, kali ini sambil berusaha mempercepat langkah dan menyusul gua.
Saat posisinya sudah berada tepat di sebelah gua, ia menoleh dan kembali bicara; “Pop.. Ayo kita ngobrol”
Tanpa berpaling, gua lalu memberinya jawaban; “Ngobrol aja sana sama bokap gua!”
“Lho, gua pikir lo bakal seneng kalo gua ngobrol sama bokap lo?” Ucap Marshall.
Gua menghentikan langkah, berpaling ke arahnya lalu bicara; “Iya, gua seneng.
Tapi, kok rasanya kayak lagi dibohongi aja. Tiba-tiba lo dateng, ngobrol sama bokap gua layaknya sahabat. Dan gua nggak tau apa-apa”
Marshall tersenyum sebentar, kemudian mencoba meraih tangan gua. Sontak gua lantas melepaskannya, lalu memberinya ancaman; “Jangan pegang-pegang!”
Bukannya merasa bersalah, Marshall malah kembali tersenyum dan tertawa. Detik berikutnya, tawanya hilang lalu mulai bercerita; cerita tentang awal pertemuan dengan bokap gua yang terjadi saat kami ia mengantarkan gua pulang selepas dari rumah orang tuanya.
Tanpa sengaja, mereka bertemu di gang dekat rumah, dan Bokap ternyata mengajak Marshall ngobrol sambil ngopi di warung depan. Dari sanalah awal ‘persetujuan’ bokap atas hubungan kami berdua dan dekatnya mereka.
Selesai mendengar penjelasan Marshall, gua berdehem sebentar, menatapnya kemudian memberi respon singkat; “Oh”.
“Sekarang udah boleh pegang?” Tanya Marshall sambil menunjuk ke arah tangan gua.
Gua pasang tampang sinis, meliriknya dan memberi jawaban; “Coba aja kalo berani!”
“Ok, lo butuh penjelasan apa lagi?” Tanyanya.
“Tata…” Jawab gua, ketus.
“Di sini? Sekarang?” Tanyanya lagi.
Gua kembali menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Masih sengaja pasang tampang sinis, gua bicara; “Terus di mana? Kapan? Besok? Minggu depan? Tahun depan?”
“...”
“... Nggak tau deh, kalo gua kemaren nggak ngeliat Tata. Mungkin sampe sekarang gua juga nggak tau. Mungkin juga lo nggak bakal pernah cerita!” Gua menambahkan.
“Nggak gitu, Pop…” Bantahnya.
“Terus gimana?” Tanya gua lagi.
Marshall terdiam sebentar sebelum akhirnya kembali bicara; “Dulu, gua selalu menggambar bangunan karena sebuah alasan; menurut gua bangunan nggak pernah berubah dan selalu memberi naungan, dari derasnya hujan, dari teriknya matahari. Nggak seperti manusia yang selalu berubah, dan nggak bisa menjadi tempat berlindung…”
“...”
“... Dan Tata adalah sosok manusia pertama yang gua gambar. Bukan, bukan karena ia nggak pernah berubah, bukan juga karena ia bisa memberi perlindungan.”
“Terus kenapa?” Tanya gua, memotong kalimatnya.
“Sederhana…” Jawabnya dengan ekspresi wajah datar.
“Karena dia cantik?” Gua kembali memotong bicaranya.
Marshall lalu merespon dengan anggukan kepala.
“Genit!” Gua berseru pelan, sangat pelan.
Kami lalu tiba di kedai kopi tempat dulu Marshall bekerja. Tanpa meminta persetujuan lebih dahulu, ia langsung melangkahkan kakinya, menaiki anak tangga besi menuju ke lantai dua, dimana akses utama menuju kedai berada.
Suara lonceng terdengar begitu ia membuka pintu. Kami lalu disambut oleh
sambutan pramusaji yang juga merupakan para teman-temannya. Marshall terlihat ngobrol sebentar dengan Dahlan sambil memesan kopi, sementara gua langsung menuju ke salah satu meja yang berada di balkon.
Beberapa saat berikutnya, Marshall mendatangi gua dengan membawa segelas kopi. Ia meletakkan gelas kopi tersebut dan mendorongnya ke arah gua.
“Buat gua? Terus punya lo mana?” Tanya gua.
“Gua kan tadi udah ngopi di rumah lo” Jawabnya singkat.
“Manis nggak ini?” Tanya gua lagi, kali ini sambil menunjuk gelas kopi yang kini berada tepat dihadapan gua.
“Manis…”
Gua lalu mulai menyeruput kopi dan berpaling, menghadap ke arahnya.
“Terus sampe mana tadi?” Tanya gua, merujuk ke percakapan kami berdua yang sempat terinterupsi.
“Sampe lo ngatain gua genit” Jawab Marshall singkat.
“Oh, elo denger. Bagus deh”
“Masih mau denger lanjutannya?” Tanyanya.
“Hmmm… Rasanya kesel pas denger, cemburu. Tapi, kalo nggak denger, penasaran” Gua menjawab.
“...”
“... Yaudah lanjut. Karena dia cantik jadi lo mulai gambar dia..” Gua menambahkan.
“Di kehidupan gua saat itu, gua akhirnya dapet semangat lagi. Dapet motivasi untuk tetap berangkat ke sekolah, dimana seperti yang mungkin lo tau, gua udah kehilangan keinginan untuk sekolah sejak lama…”
“...”
“... Tata mengubah gua, mengubah hidup gua. In a good way and also in a bad way…”
“...”
“... Tata yang dulu gua kenal adalah perempuan yang mandiri, pintar dan penuh keceriaan. Dan, melihat dia seperti sekarang, jujur bikin sedikit banyak ada bagian di sini yang terluka” Marshall bicara sambil memegangi dadanya.
“Tunggu dulu, Sal..” Gua lagi-lagi memotong kalimatnya. Ingin langsung bertanya apakah masih ada rasa sayang untuknya.
Tapi sepertinya Marshall kali ini nggak mau kalimatnya terpotong.
“Gua belum selesai, Pop…” Ucapnya.
“Nggak! Tunggu dulu… Gua mau nanya dulu. Jawaban lo dari pertanyaan ini bakal memutuskan apa obrolan ini terus berlanjut atau nggak”
“...” Marshall terdiam sebentar, kemudian mengangguk. Memberikan gua kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
“... Sekarang lo masih sayang sama dia nggak?” Tanya gua dengan nada tegas dan intonasi yang jelas. Ini merupakan pertanyaan terpentingnya, pertanyaan yang bakal menentukan kelangsungan obrolan ini dan tentu saja kelangsungan hubungan kami berdua.
Marshall terdiam, nggak langsung menjawab. Gua memaklumi sikapnya. Siapapun jika diberikan pertanyaan seperti ini pasti nggak bisa langsung memberikan jawaban, apalagi perkara hubungan percintaan.
“Harus gua jawab ya?” Tanyanya.
“Iya lah!”
Marshall tiba-tiba berdiri, beranjak dari kursinya, terasa detak jantung gua melonjak ketika dia tiba-tiba mendekat. mendekat. Ia lalu membungkuk, memposisikan wajahnya tepat di hadapan gua. Gua terpaku, dan sebelum gua sempat melayangkan protes atau bergerak, bibirnya sudah menyentuh bibir gua dengan lembut. Sementara, tangan kirinya ia posisikan dibelakang kepala gua.
Semuanya terasa berputar. Aromanya, sentuhan bibirnya yang hangat, dan tubuhnya yang begitu dekat, membuat gua hampir lupa kalau kami nggak sendiri. Ada orang lain di sekitar kami, tapi dalam momen yang singkat itu, gua merasa kalau dunia kami hanyalah kita berdua.
Iya, ia mencium gua di depan umum.
Sontak, gua langsung mundur, dan memukul dadanya. Kemudian menatap sekeliling. Terlihat beberapa pengunjung, termasuk Dahlan dan pramusaji lainnya menatap ke arah kami berdua. Merasa malu, gua lalu mulai menutupi wajah dengan tas.
“Bego lo!” Seru gua ke Marshall. Yang kini malah tersenyum lalu kembali duduk di kursinya.
“Gua masih perlu jawab pertanyaan lo tadi nggak?” Tanyanya.
“...” Gua terdiam, masih merasa malu dan shock. Mungkin saat ini, wajah gua terlihat merah dan merona saking malunya.
Marshall lalu kembali mengulangi pertanyaannya; “Masih perlu jawaban nggak?”
“Nggak usah!” Jawab gua sambil terus menutupi wajah dengan tas. Saat ini gua merasa berbunga-bunga. Walau awalnya terasa seperti tersambar petir, Tapi begitu menyadari kalau ciuman tadi adalah sebuah jawaban darinya, seketika Senyum gua merekah, karena sekarang tau kalau gua adalah miliknya.
Kami lalu sama-sama terdiam. Gua berlagak memainkan ponsel dengan hanya membuka lockscreen, menguncinya, membukanya kembali, sambil sesekali menyeruput kopi. Sementara, Marshall terlihat menikmati rokoknya seraya menatap ke arah lain.
Setelah cukup lama tenggelam dalam diam, gua memberanikan diri memulai obrolan lagi.
“Udah, gini aja? Lo ngajakin keluar cuma buat ngopi disini?” Tanya gua.
“Nggak. Gua bahkan tadinya nggak mau ngajak lo kesini. Tapi, daripada ngobrol di jalan…”
“Terus?”
“…” Marshall nggak menjawab, ia malah menggaruk-garuk kepalanya; bingung.
“… Mau nonton?” Gua menambahkan, memberi opsi.
“Nonton film?” Tanyanya.
“Iya, masa nonton kebakaran”
“Di bioskop?” Tanyanya lagi.
“Iya, biar kayak orang-orang” Jawab gua.
Marshall lalu mengangguk; setuju.
Setelah menghabiskan kopi, kami berdua lalu pergi dari kedai. Yang tentu saja diiringi dengan tatapan ‘jijik’ para pengunjung lain.
“Sumpah! Gua nggak mau kesini lagi” gumam gua pelan sesaat setelah kami keluar dari kedai kopi. Malu!
Kami berdua masih berdiri di depan kedai kopi, sejak tadi Marshall hanya terdiam sambil menatap layar ponsel; entah apa yang dilakukannya. Awalnya gua pikir ia tengah memesan taksi online untuk kami berdua, namun saat gua mengintip ke arah layar ponselnya, ia malah tengah browsing; mencari lokasi bioskop.
Mengetahui hal tersebut, gua langsung memukul bahunya. Marshall yang terkejut lalu menoleh; “Kenapa?” Tanyanya, heran.
“Gua pikir dari tadi lo mesen taksi online. Panas tau!” Seru gua, kemudian mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai memesan taksi online dengan tujuan yang gua tentukan sendiri. Rasanya percuma bertanya kepadanya yang sama sekali nggak tau apa-apa tentang ‘berkencan’.
Satu jam berikutnya, kami berdua sudah berada di salah satu mall di bilangan Jakarta Barat. Layaknya muda-mudi yang dimabuk cinta, kami berdua berjalan, bersisian sambil saling menggenggam tangan. Kami menghabiskan waktu dengan menonton film, memilih resto dengan harga paling murah dan makan di sana, berkeliling mall hanya untuk melihat-lihat pakaian, sepatu dan barang lainnya tanpa ada keinginan untuk membeli.
“Ini ngedate pertama kita lho, Sal” Ucap gua sambil berdiri di hadapannya yang tengah merokok. Kini kami berdua tengah berada di lobby mall, menunggu taksi online yang akan membawa kami pulang.
“Makan di tukang nasi goreng, nggak masuk itungan ya?” Tanyanya.
“Nggak lah” Jawab gua singkat. Ya sebenarnya, itu tetap masuk hitungan. Tapi, gua cuma mau melabeli malam ini sebagai malam yang spesial aja; our very first date.
Lanjut ke bawah
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 19:52
yanagi92055 dan 36 lainnya memberi reputasi
35
Kutip
Balas