“Lo pikir gampang?” Tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
“... Kalo gampang, mungkin gua udah mengikhlaskan lo sejak dulu, Ta” Tambahnya.
Aku mematikan rokok, dengan menekan puntungnya pada asbak di atas meja, kemudian berdiri. ‘Jika, lebih lama di sini, di sisinya, bisa-bisa bakal pecah tangisku’ aku membatin dalam hati, bersiap untuk pergi.
Masih dalam kondisi duduk, Marshall meraih tanganku. Aku menoleh dan memandangnya.
“Mau kemana?” Tanyanya tanpa membalas tatapan.
“Pulang” Jawabku.
“Nanti aja” Balasnya, kemudian mendongak dan barulah ia membalas tatapanku.
Aku kembali duduk dan menyandarkan tubuh pada sofa, sementara kedua mata ini sama sekali nggak berpaling darinya. Gimana mungkin gua bisa belajar ilmu ikhlas dengan sempurna kalau begini perlakuannya terhadapku. Takutnya, bukannya berhasil merelakannya, aku malah jadi semakin jatuh hati padanya.
Setelah cukup lama kami duduk dalam diam, terdengar suara pagar terbuka, disusul seorang pria masuk ke dalam area teras dengan mengendarai sepeda motor. Perempuan berjilbab terlihat duduk di boncengan.
Marshall lalu berdiri.
“Yuk” Ajanya.
Aku berdiri dan menyusulnya keluar dari dalam rumah.
“Kunci?” Marshall bicara ke temannya, meminta kunci motor. Ia lalu memakai helm, membuka kembali pagar, mengeluarkan sepeda motor dan mulai menyalakan mesin.
“Ayo..” Ucapnya ke arahku seraya menyodorkan helm.
Penuh keraguan, aku meraih helm yang disodorkan, memakainya dan duduk di boncengan sepeda motor.
Detik berikutnya, Marshall sudah membawaku menyusuri jalan raya yang sepi dan lengan.
“Jadi kamu nahan aku pulang cuma karena nunggu motor?” Tanyaku dari belakang.
“Iya, Hehe…” Jawab Marshall sambil terkekeh.
Mendengar jawabannya barusan, sontak aku langsung memukul bahunya; merasa tertipu; “Kirain emang mau bareng-bareng sama aku lebih lama…”
“Lah, ini gua nganterin lo pulang. Jadi lebih lama kan?” Balasnya.
Lalu, aku terdiam.
Awalnya, kupikir Marshall hanya akan mengantarku hingga ke stasiun kereta Api, atau ke tempat ramai dimana aku bisa memesan taksi online. Namun, ia malah terus membawaku menjauh dari tempat yang sempat kuperkirakan.
“Mau kemana?” Tanyaku.
“Tadi kan udah gua bilang; nganter lo pulang” Jawabnya.
“Sampe rumah?” Tanyaku lagi.
“Iya…”
“Naik ini?”
“Iya…”
“Nggak kejauhan?”
“Nggak..” Jawabnya, singkat.
Setelah cukup lama memacu motor dalam kecepatan tinggi di jalan raya yang lebar, sepi dan tenang. Marshall menurunkan kecepatan sepeda motornya begitu kami memasuki area jalan yang membelah perumahan, jalan ‘tikus’ yang biasa digunakan para pesepeda motor untuk menghemat waktu dari BSD ke Bintaro.
“Sal..” Panggilku. Merasa, laju sepeda motor sudah tak sekencang
sebelumnya, sehingga kami bisa berbincang tanpa takut suara hilang dibawa angin.
“Hmmm…”
“Kamu udah kenal sama keluarganya Poppy?” Tanyaku.
Marshall terdiam sebentar, sebelum akhirnya menjawab; “Udah”
“Oh..”
“Kenapa?” Ia balik bertanya.
“Gapapa… Kalo bokap nyokap lo? Poppy juga udah kenal?”
Lagi, ia nggak langsung menjawab pertanyaanku. Barulah setelah beberapa tikungan, ia memberi jawaban; “Udah…”
“Oh..”
“Katanya mau belajar ilmu ikhlas, tapi masih nanya-nanya kayak gitu?”
“Iya, namanya juga penasaran” Jawabku sambil pasang tampang manyun dan memukul bahunya beberapa kali.
Setelahnya, di sisa perjalanan, kami hanya terdiam. Sesekali, aku membentangkan kedua tangan, merasakan hembusan angin malam yang dingin pada telapak tanganku, hingga akhirnya kami tiba di rumah.
Aku nggak langsung turun dari boncengan. Hanya terdiam duduk tepat di belakangnya, menatap punggungnya yang sejak tadi ingin sekali kupeluk, tapi nggak kulakukan.
“Sal..” Panggilku.
“Ya…” Jawabnya.
“Pulangnya hati-hati ya” Ucapku, seraya turun dari boncengan sepeda motor, melepas helm dan mengembalikannya.
“Iya…” Jawabnya sambil menggantungkan helm pada bagian bawah jok sepeda motor.
“Sal..” Panggilku lagi.
“Ya…”
“Doakan aku ya” Pintaku.
“Hah, kenapa?” Tanyanya, penasaran.
“Gapapa… Doain aja supaya aku bisa dengan cepat mengikhlaskan kamu…” Aku menjelaskan.
“Iya…” Jawabnya sambil mengangguk.
“Terus…” Aku terdiam, merasa nggak mampu melanjutkan kalimat.
“...”
“...Jangan terluka lagi ya, Sal…” Aku menambahkan, lalu dengan cepat berbalik dan secepat mungkin masuk ke dalam rumah. Ingin sebisa mungkin ia nggak melihatku menangis.
Tepat setelah masuk, aku langsung berlari ke atas, ke dalam kamar mandi, menyalakan kran wastafel dan shower secara bersamaan, menutup pintu dan berteriak sekeras yang aku bisa. Kemudian terduduk di lantai, bersandar pada dinding seraya memegangi kepala. Kini tangisku pun pecah.
Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamar mandi.
“Ta, kamu gapapa?’ Tanya bunda sambil mengetuk pintu beberapa kali.
Aku berusaha menenangkan diri, berdehem sebentar kemudian menjawab dengan tenang; “Gapapa pun, cuma kebelet aja..”
“Oh… Oiya, Ta.. Obatnya jangan lupa diminum ya..” Ucapnya, lalu terdengar langkah kakinya menjauh.
Setelah berjam-jam duduk di kamar mandi, aku keluar, menuju ke kamar.
Aku meraih ponsel, mencari nama Poppy pada daftar kontak dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar berkali-kali, dan tak ada jawaban. Aku terus mencobanya beberapa kali, hingga suaranya yang serak memecah keheningan.
“Halo..”
“Halo.. Pop, Kamu udah tidur ya?”
“Aduh, Ta… Jam berapa ini? Ada apaan sih?” Ia balik bertanya.
“Aku mau ngobrol” Jawabku.
“Bisa besok aja nggak sih? Ah, gila lo ya, udah jam 2 pagi lho ini…” Serunya, sepertinya baru menyadari kalau panggilan ini kulakukan di jam 2 pagi.
“Sebentar aja, Ta” Pintaku.
“Ck..”
“...”
“... Yaudah buruan”
“Pop, aku cuma mau ngasih tau, kalau aku menyerah…”
“Hah?”
“Iya, Aku sadar kalau kayaknya kamu memang orang yang tepat buat Marshall”.
“...”
“... Aku titip Marshall ya Ta…”
“Apaan sih lo, kayak mau pergi kemana aja…” Seru Poppy dengan nada suara sedikit meninggi.
Aku nggak merespon, hanya terdiam sambil menutup mulut dengan telapak tangan, takut tangisku terdengar oleh Poppy. Nggak mau merasa lemah di matanya.
“Udah itu aja ya Pop…” Balasku, lalu mengakhiri panggilan. Mematikan daya pada ponsel dan meletakkannya di atas meja belajar.
Kupandangi, beberapa kemasan obat yang sudah disiapkan oleh bunda. Kusembunyikan obat-obat tersebut dalam gulungan tisu dan membuangnya ke tempat sampah.
Malam itu, aku meringkuk di atas ranjang di dalam kamar yang gelap, menatap hampa ke arah luar melalui jendela yang sejak tadi kubiarkan terbuka lebar-lebar. Cahaya remang-remang lampu jalan menerobos masuk ke dalam, menciptakan bayangan tubuhku di sudut kamar.
Aku terpaku pada langit malam yang ‘kesepian’. Kini hatiku terasa lebih kosong dari sebelumnya, terpukul oleh rasa kehilangan yang begitu mendalam. Saat aku mencoba memejamkan mata, maka Ingatan tentang dirinya, tentang Marshall selalu hadir; menghantui. Membuat rasanya seperti terperangkap dalam labirin kenangan yang menyakitkan.
Di tengah keheningan, aku merenung, mencoba mencari alasan bagaimana bisa aku terluka begitu dalam.
—
Besoknya, dengan kacamata menutupi mata yang masih sembab akibat sisa tangis semalam, aku turun ke bawah.
“Lho, mau kemana lagi. Ada pemotretan lagi?” Tanya Bunda yang terlihat tengah duduk bersantai sambil menonton televisi di ruang keluarga.
“Nggak, kok.. Cuma mau ke depan, beli kopi” jawabku singkat.
“Tumben, biasanya pesen online”
“Lagi pengen jalan-jalan, sekalian ke agen” Jawabku lagi.
“Oh, terus itu bawa apa?” Tanya Bunda sambil menunjuk ke arah sebuah amplop coklat yang berada di genggamanku.
“Sampah, mau dibuang” Jawabku, kemudian bergegas keluar dari rumah, takut bunda kembali bertanya hal-hal yang enggan kujawab.
Dengan berjalan kaki, aku menuju ke kedai kopi yang berada di deretan ruko perumahan sebelah; Kedai kopi milik Koko.
Terlihat sebuah sepeda motor mahal terparkir tepat di depan kedai kopi. Sementara, Koko duduk di beranda kedai, bermain ponsel seraya sesekali menyeruput kopi hitam dalam cangkir kecil. Aku mendekat dan langsung duduk di kursi tepat di seberangnya. Koko mendongak dan menatapku.
“Wuih, ada proyek lagi?” Tanyanya. Yang lalu kurespon dengan gelengan kepala.
Aku melongok ke arah bagian dalam kedai, ke dinding yang sebelumnya tergantung gambar karya Marshall. Spot tersebut kini kosong.
Koko menoleh, mengikuti arah pandanganku lalu bertanya; “Kenapa?”
Tanpa bicara, aku meletakkan amplop coklat di atas meja dan mendorong amplop tersebut ke arahnya. Koko meraih amplop tersebut, membuka penutup dan mengeluarkan isinya. Berkali-kali ia memandang ke arah kertas di genggamannya lalu beralih kepadaku. Seperti tengah mencocokkan sesuatu.
“Ini elo?” Tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
“... Yang bikin Marshall?” Tambahnya, yang lalu kujawab kembali dengan anggukan kepala.
“... Terus kenapa dikasih gua?” Tanyanya lagi.
Aku terdiam, nggak memberikan jawaban.
Tadi pagi-pagi sekali, saat tengah mencari salah satu sweater, pandanganku terpaku pada sebuah kotak besar di dasar lemari pakaian.
Pada bagian dasar kotak, terdapat beberapa lembar sobekan sketchbook berisi gambar diriku. Gambar diriku yang dulu sempat dibuat oleh Marshall.
Lembaran kertas tersebut kini berada di tangan Koko.
“Kenapa malah lo kasih gua?” Tanyanya lagi, penasaran.
Aku menodongkan tangan ke arahnya, lalu bicara; “Yaudah kalo lo nggak mau, mana sini balikin”
Koko dengan cepat berdiri dan mundur beberapa langkah.
“Eh, enak aja… Kan udah lo kasih gua” Jawabnya.
“Yaudah kalo gitu nggak usah banyak nanya”
“Iya, iya…” Ucapnya, lalu kembali memasukkan lembaran-lembaran tersebut ke dalam amplop coklat.
“Aku mau dibayar” Pintaku.
“Oke, berapa?” Tanya Koko.
“Bukan pake uang”
“Terus?”
“Aku mau dapet kopi gratis, setiap hari, selama seminggu. Dianter ke sana” Pintaku sambil menunjuk ke arah Timur, tempat dimana agen sembako berada.
“Ok, Deal” Responnya, sambil menyodorkan tangan, mengajak bersalaman.
Aku menjabat tangannya dan bicara; “Mulai hari ini ya, sekarang aku mau iced americano”
“Ok, tunggu” Jawab Koko, lalu masuk ke dalam dan kembali beberapa saat kemudian dengan segelas kopi di tangannya.
Aku meraih gelas tersebut, berdiri dan pergi dari sana. Sementara, dari kejauhan Koko berseru; “Thank you lho”
Setelah dari kedai kopi, aku menuju ke Agen sembako dan langsung mencari cing nawan.
10 menit berikutnya, aku kembali ke rumah, naik ke atas, masuk ke dalam kamar. Lalu kembali turun setelah berganti pakaian. Sambil berharap nggak berpapasan dengan bunda, aku keluar dari rumah sambil berjingkat dan mulai memesan taksi online dari depan rumah tetangga.
Hari menjelang siang saat aku akhirnya tiba di depan sebuah gedung besar berbentuk huruf U. Pada bagian depan bangunan terlihat sebuah plang besi yang kini terlihat sedikit berkarat, sebuah plang besi yang berisi tulisan besar; ‘SMAN XX’.
Aku melangkah ke arah pintu gerbang sekolah. Melihat kedatanganku, seorang petugas keamanan yang tengah menonton televisi lalu mendekat. Sosoknya kini terlihat tak setegap dulu, rambutnya memutih karena uban dan wajahnya penuh kerutan.
“Pak Dirman” Panggilku.
Ia mengernyitkan dahi, sambil terus menatapku, seakan mencoba dengan keras mengingat. Beberapa saat kemudian, ekspresi wajahnya berubah. Ia tersenyum sambil mengangkat ujung jarinya ke udara; “Neng Tata” Sapanya.
Aku mengangguk pelan.
“Apa kabar neng?” Tanyanya, seraya membuka pintu gerbang.
“Baik, Pak Dirman gimana, Sehat?” Aku balik bertanya.
“Sehat dong. Ada apa neng?”
“Anu pak, Boleh saya masuk?”
“Monggo-monggo..” Pak Dirman mempersilahkan.
Setelah sedikit berbasa-basi dengan Pak Dirman si petugas keamanan sekolah, aku meminta izin untuk bisa berkeliling sekolah dengan alasan ingin membuat dokumentasi untuk keperluan reuni. Dan, Pak Dirman pun memberi izin.
Aku mulai berkeliling, menyusuri area-area sekolah yang kini sepi dan kosong. Aku duduk di atas kursi kayu tepat di depan gedung koperasi yang terlihat nggak banyak berubah. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutku yang sengaja kugerai. Mataku menatap ke atas, ke arah langit yang biru, lalu berpaling ke arah kursi kayu di hadapanku; Tempat dimana biasanya Marshall duduk sambil menggambar. Mengingatnya, membuat aku merasa kekosongan di dalam dada, seolah-olah setiap nafas ini mengingatkannya pada semua yang telah terjadi.
Namun, di dalam kekosongan yang kurasakan, ada semacam getaran yang menggelora. Menyadari kalau, Marshall kini bakal bahagia dengan orang yang ia cintai dan benar-benar mencintainya.
Dengan beralas tangan, aku menyandarkan kepala di atas meja, menghadap ke arah gedung koperasi. Tanpa terasa, pipiku kembali basah oleh air mata; ‘Ya Tuhan, cengeng banget deh aku’.
Setelah menghabiskan waktu di sekolah, melakukan napak tilas, aku kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju ke kamar Bunda.
“Bund…”
“Ya…”
“Bunda lagi sibuk nggak?” Tanyaku.
“Nggak kok. Kenapa?”
“Tata mau ngobrol boleh?”
“Boleh dong. Sini…” Jawab Bunda, sambil melambaikan tangan, memberikan kode agar aku mendekat.
Aku lalu duduk di atas ranjang, bersandar di bahunya dan mulai mencurahkan keinginanku. Awalnya, Bunda sempat menolak, namun setelah aku membeberkan semua alasan dan rencanaku kedepan, ia akhirnya setuju.
‘Satu bulan. Aku harus mempersiapkan ini semuanya dalam waktu satu bulan’ Batinku dalam hati sambil menatap layar laptop.
—
Quote:
Aku duduk di salah satu kursi yang berada di sisi jendela. Jakarta semakin lama terlihat semakin mengecil lalu perlahan hilang ditelan awan. Bersamaan dengan hilangnya kota tersebut dari pandanganku, kota yang sempat memberikan kebahagiaan, kesedihan, dan segala perasaan yang berkobar di dalamnya.
Aku berharap perasaan ini juga bisa ikut hilang.