- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
sucubus99 dan 138 lainnya memberi reputasi
139
157.3K
Kutip
2.6K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1234
Part 51 - Ilmu Ikhlas
Spoiler for Part 51 - Ilmu Ikhlas:
Ponselku berdering, layarnya menampilkan nama Poppy.
“Halo…” Sapaku, menjawab panggilan sambil berjalan ke arah agen sembako.
“Kalian ngobrol apa aja?” Ia langsung bertanya tanpa menjawab sapaanku.
“Kenapa nggak tanya Marshall aja? Aku yakin kok abis ini dia pasti telpon kamu…” Ucapku menebak.
“Pengen tau ceritanya dari kamu aja sih. Kalau Marshall sih tanpa diminta juga nanti bakal langsung cerita ke gua” Jawabnya dengan nada sedikit pongah.
“Yaudah kalo gitu tunggu aja cerita dari Marshall” Balasku.
“Ck.. Yaudah”
“Eh, Pop… Nanti hari minggu kita satu sesi lho” Aku menambahkan, mencoba mengingatkan Poppy tentang jadwal photoshot hari minggu nanti.
“Iya, gua inget kok” Jawabnya lalu mengakhiri panggilan.
Tanpa terasa, aku kini sudah tiba di depan agen sembako. Cing Nawan terlihat tengah berdiri sambil memegang papan jalan, menghitung karung-karung beras yang baru saja tiba. Nggak ingin mengganggunya, takut ia kehilangan hitungan, aku langsung bergegas ke arah salah satu meja kasir, mengambil sebungkus rokok dan kembali berjalan menuju ke rumah; pulang.
Sesampainya di rumah, Bunda terlihat tengah memarkirkan mobil masuk ke dalam garasi. Begitu selesai dan turun dari mobil, ia langsung memanggil namaku; “Tata.. Ta..”
“Ya…” Jawabku seraya kembali ke depan.
“Kamu tadi nguping kan?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Kok Bunda tau?” Aku balik bertanya.
“Tau dong, lha wong, bayangan kamu keliatan” Jawabnya.
“Hah?! Terus Marshall juga tau dong?” Tanyaku lagi.
“Kayaknya nggak. Dia kan duduk di sebelah sana” Jawab Bunda sambil menunjuk ke salah satu kursi meja makan.
Gua menghela nafas lega. Kemudian bergegas naik ke atas menuju ke kamar.
Di dalam kamar, aku langsung berbaring di atas ranjang, memandang kosong ke atas dan mencoba tersenyum. Ada kelegaan luar biasa di dalam hati kala teringat dengan ucapan Marshall tadi; ‘Mari kita coba dulu, kalau begitu’.
Aku senang, karena Marshall akhirnya menepati janjinya; membiarkanku terus berada disisinya walaupun bukan sebagai siapa-siapanya.
Saking senangnya, aku bahkan lupa makan dan minum obat hingga jatuh terlelap. Sentuhan lembut Bunda akhirnya membangunkanku. “Ta, sayang, bangun, makan dulu terus minum obat..” Ucapnya.
Aku membuka mata dan melirik ke arah jam yang jarumnya menunjukkan hampir pukul 12 malam; rupanya aku tertidur cukup lama. Setelah makan dan minum obat, aku duduk di kursi, menghadap ke arah meja belajar, menatap ke layar ponsel dengan sebuah notifikasi pesan, dari salah seorang telco dari agensi foto.
‘Ta, ini si Poppy minta reschedule jadi hari sabtu. Kamu mau ikut pindah juga nggak? Biar sekalian take’
Aku mengernyitkan dahi begitu membaca isi pesan tersebut. Lalu, membalasnya; ‘Kenapa Poppy minta reschedule?’
‘Nggak tau deh. Tapi kalo lo mau pindah juga, sesi lo abis dia’
‘Yaudah, aku ikut pindah juga deh. Gpp abis si Poppy’. Aku membalas pesannya.
—
Beberapa hari berikutnya, tepat hari Sabtu pagi. Aku sudah bersiap berangkat untuk pemotretan. Seperti biasa, bunda terlihat sibuk menyiapkan sarapan di meja makan saat melihatku turun ke bawah.
“Mau kemana, Ta?” Tanya Bunda.
“Foto…” Jawabku singkat sambil meraih salah satu roti bakar yang sudah disiapkan oleh bunda.
“Emang sekarang hari apa? Bukannya biasanya minggu ya?” Tanyanya.
“Iya, reschedule…” Jawabku.
“Oh.. Yaudah tunggu sebentar ya, nanti bunda anter” Ucapnya.
“Nggak usah bund, aku sendiri aja. Kan bisa naik taksi online” Jawabku.
“Bener?” Bunda kembali bertanya, mungkin merasa nggak yakin.
“Iya Bund..” Jawabku, kemudian mengecup dahinya sebelum pergi.
Dengan taksi online aku akhirnya tiba di studio foto. Jam pada layar ponsel menunjukkan hampir pukul 8.30. Biasanya, sesi pertama foto berlangsung sejak pukul 7 pagi, sementara sesi kedua akan dimulai pukul 8 dan sesi berikutnya akan berselang satu jam, hingga semua model selesai di foto.
Menurut informasi dari telco, Poppy mengubah jadwalnya ke hari ini sesi pertama. Dan aku, yang juga ikut mengubah jadwal menjadi sesi kedua.
Di depan studio terlihat, salah seorang telco yang tengah merokok. Aku menyapanya dan bertanya; “Poppy udah dateng?”
“Oh Udah kak, lagi take sekarang” Jawabnya, seraya menunjuk ke bagian dalam.
Aku bergegas masuk, menuju ke ruang studio yang letaknya berada di posisi paling belakang bangunan. Aku nggak langsung menuju ke ruang ganti seperti biasanya, melainkan langsung menuju ke spot, dimana terlihat Poppy saat ini tengah berpose di depan kamera.
Dengan kaos berwarna merah dan topi yang menutupi kepalanya, ia nampak cantik dan modis. Menyadari kehadiranku disana, Poppy mengernyitkan dahi sebentar, kemudian melambai ke arahku, memberi sapaan.
“Ok sip, ganti baju terakhir Pop” Seru Monic si penata gaya.
Poppy lalu beranjak dari lantai beralas kertas putih penuh lampu, keluar dari kerumunan.
“Lo reschedule juga?” Tanya Poppy sambil berjalan menuju ke ruang ganti.
“Iya…” Jawabku santai, seraya terus mengikutinya menuju ke ruang ganti.
“...”
“... Kamu kenapa reschedule Pop?” Tanyaku penasaran.
“Gapapa, besok ada acara soalnya” Jawab Poppy, sambil melepas kaos yang ia kenakan, dan mulai mengenakan setelan kemeja yang sudah disiapkan oleh Monic si penata gaya.
“Oh..”
“Mau ngopi nggak?” Tanyaku ke Poppy, ingin mencoba mencairkan obrolan yang semakin kesini malah semakin terasa canggung.
“Mau. Tapi jangan yang pait” Jawabnya.
Dengan ponsel, aku lantas membuka aplikasi ojek online dan memesan kopi untuk kami berdua dan juga untuk para kru yang berada di studio.
“Eh, Pop.. Kemarin kamu jadi telepon Marshall?” Tanyaku.
“Jadi”
“Terus dia cerita apa?” Tanyaku lagi penasaran.
“Semuanya”
“Apa?”
“Ya ngapain gua cerita sama lo, aneh. Kan lo yang abis ketemu sama dia” Jawabnya.
Poppy duduk menghadap ke arah cermin dengan banyak lampu, kembali di makeup karena makeup sebelumnya dirasa nggak sesuai dengan tema baju yang sekarang ia kenakan. Sambil di makeup, Poppy menatapku dari pantulan cermin.
“Marshall janjiin apa ke lo kemarin?” Tanyanya.
“Mmm.. janji? Janji apa?” Tanyaku, berpura-pura mengingat. Bukan, bukan aku nggak mau menjawab, tapi nanti pasti aku akan bilang saat kami berdua saja. Saat ini, di dalam ruangan ini nggak cuma ada kami, ada beberapa orang yang bisa jadi bakal mendengar dan tau kisah antara aku dengan Poppy.
“Alah, belagak bego lagi lo” Jawabnya.
Aku tersenyum kemudian mengalihkan pertanyaan lain seputar sesi foto. Yang lalu dijawab dengan santai oleh Poppy. Dari sini aku bisa menebak kalau Poppy hanya akan menjawab dengan sinis dan ekspresi datar jika berhubungan dengan Marshall. Sisanya, ia akan berlaku normal.
Selesai dengan makeup, selesai pula obrolan kami berdua.
Poppy berdiri dan bersiap untuk kembali ke studio. “Gua take dulu bentar, ntar kita ngobrol lagi”.
“Oke” Jawabku. Dan berdiri, bersiap menyusulnya keluar. Namun, Monic memanggilku; “Kak Tata, ini wardrobe-nya ya. Nanti dipake sesuai urutan kiri ke kanan ya” Ucapnya sambil menunjuk ke arah gantungan besi portable dimana beberapa set pakaian tergantung di sana.
Aku mengangguk pelan.
Merasa masih punya sedikit waktu, aku lalu berdiri dan berjalan keluar dari studio; ingin merokok sambil menunggu ojek online yang mengantarkan kopi.
Setelah menunggu beberapa saat, ojek online yang mengantarkan kopi datang. Aku mengambil dua gelas kopi dan meminta bantuan salah satu kru untuk membawa sisanya ke dalam studio.
Terlihat sebuah mobil sedan putih masuk ke area halaman parkir studio. Karena waktu masih pagi, dan restoran bebek yang lokasinya bersebelahan dengan studio masih tutup, jadi ku asumsikan si pemilik mobil ini bukan fotografer apalagi kru, karena baru datang jam segini. Bukan kru atau pengunjung restoran; artinya si pemilik mobil mewah ini kemungkinan besar adalah seorang model juga.
Penasaran, aku menatap ke arah mobil hingga berhenti. Lalu, pintu mobil bagian penumpang terbuka. Kaget dan shock saat aku melihat sosok yang keluar dari mobil, perempuan yang kukenali sebagai nyokapnya Marshall. Sementara dari pintu mobil bagian pengemudi terlihat keluar seorang pria setengah baya yang tentu saja bisa dengan mudah kutebak kalau pria tersebut adalah bokapnya Marshall.
‘Ngapain mereka kesini?’ aku bertanya dalam hati.
Aku membuang puntung rokok ke lantai dan buru-buru menginjaknya. Ingin aku segera pergi dan bersembunyi, mencoba menghindar dari mereka. Tapi, apa daya, nyokapnya Marshall sudah lebih dulu melihat ke arahku.
Nyokapnya Marshall terlihat meraih ponsel dari dalam tas dan menghubungi seseorang. Sementara aku yang sudah terlanjur terlihat olehnya lantas berjalan mendekat. Ya, paling tidak, aku harus menyapa mereka, walapun tau akan mendapat perlakuan seperti apa.
“Pagi Tan…” Sapaku ke nyokapnya Marshall, yang hanya di responnya dengan anggukan kepala.
Aku lalu beralih ke bokapnya, kemudian kembali memberi sapaan; “Pagi, Om”. Berbeda dengan nyokapnya, Bokap Marshall terlihat memberi respon yang positif. Ia menganggukkan kepala dan membalas senyumku.
Saat baru saja, aku ingin berbasa-basi, bertanya tentang keperluan mereka datang kesini. Poppy terlihat keluar dari dalam studio. Ia sudah membawa tas dan langsung melambai ke arah kami bertiga. Aku menoleh ke arah Poppy dan Nyokapnya Marshall bergantian; ‘Nggak mungkin. Nggak mungkin mereka sudah saling kenal’ Batinku dalam hati.
Dan ternyata, tebakanku benar. Poppy dan keluarga Marshall memang sudah saling mengenal.
Kini kepingan-kepingan misteri mulai menyatu. Marshall sudah bertemu dengan orangtuanya, itulah mengapa ia tiba-tiba minta bertemu denganku dan bertanya tentang kejadian di masa lalu. Saat ia bertemu dengan orang tuanya, mungkin saja, Poppy diajak dan diperkenalkan sebagai kekasihnya. Hal yang tentu saja membuat aku terbakar cemburu.
Tapi, aku nggak mau terlalu egois dan melupakan janjiku yang asal bisa terus bertemu Marshall, nggak jadi siapa-siapanya pun, nggak mengapa.
Mereka lalu berbincang sebentar, menyisihkanku, seakan aku nggak berada di sana. Aku menyodorkan gelas kopi yang seharusnya punya Poppy. “Pop, ini…” Ucapku.
Poppy menatap ke arahku, kemudian berpaling ke gelas kopi. Ia tersenyum sebentar, dan langsung masuk ke dalam mobil, disusul oleh nyokap dan bokapnya Marshall. Nggak berselang lama, mobil yang membawa mereka bertiga lalu keluar dari area parkir dan pergi. Sementara, aku masih berdiri, dalam diam, dengan kedua tangan memegang gelas kopi.
Ada kepedihan yang luar biasa di dalam hati, kepedihan yang mendorongku untuk menangis. Tapi, aku mencoba sekuat tenaga untuk menahannya.
‘Jangan nangis! Jangan nangis’ Batinku dalam hati.
—
Setelah menyelesaikan sesi foto, aku bergegas pergi.
“Bye Ta, Thanks kopinya ya” Seru Monic dari arah studio, sementara aku yang sudah dalam perjalanan keluar hanya mengangkat tangan, memberi kode; ‘Sama-sama’.
Aku meraih ponsel, kemudian mencari nama bunda di daftar kontak lalu menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya yang lembut menyapaku; “Halo sayang”
“Halo Bund… Bund, aku udah kelar foto. Tapi, mau main dulu ya…” Ucapku.
“Main kemana?”
“Nanti aku ceritain di rumah deh…”
“Eh, kemana sih Ta… kasih tau sekarang aja. Bunda khawatir deh…” Jawabnya.
“Ih Bunda… aku cuma mau main aja kok, paling juga ke mall” Ucapku, berbohong.
“Yaudah, tapi ati-ati lho ya”
“Iya…” Jawabku, kemudian mengakhiri panggilan.
Tanpa sepengetahuan Bunda, aku berniat ke rumah Marshall.
“Di sini aja pak” Ucapku ke si pengemudi Taksi online yang langsung menepikan mobilnya tepat di depan deretan ruko. Aku keluar dari mobil, lalu berjalan di trotoar besar di depan deretan ruko, kemudian berbelok ke kiri, masuk ke sebuah gang.
Nggak seberapa lama, aku tiba di depan rumah kontrakan yang kini ditempati Marshall. Terlihat sebuah sedan berwarna putih terparkir tepat di depan rumah. Sementara, suara riuh terdengar samar dari arah dalam.
Aku hanya berdiri, berdiam tepat di depan pintu pagar. Nggak punya sama sekali keberanian untuk masuk ke dalam.
Cukup lama aku berdiri, diam dan menatap ke arah pintu rumah yang sedikit terbuka. Sampai, akhirnya aku sadar, bahwa yang kulakukan saat ini hanya memberikan beban ke diri sendiri. Aku menghela nafas dan berjalan kembali ke arah depan gang, lalu berbelok ke kanan, masuk ke area deretan ruko; menuju ke salah satu minimarket yang berada di sana. Minimarket dimana aku dan Marshall pernah berbelanja saat mengunjunginya pertama kali.
Setelah membeli sebotol air mineral dan sebuah roti kemasan. Aku duduk di kursi besi yang berada di teras minimarket. Menikmati sepotong roti sambil melamun, membayangkan apa yang tengah mereka semua perbincangkan di rumah Marshall.
Lama aku berdiam disana. Jika dibilang menunggu, tentu saja aku nggak tau apa yang sedang kutunggu. Tapi, entah kenapa perasaan ini seperti tengah menunggu seseorang.
Satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam, enam jam, aku hanya duduk dan menunggu. Menatap ke arah botol plastik di atas meja besi yang kini sudah kosong.
Langit mulai terlihat kemerahan, disusul samar suara adzan Maghrib yang terdengar bersahutan dari berbagai pelosok. Dalam hitungan menit, langit perlahan mulai menghitam, lampu-lampu di sisi jalan, dan di pelataran ruko mulai menyala. Sementara, aku masih disini, duduk menunggu sesuatu yang entah ada atau tidak.
Sementara, perut terasa keroncongan karena seharian ini hanya makan roti kemasan. Bukan, bukan aku nggak mampu beli makan, aku hanya nggak ingin melakukan apa-apa, nggak ingin beranjak.
Saat hari mulai malam, terlihat beberapa pemuda datang ke arah minimarket. Salah satu diantaranya mengenakan rompi berwarna kuning dengan tulisan ‘parkir’ pada punggungnya. Mungkin petugas parkir liar yang punya jatah parkir di area ruko ini pada malam hari.
Mereka mendekat sambil terus menatap ke arahku.
“Hai cewek, lagi nunggu siapa?” Tanya salah satunya.
Aku diam, nggak menggubrisnya.
Mereka lalu menarik kursi dan duduk. Salah satunya bahkan berdiri, bersandar pada pilar yang berada tepat di sebelahku.
“Halo cantik, sombong amat sih. Diem aja” Seru salah satunya, yang kemudian dengan lancang menyentuh rambutku.
Aku bergeming, lalu memejamkan mata. Ingatan-ingatan masa lalu kembali datang. Memori kejadian di gudang olahraga seakan terundang, masuk kedalam pikiran. Disusul, rasa pusing yang luar biasa, jantung yang berdebar dan keringat dingin yang mulai mengalir, membasahi dahi.
Dada ini terasa penuh dan sesak, aku bahkan seakan kesulitan bernafas.
Tiba-tiba, terasa sebuah sentuhan di tanganku. Hampir saja aku berteriak. Namun, saat membuka mata, yang kulihat adalah sosok yang begitu kukenali; Marshall.
Ia meraih tanganku, lalu dengan cepat membawaku pergi dari sana.
Tak ada kata yang terucap darinya. Ia hanya diam sambil terus membawaku menjauh. Saat ini, aku masih bingung; antara mimpi atau kenyataan.
“Ngapain?” Tanyanya, begitu kami berdua sudah keluar dari area ruko.
Aku nggak menjawab, merasakan sakit pada bagian ujung jariku karena mengepalkan tangan terlalu keras. Menyadari hal itu, Marshall dengan hati-hati membuka kepalan tanganku, meraih bekas kemasan roti dan membuangnya.
“Ngapain?” Tanyanya lagi.
“Nggak ngapa-ngapain” jawabku lirih.
“Nggak ngapa-ngapain tuh bukan jawaban” Ucapnya, kemudian kembali menarik lenganku menuju ke arah gang rumahnya.
“Dari kapan?” Tanyanya lagi.
“Tadi siang” Jawabku.
“Tadi siang!?”
“Iya” Jawabku sambil mengangguk.
“Udah makan?” Tanyanya lagi. Kini ekspresi wajahnya terlihat berubah, ia nampak khawatir.
Aku mengangguk pelan.
“Makan apa?” Tanyanya.
“Roti”
“Roti doang”
“Sama air mineral”
“Ck…” Gumamnya pelan lalu mempercepat langkahnya.
Marshall membawaku masuk ke dalam rumahnya yang kini terlihat sepi. Membiarkanku duduk di sofa, kemudian dengan lembut menyentuh dahiku dengan punggung tangannya. Seperti tengah mengecek suhu tubuh.
Tanpa bicara, ia bergegas ke dapur, lalu kembali dengan segelas besar air putih. Setelah meletakkan gelas di atas meja, ia kembali ke dapur. Sementara, aku hanya duduk diam dan menatap sekeliling. Rumahnya terlihat jauh berbeda dari terakhir kali aku kesini. Kini, rumahnya terasa ‘hidup’ dengan berbagai furniture yang terlihat mahal.
Terdengar suara kompor dan dentingan alat masak dari arah dapur.
Penasaran, aku berdiri dan menuju ke arah datangnya suara. Di dapur, Marshall tengah berdiri di depan kompor, menatap panji kecil berisi air yang hampir mendidih, sementara tangannya menggenggam kemasan mie instan.
Ia menoleh ke arahku, kemudian bertanya; “Makan mie gapapa kan?” yang langsung kurespon dengan anggukan kepala.
Selesai memasak mie instan, kami berdua lalu kembali duduk di sofa di ruang tamu. Ia meletakkan mangkuk berisi mie instan panas di atas meja, lalu memberi kode agar aku makan.
“Masih panas, Sal” Gumamku pelan.
Marshall meraih lembaran kertas dari kolong meja dan mulai mengipas tepat di atas mangkuk.
“Udah tuh” Ucapnya.
Aku tersenyum dan mulai makan.
“Besok-besok jangan gitu lagi, Ta” Ucapnya.
“Gitu gimana?” Tanyaku, sambil terus makan.
“Ya kayak tadi. Ngapain duduk diem disana seharian” Ucapnya.
Aku mengangkat bahu, sama-sama nggak tau alasannya.
Selesai makan, aku merogoh ke dalam tas dan nggak mendapati bungkusan rokok milikku. Menyadari hal tersebut Marshall lalu bertanya; “Nyari apa?”
“Rokok”
“Nggak ada?” Tanyanya lagi.
“Iya, abis kayaknya”
Ia lalu beranjak, menuju ke atas, ke lantai dua, lalu kembali dengan bungkusan rokok lengkap dengan pemantik api miliknya. Aku mengeluarkan sebatang dan mulai menyulutnya, sementara Marshall juga melakukan hal yang sama.
“Sal..”
“Ya…”
“Ilmu Ikhlas itu belajarnya dimana ya?” Tanyaku.
“Hahaha, nggak tau…”
“...”
“... Kenapa emangnya? Kok tau-tau mau belajar ilmu ikhlas?”
“Gapapa, biar hati lega aja gitu”
“Emang apa sih yang mau lo ikhlasin?” Tanyanya kemudian menghisap rokok dalam-dalam.
“Kamu” Jawabku singkat.
—
“Halo…” Sapaku, menjawab panggilan sambil berjalan ke arah agen sembako.
“Kalian ngobrol apa aja?” Ia langsung bertanya tanpa menjawab sapaanku.
“Kenapa nggak tanya Marshall aja? Aku yakin kok abis ini dia pasti telpon kamu…” Ucapku menebak.
“Pengen tau ceritanya dari kamu aja sih. Kalau Marshall sih tanpa diminta juga nanti bakal langsung cerita ke gua” Jawabnya dengan nada sedikit pongah.
“Yaudah kalo gitu tunggu aja cerita dari Marshall” Balasku.
“Ck.. Yaudah”
“Eh, Pop… Nanti hari minggu kita satu sesi lho” Aku menambahkan, mencoba mengingatkan Poppy tentang jadwal photoshot hari minggu nanti.
“Iya, gua inget kok” Jawabnya lalu mengakhiri panggilan.
Tanpa terasa, aku kini sudah tiba di depan agen sembako. Cing Nawan terlihat tengah berdiri sambil memegang papan jalan, menghitung karung-karung beras yang baru saja tiba. Nggak ingin mengganggunya, takut ia kehilangan hitungan, aku langsung bergegas ke arah salah satu meja kasir, mengambil sebungkus rokok dan kembali berjalan menuju ke rumah; pulang.
Sesampainya di rumah, Bunda terlihat tengah memarkirkan mobil masuk ke dalam garasi. Begitu selesai dan turun dari mobil, ia langsung memanggil namaku; “Tata.. Ta..”
“Ya…” Jawabku seraya kembali ke depan.
“Kamu tadi nguping kan?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Kok Bunda tau?” Aku balik bertanya.
“Tau dong, lha wong, bayangan kamu keliatan” Jawabnya.
“Hah?! Terus Marshall juga tau dong?” Tanyaku lagi.
“Kayaknya nggak. Dia kan duduk di sebelah sana” Jawab Bunda sambil menunjuk ke salah satu kursi meja makan.
Gua menghela nafas lega. Kemudian bergegas naik ke atas menuju ke kamar.
Di dalam kamar, aku langsung berbaring di atas ranjang, memandang kosong ke atas dan mencoba tersenyum. Ada kelegaan luar biasa di dalam hati kala teringat dengan ucapan Marshall tadi; ‘Mari kita coba dulu, kalau begitu’.
Aku senang, karena Marshall akhirnya menepati janjinya; membiarkanku terus berada disisinya walaupun bukan sebagai siapa-siapanya.
Saking senangnya, aku bahkan lupa makan dan minum obat hingga jatuh terlelap. Sentuhan lembut Bunda akhirnya membangunkanku. “Ta, sayang, bangun, makan dulu terus minum obat..” Ucapnya.
Aku membuka mata dan melirik ke arah jam yang jarumnya menunjukkan hampir pukul 12 malam; rupanya aku tertidur cukup lama. Setelah makan dan minum obat, aku duduk di kursi, menghadap ke arah meja belajar, menatap ke layar ponsel dengan sebuah notifikasi pesan, dari salah seorang telco dari agensi foto.
‘Ta, ini si Poppy minta reschedule jadi hari sabtu. Kamu mau ikut pindah juga nggak? Biar sekalian take’
Aku mengernyitkan dahi begitu membaca isi pesan tersebut. Lalu, membalasnya; ‘Kenapa Poppy minta reschedule?’
‘Nggak tau deh. Tapi kalo lo mau pindah juga, sesi lo abis dia’
‘Yaudah, aku ikut pindah juga deh. Gpp abis si Poppy’. Aku membalas pesannya.
—
Beberapa hari berikutnya, tepat hari Sabtu pagi. Aku sudah bersiap berangkat untuk pemotretan. Seperti biasa, bunda terlihat sibuk menyiapkan sarapan di meja makan saat melihatku turun ke bawah.
“Mau kemana, Ta?” Tanya Bunda.
“Foto…” Jawabku singkat sambil meraih salah satu roti bakar yang sudah disiapkan oleh bunda.
“Emang sekarang hari apa? Bukannya biasanya minggu ya?” Tanyanya.
“Iya, reschedule…” Jawabku.
“Oh.. Yaudah tunggu sebentar ya, nanti bunda anter” Ucapnya.
“Nggak usah bund, aku sendiri aja. Kan bisa naik taksi online” Jawabku.
“Bener?” Bunda kembali bertanya, mungkin merasa nggak yakin.
“Iya Bund..” Jawabku, kemudian mengecup dahinya sebelum pergi.
Dengan taksi online aku akhirnya tiba di studio foto. Jam pada layar ponsel menunjukkan hampir pukul 8.30. Biasanya, sesi pertama foto berlangsung sejak pukul 7 pagi, sementara sesi kedua akan dimulai pukul 8 dan sesi berikutnya akan berselang satu jam, hingga semua model selesai di foto.
Menurut informasi dari telco, Poppy mengubah jadwalnya ke hari ini sesi pertama. Dan aku, yang juga ikut mengubah jadwal menjadi sesi kedua.
Di depan studio terlihat, salah seorang telco yang tengah merokok. Aku menyapanya dan bertanya; “Poppy udah dateng?”
“Oh Udah kak, lagi take sekarang” Jawabnya, seraya menunjuk ke bagian dalam.
Aku bergegas masuk, menuju ke ruang studio yang letaknya berada di posisi paling belakang bangunan. Aku nggak langsung menuju ke ruang ganti seperti biasanya, melainkan langsung menuju ke spot, dimana terlihat Poppy saat ini tengah berpose di depan kamera.
Dengan kaos berwarna merah dan topi yang menutupi kepalanya, ia nampak cantik dan modis. Menyadari kehadiranku disana, Poppy mengernyitkan dahi sebentar, kemudian melambai ke arahku, memberi sapaan.
“Ok sip, ganti baju terakhir Pop” Seru Monic si penata gaya.
Poppy lalu beranjak dari lantai beralas kertas putih penuh lampu, keluar dari kerumunan.
“Lo reschedule juga?” Tanya Poppy sambil berjalan menuju ke ruang ganti.
“Iya…” Jawabku santai, seraya terus mengikutinya menuju ke ruang ganti.
“...”
“... Kamu kenapa reschedule Pop?” Tanyaku penasaran.
“Gapapa, besok ada acara soalnya” Jawab Poppy, sambil melepas kaos yang ia kenakan, dan mulai mengenakan setelan kemeja yang sudah disiapkan oleh Monic si penata gaya.
“Oh..”
“Mau ngopi nggak?” Tanyaku ke Poppy, ingin mencoba mencairkan obrolan yang semakin kesini malah semakin terasa canggung.
“Mau. Tapi jangan yang pait” Jawabnya.
Dengan ponsel, aku lantas membuka aplikasi ojek online dan memesan kopi untuk kami berdua dan juga untuk para kru yang berada di studio.
“Eh, Pop.. Kemarin kamu jadi telepon Marshall?” Tanyaku.
“Jadi”
“Terus dia cerita apa?” Tanyaku lagi penasaran.
“Semuanya”
“Apa?”
“Ya ngapain gua cerita sama lo, aneh. Kan lo yang abis ketemu sama dia” Jawabnya.
Poppy duduk menghadap ke arah cermin dengan banyak lampu, kembali di makeup karena makeup sebelumnya dirasa nggak sesuai dengan tema baju yang sekarang ia kenakan. Sambil di makeup, Poppy menatapku dari pantulan cermin.
“Marshall janjiin apa ke lo kemarin?” Tanyanya.
“Mmm.. janji? Janji apa?” Tanyaku, berpura-pura mengingat. Bukan, bukan aku nggak mau menjawab, tapi nanti pasti aku akan bilang saat kami berdua saja. Saat ini, di dalam ruangan ini nggak cuma ada kami, ada beberapa orang yang bisa jadi bakal mendengar dan tau kisah antara aku dengan Poppy.
“Alah, belagak bego lagi lo” Jawabnya.
Aku tersenyum kemudian mengalihkan pertanyaan lain seputar sesi foto. Yang lalu dijawab dengan santai oleh Poppy. Dari sini aku bisa menebak kalau Poppy hanya akan menjawab dengan sinis dan ekspresi datar jika berhubungan dengan Marshall. Sisanya, ia akan berlaku normal.
Selesai dengan makeup, selesai pula obrolan kami berdua.
Poppy berdiri dan bersiap untuk kembali ke studio. “Gua take dulu bentar, ntar kita ngobrol lagi”.
“Oke” Jawabku. Dan berdiri, bersiap menyusulnya keluar. Namun, Monic memanggilku; “Kak Tata, ini wardrobe-nya ya. Nanti dipake sesuai urutan kiri ke kanan ya” Ucapnya sambil menunjuk ke arah gantungan besi portable dimana beberapa set pakaian tergantung di sana.
Aku mengangguk pelan.
Merasa masih punya sedikit waktu, aku lalu berdiri dan berjalan keluar dari studio; ingin merokok sambil menunggu ojek online yang mengantarkan kopi.
Setelah menunggu beberapa saat, ojek online yang mengantarkan kopi datang. Aku mengambil dua gelas kopi dan meminta bantuan salah satu kru untuk membawa sisanya ke dalam studio.
Terlihat sebuah mobil sedan putih masuk ke area halaman parkir studio. Karena waktu masih pagi, dan restoran bebek yang lokasinya bersebelahan dengan studio masih tutup, jadi ku asumsikan si pemilik mobil ini bukan fotografer apalagi kru, karena baru datang jam segini. Bukan kru atau pengunjung restoran; artinya si pemilik mobil mewah ini kemungkinan besar adalah seorang model juga.
Penasaran, aku menatap ke arah mobil hingga berhenti. Lalu, pintu mobil bagian penumpang terbuka. Kaget dan shock saat aku melihat sosok yang keluar dari mobil, perempuan yang kukenali sebagai nyokapnya Marshall. Sementara dari pintu mobil bagian pengemudi terlihat keluar seorang pria setengah baya yang tentu saja bisa dengan mudah kutebak kalau pria tersebut adalah bokapnya Marshall.
‘Ngapain mereka kesini?’ aku bertanya dalam hati.
Aku membuang puntung rokok ke lantai dan buru-buru menginjaknya. Ingin aku segera pergi dan bersembunyi, mencoba menghindar dari mereka. Tapi, apa daya, nyokapnya Marshall sudah lebih dulu melihat ke arahku.
Nyokapnya Marshall terlihat meraih ponsel dari dalam tas dan menghubungi seseorang. Sementara aku yang sudah terlanjur terlihat olehnya lantas berjalan mendekat. Ya, paling tidak, aku harus menyapa mereka, walapun tau akan mendapat perlakuan seperti apa.
“Pagi Tan…” Sapaku ke nyokapnya Marshall, yang hanya di responnya dengan anggukan kepala.
Aku lalu beralih ke bokapnya, kemudian kembali memberi sapaan; “Pagi, Om”. Berbeda dengan nyokapnya, Bokap Marshall terlihat memberi respon yang positif. Ia menganggukkan kepala dan membalas senyumku.
Saat baru saja, aku ingin berbasa-basi, bertanya tentang keperluan mereka datang kesini. Poppy terlihat keluar dari dalam studio. Ia sudah membawa tas dan langsung melambai ke arah kami bertiga. Aku menoleh ke arah Poppy dan Nyokapnya Marshall bergantian; ‘Nggak mungkin. Nggak mungkin mereka sudah saling kenal’ Batinku dalam hati.
Dan ternyata, tebakanku benar. Poppy dan keluarga Marshall memang sudah saling mengenal.
Kini kepingan-kepingan misteri mulai menyatu. Marshall sudah bertemu dengan orangtuanya, itulah mengapa ia tiba-tiba minta bertemu denganku dan bertanya tentang kejadian di masa lalu. Saat ia bertemu dengan orang tuanya, mungkin saja, Poppy diajak dan diperkenalkan sebagai kekasihnya. Hal yang tentu saja membuat aku terbakar cemburu.
Tapi, aku nggak mau terlalu egois dan melupakan janjiku yang asal bisa terus bertemu Marshall, nggak jadi siapa-siapanya pun, nggak mengapa.
Mereka lalu berbincang sebentar, menyisihkanku, seakan aku nggak berada di sana. Aku menyodorkan gelas kopi yang seharusnya punya Poppy. “Pop, ini…” Ucapku.
Poppy menatap ke arahku, kemudian berpaling ke gelas kopi. Ia tersenyum sebentar, dan langsung masuk ke dalam mobil, disusul oleh nyokap dan bokapnya Marshall. Nggak berselang lama, mobil yang membawa mereka bertiga lalu keluar dari area parkir dan pergi. Sementara, aku masih berdiri, dalam diam, dengan kedua tangan memegang gelas kopi.
Ada kepedihan yang luar biasa di dalam hati, kepedihan yang mendorongku untuk menangis. Tapi, aku mencoba sekuat tenaga untuk menahannya.
‘Jangan nangis! Jangan nangis’ Batinku dalam hati.
—
Setelah menyelesaikan sesi foto, aku bergegas pergi.
“Bye Ta, Thanks kopinya ya” Seru Monic dari arah studio, sementara aku yang sudah dalam perjalanan keluar hanya mengangkat tangan, memberi kode; ‘Sama-sama’.
Aku meraih ponsel, kemudian mencari nama bunda di daftar kontak lalu menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya yang lembut menyapaku; “Halo sayang”
“Halo Bund… Bund, aku udah kelar foto. Tapi, mau main dulu ya…” Ucapku.
“Main kemana?”
“Nanti aku ceritain di rumah deh…”
“Eh, kemana sih Ta… kasih tau sekarang aja. Bunda khawatir deh…” Jawabnya.
“Ih Bunda… aku cuma mau main aja kok, paling juga ke mall” Ucapku, berbohong.
“Yaudah, tapi ati-ati lho ya”
“Iya…” Jawabku, kemudian mengakhiri panggilan.
Tanpa sepengetahuan Bunda, aku berniat ke rumah Marshall.
Quote:
Beberapa bulan sebelumnya, berdasar informasi dari Koko, aku sempat mengunjungi kontrakan dimana Marshall sempat tinggal. Namun, begitu tiba disana, ternyata ia sudah pindah. Aku sempat bertanya ke beberapa tetangganya tapi, nggak ada satupun yang tau ia pindah kemana. Atau mungkin, memang nggak ingin memberi tahu.
Nggak habis akal, aku mulai mencari listing di portal web rumah kontrakan yang radiusnya nggak begitu jauh dari kontrakan lama Marshall. Dan mulai menghubungi nomornya satu persatu, kemudian mendatanya berkala, hari demi hari.
Saat ada listing yang hilang, tandanya rumah tersebut sudah terisi. Aku lalu menghubungi setiap rumah kontrakan yang hilang dari listing, mengecek apakah penghuni yang baru masuk adalah pria bernama Marshall.
Dan setelah cukup lama mencari, setelah menghubungi mungkin puluhan pemilik kontrakan, akhirnya aku mendapat sebuah informasi.
“Halo, siang”
“Siang…”
“Bu, aku sempat lihat di web xxxx tentang rumah yang dikontrakkan. Apa masih kosong?” Tanyaku ke si pemilik rumah kontrakan.
“Waduh, Neng. Baru aja ada yang ngisi kemaren” Jawab si Ibu.
“Yaah…”
“Neng, telat sih” Ucap si Ibu.
“Padahal aku udah suka sama rumahnya bu”
“Udah nggak bisa neng…”
“Yaudah kalo gitu, oiya Bu, kalau boleh aku tau yang nempatin udah berkeluarga apa belum ya?” Tanyaku.
“Kayaknya belum deh neng, ada dua orang, masih pada bujang” Jawabnya.
“Oh gitu ya bu, yaudah terima kasih ya” Responku, kemudian mengakhiri panggilan. Lalu memberi ceklis dan melingkari alamat rumah kontrakan itu pada lembaran kertas yang sudah aku cetak sebelumnya.
—
Nggak habis akal, aku mulai mencari listing di portal web rumah kontrakan yang radiusnya nggak begitu jauh dari kontrakan lama Marshall. Dan mulai menghubungi nomornya satu persatu, kemudian mendatanya berkala, hari demi hari.
Saat ada listing yang hilang, tandanya rumah tersebut sudah terisi. Aku lalu menghubungi setiap rumah kontrakan yang hilang dari listing, mengecek apakah penghuni yang baru masuk adalah pria bernama Marshall.
Dan setelah cukup lama mencari, setelah menghubungi mungkin puluhan pemilik kontrakan, akhirnya aku mendapat sebuah informasi.
“Halo, siang”
“Siang…”
“Bu, aku sempat lihat di web xxxx tentang rumah yang dikontrakkan. Apa masih kosong?” Tanyaku ke si pemilik rumah kontrakan.
“Waduh, Neng. Baru aja ada yang ngisi kemaren” Jawab si Ibu.
“Yaah…”
“Neng, telat sih” Ucap si Ibu.
“Padahal aku udah suka sama rumahnya bu”
“Udah nggak bisa neng…”
“Yaudah kalo gitu, oiya Bu, kalau boleh aku tau yang nempatin udah berkeluarga apa belum ya?” Tanyaku.
“Kayaknya belum deh neng, ada dua orang, masih pada bujang” Jawabnya.
“Oh gitu ya bu, yaudah terima kasih ya” Responku, kemudian mengakhiri panggilan. Lalu memberi ceklis dan melingkari alamat rumah kontrakan itu pada lembaran kertas yang sudah aku cetak sebelumnya.
—
“Di sini aja pak” Ucapku ke si pengemudi Taksi online yang langsung menepikan mobilnya tepat di depan deretan ruko. Aku keluar dari mobil, lalu berjalan di trotoar besar di depan deretan ruko, kemudian berbelok ke kiri, masuk ke sebuah gang.
Nggak seberapa lama, aku tiba di depan rumah kontrakan yang kini ditempati Marshall. Terlihat sebuah sedan berwarna putih terparkir tepat di depan rumah. Sementara, suara riuh terdengar samar dari arah dalam.
Aku hanya berdiri, berdiam tepat di depan pintu pagar. Nggak punya sama sekali keberanian untuk masuk ke dalam.
Cukup lama aku berdiri, diam dan menatap ke arah pintu rumah yang sedikit terbuka. Sampai, akhirnya aku sadar, bahwa yang kulakukan saat ini hanya memberikan beban ke diri sendiri. Aku menghela nafas dan berjalan kembali ke arah depan gang, lalu berbelok ke kanan, masuk ke area deretan ruko; menuju ke salah satu minimarket yang berada di sana. Minimarket dimana aku dan Marshall pernah berbelanja saat mengunjunginya pertama kali.
Setelah membeli sebotol air mineral dan sebuah roti kemasan. Aku duduk di kursi besi yang berada di teras minimarket. Menikmati sepotong roti sambil melamun, membayangkan apa yang tengah mereka semua perbincangkan di rumah Marshall.
Lama aku berdiam disana. Jika dibilang menunggu, tentu saja aku nggak tau apa yang sedang kutunggu. Tapi, entah kenapa perasaan ini seperti tengah menunggu seseorang.
Satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam, enam jam, aku hanya duduk dan menunggu. Menatap ke arah botol plastik di atas meja besi yang kini sudah kosong.
Langit mulai terlihat kemerahan, disusul samar suara adzan Maghrib yang terdengar bersahutan dari berbagai pelosok. Dalam hitungan menit, langit perlahan mulai menghitam, lampu-lampu di sisi jalan, dan di pelataran ruko mulai menyala. Sementara, aku masih disini, duduk menunggu sesuatu yang entah ada atau tidak.
Sementara, perut terasa keroncongan karena seharian ini hanya makan roti kemasan. Bukan, bukan aku nggak mampu beli makan, aku hanya nggak ingin melakukan apa-apa, nggak ingin beranjak.
Saat hari mulai malam, terlihat beberapa pemuda datang ke arah minimarket. Salah satu diantaranya mengenakan rompi berwarna kuning dengan tulisan ‘parkir’ pada punggungnya. Mungkin petugas parkir liar yang punya jatah parkir di area ruko ini pada malam hari.
Mereka mendekat sambil terus menatap ke arahku.
“Hai cewek, lagi nunggu siapa?” Tanya salah satunya.
Aku diam, nggak menggubrisnya.
Mereka lalu menarik kursi dan duduk. Salah satunya bahkan berdiri, bersandar pada pilar yang berada tepat di sebelahku.
“Halo cantik, sombong amat sih. Diem aja” Seru salah satunya, yang kemudian dengan lancang menyentuh rambutku.
Aku bergeming, lalu memejamkan mata. Ingatan-ingatan masa lalu kembali datang. Memori kejadian di gudang olahraga seakan terundang, masuk kedalam pikiran. Disusul, rasa pusing yang luar biasa, jantung yang berdebar dan keringat dingin yang mulai mengalir, membasahi dahi.
Dada ini terasa penuh dan sesak, aku bahkan seakan kesulitan bernafas.
Tiba-tiba, terasa sebuah sentuhan di tanganku. Hampir saja aku berteriak. Namun, saat membuka mata, yang kulihat adalah sosok yang begitu kukenali; Marshall.
Ia meraih tanganku, lalu dengan cepat membawaku pergi dari sana.
Tak ada kata yang terucap darinya. Ia hanya diam sambil terus membawaku menjauh. Saat ini, aku masih bingung; antara mimpi atau kenyataan.
“Ngapain?” Tanyanya, begitu kami berdua sudah keluar dari area ruko.
Aku nggak menjawab, merasakan sakit pada bagian ujung jariku karena mengepalkan tangan terlalu keras. Menyadari hal itu, Marshall dengan hati-hati membuka kepalan tanganku, meraih bekas kemasan roti dan membuangnya.
“Ngapain?” Tanyanya lagi.
“Nggak ngapa-ngapain” jawabku lirih.
“Nggak ngapa-ngapain tuh bukan jawaban” Ucapnya, kemudian kembali menarik lenganku menuju ke arah gang rumahnya.
“Dari kapan?” Tanyanya lagi.
“Tadi siang” Jawabku.
“Tadi siang!?”
“Iya” Jawabku sambil mengangguk.
“Udah makan?” Tanyanya lagi. Kini ekspresi wajahnya terlihat berubah, ia nampak khawatir.
Aku mengangguk pelan.
“Makan apa?” Tanyanya.
“Roti”
“Roti doang”
“Sama air mineral”
“Ck…” Gumamnya pelan lalu mempercepat langkahnya.
Marshall membawaku masuk ke dalam rumahnya yang kini terlihat sepi. Membiarkanku duduk di sofa, kemudian dengan lembut menyentuh dahiku dengan punggung tangannya. Seperti tengah mengecek suhu tubuh.
Tanpa bicara, ia bergegas ke dapur, lalu kembali dengan segelas besar air putih. Setelah meletakkan gelas di atas meja, ia kembali ke dapur. Sementara, aku hanya duduk diam dan menatap sekeliling. Rumahnya terlihat jauh berbeda dari terakhir kali aku kesini. Kini, rumahnya terasa ‘hidup’ dengan berbagai furniture yang terlihat mahal.
Terdengar suara kompor dan dentingan alat masak dari arah dapur.
Penasaran, aku berdiri dan menuju ke arah datangnya suara. Di dapur, Marshall tengah berdiri di depan kompor, menatap panji kecil berisi air yang hampir mendidih, sementara tangannya menggenggam kemasan mie instan.
Ia menoleh ke arahku, kemudian bertanya; “Makan mie gapapa kan?” yang langsung kurespon dengan anggukan kepala.
Selesai memasak mie instan, kami berdua lalu kembali duduk di sofa di ruang tamu. Ia meletakkan mangkuk berisi mie instan panas di atas meja, lalu memberi kode agar aku makan.
“Masih panas, Sal” Gumamku pelan.
Marshall meraih lembaran kertas dari kolong meja dan mulai mengipas tepat di atas mangkuk.
“Udah tuh” Ucapnya.
Aku tersenyum dan mulai makan.
“Besok-besok jangan gitu lagi, Ta” Ucapnya.
“Gitu gimana?” Tanyaku, sambil terus makan.
“Ya kayak tadi. Ngapain duduk diem disana seharian” Ucapnya.
Aku mengangkat bahu, sama-sama nggak tau alasannya.
Selesai makan, aku merogoh ke dalam tas dan nggak mendapati bungkusan rokok milikku. Menyadari hal tersebut Marshall lalu bertanya; “Nyari apa?”
“Rokok”
“Nggak ada?” Tanyanya lagi.
“Iya, abis kayaknya”
Ia lalu beranjak, menuju ke atas, ke lantai dua, lalu kembali dengan bungkusan rokok lengkap dengan pemantik api miliknya. Aku mengeluarkan sebatang dan mulai menyulutnya, sementara Marshall juga melakukan hal yang sama.
“Sal..”
“Ya…”
“Ilmu Ikhlas itu belajarnya dimana ya?” Tanyaku.
“Hahaha, nggak tau…”
“...”
“... Kenapa emangnya? Kok tau-tau mau belajar ilmu ikhlas?”
“Gapapa, biar hati lega aja gitu”
“Emang apa sih yang mau lo ikhlasin?” Tanyanya kemudian menghisap rokok dalam-dalam.
“Kamu” Jawabku singkat.
—
Reza Artamevia & Masaki Ueda - Biar Menjadi Kenangan
Tetes airmata ku tak tertahan lagi
Menanti kepastian tentang kita
Kau masih juga bersamanya
Masih mencintainya
Maafkanlah sayangku atas keadaan
Kamu tak pernah jadi kekasihku
Wajahnya selalu terbayang
Saat kau di sisiku
Aku dan kamu takkan tahu
Mengapa kita tak berpisah
Walau kita takkan pernah satu
Biarlah aku menyimpan bayang mu
Dan biarkanlah semua menjadi kenangan
Yang terlukis di dalam hatiku
Meskipun perih namun tetap selalu ada
Di sini
mmuji1575 dan 49 lainnya memberi reputasi
50
Kutip
Balas
Tutup