- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1210
Part 50 - Masa Lalu dan Saat Ini
Spoiler for Part 50 - Masa Lalu dan Saat Ini:
Aku baru saja selesai meminum obat saat tiba-tiba ponselku bergetar, aku melirik ke arah layar ponsel yang menampilkan pesan dari Marshall. Sambil tersenyum, kuraih ponsel dan mulai membaca pesan darinya; ‘Ta, besok ada waktu sebentar?’
‘Kenapa?’ Balasku.
‘Mau ngobrol, bisa?’ Marshall mengirim balasan.
Jelas, aku kaget dan happy. Ini pertama kalinya, ia mengajakku bertemu lebih dulu. Dengan cepat aku kembali mengirim balasan; ‘Bisa. Dimana?’.
‘Lo yang tentuin aja tempatnya’ Balas Marshall.
Begitu mendapat pesan balasan dari Marshall, aku langsung membuka laptop, dan mulai mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol. Tempat yang kalau bisa nggak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Setelah berhasil menemukan tempat yang cocok, aku langsung mengirimkan link alamat melalui pesan ke Marshall.
Namun, nggak ada lagi balasan pesan darinya. Aku duduk sambil berpangku tangan menatap layar ponsel yang tergeletak di atas meja.
Tak kunjung mendapat balasan darinya, aku meraih ponsel dan menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali. Lalu disusul suaranya yang serak di ujung sana.
“Halo…” Sapanya.
“Halo…”.
“Seneng deh, Sal. Kamu mau ngajak ketemu duluan” Aku menyampaikan perasaan yang sebenarnya.
“Iya…”
“Emang mau ngomong apa sih?” Tanyaku, penasaran.
“Besok aja kita obrolin” Jawabnya. Mendengar nada bicaranya yang serius dan datar, aku bisa dengan mudah menebak kalau obrolan kami nanti pasti perkara yang amat penting.
“Penting?” Tanyaku.
“Buat gua sih penting. Nggak tau kalau menurut lo nanti” Jawab Marshall.
“Ya kalau, buat kamu penting, berarti penting juga buat aku” Responku.
“Let's see then…” Jawabnya, kemudian mengakhiri panggilan.
Kugenggam ponsel tepat di depan dada, sambil mencoba mengira-ngira hal sepenting apa yang ingin ia bicarakan sampai ia harus menghubungiku lebih dulu. Rasa penasaran ini akhirnya membuatku sulit terlelap, padahal efek samping obat yang kuminum barusan biasanya langsung membuatku ngantuk dan tertidur.
Besoknya, selesai bersiap-siap, aku turun ke bawah. Bunda yang melihatku tampil nggak seperti biasanya langsung tersenyum dan bertanya; “Duh, cantiknya. Mau kemana?”
“Mau ketemu Marshall” Jawabku sambil membalas senyumnya.
“Wuih… dimana?” Tanyanya lagi, yang lantas kujawab dengan menyebutkan sebuah tempat yang sempat kusarankan kemarin. Sebuah tempat yang memiliki slogan; ‘Mall without Walls’.
“Wah lumayan. Mau naik apa?” Tanyanya lagi.
“Nggak tau nih, Bund. Paling naik taksi” Jawabku, seraya mengeluarkan ponsel dan bersiap untuk memesan taksi online.
“Yaudah yuk, Bunda anter. Sekalian mau meeting sama klien” Bunda menawarkan tumpangan.
“Keburu nggak? Nanti bunda malah jadi telat”
“Nggak, tenang aja” Ujarnya.
Setelah hampir 45 menit berikutnya, aku akhirnya tiba. Bunda menurunkanku tepat di halte feeder bus yang juga sekaligus akses masuk utama menuju kedai kopi tempat aku dan Marshall janjian. Gua berjalan kaki, sambil sesekali menatap layar ponsel, menunggu kabar darinya.
Aku masuk ke dalam kedai kopi, memesan segelas besar iced americano dan menunggu. Sambil menunggu, aku memandang sekeliling. Tatapanku lalu berhenti tepat ke arah beranda kedai yang berada di luar; terlihat Marshall tengah duduk di salah satu kursi, sementara tangannya sibuk menari di atas kertas dan matanya sesekali menatap ke arah lain; ke arah bangunan-bangunan di sekitar kedai.
“Atas nama Kak Tata” Seru seorang pramusaji, memanggil nama seraya menyerahkan kopi pesananku.
Aku masih berdiri di depan konter, nggak beranjak, nggak langsung menemuinya. Hanya terus bersandar pada sisi konter, memandang Marshall yang sibuk menggambar. Sudah lama, aku nggak melihatnya seperti sekarang ini; melihatnya tenggelam dalam kesibukannya, membuatnya melupakan dunia.
Ia lalu terlihat menjawab sebuah panggilan melalui ponselnya. Saat bicara, terlihat ia sesekali tersenyum dan sesekali tertawa. ‘Siapa yang menelponnya? Poppy?’. Setelah hampir cukup lama ia bicara di telpon, aku bergegas keluar dan menghampirinya.
Aku berdiri tepat di hadapannya, meletakkan gelas kopi di atas meja lalu duduk, menyulut sebatang rokok sambil menunggunya selesai menelpon.
“Siapa?” Tanyaku begitu melihatnya selesai dengan panggilan ponsel.
Marshall nggak langsung memberi jawaban, ia hanya terdiam, meraih bungkusan rokok milikku yang berada di atas meja, mengambilnya sebatang dan mulai menyulutnya.
Merasa kalau ia nggak mau memberi jawaban perkara siapa sosok yang menghubunginya, aku kembali mengajukan pertanyaan lain; “Udah lama?”.
“Lumayan, ada kali sejaman” jawabnya. Iya, kira-kira segitu waktu yang kuhabiskan hanya untuk menatapnya dari dalam kedai tadi. Dan untuk menutupinya, aku lalu berpura-pura terkejut; “Hah!?”
Seperti nggak mau terlihat kalau kalau aku yang salah karena datang terlambat, Marshall dengan cepat menambahkan; “Nggak lo nggak telat, gua sengaja datang cepet aja..”
“Oh..”
“Lo apa kabar? Udah sehat banget ya?” Tanyanya menanyakan kabar kesehatanku.
Nggak ingin membuatnya khawatir, aku pun mengangguk, tersenyum dan menjawab; “Udah dong”
“Ta..” Marshall memanggil namaku. Kini ekspresinya terlihat serius, bahkan senyum di wajahnya pun hilang.
“Ya…” Jawabku, was-was.
“Waktu gua di penjara, lo tau nggak kenapa bokap dan nyokap gua nggak bisa jenguk bahkan nggak punya akses untuk menghubungi gua?” Marshall mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang selama ini aku pun nggak tau pasti jawabannya.
Aku terdiam.
Marshall menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya, mengisi ruang kosong di sisi kami berdua.
Setelah menimbang cukup lama, aku memberi jawaban dengan menganggukkan kepala.
Iya, aku memang mengetahui semuanya.
“Dan lo diem aja?” Tanyanya lagi.
Dan aku hanya bisa terdiam.
Sementara, Marshall kembali bicara. Aku menatap wajahnya ke arah kedua matanya yang seakan menyembunyikan ‘luka’.
“Ta, Kalau waktu bisa diulang kembali, gua bakal tetap melakukan hal yang sama buat lo. Selama ini gua nggak pernah sedikit pun menyesal dengan apa yang terjadi di gudang olahraga…”
“...” Aku masih tetap terdiam. Kini, nggak lagi mampu menatap ke arahnya.
Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil memainkan ujung jari di bawah meja.
“... Gua bahkan rela kehilangan semuanya, buat siapa? Buat lo, Ta. Buat lo.”
“...”
“... Begitu bebas dari penjara, cuma satu orang yang pengen banget gua temui; elo Ta. Gua bahkan rela, rela banget pas tau lo udah punya orang lain.”
“...”
“... Yang nggak bisa gua terima cuma satu; kenapa kok kalian tega ‘menjauhkan’ orang tua dari anaknya.”
“...”
“... Bertahun-tahun gua membenci orangtua gua karena merasa mereka membenci gua sampai nggak mau menjenguk dan membantu gua”
“...”
Aku merasa seperti tengah dihakimi. Iya, aku memang bersalah. Tapi, aku pun nggak mau hal seperti ini terjadi. Seandainya bisa memutar waktu, aku pasti menuruti semua sarannya untuk nggak pergi ke acara pensi.
“Sal… Aku tau semuanya. Tapi, aku nggak bisa ngapa-ngapain. Aku nggak punya kuasa ngelawan ayah…” Aku mulai memberi pembelaan tentu sambil menahan air mata yang hampir tak tertahan.
Marshall nggak menggubris penjelasanku, ia hanya terdiam. Aku yang nggak tau lagi harus berkata apa, juga ikut terdiam.
“Terus, sekarang aku harus gimana?” Tanyaku, ingin meminta pendapat darinya. Selama ini aku sama sekali nggak tau apa yang ia inginkan, apa yang membuatnya, membuatku, membuat kami berdua terbebas dari derita ini.
Marshall hanya terdiam, nggak memberikan jawaban apapun.
“... Terus, sekarang aku harus gimana, Sal?” Tanyaku lagi, kini sambil memberanikan diri menatap ke arahnya.
“Bisa nggak lo lupain gua?” Pintanya dengan suara yang pelan dan lirih.
Mendengar permintaannya barusan tentu saja aku dengan cepat memberi jawaban; Nggak mau”, sambil menggelengkan kepala.
Iya, aku memang mau melakukan apapun agar kami bisa terbebas dari penderitaan ini. Tapi, bukan berarti aku rela melepaskannya. Walaupun terdengar sedikit egois tapi, selama ini aku bertahan karenanya. Seandainya, harapanku satu-satunya; Marshall pergi. Untuk apalagi aku bertahan.
“Bisa nggak berhenti mengusahakan hubungan ini?” Pintanya lagi.
“Kayaknya mendingan aku mati aja nggak sih, Sal?” Jawabku.
“Careful what you wish for, Ta” Balasnya.
“Ya abisnya, kamu mau aku gimana? Aku harus apa? Kamu nggak tau kan kalau selama ini bertahan buat kamu. Kalo udah nggak ada harapan lagi buat bayar kesalahan aku ke kamu, mending mati aja kan. Iya kan sal?” Aku menambahkan, kini tak lagi kuasa menahan tangis yang lalu pecah.
“Zetta..” Seru Marshall seraya meninggikan nada suaranya.
Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja aku terkejut.
“Ya terus aku harus gimana, Marshall?” Balasku, dengan nada yang sama tingginya.
Karena sama-sama bicara dengan nada tinggi, tentu membuat kami langsung menjadi pusat perhatian. Para pengunjung lain langsung memberi tatapan ke arah kami berdua. Setelahnya, kami sama-sama kembali tenggelam dalam diam.
Aku menyeka ujung mata dengan tisu, lalu kembali bicara; “Pokoknya aku nggak mau kalau harus ngelupain kamu. Lagian dulu juga kamu udah pernah janji kalo kita bisa terus berteman” Aku menambahkan, sambil mencoba mengingatkan Marshall akan janjinya dulu sewaktu kami pertama kali bicara setelah ia keluar dari penjara; di depan kedai kopi.
“Nggak bisa ta. Ada yang hatinya sakit kalau kita terus begini…” Balasnya.
Mendengar jawaban darinya, membuat hatiku begitu sakit dan terluka. Aku yang selama ini menyayanginya, kenapa ia malah lebih mengkhawatirkan orang lain.
“Siapa, Poppy?” Tanyaku.
“...” Marshall nggak menjawab. Tanpa jawaban darinya sekalipun, aku bisa dengan mudah menebak siapa sosok tersebut; Poppy.
“...Kamu mikirin perasaan dia tapi nggak sama sekali mikirin perasaan aku ya?” Tanyaku.
“Lo pernah nggak mikirin gimana perasaan gua?” Marshall malah balik bertanya, dan aku nggak punya jawaban dari pertanyaannya tersebut.
Marshall lalu mulai membereskan lembaran kertas, pensi dan penghapus miliknya dari atas meja, memasukkannya ke dalam tas dan bersiap untuk pergi.
“Ayok gua anterin pulang…” Ucapnya.
Aku menggeleng.
“Kamu kalo mau pulang, pulang aja. Aku masih mau disini…” Jawabku, masih mau duduk disini sebentar lagi. Diam dan merenung, mungkin saja bisa sedikit melegakan pikiranku yang kalut.
Marshall lalu kembali duduk dan menatap ke arahku.
Kami hanya duduk dalam diam, nggak ada kata-kata yang terucap. Sementara aku menatapnya sambil terus menghisap rokok, Marshall duduk diam memandang suasana di sekitar kedai kopi.
“Ta…” Panggilnya.
“...”
“... Ayo pulang”.
Aku nggak merespon dengan kata-kata, melainkan langsung memasukkan ponsel dan bungkusan rokok ke dalam tas lalu berdiri, kemudian berbalik dan pergi. Sementara Marshall ikut berdiri dan segera menyusulku.
Diperjalanan pulang, di dalam taksi online yang membawa kami menuju ke rumah aku kembali mengajukan pertanyaan kepadanya; “Sal, Aku harus gimana?”
Aku menebak kalau ia bakal menjawab dengan respon yang sama seperti sebelumnya. Maka, akupun mengantisipasinya dengan memberikan kalimat pengecualian; “... Tapi, kalo kamu minta aku pergi atau ngelupain kamu. Aku nggak bakal mau”.
“Ya, tapi kan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, aku buru-buru menyela.
“Kalo emang alasannya adalah Poppy, biar nanti aku yang ngomong sama Poppy” Ucapku, merasa kini aku dan Poppy berteman. Dan sepertinya sangat mungkin jika Poppy mau memberikan kesempatan buatku.
Marshall terdiam, nggak bicara.
“... Boleh kan? Kamu nggak ngelarang aku berhubungan sama Poppy juga kan?”.
Marshall lalu mengangguk pelan.
Sesaat sebelum kami tiba. Marshall angkat bicara; “Ta..”
“Hmmm…”
“Nyokap lo ada kan?” Tanyanya.
“Mau ngapain?” Aku balik bertanya.
“Gua nanti mau ngobrol sama nyokap lo” Ucapnya.
“Bentar…” Jawabku, kemudian meraih ponsel dan menghubungi Bunda, mencoba menanyakan keberadaannya. Rupanya, Bunda sudah selesai meeting dan saat ini tengah berada di salah satu supermarket di dekat rumah. Ia bakal kembali sebentar lagi.
“... Lagi keluar sebentar, tapi bentar lagi juga balik” Aku menambahkan.
“Oh…”
Beberapa menit berikutnya, taksi online yang membawa kami berdua akhirnya tiba di rumah. Aku keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam, Marshall mengikutiku.
Aku membawanya, masuk ke dalam, ke ruang makan.
“Kalo mau ngerokok, ngerokok aja” Ucapku, seraya meletakkan kotak berisi jus tepat di hadapannya. Aku lalu duduk di salah satu kursi di meja makan, menghadap ke arahnya.
“Laper nggak?” Tanyaku sambil membuka aplikasi ojek online untuk memesan makanan seandainya ia ingin makan. Namun, Marshall menolak dengan menggelengkan kepalanya.
“... Mau kopi?” Tanyaku lagi.
“Nggak usah” Jawabnya, lalu menuang jus ke dalam gelas dan meminumnya. Sementara, aku mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam tas, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
Setelah menunggu cukup lama, terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Disusul langkah kaki santai yang mendekat ke arah ruang makan.
“Eh, ada tamu…” Ucap Bunda begitu menyadari kehadiran Marshall di ruang makan.
Marshall berdiri, tersenyum, menganggukan kepala lalu kembali duduk.
“Bund, Marshall mau ngobrol” Ucapku ke Bunda yang bersiap pergi ke arah kamarnya. Namun, begitu mendengar ucapanku, ia menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Kini ia melangkah ke arah meja makan.
“Ngobrol apa nih?” Tanya Bunda, lalu menarik kursi di meja makan dan duduk. Ia mengibaskan tangan di depan wajah, sepertinya merasa terganggu dengan asap rokok milikku.
Menyadari kalau asap rokok yang kuhisap mengganggunya, aku bergegas membuang puntung rokok ke wastafel dan kembali duduk.
Marshall lalu mulai bicara; “Gini Tan…”
“...”
“Waktu saya di penjara, Tante tau nggak kenapa orang tua saya nggak bisa jenguk?” Tanya Marshall to the point.
Mendapat pertanyaan seperti itu, bunda lalu menatap ke arahku dan bicara; “Ta, kamu ke kamar dulu sana”
Nggak mau mendebat Bunda dan memang sudah terlalu lelah karena sebelumnya ‘berdebat’ dengan Marshall, aku lalu meraih tas dan naik ke atas. Tapi, aku sengaja nggak langsung menuju ke kamar, melainkan duduk di anak tangga yang posisinya nggak terlihat dari arah ruang makan.
Dari posisiku saat ini, aku bisa mendengar semua pembicaraan mereka; Semuanya.
Aku hanya bisa terdiam sambil menahan tangis dan menutup mulut dengan telapak tangan agar suaraku nggak terdengar hingga ke bawah.
Lalu terdengar Bunda memanggil Marshall yang sepertinya sudah bersiap untuk pergi.
‘Kenapa?’ Balasku.
‘Mau ngobrol, bisa?’ Marshall mengirim balasan.
Jelas, aku kaget dan happy. Ini pertama kalinya, ia mengajakku bertemu lebih dulu. Dengan cepat aku kembali mengirim balasan; ‘Bisa. Dimana?’.
‘Lo yang tentuin aja tempatnya’ Balas Marshall.
Begitu mendapat pesan balasan dari Marshall, aku langsung membuka laptop, dan mulai mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol. Tempat yang kalau bisa nggak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Setelah berhasil menemukan tempat yang cocok, aku langsung mengirimkan link alamat melalui pesan ke Marshall.
Namun, nggak ada lagi balasan pesan darinya. Aku duduk sambil berpangku tangan menatap layar ponsel yang tergeletak di atas meja.
Tak kunjung mendapat balasan darinya, aku meraih ponsel dan menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali. Lalu disusul suaranya yang serak di ujung sana.
“Halo…” Sapanya.
“Halo…”.
“Seneng deh, Sal. Kamu mau ngajak ketemu duluan” Aku menyampaikan perasaan yang sebenarnya.
“Iya…”
“Emang mau ngomong apa sih?” Tanyaku, penasaran.
“Besok aja kita obrolin” Jawabnya. Mendengar nada bicaranya yang serius dan datar, aku bisa dengan mudah menebak kalau obrolan kami nanti pasti perkara yang amat penting.
“Penting?” Tanyaku.
“Buat gua sih penting. Nggak tau kalau menurut lo nanti” Jawab Marshall.
“Ya kalau, buat kamu penting, berarti penting juga buat aku” Responku.
“Let's see then…” Jawabnya, kemudian mengakhiri panggilan.
Kugenggam ponsel tepat di depan dada, sambil mencoba mengira-ngira hal sepenting apa yang ingin ia bicarakan sampai ia harus menghubungiku lebih dulu. Rasa penasaran ini akhirnya membuatku sulit terlelap, padahal efek samping obat yang kuminum barusan biasanya langsung membuatku ngantuk dan tertidur.
Besoknya, selesai bersiap-siap, aku turun ke bawah. Bunda yang melihatku tampil nggak seperti biasanya langsung tersenyum dan bertanya; “Duh, cantiknya. Mau kemana?”
“Mau ketemu Marshall” Jawabku sambil membalas senyumnya.
“Wuih… dimana?” Tanyanya lagi, yang lantas kujawab dengan menyebutkan sebuah tempat yang sempat kusarankan kemarin. Sebuah tempat yang memiliki slogan; ‘Mall without Walls’.
“Wah lumayan. Mau naik apa?” Tanyanya lagi.
“Nggak tau nih, Bund. Paling naik taksi” Jawabku, seraya mengeluarkan ponsel dan bersiap untuk memesan taksi online.
“Yaudah yuk, Bunda anter. Sekalian mau meeting sama klien” Bunda menawarkan tumpangan.
“Keburu nggak? Nanti bunda malah jadi telat”
“Nggak, tenang aja” Ujarnya.
Setelah hampir 45 menit berikutnya, aku akhirnya tiba. Bunda menurunkanku tepat di halte feeder bus yang juga sekaligus akses masuk utama menuju kedai kopi tempat aku dan Marshall janjian. Gua berjalan kaki, sambil sesekali menatap layar ponsel, menunggu kabar darinya.
Aku masuk ke dalam kedai kopi, memesan segelas besar iced americano dan menunggu. Sambil menunggu, aku memandang sekeliling. Tatapanku lalu berhenti tepat ke arah beranda kedai yang berada di luar; terlihat Marshall tengah duduk di salah satu kursi, sementara tangannya sibuk menari di atas kertas dan matanya sesekali menatap ke arah lain; ke arah bangunan-bangunan di sekitar kedai.
“Atas nama Kak Tata” Seru seorang pramusaji, memanggil nama seraya menyerahkan kopi pesananku.
Aku masih berdiri di depan konter, nggak beranjak, nggak langsung menemuinya. Hanya terus bersandar pada sisi konter, memandang Marshall yang sibuk menggambar. Sudah lama, aku nggak melihatnya seperti sekarang ini; melihatnya tenggelam dalam kesibukannya, membuatnya melupakan dunia.
Ia lalu terlihat menjawab sebuah panggilan melalui ponselnya. Saat bicara, terlihat ia sesekali tersenyum dan sesekali tertawa. ‘Siapa yang menelponnya? Poppy?’. Setelah hampir cukup lama ia bicara di telpon, aku bergegas keluar dan menghampirinya.
Aku berdiri tepat di hadapannya, meletakkan gelas kopi di atas meja lalu duduk, menyulut sebatang rokok sambil menunggunya selesai menelpon.
“Siapa?” Tanyaku begitu melihatnya selesai dengan panggilan ponsel.
Marshall nggak langsung memberi jawaban, ia hanya terdiam, meraih bungkusan rokok milikku yang berada di atas meja, mengambilnya sebatang dan mulai menyulutnya.
Merasa kalau ia nggak mau memberi jawaban perkara siapa sosok yang menghubunginya, aku kembali mengajukan pertanyaan lain; “Udah lama?”.
“Lumayan, ada kali sejaman” jawabnya. Iya, kira-kira segitu waktu yang kuhabiskan hanya untuk menatapnya dari dalam kedai tadi. Dan untuk menutupinya, aku lalu berpura-pura terkejut; “Hah!?”
Seperti nggak mau terlihat kalau kalau aku yang salah karena datang terlambat, Marshall dengan cepat menambahkan; “Nggak lo nggak telat, gua sengaja datang cepet aja..”
“Oh..”
“Lo apa kabar? Udah sehat banget ya?” Tanyanya menanyakan kabar kesehatanku.
Nggak ingin membuatnya khawatir, aku pun mengangguk, tersenyum dan menjawab; “Udah dong”
“Ta..” Marshall memanggil namaku. Kini ekspresinya terlihat serius, bahkan senyum di wajahnya pun hilang.
“Ya…” Jawabku, was-was.
“Waktu gua di penjara, lo tau nggak kenapa bokap dan nyokap gua nggak bisa jenguk bahkan nggak punya akses untuk menghubungi gua?” Marshall mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang selama ini aku pun nggak tau pasti jawabannya.
Aku terdiam.
Marshall menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya, mengisi ruang kosong di sisi kami berdua.
Setelah menimbang cukup lama, aku memberi jawaban dengan menganggukkan kepala.
Iya, aku memang mengetahui semuanya.
Quote:
Aku mendengarnya dari Ais, salah satu sepupuku, keponakan ayah, yang selalu memberikan update terkini terkait situasi yang terjadi di rumah, karena sejak kejadian di gudang olahraga, nggak sekalipun aku keluar dari kamar.
Berdasarkan informasi dari Ais, ayah dan keluarga korban yang meninggal berkonsolidasi, bersekutu untuk membuat hukuman Marshall lebih berat dari yang seharusnya. Seakan nggak cukup, mereka juga sepakat untuk sepenuhnya mengisolasi Marshall dari orang-orang terdekatnya agar ia sama sekali nggak mendapat bantuan apapun. Tujuannya hanya satu, membuatnya semakin menderita.
Seandainya, mereka tau. Seandainya ayah tau kalau bukanlah Marshall yang melakukan semuanya. Seandainya ayah tau kalau anaknya sendirilah yang melakukan hal itu. Sudah pasti ia merasa sangat malu.
Tapi, saat mengetahui hal tersebut, semuanya sudah terlambat. Nggak ada lagi yang bisa kulakukan, kecuali satu hal; Suatu hari aku kabur tanpa sepengetahuan ayah dan bunda. Tujuanku adalah kantor polisi terdekat, ingin membeberkan semuanya kepada pihak berwajib, ingin mengatakan kalau aku lah orang yang sebenarnya melakukan penusukan. Tapi, apa daya, setibanya disana, si polisi malah langsung menelpon ayah. Akupun dijemput dan kembali dibawa pulang.
Setelahnya, entah beberapa kali aku mencoba untuk menghubungi Marshall dengan berbagai cara namun selalu saja gagal. Puncaknya adalah saat ayah mengajakku ke psikolog. Yang ternyata, belakangan barulah ku ketahui kalau tujuan sebenarnya bukanlah untuk meredakan mentalku, tapi menutup semua keyakinanku tentangnya.
Berdasarkan informasi dari Ais, ayah dan keluarga korban yang meninggal berkonsolidasi, bersekutu untuk membuat hukuman Marshall lebih berat dari yang seharusnya. Seakan nggak cukup, mereka juga sepakat untuk sepenuhnya mengisolasi Marshall dari orang-orang terdekatnya agar ia sama sekali nggak mendapat bantuan apapun. Tujuannya hanya satu, membuatnya semakin menderita.
Seandainya, mereka tau. Seandainya ayah tau kalau bukanlah Marshall yang melakukan semuanya. Seandainya ayah tau kalau anaknya sendirilah yang melakukan hal itu. Sudah pasti ia merasa sangat malu.
Tapi, saat mengetahui hal tersebut, semuanya sudah terlambat. Nggak ada lagi yang bisa kulakukan, kecuali satu hal; Suatu hari aku kabur tanpa sepengetahuan ayah dan bunda. Tujuanku adalah kantor polisi terdekat, ingin membeberkan semuanya kepada pihak berwajib, ingin mengatakan kalau aku lah orang yang sebenarnya melakukan penusukan. Tapi, apa daya, setibanya disana, si polisi malah langsung menelpon ayah. Akupun dijemput dan kembali dibawa pulang.
Setelahnya, entah beberapa kali aku mencoba untuk menghubungi Marshall dengan berbagai cara namun selalu saja gagal. Puncaknya adalah saat ayah mengajakku ke psikolog. Yang ternyata, belakangan barulah ku ketahui kalau tujuan sebenarnya bukanlah untuk meredakan mentalku, tapi menutup semua keyakinanku tentangnya.
“Dan lo diem aja?” Tanyanya lagi.
Dan aku hanya bisa terdiam.
Sementara, Marshall kembali bicara. Aku menatap wajahnya ke arah kedua matanya yang seakan menyembunyikan ‘luka’.
“Ta, Kalau waktu bisa diulang kembali, gua bakal tetap melakukan hal yang sama buat lo. Selama ini gua nggak pernah sedikit pun menyesal dengan apa yang terjadi di gudang olahraga…”
“...” Aku masih tetap terdiam. Kini, nggak lagi mampu menatap ke arahnya.
Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil memainkan ujung jari di bawah meja.
“... Gua bahkan rela kehilangan semuanya, buat siapa? Buat lo, Ta. Buat lo.”
“...”
“... Begitu bebas dari penjara, cuma satu orang yang pengen banget gua temui; elo Ta. Gua bahkan rela, rela banget pas tau lo udah punya orang lain.”
“...”
“... Yang nggak bisa gua terima cuma satu; kenapa kok kalian tega ‘menjauhkan’ orang tua dari anaknya.”
“...”
“... Bertahun-tahun gua membenci orangtua gua karena merasa mereka membenci gua sampai nggak mau menjenguk dan membantu gua”
“...”
Aku merasa seperti tengah dihakimi. Iya, aku memang bersalah. Tapi, aku pun nggak mau hal seperti ini terjadi. Seandainya bisa memutar waktu, aku pasti menuruti semua sarannya untuk nggak pergi ke acara pensi.
“Sal… Aku tau semuanya. Tapi, aku nggak bisa ngapa-ngapain. Aku nggak punya kuasa ngelawan ayah…” Aku mulai memberi pembelaan tentu sambil menahan air mata yang hampir tak tertahan.
Marshall nggak menggubris penjelasanku, ia hanya terdiam. Aku yang nggak tau lagi harus berkata apa, juga ikut terdiam.
“Terus, sekarang aku harus gimana?” Tanyaku, ingin meminta pendapat darinya. Selama ini aku sama sekali nggak tau apa yang ia inginkan, apa yang membuatnya, membuatku, membuat kami berdua terbebas dari derita ini.
Marshall hanya terdiam, nggak memberikan jawaban apapun.
“... Terus, sekarang aku harus gimana, Sal?” Tanyaku lagi, kini sambil memberanikan diri menatap ke arahnya.
“Bisa nggak lo lupain gua?” Pintanya dengan suara yang pelan dan lirih.
Mendengar permintaannya barusan tentu saja aku dengan cepat memberi jawaban; Nggak mau”, sambil menggelengkan kepala.
Iya, aku memang mau melakukan apapun agar kami bisa terbebas dari penderitaan ini. Tapi, bukan berarti aku rela melepaskannya. Walaupun terdengar sedikit egois tapi, selama ini aku bertahan karenanya. Seandainya, harapanku satu-satunya; Marshall pergi. Untuk apalagi aku bertahan.
“Bisa nggak berhenti mengusahakan hubungan ini?” Pintanya lagi.
“Kayaknya mendingan aku mati aja nggak sih, Sal?” Jawabku.
“Careful what you wish for, Ta” Balasnya.
“Ya abisnya, kamu mau aku gimana? Aku harus apa? Kamu nggak tau kan kalau selama ini bertahan buat kamu. Kalo udah nggak ada harapan lagi buat bayar kesalahan aku ke kamu, mending mati aja kan. Iya kan sal?” Aku menambahkan, kini tak lagi kuasa menahan tangis yang lalu pecah.
“Zetta..” Seru Marshall seraya meninggikan nada suaranya.
Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja aku terkejut.
“Ya terus aku harus gimana, Marshall?” Balasku, dengan nada yang sama tingginya.
Karena sama-sama bicara dengan nada tinggi, tentu membuat kami langsung menjadi pusat perhatian. Para pengunjung lain langsung memberi tatapan ke arah kami berdua. Setelahnya, kami sama-sama kembali tenggelam dalam diam.
Aku menyeka ujung mata dengan tisu, lalu kembali bicara; “Pokoknya aku nggak mau kalau harus ngelupain kamu. Lagian dulu juga kamu udah pernah janji kalo kita bisa terus berteman” Aku menambahkan, sambil mencoba mengingatkan Marshall akan janjinya dulu sewaktu kami pertama kali bicara setelah ia keluar dari penjara; di depan kedai kopi.
“Nggak bisa ta. Ada yang hatinya sakit kalau kita terus begini…” Balasnya.
Mendengar jawaban darinya, membuat hatiku begitu sakit dan terluka. Aku yang selama ini menyayanginya, kenapa ia malah lebih mengkhawatirkan orang lain.
“Siapa, Poppy?” Tanyaku.
“...” Marshall nggak menjawab. Tanpa jawaban darinya sekalipun, aku bisa dengan mudah menebak siapa sosok tersebut; Poppy.
“...Kamu mikirin perasaan dia tapi nggak sama sekali mikirin perasaan aku ya?” Tanyaku.
“Lo pernah nggak mikirin gimana perasaan gua?” Marshall malah balik bertanya, dan aku nggak punya jawaban dari pertanyaannya tersebut.
Marshall lalu mulai membereskan lembaran kertas, pensi dan penghapus miliknya dari atas meja, memasukkannya ke dalam tas dan bersiap untuk pergi.
“Ayok gua anterin pulang…” Ucapnya.
Aku menggeleng.
“Kamu kalo mau pulang, pulang aja. Aku masih mau disini…” Jawabku, masih mau duduk disini sebentar lagi. Diam dan merenung, mungkin saja bisa sedikit melegakan pikiranku yang kalut.
Marshall lalu kembali duduk dan menatap ke arahku.
Kami hanya duduk dalam diam, nggak ada kata-kata yang terucap. Sementara aku menatapnya sambil terus menghisap rokok, Marshall duduk diam memandang suasana di sekitar kedai kopi.
“Ta…” Panggilnya.
“...”
“... Ayo pulang”.
Aku nggak merespon dengan kata-kata, melainkan langsung memasukkan ponsel dan bungkusan rokok ke dalam tas lalu berdiri, kemudian berbalik dan pergi. Sementara Marshall ikut berdiri dan segera menyusulku.
Diperjalanan pulang, di dalam taksi online yang membawa kami menuju ke rumah aku kembali mengajukan pertanyaan kepadanya; “Sal, Aku harus gimana?”
Aku menebak kalau ia bakal menjawab dengan respon yang sama seperti sebelumnya. Maka, akupun mengantisipasinya dengan memberikan kalimat pengecualian; “... Tapi, kalo kamu minta aku pergi atau ngelupain kamu. Aku nggak bakal mau”.
“Ya, tapi kan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, aku buru-buru menyela.
“Kalo emang alasannya adalah Poppy, biar nanti aku yang ngomong sama Poppy” Ucapku, merasa kini aku dan Poppy berteman. Dan sepertinya sangat mungkin jika Poppy mau memberikan kesempatan buatku.
Marshall terdiam, nggak bicara.
“... Boleh kan? Kamu nggak ngelarang aku berhubungan sama Poppy juga kan?”.
Marshall lalu mengangguk pelan.
Sesaat sebelum kami tiba. Marshall angkat bicara; “Ta..”
“Hmmm…”
“Nyokap lo ada kan?” Tanyanya.
“Mau ngapain?” Aku balik bertanya.
“Gua nanti mau ngobrol sama nyokap lo” Ucapnya.
“Bentar…” Jawabku, kemudian meraih ponsel dan menghubungi Bunda, mencoba menanyakan keberadaannya. Rupanya, Bunda sudah selesai meeting dan saat ini tengah berada di salah satu supermarket di dekat rumah. Ia bakal kembali sebentar lagi.
“... Lagi keluar sebentar, tapi bentar lagi juga balik” Aku menambahkan.
“Oh…”
Beberapa menit berikutnya, taksi online yang membawa kami berdua akhirnya tiba di rumah. Aku keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam, Marshall mengikutiku.
Aku membawanya, masuk ke dalam, ke ruang makan.
“Kalo mau ngerokok, ngerokok aja” Ucapku, seraya meletakkan kotak berisi jus tepat di hadapannya. Aku lalu duduk di salah satu kursi di meja makan, menghadap ke arahnya.
“Laper nggak?” Tanyaku sambil membuka aplikasi ojek online untuk memesan makanan seandainya ia ingin makan. Namun, Marshall menolak dengan menggelengkan kepalanya.
“... Mau kopi?” Tanyaku lagi.
“Nggak usah” Jawabnya, lalu menuang jus ke dalam gelas dan meminumnya. Sementara, aku mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam tas, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
Setelah menunggu cukup lama, terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Disusul langkah kaki santai yang mendekat ke arah ruang makan.
“Eh, ada tamu…” Ucap Bunda begitu menyadari kehadiran Marshall di ruang makan.
Marshall berdiri, tersenyum, menganggukan kepala lalu kembali duduk.
“Bund, Marshall mau ngobrol” Ucapku ke Bunda yang bersiap pergi ke arah kamarnya. Namun, begitu mendengar ucapanku, ia menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Kini ia melangkah ke arah meja makan.
“Ngobrol apa nih?” Tanya Bunda, lalu menarik kursi di meja makan dan duduk. Ia mengibaskan tangan di depan wajah, sepertinya merasa terganggu dengan asap rokok milikku.
Menyadari kalau asap rokok yang kuhisap mengganggunya, aku bergegas membuang puntung rokok ke wastafel dan kembali duduk.
Marshall lalu mulai bicara; “Gini Tan…”
“...”
“Waktu saya di penjara, Tante tau nggak kenapa orang tua saya nggak bisa jenguk?” Tanya Marshall to the point.
Mendapat pertanyaan seperti itu, bunda lalu menatap ke arahku dan bicara; “Ta, kamu ke kamar dulu sana”
Nggak mau mendebat Bunda dan memang sudah terlalu lelah karena sebelumnya ‘berdebat’ dengan Marshall, aku lalu meraih tas dan naik ke atas. Tapi, aku sengaja nggak langsung menuju ke kamar, melainkan duduk di anak tangga yang posisinya nggak terlihat dari arah ruang makan.
Dari posisiku saat ini, aku bisa mendengar semua pembicaraan mereka; Semuanya.
Aku hanya bisa terdiam sambil menahan tangis dan menutup mulut dengan telapak tangan agar suaraku nggak terdengar hingga ke bawah.
Lalu terdengar Bunda memanggil Marshall yang sepertinya sudah bersiap untuk pergi.
Lanjut ke bawah
Diubah oleh robotpintar 30-04-2024 09:38
Herisyahrian dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Kutip
Balas
Tutup