Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Poppy berjalan di depan gua sambil tangannya meniti railing pembatas jembatan penyeberangan menuju ke stasiun. Dengan kemeja hijau, tas selempang dan rambut yang diikat ke atas ia terlihat cantik walau dari belakang.
Ia berbalik. Bagaikan adegan slow motion pada film-film romansa, ia menatap gua dan tersenyum.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Seneng!” Jawabnya.
“Karena?”
“Karena udah ketemu lo sepagi ini” Jawabnya lagi.
Gua mendekat ke arahnya yang masih berdiri menatap gua, lalu meraih tangannya dan berjalan kembali menyusuri jembatan penyeberangan, sementara bising suara klakson kendaraan dan deru kereta mengiringi langkah kami berdua.
Poppy memeluk lengan gua dan bicara; “Lo belum tidur ya?” Tanyanya.
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum simpul.
“Dari rumah jam berapa?” Tanyanya lagi.
“Jam 3an” Jawab gua singkat.
“Abis gambar, nggak tidur dan langsung ke sini” Tebaknya, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
“Yaudah abis ini langsung pulang terus tidur ya” Ia menambahkan. Lagi, gua meresponnya dengan anggukan kepala.
Hari itu, Poppy kebagian jadwal untuk pergi ke kantor. Kami bersama hingga di stasiun Sudimara, dimana dia sudah ditunggu dosen sekaligus atasan di tempatnya bekerja. Saat terdengar pengumuman dari pengeras suara yang memberi informasi kalau kereta akan segera tiba di stasiun Sudimara.
Poppy melepas genggaman tanganannya dan berdiri. Sebelum pergi ia kembali mengingatkan gua; “Sampe rumah langsung tidur ya, jangan kerja dulu” Ucapnya.
Gua memang nggak punya banyak pengalaman dengan perempuan. Tapi, satu hal yang gua tau; gua nggak bakal mengecewakan perempuan yang kini berdiri di hadapan gua sekarang. Gua meraih tangannya sebelum ia pergi, membuat ia berhenti dan kembali menoleh, menatap ke arah gua.
“Apa?” Tanyanya.
“Ati-ati ya, Pop” Ucap gua.
Ia tersenyum, melepaskan genggaman tangan gua, melambaikan tangannya dan pergi. Poppy keluar melintasi pintu gerbong dan menghilang.
Tadinya, gua berniat untuk tidur sebentar di dalam gerbong kereta. Tapi, takut kebablasan, malah nanti kebawa sampai Rangkas. Akhirnya, gua mencoba menahan rasa kantuk yang luar biasa dengan memaksa membuka mata sambil sesekali mengusap wajah.
“Dari mana?” Tanya Ketu begitu mendapati gua masuk ke dalam rumah.
“Stasiun” Jawab gua singkat lalu terus berjalan, menaiki anak tangga menuju ke atas, ke kamar. Tanpa melakukan hal lain, gua lantas menjatuhkan diri di atas ranjang dan langsung terlelap.
Gua terbangun saat jam menunjukkan pukul 3 sore. Sudah lebih dari 8 jam gua tertidur tapi entah kenapa tubuh masih terasa lemas dan ngantuk nggak kunjung hilang. Memang benar kata orang utang uang bisa lunas, utang tidur nggak bisa dibayar. Berdasarkan pengalaman gua; Jika, begadang, sama sekali nggak tidur dan besoknya melakukan penebusan dengan tidur sepanjang hari, rasa kantuk nggak sepenuhnya hilang bahkan tubuh malah rasanya semakin letih.
Gua meraih ponsel yang belum sempat gua keluarkan dari saku celana dan langsung mengirim pesan ke Poppy; memberi kabar.
‘Gila! Baru bangun?’ Balasnya melalui pesan singkat.
Gua tersenyum begitu membaca pesan balasannya. Kemudian beranjak, ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu langsung menuju ke arah papan tulis berisi task yang harus diselesaikan. Setelah mengambil salah satu post-it berisi task, gua menuju ke meja dan mulai bekerja.
Setelah mengerjakan tiga task dan menguploadnya di cloud drive agar Ketu bisa langsung mengirimnya ke klien, gua lalu bersiap, untuk ‘sekolah’. Iya, sekolah paket C bersama Ketu.
Di lantai bawah, Ketu terlihat sudah siap. Nggak seperti biasanya, Ia tampil rapi dan necis dengan kemeja lengan panjang yang tergulung dan celana jeans berwarna hitam.
“Tumben, Rapi banget?” tanya gua sambil berlalu.
Alih-alih menjawab pertanyaan gua, Ketu malah bicara hal lainnya; “Abis ini motor aku pake ya, Sal”
“Iya” Jawab gua.
“Soale mau jalan-jalan sama Nina” Tambahnya. Sebuah informasi yang sebetulnya gua nggak perlu tau.
Saat tengah belajar, Ponsel gua berdering beberapa kali. Layarnya menunjukkan nama Poppy. Nggak ingin mengganggu proses belajar mengajar, gua izin keluar dari kelas untuk menjawab panggilan.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, dimana?” Tanyanya.
“Lagi sekolah” Jawab gua singkat.
“Oh. Yaudah nanti gua telpon lagi deh” Ucapnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Gapapa, gua sekarang di stasiun Cisauk”
“Ngapain?” Tanya gua.
“Ya tadinya mau ketempat lo, tapi lo nya lagi belajar…” Jawabnya.
“Yaudah tunggu aja, gua sebentar lagi selesai…”
“Jam berapa?” Tanyanya.
Gua berbalik, mengintip ke arah ruang kelas melalui kaca jendela dan melirik ke arah jam dinding yang berada tepat di atas papan tulis. “Dua puluh menitan lagi lah..” Jawab gua.
“Oh.. Yaudah deh” Jawabnya lalu mengakhiri panggilan.
Selesai sekolah, gua langsung mengejar Ketu yang sepertinya sudah bersiap untuk langsung pergi. “Anterin gua dulu ke stasiun”
“Ah, kan aku mau langsung jemput Nina” Protesnya.
“Ya kan searah. Lagian, nganterin gua doang ke stasiun juga cuma berapa menit paling” Gua berusaha membujuknya. Ketu akhirnya setuju dan langsung membawa gua dengan sepeda motornya menuju ke stasiun. Saking takutnya ia terlambat menjemput Nina, Ketu bahkan mengendarai motornya ala pembalap, ngebut dan bermanuver yang agak membahayakan.
Setelah menurunkan gua tepat di akses pintu keluar masuk stasiun, Ketu langsung pergi tanpa berbasa-basi; mungkin kesal karena harus mengantar gua ke stasiun. Gua meraih ponsel dan menghubungi Poppy, nada sambung terdengar beberapa kali lalu disusul suaranya yang terdengar seperti tengah mengunyah sesuatu.
“Dimana?” Gua langsung bertanya.
“Ini lagi turun…” Ucapnya. Nggak lama berikutnya, sosoknya terlihat di ujung anak tangga bagian atas. Ia masih terlihat cantik seperti tadi pagi saat berpisah dengannya. Tangan kirinya menggenggam ponsel yang ditempelkan di telinga, sementara tangan kanannya menggenggam kemasan roti, dekat dengan bibirnya yang sibuk mengunyah.
“Roti?” Tanya gua begitu ia sudah dekat, seraya menunjuk ke arah kemasan roti di tangannya.
“Iya.. abis laper banget” Jawabnya.
“Yaudah yuk makan” Ajak gua.
“Nasi goreng ya” Pintanya. Yang lalu gua jawab dengan anggukan kepala.
Menit berikutnya, kami berdua berjalan ke arah selatan dari sisi stasiun, menuju ke pasar modern intermoda dimana banyak terdapat kedai-kedai outdoor yang menjajakan makanan beraneka rupa.
Poppy menarik ujung kaos gua saat kami berdua hendak masuk ke area jajanan. Gua menoleh dan menatap ke arahnya.
“Jangan di situ lah, Sal..” Ucapnya sambil menggeleng.
“Hah, kenapa?” Tanya gua.
“Kayaknya kurang enak” Poppy berspekulasi.
“Hah… Terus?”
“Yang pinggir jalan aja” Sarannya.
“Tapi agak jauh, gapapa?” Tanya gua.
“Gapapa…”
Kami berdua lalu melanjutkan langkah, menyusuri trotoar, lalu berbelok ke kiri tepat di perempatan lampu merah. Kini suasana jalan mulai berubah drastis. Tak ada lagi trotoar, hanya jalan yang langsung berbatasan dengan lahan kosong milik bangunan di sisi jalan.
Nggak begitu jauh di depan kami, terlihat sebuah tenda dengan atap terpal berwarna biru dengan tulisan ‘Nasi Goreng’. Poppy tersenyum kemudian menunjuk ke arah kedai tenda tersebut. “Di sana ya, Sal”
Saat duduk di kursi plastik di dalam tenda, menunggu pesanan nasi goreng, barulah gua menyadarinya. Permintaannya makan nasi goreng dan hanya mau makan di kedai tenda sederhana di pinggir jalan; membangkitkan kenangan masa lalu, saat kami berdua kerap berjalan kaki bersama, menyusuri gang dan berakhir di tenda nasi goreng, makan sepiring berdua; biar irit.
Gua menoleh ke arahnya yang kini sibuk mencari-cari sesuatu dari dalam tas-nya.
“Nyari apa?” Tanya gua.
“Kartu kereta” Jawabnya, merujuk ke sebuah kartu yang biasa digunakan sebagai pengganti ongkos naik kereta.
Ia berdiri, merogoh saku celananya dan menemukan kartu tersebut di saku celana bagian belakang. “Ini dia!” serunya. Ia kembali duduk, mengeluarkan ponsel, menempelkan kartu pada bagian belakang ponsel dan mulai mengetap layarnya.
“Ngapain?” Tanya gua lagi, penasaran.
“Top Up” Jawabnya.
“Dari HP?”
“Iya”
“Bisa?” Tanya gua lagi.
Poppy lantas menoleh ke arah gua dan tersenyum. “Lo kayaknya banyak tertinggal ya, Sal”
Gua mengangguk.
“... Nanti gua ajarin deh caranya” tambahnya.
Gua mengeluarkan ponsel dan menunjukkannya ke Poppy; “HP gua bisa?”
“Ya nggak lah” Jawabnya, lalu ia mulai menjelaskan tentang teknologi NFC pada ponsel kekinian yang bisa digunakan untuk mengisi saldo kartu elektronik, menghubungkan dua perangkat bahkan bisa juga digunakan sebagai alat transfer data.
“Oh, keren ya” Ucap gua setelah mendengar penjelasan darinya.
Nggak lama, pesanan nasi goreng kami akhirnya datang. Sambil makan, kami berdua terus berbincang tentang banyak hal. Perbincangan kami kemudian berakhir di topik tentang hal kemarin; tentang bagaimana nyokap dan bokap kehilangan akses untuk berhubungan dengan gua saat berada di dalam penjara.
“Gua nggak abis pikir deh, Sal. Dalam hal ini, Tata kan juga korban dari orang yang lo tusuk karena mau ‘ngapa-ngapain’ dia. Kok bisa-bisanya mereka saling kerja sama buat ngejatuhin lo?” Tanyanya.
Gua mengangkat bahu. Karena juga nggak tau alasan dibalik itu semua.
“... Terus, lo bakal gimana?” Tambahnya.
“Gua kayaknya bakal nyoba nyari tau” Ucap gua.
“Caranya? Nanya ke Tata?” Tanyanya.
“Iya” Jawab gua sambil mengangguk.
“Lo mau ketemuan sama Tata?” Tanyanya lagi, kini nampak ada sedikit kekhawatiran di wajahnya.
“Haruskah?” Gua balik bertanya. Nggak ingin membuat inisiatif sendiri yang takut nanti malah melukai hatinya.
Poppy mengangkat kedua bahunya.
“Kalau ketemuan sama Tata, mau gua temenin?” Poppy memberi penawaran.
Mendengar penawaran darinya barusan, tentu saja bikin gua bingung karena terdengar seperti pertanyaan jebakan. Seandainya gua menjawab ‘nggak perlu ditemani’, nanti takut ia mengira gua bakal berbuat yang nggak-nggak.
Seandainya gua menjawab ‘mau ditemenin’ takut nanti dibilang pengecut.
Nggak mau terjadi miskomunikasi. Gua menjelaskan apa yang ada di benak gua.
“Gua bingung, Pop…”
“Bingung kenapa?” Tanyanya.
“Kalo gua jawab nggak perlu ditemani, nanti lo bakal cemburu. Tapi, seandainya gua bilang minta ditemani, gua takut dianggap pengecut” Gua menjelaskan.
Mendengar penjelasan gua barusan, Poppy lalu tersenyum. Ia meletakkan sendoknya, menelan makanan yang masih berada di dalam mulut, lalu bicara. “Gua seneng deh. Lo mau ngomong kayak gitu. Mau jujur”
“...”
“..Bisa nggak di hubungan ini, kita begini terus. Terbuka” Tambahnya.
Gua mengangguk.
“... Jujur. Lo pengen gua ikut nggak?” Tanya Poppy.
Gua kembali mengangguk; “Mau” Jawab gua pelan.
“Ah, tapi gua males..” Responnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Setelah tau perbuatan dia dan keluarganya ke Lo. Gua kayaknya nggak bisa deh ketemu dia tanpa memaki” Jelasnya.
“...”
“... Dari pada nanti kita berdua malah berantem, mending nggak usah lah” Tambahnya.
“Oh, yaudah”
“Lagian, juga. Seandainya gua ikut. Gua takut nanti sakit hati. Ngeliat gambar dia di kamar lo aja, udah bikin gua terbakar cemburu. Gimana kalo nanti gua ngeliat lo ngobrol berdua sama dia. Bisa gila gua” Ucapnya.
Gua tersenyum sebentar, sebelum merespon ucapannya.
“Kalo gitu, gua nggak usah ketemu sama dia. Buat apa gua ketemu dia, nyari tau alasan sebuah masalah tapi harus ngorbanin perasaan lo” Ucap gua.
Poppy terdiam sebentar. Menarik nafas dalam-dalam, menepuk pelan tangan gua lalu bicara; “Heh… Gua ini berkorban biar ada hasilnya. No Pain No Gain. Yang penting semua masalah terselesaikan dan terjawab. Udah, pokoknya lo harus ketemu sama dia”
“...” Gua terdiam.
Melihat gua hanya terdiam, Poppy kembali menepuk tangan gua, tapi kali ini lebih bertenaga.
“Heh, denger nggak?” Tanyanya.
“Iya, Pop” Jawab gua.
“Iya apa?” Tanyanya lagi.
“Iya, nanti ketemu sama Tata” Jawab gua.
Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya, melepas ikatan rambut, menggunakan ikat rambutnya yang terbuat dari karet dan menjepretnya tepat di bibir gua.
“Aduh!” Seru gua, sambil memegangi bibir dan menatapnya; bingung.
“Jangan sebut namanya” ucapnya, sambil meraih ikat rambut karet yang mendarat di atas meja setelah berhasil mengenai bibir gua.
Selesai makan nasi goreng, kami berdua berjalan kaki kembali menuju ke arah stasiun. Poppy mengeluarkan earphone nirkabel, menyambungkannya ke ponsel dan memasangkan salah satunya di telinga kanan gua, sementara pasangannya ia pasang di telinga kirinya.
Terdengar ‘Waiting’-nya The Adams mengalun. Lantunan yang bercampur dengan suara klakson dan deru mesin mobil. Gua menahan rasa penasaran perihal benda kecil yang bisa mengantarkan suara tanpa kabel ini, tapi sengaja gua tahan begitu melihat ke arah wajahnya yang syahdu.
“Udah sampe sini aja, nggak usah ikut naik” Ucap Poppy saat akhirnya kami tiba di pintu masuk stasiun.
Gua melepas earphone dari telinga dan memasangkannya ke telinga kanannya. Lalu melepasnya pergi.
Di rumah, Ketu belum menampakkan batang hidungnya; mungkin masih sibuk berpacaran. Gua naik ke lantai dua dan kembali melanjutkan pekerjaan.
Selama bekerja, gua nggak bisa fokus karena harus berkali-kali melirik ke arah layar ponsel, menunggu kabar dari Poppy; apakah ia sudah tiba di rumah. Setelah beberapa lama, layar ponsel berkedip, sebuah notifikasi pesan muncul; dari Poppy yang isinya mengabarkan kalau ia baru saja tiba di rumah.
‘Ok’ balas gua.
Begitu sudah mendapat kabar dari Poppy, gua kembali melanjutkan pekerjaan yang kini terasa mudah mendapatkan konsentrasi. Terbukti, hingga pukul 11 malam, hanya sekitar 2 jam bekerja, gua berhasil menyelesaikan 2 task sekaligus.
Walaupun rasa kantuk belum terasa, gua mencoba memaksakan diri untuk tidur. Nggak mau pola tidur gua jadi berantakan, jadi makhluk nokturnal.
Sebelum tidur, gua meraih ponsel, membuka menu kontak dan mencari nama Tata disana. Ragu, ingin menelpon atau mengirimnya pesan, gua akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepadanya.
‘Ta, besok ada waktu sebentar?’
Nggak lama, sebuah balasan masuk; dari Tata; ‘Kenapa?’
‘Mau ngobrol, bisa?’
‘Bisa. Dimana?’ Balasnya.
‘Lo yang tentuin aja tempatnya’ Balas gua lagi.
Kemudian, sebuah balasan masuk yang berisi link alamat.
Setelah berpikir kalau percakapan lewat pesan ini sudah selesai, gua meletakkan ponsel di meja kecil di sisi ranjang dan berbaring. Tiba-tiba, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Tata.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo…” Balasnya.
“Seneng deh, Sal. Kamu mau ngajak ketemu duluan” Ucapnya lirih.
“Iya…”
“Emang mau ngomong apa sih?” Tanyanya.
“Besok aja kita obrolin” Jawab gua.
“Penting?” Tanyanya lagi.
“Buat gua sih penting. Nggak tau kalau menurut lo nanti” Jawab gua.
“Ya kalau, buat kamu penting, berarti penting juga buat aku” Responnya.
“Let's see then…”
Sebelum benar-benar tidur, gua mengecek kembali link alamat yang sebelumnya dikirimkan oleh Tata. Ternyata tempatnya nggak begitu jauh dari sini, lokasinya dekat dengan gedung dimana gua sempat bertemu dengan Jeje dan Koko. Mungkin, Tata sengaja memilih tempat yang dekat agar nggak membebani gua.
Besoknya, gua sudah berada di sebuah mall di bilangan BSD. Entah cocok atau tidak tempat ini disebut mall, karena lokasinya terbuka, penuh dengan pohon dan bahkan terdapat sebuah danau di area tersebut.
Gua masuk ke dalam sebuah kedai kopi terkenal dan memesan segelas besar Americano dingin. Kemudian membawanya ke area teras agar bisa merokok. Gua sengaja datang jauh lebih awal dari jam janjian agar bisa sambil menggambar. Niat awal memang ingin melanjutkan pekerjaan, namun setelah melihat suasana area ini yang penuh dengan pohon, bentuk bangunan yang unik, gua memutuskan untuk nggak melanjutkan pekerjaan dan mulai menggambar hal lain.
Saat tengah sibuk menggambar landscape dari teras kedai kopi, ponsel gua berdering. Awalnya gua pikir, Poppy yang menghubungi gua, bertanya tentang pertemuan gua dengan Tata. Tapi, ternyata layar ponsel menampilkan nama nyokap.
“Oh kalau gitu, nanti sore aja, makan malam disini. Ajak Poppy sekalian. Mau ya?”
“Nggak bisa mah, sore aku kan sekolah” Jawab gua.
“Hah, Sekolah?”
“Iya, aku kan ikut kejar paket C…” Gua menjelaskan. Begitu mendengar jawaban gua barusan, Nyokap terdiam sesaat lalu disusul suaranya yang mulai terisak. ‘Waduh, dia nangis lagi deh’ Batin gua dalam hati, menyesal telah memberitahukan tentang kegiatan kejar paket C gua.
“... Jangan nangis dong Mah. Kok anaknya sekolah lagi malah sedih sih” Gua mencoba menghiburnya. Nyokap nggak langsung menjawab. Ia kemudian mencoba mengganti topik lain. Kini ia bertanya tentang pekerjaan gua.
Saat masih ngobrol dengan nyokap melalui sambungan telepon. Seorang perempuan datang mendekat, seperti biasa, ia terlihat cantik dengan kaos putih polos, celana jeans dan sepatu kets yang warnanya serasi. Tangannya menggenggam gelas plastik berisi Iced Americano berukuran besar.
Tata berdiri di hadapan gua, meletakkan gelas kopinya di atas meja dan duduk sambil menyilangkan kakinya. Ia meraih sebatang rokok dan mulai menyulutnya. Matanya menatap berkeliling, lalu diakhiri dengan memandang gua; menunggu gua selesai dengan panggilan ponsel.
Setelah panggilan berakhir. Tata langsung mengajukan pertanyaan; “Siapa?”
—
The Adams - Waiting
Waiting
Waiting for you tonight
I'm dreaming you are here
With me tonight
Someday
I will be by your side
Together we climb mountains
Across the sea
Believe in me that you want me to
You never let somebody close to you
Just promise me that you'll never let me down
And our love is gonna last forever
Believe in me that you want me to
You never let somebody close to you
Just promise me that you'll never let me down
Love me 'til the end of time
Waiting
Gonna be close to you
Every time I see you
What you gonna do
I'm waiting
You gonna close to me
No matter how the people want to say
Believe in me that you want me to
You never let somebody close to you
Just promise me that you'll never let me down
And our love is gonna last forever
Believe in me that you want me to
You never let somebody close to you
Just promise me that you'll never let me down
Love me 'til the end of time
End of time
This time
Believe in me that you want me to
You never let somebody close to you
Just promise me that you'll never let me down
And our love is gonna last forever
Believe in me that you want me to
You never let somebody close to you
Just promise me that you'll never let me down
Love me 'til the end of time