- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1144
Part 47 - Buah Kerinduan
Spoiler for Part 47 - Buah Kerinduan:

“Paling nggak nginep lah, Sal. Mamah kan masih kangen” Pinta nyokap sambil memeluk lengan gua.
Ia lalu berpaling ke arah Poppy.
“… Poppy juga nginep aja. Mau ya ya?” Tanyanya, masih dengan menggunakan nada bicara yang sama.
Mendapat pertanyaan seperti itu Poppy langsung menatap gua, seakan ingin meminta persetujuan. Gua tentu saja langsung memberi kode agar ia menolaknya. Bagaimana mungkin gua membiarkan Poppy menginap tanpa meminta izin terlebih dahulu ke orangtuanya?
“Nggak deh, Tan. Belum bilang sama bapak dan ibu, takut diomelin…” jawabnya sopan.
“Coba mana sini Tante telpon ibu kamu…” Pinta nyokap seakan enggan menyerah.
Gua lantas angkat bicara, agar kami berdua bisa pulang. “Poppy kan harus kerja besok mah. Aku juga masih ada kerjaan ya harus di kelarin…”
“Yaah…” Nyokap merespon. Ekspresinya terlihat kecewa.
Sebelum pulang, bokap sempat memanggil dan mengajak gua masuk ke dalam kamarnya, sementara Poppy lanjut mengobrol dengan nyokap di ruang keluarga.
Gua mengikuti bokap masuk ke dalam kamar. Bentuk kamar bokap dan nyokap sedikit berubah; terlihat dari ranjang, lemari dan beberapa furniture lain yang nampak baru. Penataan ruanganannya pun nggak lagi sama dengan yang ada di ingatan gua. Jadi, mungkin hanya kamar gua yang dibiarkan seperti kondisi saat ditinggalkan.
Bokap berhenti di depan meja kecil di sisi ranjang, ia membungkuk untuk membuka laci, mengeluarkan sebuah tas kecil, kemudian berbalik dan menghadap ke arah gua. Bokap lantas membuka tas dengan menggeser resleting. Dari posisi gua saat ini, terlihat gepokan uang tunai di dalamnya.
“Tiap bulan Papah menyisihkan uang yang seharusnya buat bayar sekolah kamu, dan uang jajan kamu…”
“…”
“… Maafin Papah dan Mamah ya, Sal. Karena nggak bisa berbuat banyak buat bantu kamu.”
“…”
“… Bukannya nggak mau. Tapi, nggak bisa. Sejak awal Papah udah coba cari pengacara buat nemenin kamu. Tapi, semuanya selalu menolak dan mundur. Yang terakhir malah kabur tanpa ngasih kabar.”
“…”
“… nggak tau deh sekuat apa koneksi mereka” Tambahnya, kata mereka merujuk ke pihak korban yang gua tusuk dan tentu saja keluarga Tata.
“…”
“… Mereka bahkan bisa dengan gampangnya melarang kami untuk jenguk, ngirim uang bahkan nelpon kamu dipenjara.”
Gua tertegun begitu mendengar penjelasan bokap barusan. Hati ini terasa tercabik-cabik; sakit. Selama ini gua mengira mereka; bokap dan nyokap memang sengaja menjauh, memberi jarak ke gua karena mungkin merasa malu punya anak yang masuk penjara karena membunuh orang. Gua bahkan sempat berasumsi kalau bokap dan nyokap nggak mau kehilangan uang sepeserpun untuk bayar pengacara.
Dan yang lebih menyakitkan hati adalah; selama ini gua hanya berasumsi dan ternyata salah.
Gua mencoba bersikap tenang, nggak mau bokap menyadari perubahan emosi yang kini masih bergejolak.
Ia lalu meraih tangan dan meletakkan tas kecil berisi uang di genggaman gua.
“Jangan ditolak ya Sal. Uang ini hak kamu” Ucap bokap.
Gua mengabaikan tas kecil, nggak peduli dengan uang yang berada di dalamnya dan langsung memeluk bokap. Ia yang memang dingin dan kaku nggak membalas pelukan gua. Bokap hanya menepuk pundak gua beberapa kali lalu keluar dari pelukan.
“Nomer HP kamu berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Gua yang masih nggak hafal dengan nomor ponsel sendiri lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana, mencari nama gua di menu kontak dan menyebutkannya.
Setelah mencatat nomor ponsel, bokap menunduk, mengambil tas berisi uang yang tadi sempat gua jatuhkan dan kembali menyerahkannya ke gua; “Nih ambil! Beli HP yang bagusan dikit…” ucapnya.
—
Di dalam gerbong kereta yang sepi, kami duduk bersebelahan. Nggak ada kat-kata yang terucap, hanya saling menggenggam tangan. Menatap ke arah jendela seberang yang memantulkan wajah kami berdua.
Lalu tertawa bersama kala mendapati masing-masing dari kami saling memandang satu sama lain melalui pantulan jendela gerbong kereta.
Poppy lalu menoleh ke arah gua dan bicara: “Gimana, udah lega sekarang?”
Gua mengangguk pelan, penuh keraguan. Nggak sepenuhnya lega, teringat akan ucapan bokap di kamarnya tadi. Tentang bagaimana ‘mereka’ mencoba menghalangi bokap dan nyokap menemui gua.
Rasa penasaran yang besar membangun keinginan yang kuat untuk mengetahui alasan sebenarnya. Dan tentu saja gua tau siapa orang tepat untuk memberikan penjelasan.
Poppy yang melihat ekspresi wajah gua yang sedikit tertahan lalu kembali bertanya; “Belum ya? Masih ada yang ganjel?”
Gua mengangguk pelan. Dan berniat nggak mau menceritakan hal ini ke Poppy. Paling tidak sampai semuanya jelas.
“Apa?” Tanyanya lagi.
Gua nggak menjawab, hanya memberikan senyuman. Enggan membuatnya kepikiran dan khawatir. Selama ini ia sudah banyak berkorban buat gua, saat ini nggak mau lagi menambah beban pikirannya dengan rasa penasaran gua yang nggak terlalu penting.
“Tuh kan, nggak mau cerita” Gumamnya pelan, lalu membuang pandangan, nggak mau menatap ke arah gua kemudian mencoba melepaskan genggaman tangannya; merajuk.
Alih-alih melepas genggaman tangannya, gua malah mempereratnya.
Kemudian bergeser, mendekat dan berbisik; “Nanti gua ceritain”.
Poppy berbalik, tampangnya sengaja dibuat cemberut; “Kapan?”
“Nanti…” Jawab gua singkat, tentu saja sambil tersenyum.
Kami lalu kembali terdiam.
Setelah beberapa lama, akhirnya kereta yang membawa kami tiba di stasiun Palmerah. Masih sambil menggandeng tangannya, gua membawa Poppy keluar dari gerbong. Langkah gua terasa berat, karena Poppy seperti sengaja menahan bobot tubuhnya. Gua menghentikan langkah dan menatapnya.
“Kenapa? Marah?” Tanya gua, berusaha menggodanya.
Ia menggeleng.
“... Terus kenapa?” Tanya gua lagi.
Poppy pasang tampang kecewa, bibirnya sengaja dimonyongkan kemudian memberikan lirikan mata yang amat dahsyat.
“Gua kayaknya nggak pernah digambar sama elo…” Gumamnya pelan. Kemudian pergi, meninggalkan gua berdiri disini, sendirian.
Gua menghela nafas panjang dan bergegas menyusulnya keluar dari stasiun.
“Pop!” Panggil gua, sambil menyeberangi jalan.
Saat posisi kami berdua sudah dekat, gua meraih tangannya dan menariknya perlahan. Nggak ada sama sekali perlawanan darinya. Barulah saat itu gua menyadari kalau matanya basah. Terlihat ia berusaha menyeka kedua matanya dengan punggung tangan, kemudian mendongak ke atas, seperti berusaha agar nggak menangis. Sambil terus berjalan, ia mengucek kedua mata; “Aduh debu banget deh…”
Melihat hal tersebut, gua langsung tertegun, kaget. ‘Ada apa dengannya?’ batin gua dalam hati. Kemudian kembali mengejar langkahnya.
“Pop.. Lo kenapa?” Tanya gua.
“Gapapa” Jawabnya singkat, masih terus berjalan.
Sekarang gua nggak mau memaksanya bicara, gua hanya terus berjalan sambil mengikutinya dari belakang, berusaha menjaga jarak dengannya. Poppy terus berjalan, tanpa sekalipun menoleh ke belakang, ke arah gua. Dan kami terus begitu, sama-sama berjalan dalam diam sambil terus menjaga jarak, hingga akhirnya tiba di depan gang yang mengarah ke rumahnya.
Gua terus melangkah, mengikutinya masuk ke dalam gang. Sebelum, ia masuk ke dalam halaman rumahnya, Poppy menghentikan langkahnya, seakan menunggu. Gua terus berjalan, mendekat ke arahnya. Begitu posisi gua sudah dekat, ia mendongak dan menatap gua.
“Ati-ati ya pulangnya” Ucapnya pelan. Belum sempat gua mengucapkan kata-kata, ia sudah berlalu pergi masuk ke dalam rumah. Sementara, gua hanya bisa berdiri, membeku, nggak bergerak sambil menatap punggungnya yang lalu menghilang dibalik pintu.
Saat hendak kembali, persis di depan gang, ada sepeda motor yang melaju. Gua sedikit menepi ke sisi tembok agar nggak terserempet. Begitu sepeda motor melintas, saat hendak meneruskan langkah, terdengar suara memanggil nama gua; “Marshall?”
Gua menoleh dan mendapati sosok pesepeda motor yang barusan melintas memanggil nama gua. Gua menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok yang wajahnya tertutup masker dan kaca helm. Sadar kalau gua kesulitan mengenalinya, pria tersebut melepas helm dan maskernya; Bokapnya Poppy.
“Om…” Sapa gua seraya menundukkan kepala.
“Tunggu, Sal” Ucapnya, kemudian memutar sepeda motornya dan menghampiri gua dengan mendorong sepeda motornya.
“Ya Om?’ Tanya gua.
Ia nggak langsung menjawab, hanya terus berjalan melewati gua sambil bicara; “Ikut yuk…”
Gua lantas mengikutinya, menyusuri jalan kecil hingga keluar dari gang, lalu berbelok ke kanan. Ia lalu masuk ke sebuah warung kopi yang berada di sisi jalan, gua mengikutinya masuk.
“Kang, Kopi ya” Ucap bokapnya Poppy ke si penjaga warung. Lalu menoleh ke gua; “Ngopi?”. Belum sempat gua menjawab, ia sudah kembali berpaling ke si penjaga warung dan memesan dua gelas kopi.
Bokapnya Poppy lalu duduk di kursi kayu di dalam warung, kemudian menepuk permukaan kursi di sebelahnya; memberikan instruksi agar gua duduk di sana. Gua mengikuti instruksi darinya dan duduk.
Ia meraih sebatang rokok dari bungkusan yang baru saja dikeluarkan kemudian menyulutnya. Dengan santai lalu menggeser bungkusan tersebut ke arah gua; “Rokok” ujarnya.
“Makasih Om, ada” Jawab gua sambil menepuk saku celana sebelah kanan, dimana rokok gua tersimpan.
Sambil mengepulkan asap ke udara ia lalu mulai bicara. Kata pertama yang terucap adalah “Poppy”.
Saat ini gua cuku was-was dan khawatir, kenapa ia sampai mengajak gua kesini. ‘Jika, memang ingin bicara kenapa nggak di rumahnya? Atau jangan-jangan ia sengaja ingin ngobrol tanpa diketahui oleh Poppy? Apa ia ingin meminta gua untuk menjauhinya?’ Gua membatin dalam hati, menebak skenario yang bakal terjadi.
“… Dia itu anaknya baik. Sejak kecil nggak pernah bikin masalah dan selalu nurut apa kata orang tua”
“…”
“… waktu saya bilang jangan bergaul sama kamu. Untuk pertama kalinya dia membantah saya” Tambahnya.
Mendengar penjelasan darinya, gua langsung memberi respon; “Maaf Om”
Ia nggak merespon, malah kembali terus bicara.
“Awalnya, saya nggak yakin sama kamu..” Ucapnya, kemudian kalimatnya terhenti untuk menyeruput kopi yang baru saja disajikan.
“...”
“... Sampai sekarang saya juga sebenarnya masih ragu sama kamu” Tambahnya.
“Kenapa?” Tanya gua sambil pasang tampang sok nggak bersalah.
Mendengar pertanyaan gua barusan, sontak ia langsung menoleh ke arah gua dan memberi tatapan tajam, tanpa bicara sepatah kata pun.
“.. Karena saya mantan napi?” Tanya gua lagi. Yang lalu diresponnya dengan anggukan kepala.
“Nggak cuma itu aja, dulu kamu juga pernah kasus kan? Dipukuli orang di depan sana?” Tanyanya, merujuk ke momen dimana gua dikeroyok orang gara-gara miskomunikasi antara gua, Tata dan pacarnya.
“Iya” Gua menjawab pelan.
“Tapi, saya juga nggak pernah melihat Poppy segigih itu ‘melawan’ saya. Juga nggak pernah melihat Poppy sesenang itu setiap habis ketemu sama kamu” Ucapnya.
Kini gua semakin bingung dibuatnya.
“Jadi?” Tanya gua, mencoba menagih keputusan darinya. Saat ini, seandainya ia melarang hubungan gua dengan Poppy, tentu gua nggak bakal menggubrisnya. Sekarang, sudah terlambat buat gua untuk mundur.
Jangankan hanya bapaknya, presiden sekalipun bakal gua hadapi kalau mencoba menghalangi gua.
Bokapnya Poppy menarik nafas panjang. Terdiam sejenak dan kembali bicara; “Sekarang, saya cuma bisa pasrah dan bebasin Poppy. Dia udah besar, baik dan buruknya dia bisa nilai sendiri”
“...”
“... Tapi, saya juga mau minta satu hal sama kamu”
“...”
“... Mau nggak kamu jaga Poppy lebih dari kamu jaga diri kamu sendiri?” Tambahnya.
Gua langsung mengangguk penuh keyakinan; “Mau, Om!”
“Bagus..” Ucapnya singkat sambil mengangguk.
Kami lalu sama-sama terdiam.
Kemudian ia menoleh ke arah gua dan kembali bicara; “Yaudah sana”
Gua berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Eh, Kopinya minum dulu…” Ucapnya sebelum gua benar-benar pergi.
Gua yang sudah berdiri, lalu kembali duduk dan meraih gelas kopi dari atas meja dan mulai menyeruputnya. Rasa-rasanya, nggak afdol kalau ngopi tanpa merokok. Jadi gua mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celana, mengambilnya sebatang dan menyulutnya.
“Bapakmu orang mana?” Tanya Bokapnya Poppy ke gua.
“Bandung, Om” Jawab gua singkat.
“Oh.. kalo Ibu?” Tanyanya lagi.
“Sukabumi Om…”
“Oh… Sama-sama Jawa barat” Ucapnya, sambil mengangguk.
“Iya…”
“Terus kamu sekarang kerja apa?” Tanyanya lagi.
“Menggambar Om” Jawab gua seraya memperagakan gerakan tangan tengah menggambar.
“Hah? Bisa jadi kerjaan? Bukannya menggambar cuma hobi?” Tanyanya lagi.
“Bisa, Om”
“Emang ada duitnya kerja kayak gitu?”
“Ada” Jawab gua. Lalu berinisiatif menunjukkan uang yang berada di dalam tas kecil pemberian bokap tadi.
Bokapnya Poppy sedikit terbelalak, sambil menggelengkan kepala begitu melihat gepokan uang yang berada di dalam tas tersebut.
Gua sejatinya sangat menghindari berbuat seperti sekarang, pamer dan berbohong. Tapi, entah kenapa saat ini ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hati untuk melakukan hal ini. Rasa-rasanya semua pria bakal melakukan hal yang sama seperti yang gua lakukan seandainya berhadapan dengan orang tua dari perempuan yang disukainya.
Setelahnya, kami berdua menghabiskan waktu ngobrol, saling mengenal satu sama lain. Tentu saja gua sengaja nggak menjawab ketika Bokapnya Poppy bertanya tentang penyebab gua masuk ke dalam penjara. Untuk hal ini, biar saja terus menjadi misteri baginya. Atau seandainya memang ia harus tau, sepertinya bukan gua orang yang harus bercerita; melainkan Poppy.
Gua melirik ke arah jam yang berada pada bagian atas warung; hampir pukul 8 malam. Takut, ketinggalan kereta, gua berdiri dan bersiap untuk pamit. Beruntung, Bokapnya Poppy menawarkan tumpangan untuk mengantarkan gua ke stasiun.
“Makasih ya, Om. Jadi ngerepotin” Ucap gua begitu turun dari boncengan sepeda motor.
“Iya sama-sama..” Jawabnya, kemudian memutar motor dan pergi.
Sementara, gua langsung masuk ke stasiun untuk mengejar kereta terakhir yang bakal membawa gua ke Cisauk.
—
Nggak muat, lanjut ke bawah
Diubah oleh robotpintar 26-04-2024 22:57
yanagi92055 dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup