- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![kakeksegalatahu](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/09/30/avatar7218841_11.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
buljaw dan 152 lainnya memberi reputasi
153
227.6K
Kutip
3.6K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#1117
Part 46 - Kerinduan
Spoiler for Part 46 - Kerinduan:
Sosoknya nyaris nggak berubah, ia masih nampak seperti wanita yang gua ingat; Mamah. Matanya mulai basah, dan tanpa bicara ia langsung berlari ke arah gua dan memberikan pelukan, tangisnya pun pecah. Ragu, gua balas memeluknya. Namun, begitu kami berdua sudah berpelukan ada rasa haru yang luar biasa. Seperti ada belenggu di dalam hati yang terlepas.
Setelah hampir 5 menit, Mamah melepaskan pelukan. Dengan kedua telapak tangannya ia memegang pipi. Kini nampak wajahnya yang mulai penuh keriput namun tetap cantik, basah dengan air mata.
Masih tanpa bicara, ia meraba seluruh wajah gua, lalu beralih ke rambut hingga bagian belakang kepala.
“Kamu sehat kan, Sal?” Tanyanya terbata-bata.
Gua mengangguk, lalu tersenyum.
Sesaat berikutnya terdengar suara langkah kaki masuk ke area rumah dan seorang perempuan dengan kemeja putih muncul di ambang pintu.
“Dok..” Panggilnya.
Nyokap menoleh ke arahnya.
“... Anu, pasien masih ada yang nunggu” Tambah perempuan dengan kemeja putih tersebut.
Nyokap lalu kembali berpaling ke gua. Tampak ekspresi ragu dan takut di wajahnya.
“Sal, Kamu disini dulu ya. Jangan kemana-mana” Ucapnya, lalu bersiap pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali ke arah gua
“Jangan kemana-mana ya!” Tambahnya. Ia lalu berpaling ke arah perempuan yang tadi sempat membukakan pintu untuk kami berdua dan bicara; “Mbak, jangan bolehin Marshall pergi!”
Setelah memberi instruksi, Nyokap lalu pergi.
Saat gua hendak duduk. Kembali terdengar suara langkah kaki mendekat dan Nyokap muncul di ambang pintu.
“Mbak, begitu saya keluar. Kunci pintunya…” Ucap nyokap ke perempuan yang tadi sempat membukakan pintu untuk kami berdua.
“Iya bu” Jawabnya singkat.
Begitu nyokap pergi, si mbak yang seperti ART tersebut langsung mengikuti perintahnya. Ia keluar, mengunci pagar dan kembali untuk mengunci pintu depan. Sambil menunduk, ia berjalan cepat menuju ke dapur, lalu setelah beberapa menit kembali dengan dua botol air mineral dingin.
“Minum Mas, Mbak…” Ucapnya.
“Makasih ya mbak” Balas Poppy, kemudian mulai meraih botol berisi air mineral, membuka tutupnya dan minum.
Sementara, gua berdiri, melangkah ke arah dalam rumah dengan ujung jari menyentuh setiap perabotan yang gua lalui. Ingatan gua lalu mulai kembali ke masa lalu, ke momen di saat gua masih tinggal disini, di rumah yang dulu gua sebut rumah.
Poppy terlihat ikut berdiri dan mengikuti gua.
Kami berhenti tepat di depan sebuah tangga yang mengarah ke atas, ke lantai dua. Poppy menarik ujung kaos yang gua kenakan, lalu berbisik; “Mau naek ke atas?”
Belum sempat gua merespon pertanyaannya. Ia sudah kembali bicara; “... Izin dulu, jangan sembarangan naik, Ini kan rumah orang” Tambahnya.
Ucapan Poppy ada benarnya. Walaupun secara teori, ini masih menjadi rumah gua, tapi setelah ‘pergi’ bertahun-tahun, bisa jadi tempat ini nggak lagi bisa gua sebut rumah.
“Mbak…” Panggil gua ke si Mbak ART yang tengah menyiapkan makanan di atas meja.
“Iya mas…” Jawabnya, seraya mendekat ke arah kami berdua.
“Kita boleh naik ke atas nggak?” Tanya gua ke si Mbak.
Si Mbak lalu pasang tampang bingung. Gua bisa menebak apa yang ada di pikirannya; bingung. Ingin memberi izin tapi, ia merasa kami berdua adalah sosok asing baginya. Tapi, nggak mau memberi izin, ia sudah tau siapa gua.
Setelah cukup lama terdiam, si Mbak akhirnya mengangguk.
Gua lalu mulai menaiki anak tangga menuju ke atas, Poppy masih mengikuti sambil memegang ujung kaos gua. Begitu tiba di lantai dua, Poppy langsung berpindah posisi ke depan gua; “Kamar lo yang mana?” Tanyanya penuh semangat.
“Dulu sih yang itu” Gua menjawab sambil menunjuk ke salah satu pintu yang berada di ujung lorong.
Selesai mendapat jawaban dari gua, Poppy langsung menghambur ke arah yang gua tunjukkan. Lalu dengan perlahan dan hati-hati, ia memutar knop pintu dan membukanya. Sebelum masuk, ia menoleh ke arah gua dan bertanya; “Boleh masuk kan sal?” Tanyanya.
Gua mengangkat kedua bahu ke atas, merasa nggak punya hak memberinya izin.
“...Boleh kali” Tambahnya. Lalu, masuk ke dalam kamar. Sementara, gua langsung mengikutinya masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Poppy melangkah pelan sambil menatap sekeliling. Ia menarik kursi pada meja belajar dan duduk disana. Sementara, gua langsung duduk di tepi ranjang tepat di belakangnya.
Ia meraih salah satu sketchbook milik gua yang berada di tumpukan buku di atas meja. Dan mulai membuka lembaran demi lembaran. Dari posisi gua saat ini, terlihat Poppy tersenyum saat melihat ke arah lembaran sketchbook berisi gambar yang gua buat. Ia sesekali menoleh dan menatap gua; nggak berkata apa-apa, hanya tersenyum.
“Sejak kapan lo mulai suka gambar?” Tanya Poppy, masih sambil terus membalik lembaran sketchbook.
Ingatan gua lalu kembali ke masa lalu. Saat dimana gua mulai suka menggambar.
Dahulu, bokap dan nyokap gua super sibuk dan jarang sekali ada di rumah. Kalaupun ada di rumah saat libur, mereka kerap menghabiskan waktu dengan hobinya masing-masing; bokap main tenis sedangkan nyokap sibuk mengurus tanamannya.
Merasa nggak dapet perhatian dari mereka, gua mencoba belajar segiat mungkin. Tujuannya agar bisa jadi siswa berprestasi dan akhirnya mendapat perhatian lebih dari bokap dan nyokap. Tapi, saat prestasi gua di sekolah melonjak drastis, nggak ada perubahan sikap yang signifikan dari keduanya. Bokap cuma mengangguk dan tersenyum kecil saat melihat rapor gua, begitu pula dengan nyokap.
‘Kalau jadi pintar aja nggak cukup, mungkin bisa dari hal lain; nakal’ batin Marshall muda kala itu.
Gua lalu berubah diri atas kesadaran sendiri, dari anak baik berprestasi menjadi anak nakal yang doyan bolos, bahkan belajar merokok. Alhasil, gua sering ketahuan oleh guru hingga dipanggil orang tua. Namun, masih nggak ada perubahan sikap bokap dan nyokap; mereka bahkan nggak memarahi gua.
Karena nggak berhasil mendapat perhatian dari bokap dan nyokap, gua memutuskan untuk mencari hobi yang mungkin saja bisa menarik perhatian mereka. Dan hal paling sederhana yang terpikir oleh gua adalah menggambar. Hasil gambar pertama gua adalah tiga orang sosok yang berdiri di depan sebuah rumah, sosok yang menggambarkan bokap, nyokap dan gua.
Gua menyelesaikan cerita sambil meraih sebuah binder yang berada di tumpukan paling bawah, membukanya dan langsung menuju ke halaman paling belakang. Terlihat selembar kertas dengan gambar keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang berdiri di depan sebuah rumah.
“Ini gambar pertama lo?” Tanya Poppy. Yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
“... Gila, lo kayaknya emang bakat gambar deh, Sal” Tambahnya, sambil menggelengkan kepala; kagum.
“Masa?”
“Beneran…”
Gua kembali duduk, di tepi ranjang dan menatap sekeliling. Nggak ada yang sama sekali berubah dari kamar ini, mulai dari tata ruang, barang-barang dan cat-nya masih sama seperti saat terakhir gua tinggalkan. Gua berdiri, meraih salah satu pajangan berbentuk tengkorak yang berada dibagian atas ranjang dan merogoh bagian dalamnya. Terasa ada lipatan kertas disana, gua menariknya keluar; Beberapa lembar uang pecahan 5 ribu yang dulu sempat gua sisihkan untuk membeli alat gambar.
Melihat hal tersebut, Poppy cukup terkejut.
“Itu lo simpen dari dulu?” Tanyanya.
“Iya…”
“Kok bisa masih ada aja ya? Padahal ini kamar kayaknya rutin dibersihin deh. Lo liat nih, nggak ada debu sama sekali..” Ujar Poppy sambil menyeka permukaan meja belajar dengan telapak tangannya, lalu memperlihatkan telapaknya yang bersih ke gua.
Gua mengangkat bahu, nggak punya jawabannya.
Poppy kembali berpaling ke arah sketchbook dan membalik lembar berikutnya. Terlihat sebuah sketsa gadis muda dengan rambut panjang yang terikat dan mengenakan seragam SMA. Melihat gambar tersebut, sontak dahinya langsung berkerut lalu menoleh ke arah gua dan bertanya; “Tata?”.
Gua mengangguk pelan.
Poppy manggut-manggut dan berhenti membalik lembaran sketchbook tersebut. Ia lalu berdiri, mendekat dan duduk di tepi ranjang di sebelah gua.
“Gua penasaran deh, bagaimana elo dulu” Ucapnya tanpa menoleh ke arah gua, matanya menatap kosong ke depan.
“...”
“... Gimana ya cara lo dulu bergaul, gimana cara lo bicara, gimana cara lo berjalan…” Tambahnya.
“Ya kayak biasa aja…” Jawab gua pelan.
Poppy lalu menoleh ke arah gua dan menggelengkan kepalanya.
“Sekali waktu, gua pernah lihat foto lo waktu SMA. Di foto itu lo keliatan happy banget, tersenyum lepas seperti nggak ada beban…” Ucapnya.
“...”
“...Gua jadi iri sama Tata yang sempat ngeliat lo di masa-masa itu” Tambahnya.
Gua menggeser duduk, meraih bahu dan memeluknya.
“Itu kan dulu…” Ucap gua.
“...”
“... Kayaknya di masa itu, semua orang tersenyum lepas karena nggak punya beban apa-apa deh” Gua menambahkan.
“Tapi, lo mau kan senyum lagi kayak dulu, ketawa lagi kayak dulu, bareng-bareng sama gua?” Pintanya. Masih berada di dalam pelukan gua.
“Iya…” Gua menjawab sambil mengangguk.
Terdengar samar, suara langkah kaki menaiki anak tangga, menyusuri lorong dan mendekat ke arah kamar. Enggan kejadian di rumah kontrakan terulang kembali, saat Ketu dan Nina mendapati kami berdua tengah berpelukan, gua dengan cepat bergeser dan melepas pelukan.
Nggak lama berselang, nyokap muncul di ambang pintu. Kini pakaiannya sudah berganti, ia mengenakan kaos hitam polos dengan celana panjang bergaris yang warnanya senada. Seakan kejadian sebelumnya nggak pernah terjadi, nyokap mendekat dan kembali memeluk gua.
Lagi, ia menangis. Kali ini tangisannya bahkan lebih keras dari sebelumnya. Sementara, gua hanya bisa memberikan tepukan pelan di punggungnya.
“Kamu sehat kan, Sal?” Tanya nyokap setelah puas memeluk gua.
“Iya” jawab gua singkat.
Sementara, Poppy, seakan nggak ingin mengganggu nyokap melepas kerinduannya, ia beringsut perlahan dan berjingkat keluar dari dalam kamar.
“Mamah sehat?” Kini gantian gua yang bertanya. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala sambil berusaha menahan air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.
“Papah kemana?” Tanya gua lagi.
Nyokap berusaha menjawab, namun ia terlihat kesulitan karena masih berusaha menahan tangisnya.
Enggan, membuatnya kesulitan menjawab, gua nggak mau mengajukan pertanyaan lagi. Kini gua hanya menggenggam tangan dan mengusapnya, berusaha memberi penghiburan untuk nyokap.
Setelah cukup lama terdiam. Nyokap terlihat sudah bisa mengatur emosinya, nafasnya kini teratur dan cukup tenang.
“Maafin Mamah ya, Sal…” Ucapnya pelan.
“Maaf buat apa, Mah?” Gua bertanya.
“Buat semuanya. Buat waktu yang selama ini terbuang karena terlalu sibuk sama kerjaan dan mengabaikan kamu. Maaf juga buat kemampuan Mamah yang terbatas, jadi nggak bisa berbuat apa-apa saat kamu dalam masalah…” Jelasnya.
“Gapapa Mah, dari awal ini kan emang salah aku. Sama sekali bukan salah Mamah kok” Jawab gua.
“Tapi, kamu bisa jadi kayak gitu kan karena kami berdua lalai, Sal” Ucapnya.
“...”
“... Seandainya Mamah dan Papah nggak terlalu sibuk sama kerjaan, dan lebih banyak waktu buat kamu. Kamu pasti nggak bakal kayak gitu. Iya kan?” Tambahnya.
Gua menggeleng. Merasa, kejadian yang lalu sudah nggak ada gunanya lagi dibahas, biarlah berlalu.
“Mamah udah nggak usah sedih lagi ya. Kan sekarang aku udah ada disini” Ucap gua berusaha memberinya penghiburan.
Ia lalu mengangguk pelan, kemudian kembali memberikan gua pelukan.
Kembali terdengar samar, suara langkah kaki menaiki anak tangga, menyusuri lorong dan mendekat ke arah kamar. Si Mbak, mengetuk pintu yang terbuka dan bicara ke nyokap; “Bu, makanannya udah siap”
Nyokap menyeka kedua ujung matanya dan mengangguk. Ia lalu berdiri, masih sambil menggenggam tangan gua, ia bicara; “Makan ya, Sal”
Gua mengangguk. Kemudian mengikutinya turun kebawah.
Mata gua langsung berkeliling ketika tiba di lantai bawah, mencoba mencari-cari keberadaan Poppy. Nyokap yang menyadari sikap gua lantas bertanya; “Kenapa?”
“Gapapa” Jawab gua, sementara mata ini masih terus berkeliling.
Namun, sepertinya Nyokap tau dengan apa yang sebenarnya gua cari. Ia lalu tersenyum dan bicara; “Nyari cewek yang bareng kamu kan?” Tanyanya, yang lantas gua jawab dengan anggukan kepala.
“Tuh di belakang” Ucap Nyokap sambil menunjuk ke arah taman belakang.
Gua bersiap menuju ke arah yang ditunjukkan nyokap. Namun, nyokap yang sepertinya enggan berpisah, mengikuti gua, masih dengan tangannya menggenggam gua.
Terlihat Poppy tengah berjongkok di sisi kolam, tangannya ia mainkan di permukaan air, sementara beberapa ikan koi berukuran besar mengerumuni ujung jarinya. Menyadari kehadiran kami berdua, Poppy lalu berdiri, dan mendekat.
Nyokap meraih helaian rambut Poppy dan menyelipkan di balik telinganya, kemudian bertanya; “Halo cantik… Kamu siapa namanya?”
Poppy yang tersipu karena dibilang cantik, menundukkan kepalanya dan menjawab pelan; “Poppy, tan…”
“Makasih ya Pop…” Ucap nyokap.
“Makasih kenapa, tan?” Tanya Poppy, masih sambil menundukkan kepalanya.
“Nggak tau, pokoknya makasih aja…” Jawab nyokap.
“Iya, Tan…”
“Yuk, Makan yuk…” Ajak Nyokap.
Kami bertiga lalu menuju ke meja makan dan mulai makan. Saat makan, nyokap yang nggak mau berpisah jauh dari gua memposisikan duduknya tepat di sebelah kanan gua, sangat dekat hingga gua bahkan kesulitan untuk mengangkat sendok. Sementara, Poppy hanya tersenyum saat menyadari hal tersebut.
“Tadi Mamah dari mana?” Tanya gua, membuka obrolan.
“Mamah kan sekarang buka praktek di depan” Jawab Nyokap sambil menunjuk ke arah depan komplek perumahan.
“Oh…”
“Tau-tau, si mbak dateng, terus bilang kalau ada orang yang mirip kayak di foto di ruang tamu” Nyokap bercerita. Akhirnya kami tau alasan kenapa si Mbak bisa langsung mengenali gua; rupanya dari foto yang ada di ruang tamu.
“Pantes” Gua dan Poppy sama-sama menggumam, pelan.
“Padahal rencananya, Mamah mau jemput kamu lho Sal” Ucap Nyokap, mengganti topik obrolan dengan tiba-tiba.
“Jemput kemana? Ke penjara?” Tanya gua.
“Iya…”
Gua lalu mulai menjelaskan kenapa hukuman gua bisa dikurangi dan kemana gua pergi setelah bebas dari penjara.
Tentu saja dengan mengurangi beberapa bagian agar ia nggak terlalu bersedih. Namun, Poppy malah keceplosan dengan bilang kalau gua sempat bekerja di kedai kopi dan tukang bangunan.
Begitu mendengar cerita dari kami, Nyokap kembali menangis. Bahkan kali ini ia langsung bersimpuh di lantai, berteriak menggerung-gerung. Gua jelas langsung gelagapan menghadapinya. Dengan bantuan Poppy, gua membantunya berdiri dan membawanya ke ruang keluarga dan membantunya duduk, bersandar pada sofa.
Masih tersedu sedan, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gua duduk di sebelahnya dan memberikan pelukan.
“Udah Mah.. udah jangan nangis lagi dong” Gua mencoba menghiburnya.
Nyokap lalu berpaling, menatap ke arah gua dan mulai bicara sambil tergagap; “Gimana Mamah nggak sedih, Sal. Anak mamah masuk penjara, Mamah nggak bisa apa-apa. Begitu bebas dari penjara, anak mamah satu-satunya malah hidup luntang-lantung, kerja serabutan, sementara, mamah sama papah disini hidup berkecukupan…”
“...”
“... Sakit hati mamah, Sal.. Sakit” Tambahnya, kini sambil memukul dadanya sendiri sekuat tenaga.
“…”
“… kamu kenapa nggak pulang nak. Kenapa??” Tanyanya berteriak dan menggenggam rambutnya sendiri. Seakan semua yang terjadi atas gua adalah kesalahannya.
Gua terdiam sebentar, kemudian menjawab sambil menundukkan kepala; “Aku takut…”
“… dan malu”
Begitu mendengar jawaban gua barusan, nyokap langsung kembali memeluk gua. Kini pelukannya terasa lebih erat dari sebelumnya.
Selesai memeluk gua, nyokap lantas berpaling ke Poppy, menatapnya sebentar kemudian memberikan pelukan ke Poppy.
“Makasih ya nak. Makasih banget” ujarnya sambil terisak.
“Iya tan, sama-sama” jawab Poppy.
—-
Setelah cukup lama, akhirnya nyokap berhenti menangis. Kini kami bertiga berada di ruang keluarga. Nyokap duduk di atas sofa sementara gua dan Poppy duduk di lantai yang beralas karpet permadani.
“Terus sekarang kamu tinggal dimana?” Tanya nyokap sambil menggenggam cangkir berisi teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh si mbak.
“Di Cisauk, Mah” jawab gua.
“Hah, dimana tuh?” Tanyanya.
“…”
“… jauh?”
“Lumayan” Jawab gua.
“Yuk mamah anter buat ambil barang-barang kamu” ucapnya, lalu bersiap untuk berdiri. Namun, gua dengan cepat menahannya.
“Nggak usah, Mah. Aku mau belajar hidup mandiri” Jawab gua.
“Hah? Terus selama ini kamu makan gimana? Yang nyuci baju siapa?” Tanyanya, panik.
“Ya kadang masak, kadang beli di warung. Kalo nyuci ya nyuci sendiri” gua menjawab.
“Tuh kan. Udah pulang kesini aja” paksanya.
Saat obrolan kami masih berlangsung, terdengar suara pagar bergeser, disusul suara mesin mobil memasuki area carport. Nggak berselang lama, suara langkah kaki masuk ke dalam rumah melalui pintu samping yang memiliki aksesnya langsung ke garasi.
Seorang pria berdiri di antara ruang keluarga dan dapur, tubuhnya masih terlihat tegap, sementara sebagian rambutnya kini mulai memutih. Dengan kemeja berwarna hitam, celana bernada serupa dan jas dokter tergantung di bahunya, ia mematung, menatap ke arah gua.
Pria itu melangkah pelan menuju ke arah ruang keluarga, sementara gua langsung berdiri dan menundukkan kepala, nggak berani membalas tatapannya. Kami berdua lalu berdiri berhadapan.
“Pah…” Panggil gua pelan.
Lalu dengan tiba-tiba, ia mengangkat tangan kanannya ke atas dan melayangkan tamparan tepat di pipi kiri gua.
‘Plak!’
Gua bergeming. Sementara, terdengar teriakan Nyokap dari arah sofa; “Papah!”
Bokap nggak menggubrisnya. Ia lalu menjatuhkan tas dan jas putih dari bahu dan bergerak maju, kini posisi kami berdua semakin dekat. Kemudian ia memeluk gua.
“Sehat kau nak?” Tanyanya sambil berbisik.
“Sehat” Jawab gua singkat.
Bokap lalu melepas pelukannya. Kini kedua tangannya menggenggam erat bahu gua, menggoyangkannya berkali-kali sambil menatap dengan dengan matanya yang berlinang.
“Pulang kau rupanya” Ucapnya pelan.
Gua terdiam nggak menjawab.
Nyokap lalu berdiri dan angkat bicara; “Dia nggak mau pulang tuh Pah”
Mendengar pengaduan dari Nyokap, Bokap lantas menatap gua. Tatapannya seakan bertanya; ‘kenapa?’
“Katanya mau belajar mandiri…” Nyokap menjawab, mewakili gua.
Bokap mengangguk beberapa kali, lalu menoleh ke arah Poppy. “Ini siapa?” Tanyanya.
Poppy lantas berdiri dan memperkenalkan diri. “Halo Om, aku Poppy, salam kenal”
“Pacar?” Tanya Bokap ke gua to the point.
Lagi, Nyokap mewakili gua memberi jawaban; “Iya, pacarnya. Cantik kan pah?”
“Pantes nggak mau pulang. Udah tinggal bareng?” Tanya bokap.
Mendapat pertanyaan seperti itu, kompak gua dan Poppy menjawab bersamaan, namun sayang jawaban kami berdua berbeda. Gua menjawab “Belum” sementara Poppy memberi jawaban; “Nggak”.
—
Setelah hampir 5 menit, Mamah melepaskan pelukan. Dengan kedua telapak tangannya ia memegang pipi. Kini nampak wajahnya yang mulai penuh keriput namun tetap cantik, basah dengan air mata.
Masih tanpa bicara, ia meraba seluruh wajah gua, lalu beralih ke rambut hingga bagian belakang kepala.
“Kamu sehat kan, Sal?” Tanyanya terbata-bata.
Gua mengangguk, lalu tersenyum.
Sesaat berikutnya terdengar suara langkah kaki masuk ke area rumah dan seorang perempuan dengan kemeja putih muncul di ambang pintu.
“Dok..” Panggilnya.
Nyokap menoleh ke arahnya.
“... Anu, pasien masih ada yang nunggu” Tambah perempuan dengan kemeja putih tersebut.
Nyokap lalu kembali berpaling ke gua. Tampak ekspresi ragu dan takut di wajahnya.
“Sal, Kamu disini dulu ya. Jangan kemana-mana” Ucapnya, lalu bersiap pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia kembali ke arah gua
“Jangan kemana-mana ya!” Tambahnya. Ia lalu berpaling ke arah perempuan yang tadi sempat membukakan pintu untuk kami berdua dan bicara; “Mbak, jangan bolehin Marshall pergi!”
Setelah memberi instruksi, Nyokap lalu pergi.
Saat gua hendak duduk. Kembali terdengar suara langkah kaki mendekat dan Nyokap muncul di ambang pintu.
“Mbak, begitu saya keluar. Kunci pintunya…” Ucap nyokap ke perempuan yang tadi sempat membukakan pintu untuk kami berdua.
“Iya bu” Jawabnya singkat.
Begitu nyokap pergi, si mbak yang seperti ART tersebut langsung mengikuti perintahnya. Ia keluar, mengunci pagar dan kembali untuk mengunci pintu depan. Sambil menunduk, ia berjalan cepat menuju ke dapur, lalu setelah beberapa menit kembali dengan dua botol air mineral dingin.
“Minum Mas, Mbak…” Ucapnya.
“Makasih ya mbak” Balas Poppy, kemudian mulai meraih botol berisi air mineral, membuka tutupnya dan minum.
Sementara, gua berdiri, melangkah ke arah dalam rumah dengan ujung jari menyentuh setiap perabotan yang gua lalui. Ingatan gua lalu mulai kembali ke masa lalu, ke momen di saat gua masih tinggal disini, di rumah yang dulu gua sebut rumah.
Poppy terlihat ikut berdiri dan mengikuti gua.
Kami berhenti tepat di depan sebuah tangga yang mengarah ke atas, ke lantai dua. Poppy menarik ujung kaos yang gua kenakan, lalu berbisik; “Mau naek ke atas?”
Belum sempat gua merespon pertanyaannya. Ia sudah kembali bicara; “... Izin dulu, jangan sembarangan naik, Ini kan rumah orang” Tambahnya.
Ucapan Poppy ada benarnya. Walaupun secara teori, ini masih menjadi rumah gua, tapi setelah ‘pergi’ bertahun-tahun, bisa jadi tempat ini nggak lagi bisa gua sebut rumah.
“Mbak…” Panggil gua ke si Mbak ART yang tengah menyiapkan makanan di atas meja.
“Iya mas…” Jawabnya, seraya mendekat ke arah kami berdua.
“Kita boleh naik ke atas nggak?” Tanya gua ke si Mbak.
Si Mbak lalu pasang tampang bingung. Gua bisa menebak apa yang ada di pikirannya; bingung. Ingin memberi izin tapi, ia merasa kami berdua adalah sosok asing baginya. Tapi, nggak mau memberi izin, ia sudah tau siapa gua.
Setelah cukup lama terdiam, si Mbak akhirnya mengangguk.
Gua lalu mulai menaiki anak tangga menuju ke atas, Poppy masih mengikuti sambil memegang ujung kaos gua. Begitu tiba di lantai dua, Poppy langsung berpindah posisi ke depan gua; “Kamar lo yang mana?” Tanyanya penuh semangat.
“Dulu sih yang itu” Gua menjawab sambil menunjuk ke salah satu pintu yang berada di ujung lorong.
Selesai mendapat jawaban dari gua, Poppy langsung menghambur ke arah yang gua tunjukkan. Lalu dengan perlahan dan hati-hati, ia memutar knop pintu dan membukanya. Sebelum masuk, ia menoleh ke arah gua dan bertanya; “Boleh masuk kan sal?” Tanyanya.
Gua mengangkat kedua bahu ke atas, merasa nggak punya hak memberinya izin.
“...Boleh kali” Tambahnya. Lalu, masuk ke dalam kamar. Sementara, gua langsung mengikutinya masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Poppy melangkah pelan sambil menatap sekeliling. Ia menarik kursi pada meja belajar dan duduk disana. Sementara, gua langsung duduk di tepi ranjang tepat di belakangnya.
Ia meraih salah satu sketchbook milik gua yang berada di tumpukan buku di atas meja. Dan mulai membuka lembaran demi lembaran. Dari posisi gua saat ini, terlihat Poppy tersenyum saat melihat ke arah lembaran sketchbook berisi gambar yang gua buat. Ia sesekali menoleh dan menatap gua; nggak berkata apa-apa, hanya tersenyum.
“Sejak kapan lo mulai suka gambar?” Tanya Poppy, masih sambil terus membalik lembaran sketchbook.
Ingatan gua lalu kembali ke masa lalu. Saat dimana gua mulai suka menggambar.
Dahulu, bokap dan nyokap gua super sibuk dan jarang sekali ada di rumah. Kalaupun ada di rumah saat libur, mereka kerap menghabiskan waktu dengan hobinya masing-masing; bokap main tenis sedangkan nyokap sibuk mengurus tanamannya.
Merasa nggak dapet perhatian dari mereka, gua mencoba belajar segiat mungkin. Tujuannya agar bisa jadi siswa berprestasi dan akhirnya mendapat perhatian lebih dari bokap dan nyokap. Tapi, saat prestasi gua di sekolah melonjak drastis, nggak ada perubahan sikap yang signifikan dari keduanya. Bokap cuma mengangguk dan tersenyum kecil saat melihat rapor gua, begitu pula dengan nyokap.
‘Kalau jadi pintar aja nggak cukup, mungkin bisa dari hal lain; nakal’ batin Marshall muda kala itu.
Gua lalu berubah diri atas kesadaran sendiri, dari anak baik berprestasi menjadi anak nakal yang doyan bolos, bahkan belajar merokok. Alhasil, gua sering ketahuan oleh guru hingga dipanggil orang tua. Namun, masih nggak ada perubahan sikap bokap dan nyokap; mereka bahkan nggak memarahi gua.
Karena nggak berhasil mendapat perhatian dari bokap dan nyokap, gua memutuskan untuk mencari hobi yang mungkin saja bisa menarik perhatian mereka. Dan hal paling sederhana yang terpikir oleh gua adalah menggambar. Hasil gambar pertama gua adalah tiga orang sosok yang berdiri di depan sebuah rumah, sosok yang menggambarkan bokap, nyokap dan gua.
Gua menyelesaikan cerita sambil meraih sebuah binder yang berada di tumpukan paling bawah, membukanya dan langsung menuju ke halaman paling belakang. Terlihat selembar kertas dengan gambar keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang berdiri di depan sebuah rumah.
“Ini gambar pertama lo?” Tanya Poppy. Yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.
“... Gila, lo kayaknya emang bakat gambar deh, Sal” Tambahnya, sambil menggelengkan kepala; kagum.
“Masa?”
“Beneran…”
Gua kembali duduk, di tepi ranjang dan menatap sekeliling. Nggak ada yang sama sekali berubah dari kamar ini, mulai dari tata ruang, barang-barang dan cat-nya masih sama seperti saat terakhir gua tinggalkan. Gua berdiri, meraih salah satu pajangan berbentuk tengkorak yang berada dibagian atas ranjang dan merogoh bagian dalamnya. Terasa ada lipatan kertas disana, gua menariknya keluar; Beberapa lembar uang pecahan 5 ribu yang dulu sempat gua sisihkan untuk membeli alat gambar.
Melihat hal tersebut, Poppy cukup terkejut.
“Itu lo simpen dari dulu?” Tanyanya.
“Iya…”
“Kok bisa masih ada aja ya? Padahal ini kamar kayaknya rutin dibersihin deh. Lo liat nih, nggak ada debu sama sekali..” Ujar Poppy sambil menyeka permukaan meja belajar dengan telapak tangannya, lalu memperlihatkan telapaknya yang bersih ke gua.
Gua mengangkat bahu, nggak punya jawabannya.
Poppy kembali berpaling ke arah sketchbook dan membalik lembar berikutnya. Terlihat sebuah sketsa gadis muda dengan rambut panjang yang terikat dan mengenakan seragam SMA. Melihat gambar tersebut, sontak dahinya langsung berkerut lalu menoleh ke arah gua dan bertanya; “Tata?”.
Gua mengangguk pelan.
Poppy manggut-manggut dan berhenti membalik lembaran sketchbook tersebut. Ia lalu berdiri, mendekat dan duduk di tepi ranjang di sebelah gua.
“Gua penasaran deh, bagaimana elo dulu” Ucapnya tanpa menoleh ke arah gua, matanya menatap kosong ke depan.
“...”
“... Gimana ya cara lo dulu bergaul, gimana cara lo bicara, gimana cara lo berjalan…” Tambahnya.
“Ya kayak biasa aja…” Jawab gua pelan.
Poppy lalu menoleh ke arah gua dan menggelengkan kepalanya.
“Sekali waktu, gua pernah lihat foto lo waktu SMA. Di foto itu lo keliatan happy banget, tersenyum lepas seperti nggak ada beban…” Ucapnya.
“...”
“...Gua jadi iri sama Tata yang sempat ngeliat lo di masa-masa itu” Tambahnya.
Gua menggeser duduk, meraih bahu dan memeluknya.
“Itu kan dulu…” Ucap gua.
“...”
“... Kayaknya di masa itu, semua orang tersenyum lepas karena nggak punya beban apa-apa deh” Gua menambahkan.
“Tapi, lo mau kan senyum lagi kayak dulu, ketawa lagi kayak dulu, bareng-bareng sama gua?” Pintanya. Masih berada di dalam pelukan gua.
“Iya…” Gua menjawab sambil mengangguk.
Terdengar samar, suara langkah kaki menaiki anak tangga, menyusuri lorong dan mendekat ke arah kamar. Enggan kejadian di rumah kontrakan terulang kembali, saat Ketu dan Nina mendapati kami berdua tengah berpelukan, gua dengan cepat bergeser dan melepas pelukan.
Nggak lama berselang, nyokap muncul di ambang pintu. Kini pakaiannya sudah berganti, ia mengenakan kaos hitam polos dengan celana panjang bergaris yang warnanya senada. Seakan kejadian sebelumnya nggak pernah terjadi, nyokap mendekat dan kembali memeluk gua.
Lagi, ia menangis. Kali ini tangisannya bahkan lebih keras dari sebelumnya. Sementara, gua hanya bisa memberikan tepukan pelan di punggungnya.
“Kamu sehat kan, Sal?” Tanya nyokap setelah puas memeluk gua.
“Iya” jawab gua singkat.
Sementara, Poppy, seakan nggak ingin mengganggu nyokap melepas kerinduannya, ia beringsut perlahan dan berjingkat keluar dari dalam kamar.
“Mamah sehat?” Kini gantian gua yang bertanya. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala sambil berusaha menahan air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.
“Papah kemana?” Tanya gua lagi.
Nyokap berusaha menjawab, namun ia terlihat kesulitan karena masih berusaha menahan tangisnya.
Enggan, membuatnya kesulitan menjawab, gua nggak mau mengajukan pertanyaan lagi. Kini gua hanya menggenggam tangan dan mengusapnya, berusaha memberi penghiburan untuk nyokap.
Setelah cukup lama terdiam. Nyokap terlihat sudah bisa mengatur emosinya, nafasnya kini teratur dan cukup tenang.
“Maafin Mamah ya, Sal…” Ucapnya pelan.
“Maaf buat apa, Mah?” Gua bertanya.
“Buat semuanya. Buat waktu yang selama ini terbuang karena terlalu sibuk sama kerjaan dan mengabaikan kamu. Maaf juga buat kemampuan Mamah yang terbatas, jadi nggak bisa berbuat apa-apa saat kamu dalam masalah…” Jelasnya.
“Gapapa Mah, dari awal ini kan emang salah aku. Sama sekali bukan salah Mamah kok” Jawab gua.
“Tapi, kamu bisa jadi kayak gitu kan karena kami berdua lalai, Sal” Ucapnya.
“...”
“... Seandainya Mamah dan Papah nggak terlalu sibuk sama kerjaan, dan lebih banyak waktu buat kamu. Kamu pasti nggak bakal kayak gitu. Iya kan?” Tambahnya.
Gua menggeleng. Merasa, kejadian yang lalu sudah nggak ada gunanya lagi dibahas, biarlah berlalu.
“Mamah udah nggak usah sedih lagi ya. Kan sekarang aku udah ada disini” Ucap gua berusaha memberinya penghiburan.
Ia lalu mengangguk pelan, kemudian kembali memberikan gua pelukan.
Kembali terdengar samar, suara langkah kaki menaiki anak tangga, menyusuri lorong dan mendekat ke arah kamar. Si Mbak, mengetuk pintu yang terbuka dan bicara ke nyokap; “Bu, makanannya udah siap”
Nyokap menyeka kedua ujung matanya dan mengangguk. Ia lalu berdiri, masih sambil menggenggam tangan gua, ia bicara; “Makan ya, Sal”
Gua mengangguk. Kemudian mengikutinya turun kebawah.
Mata gua langsung berkeliling ketika tiba di lantai bawah, mencoba mencari-cari keberadaan Poppy. Nyokap yang menyadari sikap gua lantas bertanya; “Kenapa?”
“Gapapa” Jawab gua, sementara mata ini masih terus berkeliling.
Namun, sepertinya Nyokap tau dengan apa yang sebenarnya gua cari. Ia lalu tersenyum dan bicara; “Nyari cewek yang bareng kamu kan?” Tanyanya, yang lantas gua jawab dengan anggukan kepala.
“Tuh di belakang” Ucap Nyokap sambil menunjuk ke arah taman belakang.
Gua bersiap menuju ke arah yang ditunjukkan nyokap. Namun, nyokap yang sepertinya enggan berpisah, mengikuti gua, masih dengan tangannya menggenggam gua.
Terlihat Poppy tengah berjongkok di sisi kolam, tangannya ia mainkan di permukaan air, sementara beberapa ikan koi berukuran besar mengerumuni ujung jarinya. Menyadari kehadiran kami berdua, Poppy lalu berdiri, dan mendekat.
Nyokap meraih helaian rambut Poppy dan menyelipkan di balik telinganya, kemudian bertanya; “Halo cantik… Kamu siapa namanya?”
Poppy yang tersipu karena dibilang cantik, menundukkan kepalanya dan menjawab pelan; “Poppy, tan…”
“Makasih ya Pop…” Ucap nyokap.
“Makasih kenapa, tan?” Tanya Poppy, masih sambil menundukkan kepalanya.
“Nggak tau, pokoknya makasih aja…” Jawab nyokap.
“Iya, Tan…”
“Yuk, Makan yuk…” Ajak Nyokap.
Kami bertiga lalu menuju ke meja makan dan mulai makan. Saat makan, nyokap yang nggak mau berpisah jauh dari gua memposisikan duduknya tepat di sebelah kanan gua, sangat dekat hingga gua bahkan kesulitan untuk mengangkat sendok. Sementara, Poppy hanya tersenyum saat menyadari hal tersebut.
“Tadi Mamah dari mana?” Tanya gua, membuka obrolan.
“Mamah kan sekarang buka praktek di depan” Jawab Nyokap sambil menunjuk ke arah depan komplek perumahan.
“Oh…”
“Tau-tau, si mbak dateng, terus bilang kalau ada orang yang mirip kayak di foto di ruang tamu” Nyokap bercerita. Akhirnya kami tau alasan kenapa si Mbak bisa langsung mengenali gua; rupanya dari foto yang ada di ruang tamu.
“Pantes” Gua dan Poppy sama-sama menggumam, pelan.
“Padahal rencananya, Mamah mau jemput kamu lho Sal” Ucap Nyokap, mengganti topik obrolan dengan tiba-tiba.
“Jemput kemana? Ke penjara?” Tanya gua.
“Iya…”
Gua lalu mulai menjelaskan kenapa hukuman gua bisa dikurangi dan kemana gua pergi setelah bebas dari penjara.
Tentu saja dengan mengurangi beberapa bagian agar ia nggak terlalu bersedih. Namun, Poppy malah keceplosan dengan bilang kalau gua sempat bekerja di kedai kopi dan tukang bangunan.
Begitu mendengar cerita dari kami, Nyokap kembali menangis. Bahkan kali ini ia langsung bersimpuh di lantai, berteriak menggerung-gerung. Gua jelas langsung gelagapan menghadapinya. Dengan bantuan Poppy, gua membantunya berdiri dan membawanya ke ruang keluarga dan membantunya duduk, bersandar pada sofa.
Masih tersedu sedan, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gua duduk di sebelahnya dan memberikan pelukan.
“Udah Mah.. udah jangan nangis lagi dong” Gua mencoba menghiburnya.
Nyokap lalu berpaling, menatap ke arah gua dan mulai bicara sambil tergagap; “Gimana Mamah nggak sedih, Sal. Anak mamah masuk penjara, Mamah nggak bisa apa-apa. Begitu bebas dari penjara, anak mamah satu-satunya malah hidup luntang-lantung, kerja serabutan, sementara, mamah sama papah disini hidup berkecukupan…”
“...”
“... Sakit hati mamah, Sal.. Sakit” Tambahnya, kini sambil memukul dadanya sendiri sekuat tenaga.
“…”
“… kamu kenapa nggak pulang nak. Kenapa??” Tanyanya berteriak dan menggenggam rambutnya sendiri. Seakan semua yang terjadi atas gua adalah kesalahannya.
Gua terdiam sebentar, kemudian menjawab sambil menundukkan kepala; “Aku takut…”
“… dan malu”
Begitu mendengar jawaban gua barusan, nyokap langsung kembali memeluk gua. Kini pelukannya terasa lebih erat dari sebelumnya.
Selesai memeluk gua, nyokap lantas berpaling ke Poppy, menatapnya sebentar kemudian memberikan pelukan ke Poppy.
“Makasih ya nak. Makasih banget” ujarnya sambil terisak.
“Iya tan, sama-sama” jawab Poppy.
—-
Setelah cukup lama, akhirnya nyokap berhenti menangis. Kini kami bertiga berada di ruang keluarga. Nyokap duduk di atas sofa sementara gua dan Poppy duduk di lantai yang beralas karpet permadani.
“Terus sekarang kamu tinggal dimana?” Tanya nyokap sambil menggenggam cangkir berisi teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh si mbak.
“Di Cisauk, Mah” jawab gua.
“Hah, dimana tuh?” Tanyanya.
“…”
“… jauh?”
“Lumayan” Jawab gua.
“Yuk mamah anter buat ambil barang-barang kamu” ucapnya, lalu bersiap untuk berdiri. Namun, gua dengan cepat menahannya.
“Nggak usah, Mah. Aku mau belajar hidup mandiri” Jawab gua.
“Hah? Terus selama ini kamu makan gimana? Yang nyuci baju siapa?” Tanyanya, panik.
“Ya kadang masak, kadang beli di warung. Kalo nyuci ya nyuci sendiri” gua menjawab.
“Tuh kan. Udah pulang kesini aja” paksanya.
Saat obrolan kami masih berlangsung, terdengar suara pagar bergeser, disusul suara mesin mobil memasuki area carport. Nggak berselang lama, suara langkah kaki masuk ke dalam rumah melalui pintu samping yang memiliki aksesnya langsung ke garasi.
Seorang pria berdiri di antara ruang keluarga dan dapur, tubuhnya masih terlihat tegap, sementara sebagian rambutnya kini mulai memutih. Dengan kemeja berwarna hitam, celana bernada serupa dan jas dokter tergantung di bahunya, ia mematung, menatap ke arah gua.
Pria itu melangkah pelan menuju ke arah ruang keluarga, sementara gua langsung berdiri dan menundukkan kepala, nggak berani membalas tatapannya. Kami berdua lalu berdiri berhadapan.
“Pah…” Panggil gua pelan.
Lalu dengan tiba-tiba, ia mengangkat tangan kanannya ke atas dan melayangkan tamparan tepat di pipi kiri gua.
‘Plak!’
Gua bergeming. Sementara, terdengar teriakan Nyokap dari arah sofa; “Papah!”
Bokap nggak menggubrisnya. Ia lalu menjatuhkan tas dan jas putih dari bahu dan bergerak maju, kini posisi kami berdua semakin dekat. Kemudian ia memeluk gua.
“Sehat kau nak?” Tanyanya sambil berbisik.
“Sehat” Jawab gua singkat.
Bokap lalu melepas pelukannya. Kini kedua tangannya menggenggam erat bahu gua, menggoyangkannya berkali-kali sambil menatap dengan dengan matanya yang berlinang.
“Pulang kau rupanya” Ucapnya pelan.
Gua terdiam nggak menjawab.
Nyokap lalu berdiri dan angkat bicara; “Dia nggak mau pulang tuh Pah”
Mendengar pengaduan dari Nyokap, Bokap lantas menatap gua. Tatapannya seakan bertanya; ‘kenapa?’
“Katanya mau belajar mandiri…” Nyokap menjawab, mewakili gua.
Bokap mengangguk beberapa kali, lalu menoleh ke arah Poppy. “Ini siapa?” Tanyanya.
Poppy lantas berdiri dan memperkenalkan diri. “Halo Om, aku Poppy, salam kenal”
“Pacar?” Tanya Bokap ke gua to the point.
Lagi, Nyokap mewakili gua memberi jawaban; “Iya, pacarnya. Cantik kan pah?”
“Pantes nggak mau pulang. Udah tinggal bareng?” Tanya bokap.
Mendapat pertanyaan seperti itu, kompak gua dan Poppy menjawab bersamaan, namun sayang jawaban kami berdua berbeda. Gua menjawab “Belum” sementara Poppy memberi jawaban; “Nggak”.
—
![](https://img.youtube.com/vi/q_5rxpmR4RE/0.jpg)
Michael Learns To Rock - Sleeping Child
The Milky Way upon the heavens
Is twinkling just for you
And Mr. Moon he came by
To say goodnight to you
I'll sing for you I'll sing for mother
We're praying for the world
And for the people everywhere
Gonna show them all we care
Oh my sleeping child, the world's so wild
But you've built your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child
If all the people around the world
They had a mind like yours
We'd have no fighting and no wars
There would be lasting peace on Earth
If all the kings and all the leaders
Could see you here this way
They would hold the Earth in their arms
They would learn to watch you play
Oh my sleeping child, the world's so wild
But you've built your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child
I'm gonna cover my sleeping child
Keep you away from the world so wild
Keep you away from the...
World so wild...
Oh my sleeping child, the world's so wild
But you've built your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child
You've built your own paradise
Oh my sleeping child, the world's so wild
But you've built your own paradise
That's one reason why I'll cover you sleeping child
![jenggalasunyi](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/31/avatar10662509_10.gif)
![mmuji1575](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/10/16/avatar10724019_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
pavidean dan 48 lainnya memberi reputasi
49
Kutip
Balas
Tutup