- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
buljaw dan 152 lainnya memberi reputasi
153
228.1K
Kutip
3.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1082
Part 45 - Pulang
Spoiler for Part 45 - Pulang:
Sementara tangan kanannya menyeka sisa air mata, tangan kirinya ia gunakan untuk membelai rambut rambut gua.
Untuk pertama kalinya lagi, gua merasakan kenyamanan yang luar biasa yang nggak pernah gua rasakan sebelumnya. Menangis sepuasnya, tanpa harus merasa malu, lalu tenggelam di dalam pelukannya. Selama ini, gua selalu mencoba memendam kesedihan di dalam hati tanpa punya tempat untuk mengadu.
Masih berada di dalam pelukannya, gua mendongak, menatap wajahnya; “Gua malu-maluin ya, nangis di depan lo?”
Poppy menggeleng, lalu tersenyum.
“Nggak kok. Kalau lo mau menangis, gua akan nemenin lo. Kalau lo mau bersedih, gua akan mencoba menghibur lo. Kalau lo tertawa, gua akan tertawa bareng sama lo..”
“...”
“... Di depan gua, lo bisa jadi apapun yang lo mau” Tambahnya.
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki mendekat ke arah kamar. Ketu dan Nina muncul di ambang pintu. Begitu melihat kami berada di atas ranjang dan gua berada di dalam pelukan Poppy, kompak Ketu dan Nina langsung menutup kedua mata dengan telapak tangan. Kemudian meraba handle dan menutup pintu dari luar. Dari posisi gua saat ini, terdengar Ketu menggumam; “Asu, ra di tutup pintune”.
Gua dan Poppy lalu sama-sama saling pandang, kemudian perlahan melepas pelukan. Poppy beringsut ke ujung ranjang, sementara gua berdiri, menggaruk kepala yang nggak gatal sambil membuka pintu lemari yang baru saja selesai dirakit oleh Ketu. Seakan tengah memeriksa kualitas hasil rakitannya. Karena nggak tau harus berbuat apa.
Poppy berdehem, kemudian bicara; “Baju-baju lo nggak mau di pindahin kesana?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah lemari baru yang masih kosong.
“Oh… mau” Jawab gua, gugup.
Ia lalu berdiri, meraih tas ransel milik gua yang tergeletak di sudut kamar dan menuang semua isinya di atas ranjang. Iya, selama ini gua menyimpan semua pakaian dan barang-barang lain di dalam ransel karena nggak punya tempat penyimpanan.
Semua isi ransel tumpah ruah di atas ranjang. Melihat beberapa pakaian dalam gua juga berada di sana, dengan cepat gua meraihnya satu persatu dan mencoba menyembunyikannya di balik kaos. Melihat hal tersebut, Poppy langsung tertawa.
“Ngapain di umpetin?” Tanyanya.
“...”
“... Dilipet, terus taro di sini” Tambahnya, sambil berdiri dan menarik laci pada bagian bawah lemari.
“Oh..” Gua mengikuti instruksi darinya. Mulai melipat pakaian dalam dan meletakkannya di dalam laci.
Sementara Poppy kembali ke atas ranjang dan melipat beberapa kaos dan celana milik gua. Ia lalu berhenti, wajahnya terlihat kaget saat melihat banyak gulungan uang kertas yang terikat karet di antara kaos dan celana milik gua.
“Duit siapa?” Tanyanya lagi.
“Duit gua”
“Kenapa di simpen disini?”
“Emang harusnya dimana?” Gua balik bertanya.
“Ya di dompet, atau di bank, atau di masukin celengan kalau emang mau disimpan” Jawabnya.
“Di dompet nggak muat…” Jawab gua sambil menatap ke arah Poppy yang kini mulai mengumpulkan satu persatu gulungan uang tersebut. Ia lalu membuka pengikat karet pada gulungan dan menyatukan semuanya.
“Kenapa nggak di setor ke bank?” Tanyanya lagi.
“Nggak punya rekening bank”
“Terus selama ini, terima pembayaran pake apa?”
“Pake rekening Ketu” Jawab gua.
“Celengan?” Tanyanya.
“Nggak punya…”
“Ya ampun, Sal. Beli celengan plastik di warung paling nggak sampe goceng” Keluh Poppy.
“...”
“... Atau pakai kaleng bekas biskuit juga bisa” Tambahnya.
Gua menggaruk kepala. Entah kenapa hal itu nggak terpikirkan oleh gua sejak awal.
“Besok kalo sempat bikin rekening ke bank” Ucapnya.
“...” Gua nggak menjawab, masih melakukan hal yang sama; berdiri sambil menggaruk kepala.
“... Kenapa? Nggak berani?” Tanyanya lagi, yang lantas gua jawab dengan anggukan kepala.
Mendapat respon gua barusan, Poppy langsung menghela nafas panjang.
“Kalo gua anterin ke bank, mau?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
Poppy selesai membereskan lembaran uang yang kini ditumpuknya hingga nggak cukup dalam genggaman.
“Amplop” Ucapnya.
Gua keluar dari kamar, menuju ke meja kerja, mengambil selembar amplop putih dari dalam dus dan kembali ke kamar. Melihat gua kembali dengan selembar amplop berwarna putih, Poppy berdecak pelan. “Ya nggak muat dong sayang, kalo pake amplop yang segitu”
Kaget, dan tertegun. Bukan, bukan karena ia menolak amplop yang gua bawakan. Tapi karena ada kata ‘sayang’ di kalimatnya barusan.
Gua kembali keluar dari kamar, menuju ke meja kerja dan mengambil salah satu amplop coklat berukuran besar yang berada di dalam tumpukan. Kemudian kembali masuk ke dalam.
“Nah, ini…” Ucapnya sambil meraih amplop coklat berukuran besar yang gua sodorkan.
Dengan hati-hati, Poppy memasukkan tumpukan uang ke dalam amplop coklat, melipatnya dan menyerahkannya ke gua. Gua yang bingung karena nggak tau harus berbuat apa dengan amplop berisi uang tersebut hanya bisa menatap ke arahnya. Ia yang seakan tau dengan kebingungan gua lantas menunjuk ke arah laci tempat tadi gua menyimpan pakaian dalam.
Gua berbalik, memasukkan amplop berisi uang ke dalam laci. Sementara, Poppy ikut berdiri, di tangannya terdapat tumpukan pakaian gua yang sudah terlipat rapi. Ia membuka salah satu pintu lemari dan meletakan kaos pada rak paling atas, dan celana pada rak dibawahnya.
“Nanti, beli kapur barus ya. Biar nggak bau apek. Terus bawahnya kasih alas koran bekas…” Ucapnya sambil terus menata kaos di dalam lemari.
“Harus pake koran bekas? Nggak bisa pake kertas biasa?” Tanya gua. Karena merasa punya banyak stok kertas kosong. Sementara kalau koran gua sama sekali nggak punya.
“Ya sayang dong kalo pake kertas biasa” Jawabnya.
Gua kembali tertegun begitu mendengarnya mengucapkan kata ‘sayang’. Padahal tentu saja kata tersebut berbeda konteksnya dengan kata yang ia ucapkan sebelumnya. Namun, entah kenapa mulut gua langsung memberi jawaban seakan tanpa perintah; “Sama, gua juga sayang”
Mendengar ucapan gua barusan, Poppy langsung menghentikan kegiatannya dan berpaling, menatap ke arah gua.
“... Sama kertasnya”
Poppy lalu berdiri, mendekat ke gua, sangat dekat, hingga gua mampu mendengar suara tarikan nafasnya.
“Kalo sama gua, gimana? Sayang?” Tanyanya dengan suara lirih tanpa berani memberi tatapannya ke arah gua.
Gua yang nggak menyangka ia bakal bertanya langsung seperti sekarang ini tentu saja cukup terkejut. Mulut tiba-tiba kelu, sulit bernafas dan tenggorokan tercekat. Bukannya memberi gua kesempatan untuk bicara, Poppy malah semakin mendekatkan tubuhnya. Ia lalu mendongak, sepertinya mencoba memberanikan dirinya menatap gua.
Tiba-tiba kembali terdengar derap langkah kaki menaiki anak tangga dan mendekat ke arah kamar. Nggak mau kejadian sebelumnya terulang, kami berdua sama-sama mundur untuk memberi jarak.
Ketu muncul di ambang pintu, dengan nafas tersengal-sengal ia bicara; “Sal, mau bakso nggak?” Tanyanya.
—
Besoknya, Gua berdiri tepat di depan halaman sebuah bank swasta yang lokasinya nggak begitu jauh dari rumah Poppy. Sengaja memilih membuat rekening bank disini biar nggak merepotkan Poppy. Sambil menunggunya, gua berjongkok, merokok di depan sebuah warung kecil yang berdiri tepat di atas trotoar.
Setelah menunggu beberapa lama terlihat Poppy tengah berjalan cepat ke arah gua. Di pundaknya tergantung tas selempang berwarna hitam yang sepertinya berisi laptop sementara tangan satunya menjinjing sebuah paper bag dengan motif batik.
“Udah lama?” Tanyanya begitu sampai.
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum kemudian berdiri, meraih tas selempang dari pundaknya dan memindahkannya ke bahu gua. Saat gua hendak mengambil alih paper bag dari tangannya, ia menolak. “Ih, gapapa, biarin ini gua yang bawa. Masa semua lo yang bawa” Ucapnya.
Kami berdua lalu berjalan bersama, masuk ke dalam Bank.
Proses pembukaan rekening berjalan singkat dan cepat. Yang justru makan banyak waktu adalah proses antriannya. Apalagi, kami berdua datang disaat jam kerja, dimana banyak orang yang sepertinya sengaja menyempatkan diri kesini di waktu yang sama.
Setelah hampir dua jam, kami keluar dari Bank.
“Lo gapapa, lama begini?” Tanya gua, merujuk ke waktu kerjanya yang banyak terbuang hanya untuk menemani gua.
“Gapapa.. Tadi gua udah sempet kerja sebentar” Jawabnya.
“Dari jam berapa?”
“Dari abis subuh” Jawabnya singkat.
“Biasa mulai kerja jam segitu apa karena tau mau nemenin gua jadi mulai jam segitu?” Tanya gua sambil memberikan opsi menjawab.
Poppy tersenyum sebentar, kemudian menjawab; “Ya karena mau nemenin lo lah”
“Haha, Makasih lho…” Ucap gua.
“Traktir lah…” Pintanya.
“Mau apa?”
“Kopi”
“Kopi apa?” Tanya gua, karena merasa Poppy nggak begitu suka dengan ‘kopi asli’, ia cenderung lebih suka kopi sachet yang harganya seribuan. Dan rasa-rasanya nggak mungkin ia meminta gua traktir kopi sachet seribuan.
“Kopi di kedai tempat lo dulu. Gua sekalian mau lanjut kerja dan ngerjain skripsi disana” Jawabnya.
Gua mengangguk.
Sambil berjalan menuju ke arah kedai kopi, kami saling bicara, saling bertukar cerita. Gua lebih banyak bertanya tentang pekerjaan yang sekarang ia geluti dan tentu saja perkara kuliahnya yang kini sudah masuk proses penyusunan skripsi.
“Gimana rasanya kerja dari balik meja?” Tanya gua, merujuk ke profesinya sekarang sebagai staff marketing, nggak lagi menjadi kasir minimarket.
“Sama aja. Sebelumnya juga dibalik meja; meja kasir” Jawabnya bercanda.
“...”
“... Ya enak sih, karena pertama bisa kerja remote dan kedua manajer gua kan dosen di kampus. Ya walaupun gajinya nggak gede-gede banget” Tambahnya.
“Oh… Terus skripsi gimana?” Tanya gua lagi.
“Masih dikerjain…”
“Nggak keteteran?”
“Lumayan. Kalau kerjaan lagi banyak, terus ada revisian skripsi juga, pusing. Apalagi ditambah masih harus mikirin elo…” Jawabnya, seraya menyenggol tubuh gua dengan bahunya.
“Hahaha…”
“Eh, tapi, Lo tau nggak, Sal. Gua sekarang ini model tau…” Ucapnya, memberi informasi.
“Model apa?” Tanya gua penasaran.
“Model buat Photo Stock gitu…” Jawabnya.
“Oh, kok bisa?” Tanya gua lagi, kini semakin penasaran.
“Iya di ajak sama Tata” Poppy bicara, nada suaranya terdengar sengaja dipelankan saat menyebut nama Tata.
“Berteman kalian sekarang?”
“...” Poppy terdiam, nggak memberi jawaban.
Setelahnya, ia kembali bicara. Tapi, nggak membahas perihal Tata, melainkan tentang profesinya yang sebagai foto model amatiran. Ia juga menjelaskan perkara cara kerja dan distribusi foto tersebut.
“Eh, Sal. Lo juga bisa tau submit ilustrasi yang lo bikin di platform itu. Nanti kalo ada orang yang download lo bakal dapet bayaran. Bayarannya dihitung sesuai dengan jumlah downloadnya…” Poppy memberi penjelasan.
“Ya nanti gua coba ngomong ke Ketu. Tapi, lo belum jawab pertanyaan gua tadi..” Jawab gua.
“Yang mana?” Tanyanya berlagak pilon.
Gua tersenyum sebentar dan gantian menyenggol tubuhnya dengan bahu gua. Ia lalu tertawa.
Nggak seberapa lama, kami akhirnya tiba di kedai kopi tempat dulu gua bekerja. Gua naik, menyusuri tangga besi menuju ke lantai atas. Tangan gua meniti selusur tangga sambil mencoba memanggil kembali memori gua di tempat ini. Kedai kopi ini punya peran penting dalam perjalanan hidup gua, tempat ini bahkan masuk ke dalam salah satu gambar yang gua kirim ke pameran.
Begitu masuk ke dalam, gua langsung di sambut oleh Dahlan yang tengah mengelap meja. Sementara Ahmad terlihat sibuk memindahkan kemasan berisi biji kopi dari dapur kotor ke balik konter.
Kami bercakap-cakap sebentar, saling bertukar kabar dan cerita. Poppy duduk di salah satu meja yang berada di balkon. Ia menatap ke arah kami sambil tersenyum dan berpangku tangan.
Setelah puas bercakap-cakap, gua lalu memesan dua gelas kopi ke Dahlan. Tentu saja dengan pesan untuk membuatkan yang manis untuk Poppy, kemudian bergegas menyusul Poppy ke meja di balkon.
“Kok nggak di dalem aja?” Tanya gua ke Poppy, kemudian duduk.
“Ntar lo nggak bisa ngerokok” Jawabnya.
“Hahaha, iya sih..”
Poppy lalu mengeluarkan laptop dari tas selempang, menyalakannya dan mulai terlihat sibuk. Jarinya yang lentik menari indah diatas keyboard laptop, sambil sesekali menulis pada notes kecil di sisinya. Gua hanya terdiam, menatap wajahnya seraya pasang senyum.
“Jangan ngeliatin gua mulu kenapa sih” Protesnya tanpa memalingkan matanya dari layar laptop.
“Emang kenapa?”
“Malu gua…” Jawabnya singkat.
Gua lalu beralih menatap ke arah jalan. Gua menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.
“Gua masih bisa loh diajak ngobrol” Ucapnya.
“Oya?”
“Iya… Coba tanya aja ke gua, pasti gua jawab” Tantangnya, seakan mencoba membuktikan kalau ia adalah seorang yang multitasking.
Gua tersenyum sebentar, kemudian mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang tadi nggak dijawabnya; “Elo sama Tata temenan?”
Poppy menghentikan kegiatannya, lalu menatap gua. “Jangan itu dong pertanyaannya…” Protesnya.
Gua menggeleng.
Poppy menghela nafas sebentar kemudian menjawab; “Iya…”
“Berarti lo tau alamat gua dari dia?” Tanya gua lagi.
“Iya…”
Gua kembali tersenyum. Menyadari kalau perempuan di hadapan gua saat ini adalah perempuan yang kuat dan lapang dada. Bagaimana tidak, dulu sewaktu gua bercerita tentang Tata dan masa lalu gua, ia langsung memupuk kebencian untuknya. Kini, ia malah berteman dengan Tata.
“Kok bisa?” Tanya gua lagi.
“Kenapa nggak?” Ia balik bertanya.
“...”
“... Emang lo benci sama Tata?” Ia bertanya sambil kembali sibuk dengan laptopnya.
“Nggak” Jawab gua singkat.
“Nah, yaudah itu jawabannya. Bagaimana mungkin gua mewakili kebencian seseorang yang nggak membencinya?” Poppy memberi penjelasan. Begitu selesai menjawab ia langsung menjulurkan lidahnya, seakan mengejek gua.
Mendengar penjelasannya barusan membuat gua semakin kagum kepadanya.
Nggak lama berselang, kopi pesanan kami berdua datang. Dahlan meletakkan dua gelas kopi di atas meja. Ia lalu menepuk bahu gua dan bicara; “Silahkan, Sal..”
“Makasih lho” Jawab gua.
“Lo tumben Pop, minum kopi beneran?” Tanya Dahlan ke Poppy.
“Ya kan dibayarin” Poppy menjawab santai.
Mendengar percakapan mereka berdua, kening gua berkerut lalu menatap ke arah Dahlan; “Dia sering kesini?” Tanya gua, yang lantas dijawab oleh Dahlan dengan anggukan kepala.
“... Tapi numpang Wifi doang. Bawa kopi sendiri dari rumah” Tambahnya yang disusul gelak tawa kami bertiga.
Setelahnya, gua hanya diam sambil terus menatap ke arah Poppy yang masih sibuk bekerja. Sesekali gua memotret dirinya dengan kamera ponsel dari balik layar laptopnya. Atau, menyentuh ujung jarinya yang berada di atas meja, membuatnya dengan cepat berdecak karena merasa di ganggu.
Tiba-tiba, Poppy menepuk punggung tangan gua dan bicara; “Bentar lagi gua kelar nih…”
“Terus?” Tanya gua, menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Mau kemana abis ini?” Ia balik bertanya.
Gua mengangkat kedua bahu ke atas; Nggak tau.
“Gua temenin ke rumah nyokap lo mau nggak?” Tanyanya. Kini suaranya dibuat begitu lembut, saking lembutnya gua bahkan hampir nggak mendengar ucapannya.
Gua terdiam, nggak tau harus menjawab apa.
“... kalo nggak mau gapapa, kapan-kapan aja…” Tambahnya.
Gua meraih tangan dan menggenggamnya, kemudian mengangguk pelan; “Mau…”
Poppy merespon dengan sebuah senyuman.
—
Dengan menggunakan taksi online, gua dan Poppy bergerak menuju ke alamat rumah orang tua gua yang sempat gua kirim melalui ponselnya. Karena lokasinya cukup jauh dan kondisi jalan yang macet, kami akhirnya tiba di depan komplek perumahan sekitar hampir satu setengah jam.
Hari sudah gelap saat kami turun dari taksi online yang kami tumpangi. Gua sengaja memilih turun di depan komplek perumahan, agar punya kesempatan berpikir ulang tentang keputusan ini sambil berjalan kaki.
Gua berjalan, masuk ke dalam komplek perumahan. Sementara, Poppy mengikuti di belakang.
Nggak banyak yang berubah dari tempat ini, masih relatif sama. Hanya saja, beberapa pohon besar yang gua kenali, kini tak lagi ada disana. Begitu juga dengan jalan-jalan di sekitar komplek yang kini nampak mulus berlapis beton. Terakhir gua berada disini, jalan ini hanya berupa konblok yang berisik saat dilintasi kendaraan.
Sambil terus berjalan, gua kembali memikirkan keputusan ini. ‘Apa ini keputusan yang tepat?’ batin gua dalam hati. Namun, saat gua menoleh dan melihat Poppy yang tersenyum, gua pun memantapkan tekad.
Di depan, beberapa meter lagi, terlihat sebuah bangunan besar yang sangat gua kenali. Bangunan yang kerap gua pandangi sebelum tidur.
Gua menghentikan langkah tepat di depan bangunan tersebut. Sebuah rumah besar, bercat cream dengan pagar besi tinggi di bagian depannya. Sementara, Poppy memposisikan dirinya tepat di sebelah gua. Ia lalu menggumam; “Beneran mirip kayak yang di gambar”
Sebelum mencoba mendekat, gua menyempatkan diri menoleh ke arah Poppy seakan meminta dukungan. Ia kembali tersenyum, kali ini sambil mengepalkan tangan, mencoba memberi semangat.
Gua perlahan mendekat ke arah pagar, bersiap untuk membuka pintu. Namun, urung gua lakukan. Ada rasa takut, malu dan tekanan yang besar di dalam hati yang akhirnya membuat gua berhenti lalu berbalik dan kembali ke arah dimana Poppy berdiri.
Seakan mencoba mewakili gua, Poppy maju, kemudian mulai menekan tombol bel yang berada di ujung kanan atas pagar.
Kami lalu menunggu dalam keheningan.
Nggak seberapa lama terdengar langkah kaki mendekat, langkah yang terdengar terburu-buru. Disusul suara denting besi yang saling bertemu, pagar lalu menggeser, terbuka. Seorang perempuan muda muncul dan langsung pasang tampang bingung begitu melihat Poppy.
“Cari siapa?” Tanyanya ke Poppy.
Bukannya menjawab, Poppy malah berbalik dan menatap gua.
Perempuan tadi, rupanya ikut menoleh dan menatap ke arah gua. Seakan tengah memindai, perempuan itu melihat gua dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu, ekspresinya terlihat berubah. Tanpa bicara, ia langsung berlari masuk kembali ke dalam rumah. Sementara, gua dan Poppy hanya saling menatap.
Melihat posisi pagar yang terbuka, Poppy lantas menarik lengan dan membawa gua masuk ke dalam teras. Begitu berada di carport, gua bergeming, kaki ini rasanya begitu sulit bergerak. Poppy menoleh ke arah gua, mendekat, lalu mengisi sela-sela jari gua dengan jarinya. Ia menggenggam tangan gua dengan erat. Mencoba memberikan kenyamanan.
Perempuan tadi kembali keluar lalu mempersilahkan kami masuk.
Ruang tamu besar dengan satu set sofa kulit dan meja kaca besar menyambut kami berdua. Walaupun dulu sempat tinggal disini, tapi setelah pergi bertahun-tahun membuat tempat ini terasa asing.
“Duduk dulu ya mbak, aku panggilin bu dokter dulu…” Ucapnya kemudian memakai kerudung dan berlari keluar.
Sambil menunggu, Poppy berdiri dan mulai menatap sekeliling, melihat dinding ruangan dimana banyak terdapat foto-foto.
“Sal..” Panggil Poppy sambil menunjuk ke salah satu foto keluarga dengan frame hitam yang sepertinya terbuat dari kayu, foto yang berukuran paling besar daripada yang lain, foto yang memperlihatkan gua tengah berdiri sambil tersenyum dibelakang kedua bokap dan nyokap yang duduk di bagian depan.
Setelah hampir lima belas menit menunggu, perempuan tadi kembali, masih sambil berlari. Sambil mencoba mengatur nafas, perempuan tadi bicara terbata-bata; “Mau minum apa mbak, mas” Tanyanya.
Poppy mengernyitkan dahi lalu menjawab; “Mbak, mbak aja yang minum dulu. Kayaknya capek banget mondar-mandir..”
“Iya soalnya…” Belum sempat perempuan itu memberi penjelasan, terdengar suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Disusul suara langkah kaki yang berlari mendekat. Sesaat berikutnya, seorang perempuan berusia setengah baya terlihat berdiri diambang pintu. Masih dengan jubah putih dan stetoskop terkalung di lehernya, ia terlihat cantik; as always.
—
Untuk pertama kalinya lagi, gua merasakan kenyamanan yang luar biasa yang nggak pernah gua rasakan sebelumnya. Menangis sepuasnya, tanpa harus merasa malu, lalu tenggelam di dalam pelukannya. Selama ini, gua selalu mencoba memendam kesedihan di dalam hati tanpa punya tempat untuk mengadu.
Masih berada di dalam pelukannya, gua mendongak, menatap wajahnya; “Gua malu-maluin ya, nangis di depan lo?”
Poppy menggeleng, lalu tersenyum.
“Nggak kok. Kalau lo mau menangis, gua akan nemenin lo. Kalau lo mau bersedih, gua akan mencoba menghibur lo. Kalau lo tertawa, gua akan tertawa bareng sama lo..”
“...”
“... Di depan gua, lo bisa jadi apapun yang lo mau” Tambahnya.
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki mendekat ke arah kamar. Ketu dan Nina muncul di ambang pintu. Begitu melihat kami berada di atas ranjang dan gua berada di dalam pelukan Poppy, kompak Ketu dan Nina langsung menutup kedua mata dengan telapak tangan. Kemudian meraba handle dan menutup pintu dari luar. Dari posisi gua saat ini, terdengar Ketu menggumam; “Asu, ra di tutup pintune”.
Gua dan Poppy lalu sama-sama saling pandang, kemudian perlahan melepas pelukan. Poppy beringsut ke ujung ranjang, sementara gua berdiri, menggaruk kepala yang nggak gatal sambil membuka pintu lemari yang baru saja selesai dirakit oleh Ketu. Seakan tengah memeriksa kualitas hasil rakitannya. Karena nggak tau harus berbuat apa.
Poppy berdehem, kemudian bicara; “Baju-baju lo nggak mau di pindahin kesana?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah lemari baru yang masih kosong.
“Oh… mau” Jawab gua, gugup.
Ia lalu berdiri, meraih tas ransel milik gua yang tergeletak di sudut kamar dan menuang semua isinya di atas ranjang. Iya, selama ini gua menyimpan semua pakaian dan barang-barang lain di dalam ransel karena nggak punya tempat penyimpanan.
Semua isi ransel tumpah ruah di atas ranjang. Melihat beberapa pakaian dalam gua juga berada di sana, dengan cepat gua meraihnya satu persatu dan mencoba menyembunyikannya di balik kaos. Melihat hal tersebut, Poppy langsung tertawa.
“Ngapain di umpetin?” Tanyanya.
“...”
“... Dilipet, terus taro di sini” Tambahnya, sambil berdiri dan menarik laci pada bagian bawah lemari.
“Oh..” Gua mengikuti instruksi darinya. Mulai melipat pakaian dalam dan meletakkannya di dalam laci.
Sementara Poppy kembali ke atas ranjang dan melipat beberapa kaos dan celana milik gua. Ia lalu berhenti, wajahnya terlihat kaget saat melihat banyak gulungan uang kertas yang terikat karet di antara kaos dan celana milik gua.
“Duit siapa?” Tanyanya lagi.
“Duit gua”
“Kenapa di simpen disini?”
“Emang harusnya dimana?” Gua balik bertanya.
“Ya di dompet, atau di bank, atau di masukin celengan kalau emang mau disimpan” Jawabnya.
“Di dompet nggak muat…” Jawab gua sambil menatap ke arah Poppy yang kini mulai mengumpulkan satu persatu gulungan uang tersebut. Ia lalu membuka pengikat karet pada gulungan dan menyatukan semuanya.
“Kenapa nggak di setor ke bank?” Tanyanya lagi.
“Nggak punya rekening bank”
“Terus selama ini, terima pembayaran pake apa?”
“Pake rekening Ketu” Jawab gua.
“Celengan?” Tanyanya.
“Nggak punya…”
“Ya ampun, Sal. Beli celengan plastik di warung paling nggak sampe goceng” Keluh Poppy.
“...”
“... Atau pakai kaleng bekas biskuit juga bisa” Tambahnya.
Gua menggaruk kepala. Entah kenapa hal itu nggak terpikirkan oleh gua sejak awal.
“Besok kalo sempat bikin rekening ke bank” Ucapnya.
“...” Gua nggak menjawab, masih melakukan hal yang sama; berdiri sambil menggaruk kepala.
“... Kenapa? Nggak berani?” Tanyanya lagi, yang lantas gua jawab dengan anggukan kepala.
Mendapat respon gua barusan, Poppy langsung menghela nafas panjang.
“Kalo gua anterin ke bank, mau?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
Poppy selesai membereskan lembaran uang yang kini ditumpuknya hingga nggak cukup dalam genggaman.
“Amplop” Ucapnya.
Gua keluar dari kamar, menuju ke meja kerja, mengambil selembar amplop putih dari dalam dus dan kembali ke kamar. Melihat gua kembali dengan selembar amplop berwarna putih, Poppy berdecak pelan. “Ya nggak muat dong sayang, kalo pake amplop yang segitu”
Kaget, dan tertegun. Bukan, bukan karena ia menolak amplop yang gua bawakan. Tapi karena ada kata ‘sayang’ di kalimatnya barusan.
Gua kembali keluar dari kamar, menuju ke meja kerja dan mengambil salah satu amplop coklat berukuran besar yang berada di dalam tumpukan. Kemudian kembali masuk ke dalam.
“Nah, ini…” Ucapnya sambil meraih amplop coklat berukuran besar yang gua sodorkan.
Dengan hati-hati, Poppy memasukkan tumpukan uang ke dalam amplop coklat, melipatnya dan menyerahkannya ke gua. Gua yang bingung karena nggak tau harus berbuat apa dengan amplop berisi uang tersebut hanya bisa menatap ke arahnya. Ia yang seakan tau dengan kebingungan gua lantas menunjuk ke arah laci tempat tadi gua menyimpan pakaian dalam.
Gua berbalik, memasukkan amplop berisi uang ke dalam laci. Sementara, Poppy ikut berdiri, di tangannya terdapat tumpukan pakaian gua yang sudah terlipat rapi. Ia membuka salah satu pintu lemari dan meletakan kaos pada rak paling atas, dan celana pada rak dibawahnya.
“Nanti, beli kapur barus ya. Biar nggak bau apek. Terus bawahnya kasih alas koran bekas…” Ucapnya sambil terus menata kaos di dalam lemari.
“Harus pake koran bekas? Nggak bisa pake kertas biasa?” Tanya gua. Karena merasa punya banyak stok kertas kosong. Sementara kalau koran gua sama sekali nggak punya.
“Ya sayang dong kalo pake kertas biasa” Jawabnya.
Gua kembali tertegun begitu mendengarnya mengucapkan kata ‘sayang’. Padahal tentu saja kata tersebut berbeda konteksnya dengan kata yang ia ucapkan sebelumnya. Namun, entah kenapa mulut gua langsung memberi jawaban seakan tanpa perintah; “Sama, gua juga sayang”
Mendengar ucapan gua barusan, Poppy langsung menghentikan kegiatannya dan berpaling, menatap ke arah gua.
“... Sama kertasnya”
Poppy lalu berdiri, mendekat ke gua, sangat dekat, hingga gua mampu mendengar suara tarikan nafasnya.
“Kalo sama gua, gimana? Sayang?” Tanyanya dengan suara lirih tanpa berani memberi tatapannya ke arah gua.
Gua yang nggak menyangka ia bakal bertanya langsung seperti sekarang ini tentu saja cukup terkejut. Mulut tiba-tiba kelu, sulit bernafas dan tenggorokan tercekat. Bukannya memberi gua kesempatan untuk bicara, Poppy malah semakin mendekatkan tubuhnya. Ia lalu mendongak, sepertinya mencoba memberanikan dirinya menatap gua.
Tiba-tiba kembali terdengar derap langkah kaki menaiki anak tangga dan mendekat ke arah kamar. Nggak mau kejadian sebelumnya terulang, kami berdua sama-sama mundur untuk memberi jarak.
Ketu muncul di ambang pintu, dengan nafas tersengal-sengal ia bicara; “Sal, mau bakso nggak?” Tanyanya.
—
Besoknya, Gua berdiri tepat di depan halaman sebuah bank swasta yang lokasinya nggak begitu jauh dari rumah Poppy. Sengaja memilih membuat rekening bank disini biar nggak merepotkan Poppy. Sambil menunggunya, gua berjongkok, merokok di depan sebuah warung kecil yang berdiri tepat di atas trotoar.
Setelah menunggu beberapa lama terlihat Poppy tengah berjalan cepat ke arah gua. Di pundaknya tergantung tas selempang berwarna hitam yang sepertinya berisi laptop sementara tangan satunya menjinjing sebuah paper bag dengan motif batik.
“Udah lama?” Tanyanya begitu sampai.
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum kemudian berdiri, meraih tas selempang dari pundaknya dan memindahkannya ke bahu gua. Saat gua hendak mengambil alih paper bag dari tangannya, ia menolak. “Ih, gapapa, biarin ini gua yang bawa. Masa semua lo yang bawa” Ucapnya.
Kami berdua lalu berjalan bersama, masuk ke dalam Bank.
Proses pembukaan rekening berjalan singkat dan cepat. Yang justru makan banyak waktu adalah proses antriannya. Apalagi, kami berdua datang disaat jam kerja, dimana banyak orang yang sepertinya sengaja menyempatkan diri kesini di waktu yang sama.
Setelah hampir dua jam, kami keluar dari Bank.
“Lo gapapa, lama begini?” Tanya gua, merujuk ke waktu kerjanya yang banyak terbuang hanya untuk menemani gua.
“Gapapa.. Tadi gua udah sempet kerja sebentar” Jawabnya.
“Dari jam berapa?”
“Dari abis subuh” Jawabnya singkat.
“Biasa mulai kerja jam segitu apa karena tau mau nemenin gua jadi mulai jam segitu?” Tanya gua sambil memberikan opsi menjawab.
Poppy tersenyum sebentar, kemudian menjawab; “Ya karena mau nemenin lo lah”
“Haha, Makasih lho…” Ucap gua.
“Traktir lah…” Pintanya.
“Mau apa?”
“Kopi”
“Kopi apa?” Tanya gua, karena merasa Poppy nggak begitu suka dengan ‘kopi asli’, ia cenderung lebih suka kopi sachet yang harganya seribuan. Dan rasa-rasanya nggak mungkin ia meminta gua traktir kopi sachet seribuan.
“Kopi di kedai tempat lo dulu. Gua sekalian mau lanjut kerja dan ngerjain skripsi disana” Jawabnya.
Gua mengangguk.
Sambil berjalan menuju ke arah kedai kopi, kami saling bicara, saling bertukar cerita. Gua lebih banyak bertanya tentang pekerjaan yang sekarang ia geluti dan tentu saja perkara kuliahnya yang kini sudah masuk proses penyusunan skripsi.
“Gimana rasanya kerja dari balik meja?” Tanya gua, merujuk ke profesinya sekarang sebagai staff marketing, nggak lagi menjadi kasir minimarket.
“Sama aja. Sebelumnya juga dibalik meja; meja kasir” Jawabnya bercanda.
“...”
“... Ya enak sih, karena pertama bisa kerja remote dan kedua manajer gua kan dosen di kampus. Ya walaupun gajinya nggak gede-gede banget” Tambahnya.
“Oh… Terus skripsi gimana?” Tanya gua lagi.
“Masih dikerjain…”
“Nggak keteteran?”
“Lumayan. Kalau kerjaan lagi banyak, terus ada revisian skripsi juga, pusing. Apalagi ditambah masih harus mikirin elo…” Jawabnya, seraya menyenggol tubuh gua dengan bahunya.
“Hahaha…”
“Eh, tapi, Lo tau nggak, Sal. Gua sekarang ini model tau…” Ucapnya, memberi informasi.
“Model apa?” Tanya gua penasaran.
“Model buat Photo Stock gitu…” Jawabnya.
“Oh, kok bisa?” Tanya gua lagi, kini semakin penasaran.
“Iya di ajak sama Tata” Poppy bicara, nada suaranya terdengar sengaja dipelankan saat menyebut nama Tata.
“Berteman kalian sekarang?”
“...” Poppy terdiam, nggak memberi jawaban.
Setelahnya, ia kembali bicara. Tapi, nggak membahas perihal Tata, melainkan tentang profesinya yang sebagai foto model amatiran. Ia juga menjelaskan perkara cara kerja dan distribusi foto tersebut.
“Eh, Sal. Lo juga bisa tau submit ilustrasi yang lo bikin di platform itu. Nanti kalo ada orang yang download lo bakal dapet bayaran. Bayarannya dihitung sesuai dengan jumlah downloadnya…” Poppy memberi penjelasan.
“Ya nanti gua coba ngomong ke Ketu. Tapi, lo belum jawab pertanyaan gua tadi..” Jawab gua.
“Yang mana?” Tanyanya berlagak pilon.
Gua tersenyum sebentar dan gantian menyenggol tubuhnya dengan bahu gua. Ia lalu tertawa.
Nggak seberapa lama, kami akhirnya tiba di kedai kopi tempat dulu gua bekerja. Gua naik, menyusuri tangga besi menuju ke lantai atas. Tangan gua meniti selusur tangga sambil mencoba memanggil kembali memori gua di tempat ini. Kedai kopi ini punya peran penting dalam perjalanan hidup gua, tempat ini bahkan masuk ke dalam salah satu gambar yang gua kirim ke pameran.
Begitu masuk ke dalam, gua langsung di sambut oleh Dahlan yang tengah mengelap meja. Sementara Ahmad terlihat sibuk memindahkan kemasan berisi biji kopi dari dapur kotor ke balik konter.
Kami bercakap-cakap sebentar, saling bertukar kabar dan cerita. Poppy duduk di salah satu meja yang berada di balkon. Ia menatap ke arah kami sambil tersenyum dan berpangku tangan.
Setelah puas bercakap-cakap, gua lalu memesan dua gelas kopi ke Dahlan. Tentu saja dengan pesan untuk membuatkan yang manis untuk Poppy, kemudian bergegas menyusul Poppy ke meja di balkon.
“Kok nggak di dalem aja?” Tanya gua ke Poppy, kemudian duduk.
“Ntar lo nggak bisa ngerokok” Jawabnya.
“Hahaha, iya sih..”
Poppy lalu mengeluarkan laptop dari tas selempang, menyalakannya dan mulai terlihat sibuk. Jarinya yang lentik menari indah diatas keyboard laptop, sambil sesekali menulis pada notes kecil di sisinya. Gua hanya terdiam, menatap wajahnya seraya pasang senyum.
“Jangan ngeliatin gua mulu kenapa sih” Protesnya tanpa memalingkan matanya dari layar laptop.
“Emang kenapa?”
“Malu gua…” Jawabnya singkat.
Gua lalu beralih menatap ke arah jalan. Gua menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke udara.
“Gua masih bisa loh diajak ngobrol” Ucapnya.
“Oya?”
“Iya… Coba tanya aja ke gua, pasti gua jawab” Tantangnya, seakan mencoba membuktikan kalau ia adalah seorang yang multitasking.
Gua tersenyum sebentar, kemudian mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang tadi nggak dijawabnya; “Elo sama Tata temenan?”
Poppy menghentikan kegiatannya, lalu menatap gua. “Jangan itu dong pertanyaannya…” Protesnya.
Gua menggeleng.
Poppy menghela nafas sebentar kemudian menjawab; “Iya…”
“Berarti lo tau alamat gua dari dia?” Tanya gua lagi.
“Iya…”
Gua kembali tersenyum. Menyadari kalau perempuan di hadapan gua saat ini adalah perempuan yang kuat dan lapang dada. Bagaimana tidak, dulu sewaktu gua bercerita tentang Tata dan masa lalu gua, ia langsung memupuk kebencian untuknya. Kini, ia malah berteman dengan Tata.
“Kok bisa?” Tanya gua lagi.
“Kenapa nggak?” Ia balik bertanya.
“...”
“... Emang lo benci sama Tata?” Ia bertanya sambil kembali sibuk dengan laptopnya.
“Nggak” Jawab gua singkat.
“Nah, yaudah itu jawabannya. Bagaimana mungkin gua mewakili kebencian seseorang yang nggak membencinya?” Poppy memberi penjelasan. Begitu selesai menjawab ia langsung menjulurkan lidahnya, seakan mengejek gua.
Mendengar penjelasannya barusan membuat gua semakin kagum kepadanya.
Nggak lama berselang, kopi pesanan kami berdua datang. Dahlan meletakkan dua gelas kopi di atas meja. Ia lalu menepuk bahu gua dan bicara; “Silahkan, Sal..”
“Makasih lho” Jawab gua.
“Lo tumben Pop, minum kopi beneran?” Tanya Dahlan ke Poppy.
“Ya kan dibayarin” Poppy menjawab santai.
Mendengar percakapan mereka berdua, kening gua berkerut lalu menatap ke arah Dahlan; “Dia sering kesini?” Tanya gua, yang lantas dijawab oleh Dahlan dengan anggukan kepala.
“... Tapi numpang Wifi doang. Bawa kopi sendiri dari rumah” Tambahnya yang disusul gelak tawa kami bertiga.
Setelahnya, gua hanya diam sambil terus menatap ke arah Poppy yang masih sibuk bekerja. Sesekali gua memotret dirinya dengan kamera ponsel dari balik layar laptopnya. Atau, menyentuh ujung jarinya yang berada di atas meja, membuatnya dengan cepat berdecak karena merasa di ganggu.
Tiba-tiba, Poppy menepuk punggung tangan gua dan bicara; “Bentar lagi gua kelar nih…”
“Terus?” Tanya gua, menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Mau kemana abis ini?” Ia balik bertanya.
Gua mengangkat kedua bahu ke atas; Nggak tau.
“Gua temenin ke rumah nyokap lo mau nggak?” Tanyanya. Kini suaranya dibuat begitu lembut, saking lembutnya gua bahkan hampir nggak mendengar ucapannya.
Gua terdiam, nggak tau harus menjawab apa.
“... kalo nggak mau gapapa, kapan-kapan aja…” Tambahnya.
Gua meraih tangan dan menggenggamnya, kemudian mengangguk pelan; “Mau…”
Poppy merespon dengan sebuah senyuman.
—
Dengan menggunakan taksi online, gua dan Poppy bergerak menuju ke alamat rumah orang tua gua yang sempat gua kirim melalui ponselnya. Karena lokasinya cukup jauh dan kondisi jalan yang macet, kami akhirnya tiba di depan komplek perumahan sekitar hampir satu setengah jam.
Hari sudah gelap saat kami turun dari taksi online yang kami tumpangi. Gua sengaja memilih turun di depan komplek perumahan, agar punya kesempatan berpikir ulang tentang keputusan ini sambil berjalan kaki.
Gua berjalan, masuk ke dalam komplek perumahan. Sementara, Poppy mengikuti di belakang.
Nggak banyak yang berubah dari tempat ini, masih relatif sama. Hanya saja, beberapa pohon besar yang gua kenali, kini tak lagi ada disana. Begitu juga dengan jalan-jalan di sekitar komplek yang kini nampak mulus berlapis beton. Terakhir gua berada disini, jalan ini hanya berupa konblok yang berisik saat dilintasi kendaraan.
Sambil terus berjalan, gua kembali memikirkan keputusan ini. ‘Apa ini keputusan yang tepat?’ batin gua dalam hati. Namun, saat gua menoleh dan melihat Poppy yang tersenyum, gua pun memantapkan tekad.
Di depan, beberapa meter lagi, terlihat sebuah bangunan besar yang sangat gua kenali. Bangunan yang kerap gua pandangi sebelum tidur.
Gua menghentikan langkah tepat di depan bangunan tersebut. Sebuah rumah besar, bercat cream dengan pagar besi tinggi di bagian depannya. Sementara, Poppy memposisikan dirinya tepat di sebelah gua. Ia lalu menggumam; “Beneran mirip kayak yang di gambar”
Sebelum mencoba mendekat, gua menyempatkan diri menoleh ke arah Poppy seakan meminta dukungan. Ia kembali tersenyum, kali ini sambil mengepalkan tangan, mencoba memberi semangat.
Gua perlahan mendekat ke arah pagar, bersiap untuk membuka pintu. Namun, urung gua lakukan. Ada rasa takut, malu dan tekanan yang besar di dalam hati yang akhirnya membuat gua berhenti lalu berbalik dan kembali ke arah dimana Poppy berdiri.
Seakan mencoba mewakili gua, Poppy maju, kemudian mulai menekan tombol bel yang berada di ujung kanan atas pagar.
Kami lalu menunggu dalam keheningan.
Nggak seberapa lama terdengar langkah kaki mendekat, langkah yang terdengar terburu-buru. Disusul suara denting besi yang saling bertemu, pagar lalu menggeser, terbuka. Seorang perempuan muda muncul dan langsung pasang tampang bingung begitu melihat Poppy.
“Cari siapa?” Tanyanya ke Poppy.
Bukannya menjawab, Poppy malah berbalik dan menatap gua.
Perempuan tadi, rupanya ikut menoleh dan menatap ke arah gua. Seakan tengah memindai, perempuan itu melihat gua dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu, ekspresinya terlihat berubah. Tanpa bicara, ia langsung berlari masuk kembali ke dalam rumah. Sementara, gua dan Poppy hanya saling menatap.
Melihat posisi pagar yang terbuka, Poppy lantas menarik lengan dan membawa gua masuk ke dalam teras. Begitu berada di carport, gua bergeming, kaki ini rasanya begitu sulit bergerak. Poppy menoleh ke arah gua, mendekat, lalu mengisi sela-sela jari gua dengan jarinya. Ia menggenggam tangan gua dengan erat. Mencoba memberikan kenyamanan.
Perempuan tadi kembali keluar lalu mempersilahkan kami masuk.
Ruang tamu besar dengan satu set sofa kulit dan meja kaca besar menyambut kami berdua. Walaupun dulu sempat tinggal disini, tapi setelah pergi bertahun-tahun membuat tempat ini terasa asing.
“Duduk dulu ya mbak, aku panggilin bu dokter dulu…” Ucapnya kemudian memakai kerudung dan berlari keluar.
Sambil menunggu, Poppy berdiri dan mulai menatap sekeliling, melihat dinding ruangan dimana banyak terdapat foto-foto.
“Sal..” Panggil Poppy sambil menunjuk ke salah satu foto keluarga dengan frame hitam yang sepertinya terbuat dari kayu, foto yang berukuran paling besar daripada yang lain, foto yang memperlihatkan gua tengah berdiri sambil tersenyum dibelakang kedua bokap dan nyokap yang duduk di bagian depan.
Setelah hampir lima belas menit menunggu, perempuan tadi kembali, masih sambil berlari. Sambil mencoba mengatur nafas, perempuan tadi bicara terbata-bata; “Mau minum apa mbak, mas” Tanyanya.
Poppy mengernyitkan dahi lalu menjawab; “Mbak, mbak aja yang minum dulu. Kayaknya capek banget mondar-mandir..”
“Iya soalnya…” Belum sempat perempuan itu memberi penjelasan, terdengar suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Disusul suara langkah kaki yang berlari mendekat. Sesaat berikutnya, seorang perempuan berusia setengah baya terlihat berdiri diambang pintu. Masih dengan jubah putih dan stetoskop terkalung di lehernya, ia terlihat cantik; as always.
—
One Republic - Come Home
Hello, world
Hope you're listening
Forgive me if I'm young
For speaking out of turn
There's someone I've been missing
I think that they could be
The better half of me
They're in the wrong place tryin' to make it right
But I'm tired of justifying
So I say to you
Come home, come home
'Cause I've been waiting for you
For so long, for so long
pavidean dan 49 lainnya memberi reputasi
50
Kutip
Balas
Tutup