Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Gua menatapnya saat memberi jawaban. Ekspresinya tenang dan datar, seakan tanpa sudah terbiasa menghadapi kejadian tadi. Menyadari hal tersebut gua lantas kembali memukulnya. Marshall berhenti makan, dan menatap gua sambil mengernyitkan dahi; bingung kenapa gua memukulnya.
“Lo udah biasa?” Tanya gua, ketus.
“Biasa apa?” Ia balik bertanya.
“Nyium cewek” Jawab gua.
Marshall dengan cepat menggelengkan kepalanya, lalu kembali melanjutkan makan. Nggak mendapat jawaban yang meyakinkan, gua kembali mengangkat tangan, bersiap untuk memukulnya. Namun, Marshall sudah bersiap. “Udah Pop, sakit” Pintanya dengan nada memelas.
Tanpa menurunkan tangan, gua kembali mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya; “Lo udah biasa?”
“Nggak Pop…” Jawabnya.
Melihat ekspresinya saat memberi jawaban, dan cukup yakin, gua mulai menurunkan tangan.
Gua berdiri, menuju ke meja kerja yang dekat dengan jendela untuk mengambil tisu untuk menyeka tangan. Di atas meja, terlihat lembaran kertas yang berisi ilustrasi bangunan buatan Marshall. Setelah mengelap tangan, gua meraih satu persatu lembaran kertas diatas meja dan tersenyum; rindu melihat hasil karyanya.
“Oiya, kerjaan lo sekarang beneran cuma gambar?” Tanya gua, masih sambil melihat-lihat gambarnya.
“Iya..”
“Di kantor?” Tanya gua lagi.
“Nggak, based on submission aja” Jawabnya.
“Good money?”
“Lumayan” Jawabnya.
Marshall selesai makan, ia membereskan sisa sate, dimasukkannya ke dalam kemasan plastik pembungkus lalu turun ke bawah. Beberapa saat berikutnya, ia sudah kembali. Kini dengan segelas air ditangannya.
Tanpa bicara, Marshall meletakkan gelas berisi air putih di atas meja. Gua melirik ke arahnya, lalu tanpa bertanya meraih gelas tersebut dan meminumnya.
Sementara, Marshall duduk di lantai, bersandar pada dinding dan mulai merokok.
Gua berbalik, masih dengan salah satu lembaran kertas berisi hasil karyanya; “Tata udah kesini?” Tanya gua. Sengaja sambil menatapnya, ingin tau bagaimana ekspresi wajah Marshall saat menjawab.
Marshall mengangguk. Wajahnya terlihat datar, tanpa ekspresi.
“Ngapain?” Gua kembali mengajukan pertanyaan, curiga, takut dan cemburu jadi satu. Bagaimana jika, mereka melakukan hal yang sama dengan apa yang kami lakukan tadi; berciuman. Gua menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan prasangka-prasangka buruk yang malah bikin hati kesal sendiri.
Marshall mendongak, menatap gua.
“Nggak ngapa-ngapain” Jawabnya singkat.
“Bohong” Ucap gua, nggak mau langsung percaya.
Marshall nggak merespon. Hanya terdiam. Sesaat kemudian, berdiri, mematikan rokok diatas asbak lalu berjalan ke arah kamarnya. Ia kembali dengan kaos yang sudah berganti. “Udah malem, Pop. Yuk gua anterin pulang”
“Ntar ah…” Jawab gua lalu menarik kursi dan duduk.
Marshall mendekat dan memposisikan dirinya tepat di belakang gua yang tengah duduk membelakanginya. Ia membungkuk, kini terasa deru nafasnya di bagian belakang tengkuk.
“Udah malem, Pop” Bisiknya.
Gua bukan enggan untuk pulang. Gua hanya takut, takut nggak bisa bertemu lagi dengannya. Gua menoleh, dan kini posisi wajah kami sangat dekat. “Ntar bisa nggak gua ketemu lagi sama lo?” Tanya gua.
Ia nggak menjawab, malah meraih tangan gua dan mengajak gua untuk turun ke bawah.
“Tunggu, tas gua” ucap gua, lalu menyambar tas di lantai.
Di lantai bawah, pria bernama Ketu tengah duduk dilantai. Tangannya menggenggam ponsel di telinga, sepertinya tengah bicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
“Mari kak” sapa gua yang direspon olehnya dengan anggukan kepala.
Sekilas gua mendengar percakapan Ketu yang sepertinya tengah melakukan negosiasi perkara harga dan timeline pengerjaan. Otak gua lalu mulai menyambungkan benang merah dari ucapan Marshall dan percakapannya barusan; Rupanya Ketu adalah sosok yang mengurus hal bersifat manajerial sedangkan Marshall adalah eksekutor utamanya.
Marshall membawa gua hingga ke teras. Ia mendorong pagar untuk membukanya, kemudian naik ke atas sepeda motor. Gua tentu senang bisa berkendara lagi bersamanya, karena ini mungkin satu-satunya kesempatan gua bisa memeluknya tanpa segan dilihat orang lain.
Gua duduk di boncengan sepeda motor dan langsung memeluk tubuhnya.
Jalan raya masih cukup ramai, bahkan di beberapa titik terlihat antrian mobil yang mengular, menuju ke jalan yang sedikit menyempit akibat adanya pembangunan. Sementara angin malam membelai wajah dan rambut, membuat gua semakin mempererat pelukan; dingin.
Setelah melewati kemacetan dan lampu merah, Marshall berbelok ke kanan. Dan nggak lama kami tiba di depan stasiun Cisauk. Ia menepi tepat di depan akses tangga naik menuju ke stasiun.
“Lo tunggu sini dulu…” ucapnya saat gua turun dari boncengan sepeda motor. Sementara, Marshall maju sedikit dan masuk ke area parkir sepeda motor. Beberapa saat kemudian, ia kembali. Kini dengan berjalan kaki.
Nggak sempat gua bertanya alasan kenapa dia harus sampai memarkir sepeda motornya, Marshall sudah melewati gua dan naik melalui tangga menuju ke stasiun. Ia bahkan mengetap kartu pada mesin akses dan masuk ke area peron. Gua yang masih bingung hanya bisa terus mengikutinya.
Sambil menunggu kereta, kami duduk di kursi besi di tepi peron. Gua menatapnya dan bicara; “Udah sana pulang, nggak usah nungguin gua”
Ia nggak menjawab. Hanya berpaling ke gua dan tersenyum.
Gua langsung berdiri saat kereta terakhir datang, bersiap langsung masuk ke dalam gerbong agar Marshall bisa segera pulang dan beristirahat. Namun, saat pintu gerbong terbuka, ia langsung berdiri, meraih tangan dan membawa gua masuk ke dalam gerbong.
“Lo mau kemana?” Tanya gua begitu kami berdua sudah berada di dalam gerbong kereta.
“Nganterin lo pulang” Jawabnya singkat.
Saat ini walaupun gua menolak nggak bakal ada gunanya. Ia sudah berada di dalam gerbong kereta yang perlahan bergerak meninggalkan stasiun.
Semua kursi yang berada di gerbong ini terisi penuh, mungkin karena ini merupakan kereta terakhir yang beroperasi. Kami berdua berdiri, sama-sama berpegangan pada hand strap. Sesekali tubuh bergoyang mengikuti gerakan gerbong kereta yang mengayun.
“Ntar lo baliknya naik apa? Ini kan kereta terakhir?” Tanya gua sambil menatapnya melalui pantulan kaca jendela gerbong.
“Gampang” Jawabnya singkat tanpa berpaling.
Gua mendongak, menatap Marshall yang memandang kosong ke arah luar melalui jendela gerbong.
“Tadi lupa beli salep buat muka lo” ucap gua, merujuk ke bekas luka di wajahnya. Yang gua khawatirkan kalau nggak diberikan salep nanti malah membekas.
Marshall nggak menjawab.
“… Nanti pulangnya lo beli ya” gua menambahkan.
“Toko obat mana yang masih buka jam segini?” Tanyanya.
“Ada kok yang buka 24 jam” gua menjawab, merujuk ke salah satu franchise apotek yang memang selalu buka 24 jam.
“…”
“… Ya kalo nggak, besok pagi kan bisa” Gua menambahkan.
“Ya” Jawabnya singkat.
Kami lalu kembali terdiam selama sisa perjalanan.
Marshall kembali meraih tangan dan menggenggamnya begitu kami tiba di stasiun Palmerah. Ia mengabaikan tawaran dari pengemudi taksi dan ojek pangkalan yang menawarkan jasanya tepat di seberang pintu keluar stasiun dan terus membawa gua menjauh. Saat kondisi sudah cukup sepi, barulah ia melepas genggamannya.
Jujur, gua sedikit kecewa. Kenapa ia nggak terus menggenggam tangan gua?
Sementara ia berjalan di depan, gua mengikutinya dari belakang. Barulah saat hendak melintasi Pasar, Marshall melambatkan jalannya, seakan sengaja menunggu gua.
Ia kembali menggenggam tangan gua saat kami melintasi pasar yang masih ramai.
“Ribet kan? Mendingan gandeng terus aja” gua menggunam pelan. Entah ucapan gua barusan terdengar olehnya atau nggak.
Saat sudah keluar dari pasar dan ia hendak melepas genggamannya, gua menolak dengan cara mendekap genggamannya dengan tangan satunya. Mengetahui sikap gua barusan, Marshall nggak protes. Ia hanya menoleh ke arah gua lalu melanjutkan langkahnya. Tentu saja kini sambil menggandeng tangan gua.
Gua tersenyum; senang bukan kepalang.
Kami menyeberangi jalan raya dan mulai masuk ke area gang. Saat ini, ingatan gua lalu kembali ke masa-masa dimana ia kerap menjemput gua sepulang kuliah. Dimana kami kerap berjalan bersama sambil ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal.
“Lo inget nggak, dulu kita sering jalan berdua lewat jalan ini?” Tanya gua.
“Inget” Jawabnya sambil mengangguk.
Hanya itu saja. Hanya itu saja percakapan kami berdua di sisa perjalanan.
Marshall melambatkan langkahnya saat kami sudah berada nggak begitu jauh dari rumah.
“Gua butuh diyakinkan lagi” ucapnya pelan tanpa menoleh ke arah gua.
“Akan apa?” Tanya gua nggak begitu mengerti.
“Tadi, lo sempet bilang kalo nggak peduli sama masa lalu gua. Nggak lagi peduli sama apa pendapat orang…”
“…”
“… Yakinkan gua” Tambahnya.
Gua terdiam.
“… Gua juga capek kalau harus selalu ‘lari’”
Ia lalu melepas genggaman tangannya, berbalik, dan pergi. Sementara, gua hanya bisa berdiri mematung, menatap kepergiannya. Nggak bisa menahannya lebih lama lagi karena jujur, untuk saat ini, gua belum tau bagaimana cara meyakinkannya.
Gua meraih ponsel, mencari nama Marshall dan menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar beberapa kali. Dari kejauhan terlihat Marshall menghentikan langkah, merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Ia lalu berbalik, menatap layar ponselnya kemudian beralih menatap gua.
“Halo…” Sapanya.
Kami sama-sama saling memandang dari kejauhan dan bicara melalui sambungan telepon.
“Jangan lupa beli obat oleh buat luka” Ucap gua.
Marshall nggak langsung menjawab, ia terdiam. Matanya masih menatap gua.
Barulah setelah beberapa lama tenggelam dalam keheningan, ia bicara; “Iya nanti gua beli” Jawabnya singkat.
Gua mengangguk, kemudian mengakhiri panggilan. Marshall juga melakukan hal yang sama. Ia kembali berbalik dan pergi.
Di dalam kamar, gua duduk, meringkuk di atas kursi meja belajar, menatap kosong ke arah meja belajar; ‘Jadi begini rasanya berciuman’ batin gua dalam hati, sambil meraba bibir. Gua memejamkan mata, mencoba kembali mengingat kejadian di rumah Marshall tadi seraya terus mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Tentang apa yang mungkin terjadi disana, di rumahnya, saat bersama dengan Tata. ‘Apa mungkin mereka?’. “Ah!” Gua menjerit, enggan membayangkan hal tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara nyokap berteriak memanggil nama gua dari lantai bawah. “Pop!”
“Ya…” Gua menjawab, juga sambil berteriak.
“Kamu kenapa?” Tanyanya.
“Gapapa…” Jawab gua lagi. Kemudian meraih ponsel, menyambungkannya ke pelantang suara melalui koneksi nirkabel dan mulai memutar lagu. Agar jika nanti gua kembali berteriak, suara gua akan samar dengan alunan musik.
Gua kembali melanjutkan lamunan. Namun, belum genap satu lagi selesai di putar, sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponsel. Gua membuka pesan, dari Marshall. Ia mengirimkan sebuah foto tanpa keterangan apapun, foto plastik transparan dengan sebuah salep luka berada di dalamnya. Rupanya, ia benar-benar membeli salep luka seperti yang sudah gua sarankan.
Yang lalu dibalas oleh Marshall hanya dengan kumpulan tanda tanya; ‘????’.
Sambil tersenyum, gua kembali memberi balasan; ‘Terima kasih sudah mau dengerin gua’ Balas gua.
Lalu tak ada lagi balasan pesan darinya. Senyum gua yang sebelumnya terkembang, kini perlahan luruh. Gua pasang tampang cemberut, kembali meringkuk dan menatap ke arah layar ponsel yang masih memainkan sebuah lagu.
Tiba-tiba suara lagu berhenti, berganti dengan suara dering ponsel gua yang membahana, karena posisi ponsel masih tersambung ke pelantang suara. Panik, gua dengan cepat mematikan pelantang suara dan beralih ke layar ponsel yang menampilkan nama Marshall. Gua menyambar ponsel dan menjawab.
“Halo…” Sapa gua.
Namun nggak ada jawaban darinya.
“... Halo…” Sapa gua lagi.
Namun, masih nggak ada jawaban darinya.
Bingung, gua menatap layar ponsel dan mengecek sambungannya; ‘Nyambung kok’ batin gua dalam hati saat melihat durasi panggilan yang terus berjalan.
Setelah beberapa saat barulah gua menyadari kalau posisi ponsel masih terhubung dengan pelantang suara yang tadi sengaja gua matikan. Gua memutus sambungan nirkabel lalu kembali menempelkan ponsel ke telinga. Barulah terdengar suaranya.
“Pop” Panggilnya.
“Ya, Sal. Sorry tadi masih konek ke speaker” Jawab gua mencoba memberi penjelasan.
“Oh..”
“Kenapa?” Tanya gua.
Marshall terdiam sesaat, lalu kembali bicara beberapa detik berikutnya; “Gapapa, cuma mau ngasih tau aja kalo gua udah sampe rumah”
Gua langsung tersenyum saat mendengar ucapannya barusan. ‘Ini merupakan sebuah peningkatan hubungan. Sebelumnya, nggak pernah sekalipun ia menghubungi gua lebih dulu hanya untuk memberi kabar’ batin gua dalam hati.
“Yaudah, bersih-bersih terus dipake salepnya” Jawab gua.
“Iya. Yaudah ya” Ucapnya. Ia berpamitan lalu mengakhiri panggilan.
Senyum ini masih terkembang hingga panggilan berakhir. Gua menatap layar ponsel yang menampilkan ringkasan panggilan, memeluknya dan menjatuhkan diri di atas ranjang.
Kini PR gua hanyalah mencoba mencari cara apa lagi untuk meyakinkan dirinya kalau gua nggak peduli dengan masa lalunya. Rasa-rasanya, semua cara sudah gua lakukan.
—
Sambil terus memikirkan cara untuk meyakinkan Marshall, gua terus melanjutkan hidup. Tetap bekerja sambil menyusun dan bimbingan skripsi. Beruntungnya, di kedua hal tersebut ada Mbak Nindi yang nggak pernah merasa keberatan membantu gua. Apalagi, untuk urusan pekerjaan, dia begitu sabar dan sangat mengayomi gua yang baru pertama kali terjun di dunia kerja yang seperti ini.
Biasanya gua mulai bekerja jam 8 pagi. Diawali dengan Daily Morning Meeting bersama dengan Mbak Nindi dan beberapa staff marketing lainnya. Iya, karena perusahaan ini baru akan menjajal penjualan di Indonesia, maka baru ada dua divisi yang terbentuk; Marketing dan Sales. Sementara divisi lainnya masih memanfaatkan agensi dari pihak eksternal. Hal ini tentu saja untuk mengurangi beban operasional gaji karyawan dan resiko PHK jika amit-amit terjadi kegagalan bisnis.
Daily Morning Meeting dilakukan melalui grup panggilan video, biasanya berisi laporan pekerjaan kemarin dan rencana pekerjaan hari ini. Atau bisa juga dijadikan ajang diskusi jika ada masalah atau kendala saat melakukan pekerjaan.
Selesai dengan Daily Morning Meeting, gua biasanya langsung membuat list task pekerjaan yang bakal gua garap. Dan mulai mengerjakannya hingga pukul 10 pagi. Setelah pukul 10, gua akan beralih mengerjakan skripsi hingga waktu makan siang. Makan siang selesai, gua lanjut bekerja hingga pukul 3 sore dan kembali mengerjakan skripsi hingga waktu yang nggak bisa ditentukan; kadang bisa hingga larut malam, atau kadang hanya hingga pukul 6 sore; tergantung mood aja.
Sementara, jadwal bimbingan ke kampus bisa di sesuaikan dengan jadwal si dosen pembimbing dan jadwal datang ke kantor hanya ada jika Mbak Nindi memberi instruksi. Itupun, gua bisa menumpang dengannya. Jadi, untuk saat ini, walaupun terlihat sibuk, gua masih bisa menjalani semuanya tanpa sedikitpun merasa kelelahan. That’s why, menerima tawaran Tata untuk ikut pemotretan secara reguler nggak menjadi halangan buat gua.
Hari itu, Hari Rabu. Gua dan Mbak Nindi baru saja tiba di kantor. Kami berdua berlari kecil dari area parkir menuju ke gedung utama yang jaraknya sekitar 20 meter. Dengan tersengal-sengal kami mencoba mengatur nafas sesaat sebelum masuk ke dalam ruang meeting. Iya hari ini adalah hari dimana kami, tim Marketing harus melakukan presentasi Marketing Plan kepada CEO dan Owner perusahaan.
Mbak Nindi menatap pintu ruang meeting yang mengkilap, menggunakan permukaannya sebagai cermin untuk menata ulang makeupnya. Ia lalu menoleh ke arah gua, sebelum akhirnya membuka pintu dan masuk ke dalam ruang meeting.
Di dalam ruang meeting terlihat beberapa teman sesama tim marketing yang sudah duduk di kursi masing-masing. Sementara, si CEO dan Owner perusahaan belum nampak batang hidungnya.
Mbak Nindi menghela nafas panjang; Lega, karena merasa kami belum terlambat. Kami lalu duduk bersebelahan. “Udah lama?” Tanya Mbak Nindi ke salah satu rekan yang duduk di sana.
“Baru 5 menit sih Mbak” Jawabnya.
“Oh…”
“Tapi, pas kita dateng, dia udah ada disini” Ucap salah satu rekan.
“Hah, Dia? Dia siapa?” Tanya Mbak Nindi.
“Si Bos” Jawab salah satu rekan.
“What!? Terus sekarang kemana?”
“Ke toilet”
“Mati!” Mbak Nindi mengumpat sambil menepuk dahinya dan merebahkan diri pada sandaran kursi. Setelah itu, kami semua yang berada di dalam ruang meeting hanya terdiam. Yang terdengar hanya suara tuts keyboard dari laptop milik Mbak Nindi yang sepertinya tengah merevisi beberapa bagian dari marketing plan yang akan dipresentasikan.
Nggak seberapa lama, pintu ruang meeting terbuka. Disusul seorang pria yang masuk tanpa mengetuk pintu. Dari penampilannya, gua menebak kalau pria tersebut pasti bukanlah Bos apalagi pimpinan perusahaan. Pimpinan perusahaan mana yang datang ke kantor hanya dengan menggunakan kaos, celana jeans belel dan sandal jepit.
Pria itu lalu duduk di salah satu kursi. Ia lalu mengeluarkan ponsel miliknya, dan dengan santainya menyandarkan tubuh sambil bermain ponsel. Karena nggak ada yang menegurnya, gua berdiri dan bicara kepadanya; “Mas, mau ngapain?” Tanya gua.
Tiba-tiba, Mbak Nindi menoleh ke arah gua. Matanya ia naik turunkan seperti tengah memberi gua kode. Gua yang nggak mengerti dengan kode darinya hanya bergeming. Lalu dengan sigap, Mbak Nindi menarik tangan gua, hingga membuat gua terduduk. Ia lalu menempelkan jari telunjuknya di bibir; lagi-lagi memberi gua kode agar diam.
Sementara si pria yang barusan gua tegur hanya tersenyum lalu kembali memainkan ponselnya.
Menit berikutnya, seorang perempuan super cantik dengan garis wajah tegas yang ditutupi kaca mata hitam masuk ke dalam ruangan.
“Pagi…” Sapanya. Lalu duduk di salah satu kursi yang kosong. Perempuan itu, menurunkan kacamata hitam dan melirik ke arah pria berkaos yang kebetulan berada di sebelahnya.
“Pagi…” Kami semua yang berada di dalam ruangan membalas sapaannya, kecuali pria tadi.
‘Nah, ini baru tampilan bos’ Batin gua dalam hati saat melihat perempuan berpenampilan elegan yang baru saja masuk.
“Hai.. Salam kenal semuanya” Sapa si perempuan elegan, yang lalu memperkenalkan dirinya dengan nama Dina; Aldina.
—
Ricky Martin - Private Emotion
Every endless night has a dawning day
Every darkest sky has a shining ray
And it shines on you baby can't you see
You're the only one who can shine for me
It's a private emotion that fills you tonight
And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead
Let's your private emotion come to me
Come to me come to me
Come to me
When your soul is tired and your heart is weak
Do you think of love as one way street
Well it runs both ways, open up your eyes
Can't you see me here, how can you deny ooh
It's a private emotion that fills you tonight
And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead
Lets your private emotion come to me
Come to me come to me
Every endless night has a dawning day
Every darkest sky has a shining ray
It takes a lot to laugh as your tears go by
But you can find me here till your tears run dry
It's a private emotion that fills you tonight
And a silence falls between us
As the shadows steal the light
And wherever you may find it
Wherever it may lead
Lets your private emotion come to me
Lets your private emotion come to me
Lets your private emotion come to me
Come to me come to me