- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
darmasant dan 123 lainnya memberi reputasi
124
121.5K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#985
Part 42 - Bumbu Kacang
Spoiler for Part 42 - Bumbu Kacang:
Gua berjalan ke sisi peron, turun dan mulai menyeberangi rel. Sementara, Marshall terlihat masih berdiri, pandangannya ia turunkan ke bawah, menatap ke arah rel kereta api. Saat gua mendekat, barulah ia berpaling menatap ke arah gua.
Kini, dari posisi sedekat ini, gua dapat melihat luka-luka di wajahnya. Nggak cuma itu, bekas darah juga terlihat di kaosnya yang sepertinya sengaja ia tutupi dengan jaket.
Gua menarik ujung jaket yang ia kenakan, membuat posisinya kini menghadap ke arah gua. Dengan tangan, gua meraba wajahnya yang penuh luka, kemudian memberikan tamparan. Tamparan lemah yang bahkan nggak membuatnya meringis.
“Ck, baru sebentar nggak ketemu udah babak belur lagi aja” Gerutu gua seraya memalingkan wajahnya dengan menggerakan dagunya ke kiri dan ke kanan.
Marshall tersenyum, lalu meringis. Mungkin luka pada bagian ujung bibirnya membuatnya kesakitan kala tersenyum. Melihatnya tersenyum tentu saja membuat gua kesal. Di disini, gua merasa khawatir, tapi kok bisa-bisanya ia malah tersenyum. Gua lalu memukul dadanya beberapa kali.
Pada pukulan ke sekian, ia dengan cepat menangkap tangan gua.
“Udah, Pop. Sakit” Ucapnya pelan.
“Oh, bisa ngerasain sakit juga toh?” Tanya gua. Tentu saja gua nggak perlu jawaban dari pertanyaan barusan.
Gua melepas genggaman tangannya, lalu duduk di kursi panjang di sisi peron. Marshall lalu ikut duduk tepat di sebelah gua.
“Di tempat baru lo ada P3K?” Tanya gua.
Marshall menggeleng.
“... Kenapa nggak beli, udah tau sering bonyok” Gua menambahkan.
“Nggak kepikiran” jawabnya singkat.
Gua lalu mengangkat tangan dengan dua jari ke atas. “Pilihannya dua, kita ke dokter sekarang, ke apotek beli obat atau ikut gua pulang biar bisa gua obatin di rumah”
“Itu tiga kayaknya deh” Ucapnya sambil menunjuk ke arah dua jari gua.
“Yaudah tuh tiga, ribet banget” Seru gua, kemudian mengangkat satu jari lagi.
“Ada pilihan lain?” Tanyanya.
“Ck…” Gua menggerutu, sambil menatap ke arah wajahnya dan merasa kalau memang luka-luka tersebut seperti sudah mendapat pengobatan dini.
Ada keinginan yang kuat untuk bertanya kepadanya tentang penyebab luka-luka di wajahnya. Namun, gua menahan diri. Berharap, ia mau menceritakan semuanya tanpa diminta.
Melihatnya berada disini, di stasiun Pondok Ranji, Stasiun terdekat dengan tempat tinggal Tata tentu saja membangun benteng kecurigaan. Gua mulai membangun deduksi, tentang keberadaannya.
Apa mungkin Tata benar-benar sudah mendatangi Marshall?, Mungkinkah Marshall yang dengan kesadarannya justru datang menghampiri Tata?
Jika, kemungkinan pertama yang terjadi, lalu kenapa ia berada disini? Seandainya kemungkinan kedua yang terjadi, berarti sudah jelas gua nggak lagi punya kesempatan untuk mendapatkannya.
Terdengar suara peluit kereta listrik yang melengking, disusul deru suara kereta datang membawa hembusan angin yang menyapu debu di sekitar peron. Gua dengan cepat menutupi wajah dengan telapak tangan, sementara Marshall hanya memicingkan kedua matanya, berharap nggak ada debu yang masuk ke mata.
Begitu kereta berhenti dan salah satu pintu gerbong yang berada di depan kami terbuka, Marshall berdiri. Sementara, gua masih duduk di kursi besi. Ia menoleh sebentar, lalu tanpa aba-aba meraih tangan, menggenggamnya dan membawa gua masuk ke dalam gerbong. Tanpa bertanya apa gua bersedia mengikutinya. Ya, walaupun ia bertanya, gua nggak bakal menolaknya, gua akan ikut kemanapun ia membawa gua, ke neraka sekalipun.
Ia membawa gua ke depan satu-satunya kursi yang tersisa di dalam gerbong tersebut. Kemudian membiarkan gua duduk, sementara ia berdiri, berpegangan pada hand strap yang tergantung pada bagian atas gerbong kereta.
Dari posisi gua duduk saat ini, wajahnya dengan jelas terlihat. Luka-lukanya, guratan-guratan halus dan bekas darah yang mengering yang mungkin luput saat ia menyekanya. Gua meraih celana jeans yang ia kenakan, agar ia berada lebih dekat dengan gua. Seakan mengerti, Marshall lalu bergeser; mendekat.
Setelah melewati beberapa stasiun, Marshall menggapai tangan, memberikan kode agar gua berdiri. Gua berdiri, Ia lalu dengan cepat ia menyodorkan tangannya, membuat gua langsung memeluk lengannya, mencoba menjaga agar tak limbung akibat berdiri ditengah kereta yang sedang berjalan.
Terdengar pengumuman dari pengeras suara, menandakan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di stasiun Cisauk. Marshall membawa gua berjalan, mendekat ke arah pintu gerbong. Tepat sesaat kereta berhenti dan pintu terbuka, masih sambil menggenggam tangan, ia membawa gua keluar.
Namun, begitu sudah berada diluar gerbong, Marshall melepas genggaman tangannya dan terus berjalan. Sementara gua mengikuti di belakangnya.
“Sal…” Panggil gua.
Ia berpaling tanpa menghentikan langkahnya.
“...Gua laper” Gua menambahkan, kali ini sambil memegangi perut.
Marshall berbalik, dan terus berjalan. Dari posisi gua saat ini terdengar ia bicara santai; “Sama, Gua juga…”
Keluar dari stasiun, gua terus mengikutinya menyusuri trotoar di sisi jalan raya yang ramai. Tiba-tiba, langkahnya melambat, lalu berhenti tepat di depan sebuah warung tenda yang bertuliskan ‘Sate Madura’.
‘Sate?’ gua bertanya-tanya dalam hati. Selama ini, sejak gua mengenalnya, nggak pernah sekalipun ia mengajak gua untuk makan sate.
Marshall menyibak kain penutup tenda dan masuk ke dalamnya, gua lantas menyusul masuk. Di dalam, terlihat kondisi ramai dengan pelanggan, bahkan semua kursi sudah terisi penuh. Beberapa pembeli yang sepertinya memesan untuk dibawa pulang, terlihat mengantri sambil berdiri.
“Lo ayam apa kambing?” Tanya Marshall sambil menunjuk ke arah gua.
“Enak aja. Gua orang lah”
“Iya. Maksudnya lo mau sate ayam apa sate kambing?” Marshall mengulang pertanyaannya.
“Ayam”
Marshall lalu mendekat ke si penjual dan memesan dua porsi sate ayam lengkap dengan lontongnya. Sementara, gua berdiri tepat di belakangnya.
Setelah memesan, ia bergeser beberapa langkah ke arah kursi kayu panjang yang digunakan para pelanggan untuk makan. Ia menepuk pundak seorang bapak yang duduk paling pinggir. Bapak yang tengah menikmati porsi sate kambing di hadapannya lalu menoleh, mendongak dan menatap ke arah Marshall.
“Geser dikit, boleh pak?” Pintanya dengan nada bicara yang santun.
Si Bapak lalu tersenyum sebentar lalu menggeser tubuhnya. Kini tersisa sedikit ruang di kursi kayu tersebut, ruang yang mungkin cukup untuk satu orang bertubuh kecil untuk duduk di sana.
Marshall lalu berpaling ke arah gua, kemudian menunjuk ke arah ujung kursi kayu tersebut. Memberi kode agar gua duduk di sana.
Nggak pernah mendapat perlakuan seperti itu sebelumnya tentu membuat gua sedikit gugup. Apalagi sikapnya barusan justru menjadi perhatian orang-orang yang berada di sana. Ragu, gua mendekat dan duduk di kursi itu.
Sementara gua duduk di kursi kayu panjang, Marshall berdiri tepat di sebelah gua.
Masih sama seperti sebelumnya, gua menggunakan kesempatan ini untuk terus menatapnya. Sementara Marshall yang nggak menyadari kalau selama ini gua terus memandanginya hanya berdiri dan menatap kosong ke arah deretan sate yang berada di atas pembakaran.
Gua mengambil dompet dari dalam tas, mengeluarkan selembar uang pecahan 100 ribu. Kemudian menarik ujung kaos Marshall dan menyodorkan lembaran uang tersebut.
Marshall menoleh, pandangannya lalu ia alihkan ke lembaran uang yang masih berada di tangan gua. Kemudian kembali ke gua; “Buat?”
“Bayar sate” Ucap gua.
“Nggak usah, gua ada kok” Respon Marshall seraya menepuk saku depan celana jeans-nya.
Beberapa saat berikutnya, sate ayam pesanan Marshall selesai. Kami berdua keluar dari tenda dan ia kembali langsung berjalan; gua mengikutinya dari belakang.
Setelah cukup jauh berjalan, gua mulai merasa lelah. Gua membungkuk, menunduk, dengan kedua tangan bertopang pada kedua lutut. Sementara, kepala gua mendongak, menatap ke arah Marshall yang terus berjalan.
“Sal..” Panggil gua.
Marshall menoleh dan menatap gua yang masih membungkuk. Ia berbalik dan menghampiri gua.
“Cape?” Tanyanya, begitu posisinya sudah dekat dengan gua.
“Menurut Lo?” Gua balik bertanya.
Marshall membungkuk, meraih tangan, membantu gua untuk bangun. “Mau digendong?” Tanyanya.
Gua tentu saja menolak; Malu.
“Masih jauh nggak?” Tanya gua.
“Lumayan” Jawabnya.
“Yaudah gua istirahat dulu deh” Ucap gua, lalu duduk di tepi trotoar sambil mencoba mengatur nafas yang ngos-ngosan.
Marshall lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menghubungi seseorang. Entah siapa yang ia hubungi.
Ia lalu duduk di tepi trotoar tepat di sebelah gua.
“Gimana kehidupan lo sekarang?” Tanya gua.
“Baik” Jawabnya singkat.
“Masih kerja di proyek?” Tanya gua lagi.
“Udah nggak”
“Terus sekarang kerja apa?”
Marshall menoleh ke arah gua, lalu menggerakan tangannya, memperagakan gestur menggambar.
Jujur, gua cukup terkejut begitu mendapat respon seperti itu darinya. Mungkinkah ia selama ini bertahan hidup dengan menggambar?
“Gambar?” Tanya gua mencoba memastikan. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala.
“Serius?” Tanya gua lagi.
“Iya” Jawabnya singkat.
Kami lalu sama-sama terdiam.
Setelah terdiam cukup lama, tiba-tiba ia buka suara; “Lo kangen nggak sama gua, Pop?” Tanyanya tanpa menatap gua.
Pertanyaan macam apa itu, ya jelas aja gua kangen. Dan saat gua baru saja hendak menjawab. Seorang dengan sepeda motor mendekat dan berhenti di sisi jalan tepat di dekat kami duduk.
Masih berada di atas sepeda motor, pria itu memandang ke arah gua dengan tatapan kaget. Tatapannya seakan menegaskan kalau ia seperti pernah melihat gua di tempat dan waktu yang berbeda. Ia lalu beralih ke Marshall dan menunjuk ke arah wajah Marshall yang penuh luka. Tanpa banyak bicara, Marshall mengambil alis sepeda motor, dan bicara ke gua; “Naik pop”
Gua berdiri dan langsung duduk di boncengan sepeda motor. Marshall merogoh saku celana jeansnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya ke pria itu; “Lo pesen ojek aja”
Tanpa berlama-lama, Marshall lalu menyalakan mesin sepeda motor dan membawa gua pergi dari sana.
Ternyata, lokasi tinggal Marshall masih cukup jauh dari tempat kami menunggu. Gua mengernyitkan dahi, membayangkan kok bisa-bisanya dia mengajak gua berjalan kaki sejauh itu. Sontak, gua langsung memukul punggungnya berkali-kali.
“Aduh..” Apaan sih Pop.
“Jauh banget dari stasiun dan lo ngajak gua jalan kaki” Seru gua, lalu lanjut memukul punggungnya.
Marshall nggak memberi jawaban. Ia hanya tertawa.
Hanya mendapat jawaban dengan tawanya sudah cukup buat gua. Sedikit memberanikan diri, gua mulai melingkarkan kedua tangan di pinggangnya yang masih mengendarai sepeda motor dan memeluknya dari belakang.
Saat baru saja merasa nyaman dengan memeluknya, Marshall membelokkan kemudi ke kiri, masuk ke dalam gang. Nggak lama, ia melambatkan laju sepeda motor dan menepi tepat di depan rumah bertingkat. Marshall berhenti dan mematikan mesin sepeda motor.
“Sampe?” Tanya gua, kecewa karena merasa baru sebentar memeluknya.
“Iya” Jawabnya.
“Yah…” Gua turun dari boncengan sepeda motor. Marshall lalu menyusul turun.
“Kenapa? Kurang jauh?” Tanyanya seraya membuka pagar, mendorong sepeda motor masuk ke teras dan kembali menutup pagar.
“Bukan” Jawab gua.
“...”
“... Gua kan masih mau meluk lo” Gua menambahkan, kini mulai menundukkan kepala, malu.
Marshall yang tengah membuka kunci pintu lalu berhenti. Ia menoleh ke arah gua, mendekat dan tanpa aba-aba langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggul gua; memberi pelukan.
Gua membalas pelukannya. Kini lebih erat dari sebelumnya.
Masih dengan posisi memeluk gua, Marshall membuka pintu rumah. Ia terdiam sesaat, kemudian bicara pelan: “Kita kayaknya nggak bisa masuk kalo begini deh”
“Yaudah nggak usah masuk dulu” Jawab gua.
“Ntar kalo ada orang lewat gimana?” Tanyanya.
Gua lantas mengendurkan pelukan dan melepasnya. Ia lalu masuk ke dalam rumah, masih dengan plastik berisi sate ayam yang tadi sempat kami beli. Gua menyusul masuk.
Begitu di dalam, gua langsung merasakan hawa dirinya dengan ruang yang kosong tanpa ada satupun furnitur maupun pajangan apapun. Dari ruang tamu kosong ini, terlihat sebuah pintu yang berada di sebelah kiri, tebakan gua ruangan di balik pintu ini adalah sebuah kamar; kamar Marshall.
Gua mendekat dan langsung membuka pintu tersebut. Di dalamnya terlihat ranjang dengan kasur yang terlihat empuk, sebuah lemari kayu berwarna hitam di sudut ruangan dan meja dengan laptop di atasnya, beserta pajangan diecast beragam warna yang diatur dengan rapi.
Marshall menyusul gua yang masih berdiri di ambang pintu. Dengan tangannya, ia menarik handle pintu dan menutupnya.
“Ini bukan kamar lo?” Tanya gua, yang lantas dijawabnya dengan gelengan kepala.
“...”
“... Terus kamar siapa?” Tanya gua lagi, menambahkan.
Marshall nggak menjawab. Ia berpaling, menuju ke arah tangga dan naik ke atas. Gua lantas mengikutinya naik ke atas, ke lantai dua.
Nggak jauh berbeda dengan di lantai bawah, di lantai ini ruangan juga terlihat kosong tanpa ada banyak furniture dan pajangan. Kecuali sepasang meja dan kursi kerja yang berada di ujung ruangan, yang berbatasan dengan jendela menghadap ke luar. Di sisi sebelah kiri meja tersebut terdapat ruangan dengan pintu yang nggak tertutup rapat. Gua mendekat ke arah ruangan tersebut, ruangan yang kini gua yakini adalah kamarnya.
Perlahan, gua mendorong pintu. Gelap.
Gua meraba-raba dinding di sisi yang dekat dengan pintu, mencoba mencari saklar lampu. ‘Ctek!’ gua menyalakan lampu. Lalu terlihat sebuah ruangan kecil dengan kasur tanpa ranjang yang langsung terhampar di atas lantai. Di sebelah kasur terdapat kardus besar yang sepertinya digunakan sebagai pengganti meja. Lembaran koran terpasan pada daun jendela, digunakan sebagai pengganti tirai agar cahaya matahari nggak langsung masuk ke dalam.
Perlahan, gua masuk ke dalam, kembali menatap sekeliling, lalu duduk di atas ranjang. Tangan gua menyusuri permukaan ranjang, seakan mencoba mengambil memori akan tubuhnya yang selama ini berbaring disini.
Gua berbaring terlentang, menatap ke arah langit-langit kamar.
Marshall melongok sebentar lewat ambang pintu. Lalu terdengar suaranya; “Katanya laper?”
Gua bergeming, nggak menggubris ucapannya.
Detik berikutnya, terdengar suara langkah kakinya mendekat. Ia duduk, menatap gua yang masih berbaring terlentang di atas kasurnya. Gua menepuk area kosong di sebelah, memberikan kode agar ia ikut berbaring. Tanpa proters, Marshall membaringkan tubuhnya. Kepala kami saling menempel, sementara hanya setengah tubuhnya yang berada di atas kasur. Kini kami berdua sama-sama berbaring, terlentang sambil menatap ke arah langit-langit kamar.
“Jadi ini yang lo liat setiap malam sebelum tidur” Gua menggumam pelan.
Marshall nggak memberi respon. Tapi, gua dapat merasakan kalau ia memalingkan wajahnya, menatap ke arah gua.
Gua ikut menoleh. Kami saling menatap dalam kondisi berbaring.
“Selama ini, sejak lo pergi, lo bahagia nggak?” Tanya gua.
Marshall menggeleng.
“Sama, gua juga” Gua menambahkan.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Karena lo pergi” Gua menjawab.
“...”
“... Tapi, gua berhasil ngumpulin kebahagiaan-kebahagiaan kecil buat bertahan. Kadang gua merasa bahagia selama 5 detik, saat ada orang yang mengucapkan terima kasih. Kadang gua merasa bahagia selama 7 detik saat bangun tidur dan sadar kalau ternyata hari ini hari libur. Kadang, gua merasa bahagia selama beberapa detik saat melihat jam yang sudah menunjukkan waktu pulang kerja…”
“...”
“... Sejak lo pergi, Begitulah cara gua bertahan”
“...”
“... kalo elo gimana? Gimana lo bisa bertahan selama ini?” Gua bertanya kepadanya.
Alih-alih memberi jawaban, Marshall malah meraih ujung rambut gua dan memainkannya dengan jarinya. Gua merubah posisi, kini berbaring dengan posisi miring, menghadap persis ke arahnya. Perlahan dan hati-hati, gua menyentuh wajahnya yang penuh luka. Hidungnya, pipinya, dan bibirnya.
“Katanya laper?” Tanyanya.
Gua nggak menggubris pertanyaannya yang keluar dari konteks.
“Sal…”
“...”
“... Apa yang bikin lo pergi dari gua?” Akhirnya gua memberanikan diri menanyakan hal itu kepadanya.
“... Lo takut?”
“...”
“... Apa karena merasa lo nggak pantes buat gua? Lo takut dengan masa lalu lo? Lo takut kalau sama gua, gua bakal menyesal, hidup gua bakal hancur karena masa lalu lo?”
“...”
“... Kalo emang itu alasannya, pikiran lo terlalu dangkal, Sal”
“...”
“... Lo pikir gua sepeduli itu dengan masa lalu lo?”
“...”
“... Nggak, Sal. Nggak. Gua nggak peduli siapa elo di masa lalu, mau lo preman, penjahat bahkan alien sekalipun. Gua cuma peduli sama lo yang sekarang…”
Kami terdiam. Sementara Marshall masih memainkan ujung rambut gua dengan jarinya. Matanya lalu dipejamkan.
Saat gua hendak bangun, tiba-tiba ia meraih tangan gua, sementara matanya masih dalam kondisi terpejam.
“Gimana dengan bokap lo, nyokap lo, keluarga lo? Apa mereka mau nerima gua yang kayak gini?” Tanyanya.
“Emang yang mau jalanin hidup sama lo itu bokap gua, nyokap gua, keluarga gua?” Gua balik bertanya.
“Tapi kan…” Belum sempat Marshall menyelesaikan kalimatnya, gua keburu berdiri, dan keluar dari kamar.
Di luar, terlihat bungkusan berisi sate ayam tergeletak di atas lantai. Gua duduk, lalu membuka bungkusan tersebut dan mulai makan. Saat tengah menikmati sate ayam, tiba-tiba Marshall keluar dari kamar, dan langsung duduk tepat di hadapan gua. Tanpa menatapnya, gua membuka satu bungkusan sate dan menyodorkan ke arahnya. Marshall nggak bilang apa-apa, ia hanya menatap gua yang masih mengunyah makanan.
Marshall meraih dagu gua, membuat kami kini saling bertatapan. Ia menggeser tubuhnya mendekat dan langsung memberi kecupan tepat di bibir gua yang masih penuh dengan bumbu kacang.
Gua jelas kaget dan kesal.
Kaget, karena ia tiba-tiba mencium gua. Dan kesal karena merasa Marshall nggak tau momen. Kok bisa-bisanya mencium perempuan saat ia tengah makan. Makan sate pula!
Marshall melepas kecupannya, saat mendengar suara pagar rumah terbuka. Disusul teriakan seorang pria memanggil namanya; “Sal!!”
Ia mundur dan langsung makan seperti nggak terjadi apa-apa.
Menit berikutnya, terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga. Disusul munculnya seorang pria yang tadi sempat kami temui, pria si pemilik sepeda motor. Pria itu berdiri di ujung anak tangga dan langsung terdiam begitu melihat gua.
Gua tersenyum dan mulai berbasa-basi; “Makan kak?”
“Iya makasih” Jawabnya sambil balas tersenyum. Ia lalu berpaling ke Marshall dan mengedipkan matanya, seakan memberi kode.
“Tu, ini Poppy. Pop, itu Ketu” Ucap Marshall mencoba memperkenalkan kami berdua.
Kami saling menatap dan sama-sama menganggukkan kepala.
Setelah pria tadi turun, barulah gua memukul bahu Marshall berkali-kali. Gua sendiri bingung kenapa melakukan hal itu, tapi alasan paling masuk akal ya; karena ia mencium gua di saat yang nggak tepat.
“Gimana rasanya?” Tanya gua sambil menundukkan kepala.
“Ya rasa sate, rasa bumbu kacang” Jawab Marshall, masih terus makan.
“Bukan itu”
“...”
“... Apa rasanya ciuman tadi?” Tanya gua lagi sambil tersipu malu.
Marshall menghentikan makan, menatap gua dan memberi jawaban; “Bumbu kacang”
—
Kini, dari posisi sedekat ini, gua dapat melihat luka-luka di wajahnya. Nggak cuma itu, bekas darah juga terlihat di kaosnya yang sepertinya sengaja ia tutupi dengan jaket.
Gua menarik ujung jaket yang ia kenakan, membuat posisinya kini menghadap ke arah gua. Dengan tangan, gua meraba wajahnya yang penuh luka, kemudian memberikan tamparan. Tamparan lemah yang bahkan nggak membuatnya meringis.
“Ck, baru sebentar nggak ketemu udah babak belur lagi aja” Gerutu gua seraya memalingkan wajahnya dengan menggerakan dagunya ke kiri dan ke kanan.
Marshall tersenyum, lalu meringis. Mungkin luka pada bagian ujung bibirnya membuatnya kesakitan kala tersenyum. Melihatnya tersenyum tentu saja membuat gua kesal. Di disini, gua merasa khawatir, tapi kok bisa-bisanya ia malah tersenyum. Gua lalu memukul dadanya beberapa kali.
Pada pukulan ke sekian, ia dengan cepat menangkap tangan gua.
“Udah, Pop. Sakit” Ucapnya pelan.
“Oh, bisa ngerasain sakit juga toh?” Tanya gua. Tentu saja gua nggak perlu jawaban dari pertanyaan barusan.
Gua melepas genggaman tangannya, lalu duduk di kursi panjang di sisi peron. Marshall lalu ikut duduk tepat di sebelah gua.
“Di tempat baru lo ada P3K?” Tanya gua.
Marshall menggeleng.
“... Kenapa nggak beli, udah tau sering bonyok” Gua menambahkan.
“Nggak kepikiran” jawabnya singkat.
Gua lalu mengangkat tangan dengan dua jari ke atas. “Pilihannya dua, kita ke dokter sekarang, ke apotek beli obat atau ikut gua pulang biar bisa gua obatin di rumah”
“Itu tiga kayaknya deh” Ucapnya sambil menunjuk ke arah dua jari gua.
“Yaudah tuh tiga, ribet banget” Seru gua, kemudian mengangkat satu jari lagi.
“Ada pilihan lain?” Tanyanya.
“Ck…” Gua menggerutu, sambil menatap ke arah wajahnya dan merasa kalau memang luka-luka tersebut seperti sudah mendapat pengobatan dini.
Ada keinginan yang kuat untuk bertanya kepadanya tentang penyebab luka-luka di wajahnya. Namun, gua menahan diri. Berharap, ia mau menceritakan semuanya tanpa diminta.
Melihatnya berada disini, di stasiun Pondok Ranji, Stasiun terdekat dengan tempat tinggal Tata tentu saja membangun benteng kecurigaan. Gua mulai membangun deduksi, tentang keberadaannya.
Apa mungkin Tata benar-benar sudah mendatangi Marshall?, Mungkinkah Marshall yang dengan kesadarannya justru datang menghampiri Tata?
Jika, kemungkinan pertama yang terjadi, lalu kenapa ia berada disini? Seandainya kemungkinan kedua yang terjadi, berarti sudah jelas gua nggak lagi punya kesempatan untuk mendapatkannya.
Terdengar suara peluit kereta listrik yang melengking, disusul deru suara kereta datang membawa hembusan angin yang menyapu debu di sekitar peron. Gua dengan cepat menutupi wajah dengan telapak tangan, sementara Marshall hanya memicingkan kedua matanya, berharap nggak ada debu yang masuk ke mata.
Begitu kereta berhenti dan salah satu pintu gerbong yang berada di depan kami terbuka, Marshall berdiri. Sementara, gua masih duduk di kursi besi. Ia menoleh sebentar, lalu tanpa aba-aba meraih tangan, menggenggamnya dan membawa gua masuk ke dalam gerbong. Tanpa bertanya apa gua bersedia mengikutinya. Ya, walaupun ia bertanya, gua nggak bakal menolaknya, gua akan ikut kemanapun ia membawa gua, ke neraka sekalipun.
Ia membawa gua ke depan satu-satunya kursi yang tersisa di dalam gerbong tersebut. Kemudian membiarkan gua duduk, sementara ia berdiri, berpegangan pada hand strap yang tergantung pada bagian atas gerbong kereta.
Dari posisi gua duduk saat ini, wajahnya dengan jelas terlihat. Luka-lukanya, guratan-guratan halus dan bekas darah yang mengering yang mungkin luput saat ia menyekanya. Gua meraih celana jeans yang ia kenakan, agar ia berada lebih dekat dengan gua. Seakan mengerti, Marshall lalu bergeser; mendekat.
Setelah melewati beberapa stasiun, Marshall menggapai tangan, memberikan kode agar gua berdiri. Gua berdiri, Ia lalu dengan cepat ia menyodorkan tangannya, membuat gua langsung memeluk lengannya, mencoba menjaga agar tak limbung akibat berdiri ditengah kereta yang sedang berjalan.
Terdengar pengumuman dari pengeras suara, menandakan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di stasiun Cisauk. Marshall membawa gua berjalan, mendekat ke arah pintu gerbong. Tepat sesaat kereta berhenti dan pintu terbuka, masih sambil menggenggam tangan, ia membawa gua keluar.
Namun, begitu sudah berada diluar gerbong, Marshall melepas genggaman tangannya dan terus berjalan. Sementara gua mengikuti di belakangnya.
“Sal…” Panggil gua.
Ia berpaling tanpa menghentikan langkahnya.
“...Gua laper” Gua menambahkan, kali ini sambil memegangi perut.
Marshall berbalik, dan terus berjalan. Dari posisi gua saat ini terdengar ia bicara santai; “Sama, Gua juga…”
Keluar dari stasiun, gua terus mengikutinya menyusuri trotoar di sisi jalan raya yang ramai. Tiba-tiba, langkahnya melambat, lalu berhenti tepat di depan sebuah warung tenda yang bertuliskan ‘Sate Madura’.
‘Sate?’ gua bertanya-tanya dalam hati. Selama ini, sejak gua mengenalnya, nggak pernah sekalipun ia mengajak gua untuk makan sate.
Marshall menyibak kain penutup tenda dan masuk ke dalamnya, gua lantas menyusul masuk. Di dalam, terlihat kondisi ramai dengan pelanggan, bahkan semua kursi sudah terisi penuh. Beberapa pembeli yang sepertinya memesan untuk dibawa pulang, terlihat mengantri sambil berdiri.
“Lo ayam apa kambing?” Tanya Marshall sambil menunjuk ke arah gua.
“Enak aja. Gua orang lah”
“Iya. Maksudnya lo mau sate ayam apa sate kambing?” Marshall mengulang pertanyaannya.
“Ayam”
Marshall lalu mendekat ke si penjual dan memesan dua porsi sate ayam lengkap dengan lontongnya. Sementara, gua berdiri tepat di belakangnya.
Setelah memesan, ia bergeser beberapa langkah ke arah kursi kayu panjang yang digunakan para pelanggan untuk makan. Ia menepuk pundak seorang bapak yang duduk paling pinggir. Bapak yang tengah menikmati porsi sate kambing di hadapannya lalu menoleh, mendongak dan menatap ke arah Marshall.
“Geser dikit, boleh pak?” Pintanya dengan nada bicara yang santun.
Si Bapak lalu tersenyum sebentar lalu menggeser tubuhnya. Kini tersisa sedikit ruang di kursi kayu tersebut, ruang yang mungkin cukup untuk satu orang bertubuh kecil untuk duduk di sana.
Marshall lalu berpaling ke arah gua, kemudian menunjuk ke arah ujung kursi kayu tersebut. Memberi kode agar gua duduk di sana.
Nggak pernah mendapat perlakuan seperti itu sebelumnya tentu membuat gua sedikit gugup. Apalagi sikapnya barusan justru menjadi perhatian orang-orang yang berada di sana. Ragu, gua mendekat dan duduk di kursi itu.
Sementara gua duduk di kursi kayu panjang, Marshall berdiri tepat di sebelah gua.
Masih sama seperti sebelumnya, gua menggunakan kesempatan ini untuk terus menatapnya. Sementara Marshall yang nggak menyadari kalau selama ini gua terus memandanginya hanya berdiri dan menatap kosong ke arah deretan sate yang berada di atas pembakaran.
Gua mengambil dompet dari dalam tas, mengeluarkan selembar uang pecahan 100 ribu. Kemudian menarik ujung kaos Marshall dan menyodorkan lembaran uang tersebut.
Marshall menoleh, pandangannya lalu ia alihkan ke lembaran uang yang masih berada di tangan gua. Kemudian kembali ke gua; “Buat?”
“Bayar sate” Ucap gua.
“Nggak usah, gua ada kok” Respon Marshall seraya menepuk saku depan celana jeans-nya.
Beberapa saat berikutnya, sate ayam pesanan Marshall selesai. Kami berdua keluar dari tenda dan ia kembali langsung berjalan; gua mengikutinya dari belakang.
Setelah cukup jauh berjalan, gua mulai merasa lelah. Gua membungkuk, menunduk, dengan kedua tangan bertopang pada kedua lutut. Sementara, kepala gua mendongak, menatap ke arah Marshall yang terus berjalan.
“Sal..” Panggil gua.
Marshall menoleh dan menatap gua yang masih membungkuk. Ia berbalik dan menghampiri gua.
“Cape?” Tanyanya, begitu posisinya sudah dekat dengan gua.
“Menurut Lo?” Gua balik bertanya.
Marshall membungkuk, meraih tangan, membantu gua untuk bangun. “Mau digendong?” Tanyanya.
Gua tentu saja menolak; Malu.
“Masih jauh nggak?” Tanya gua.
“Lumayan” Jawabnya.
“Yaudah gua istirahat dulu deh” Ucap gua, lalu duduk di tepi trotoar sambil mencoba mengatur nafas yang ngos-ngosan.
Marshall lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menghubungi seseorang. Entah siapa yang ia hubungi.
Ia lalu duduk di tepi trotoar tepat di sebelah gua.
“Gimana kehidupan lo sekarang?” Tanya gua.
“Baik” Jawabnya singkat.
“Masih kerja di proyek?” Tanya gua lagi.
“Udah nggak”
“Terus sekarang kerja apa?”
Marshall menoleh ke arah gua, lalu menggerakan tangannya, memperagakan gestur menggambar.
Jujur, gua cukup terkejut begitu mendapat respon seperti itu darinya. Mungkinkah ia selama ini bertahan hidup dengan menggambar?
“Gambar?” Tanya gua mencoba memastikan. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala.
“Serius?” Tanya gua lagi.
“Iya” Jawabnya singkat.
Kami lalu sama-sama terdiam.
Setelah terdiam cukup lama, tiba-tiba ia buka suara; “Lo kangen nggak sama gua, Pop?” Tanyanya tanpa menatap gua.
Pertanyaan macam apa itu, ya jelas aja gua kangen. Dan saat gua baru saja hendak menjawab. Seorang dengan sepeda motor mendekat dan berhenti di sisi jalan tepat di dekat kami duduk.
Masih berada di atas sepeda motor, pria itu memandang ke arah gua dengan tatapan kaget. Tatapannya seakan menegaskan kalau ia seperti pernah melihat gua di tempat dan waktu yang berbeda. Ia lalu beralih ke Marshall dan menunjuk ke arah wajah Marshall yang penuh luka. Tanpa banyak bicara, Marshall mengambil alis sepeda motor, dan bicara ke gua; “Naik pop”
Gua berdiri dan langsung duduk di boncengan sepeda motor. Marshall merogoh saku celana jeansnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya ke pria itu; “Lo pesen ojek aja”
Tanpa berlama-lama, Marshall lalu menyalakan mesin sepeda motor dan membawa gua pergi dari sana.
Ternyata, lokasi tinggal Marshall masih cukup jauh dari tempat kami menunggu. Gua mengernyitkan dahi, membayangkan kok bisa-bisanya dia mengajak gua berjalan kaki sejauh itu. Sontak, gua langsung memukul punggungnya berkali-kali.
“Aduh..” Apaan sih Pop.
“Jauh banget dari stasiun dan lo ngajak gua jalan kaki” Seru gua, lalu lanjut memukul punggungnya.
Marshall nggak memberi jawaban. Ia hanya tertawa.
Hanya mendapat jawaban dengan tawanya sudah cukup buat gua. Sedikit memberanikan diri, gua mulai melingkarkan kedua tangan di pinggangnya yang masih mengendarai sepeda motor dan memeluknya dari belakang.
Saat baru saja merasa nyaman dengan memeluknya, Marshall membelokkan kemudi ke kiri, masuk ke dalam gang. Nggak lama, ia melambatkan laju sepeda motor dan menepi tepat di depan rumah bertingkat. Marshall berhenti dan mematikan mesin sepeda motor.
“Sampe?” Tanya gua, kecewa karena merasa baru sebentar memeluknya.
“Iya” Jawabnya.
“Yah…” Gua turun dari boncengan sepeda motor. Marshall lalu menyusul turun.
“Kenapa? Kurang jauh?” Tanyanya seraya membuka pagar, mendorong sepeda motor masuk ke teras dan kembali menutup pagar.
“Bukan” Jawab gua.
“...”
“... Gua kan masih mau meluk lo” Gua menambahkan, kini mulai menundukkan kepala, malu.
Marshall yang tengah membuka kunci pintu lalu berhenti. Ia menoleh ke arah gua, mendekat dan tanpa aba-aba langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggul gua; memberi pelukan.
Gua membalas pelukannya. Kini lebih erat dari sebelumnya.
Masih dengan posisi memeluk gua, Marshall membuka pintu rumah. Ia terdiam sesaat, kemudian bicara pelan: “Kita kayaknya nggak bisa masuk kalo begini deh”
“Yaudah nggak usah masuk dulu” Jawab gua.
“Ntar kalo ada orang lewat gimana?” Tanyanya.
Gua lantas mengendurkan pelukan dan melepasnya. Ia lalu masuk ke dalam rumah, masih dengan plastik berisi sate ayam yang tadi sempat kami beli. Gua menyusul masuk.
Begitu di dalam, gua langsung merasakan hawa dirinya dengan ruang yang kosong tanpa ada satupun furnitur maupun pajangan apapun. Dari ruang tamu kosong ini, terlihat sebuah pintu yang berada di sebelah kiri, tebakan gua ruangan di balik pintu ini adalah sebuah kamar; kamar Marshall.
Gua mendekat dan langsung membuka pintu tersebut. Di dalamnya terlihat ranjang dengan kasur yang terlihat empuk, sebuah lemari kayu berwarna hitam di sudut ruangan dan meja dengan laptop di atasnya, beserta pajangan diecast beragam warna yang diatur dengan rapi.
Marshall menyusul gua yang masih berdiri di ambang pintu. Dengan tangannya, ia menarik handle pintu dan menutupnya.
“Ini bukan kamar lo?” Tanya gua, yang lantas dijawabnya dengan gelengan kepala.
“...”
“... Terus kamar siapa?” Tanya gua lagi, menambahkan.
Marshall nggak menjawab. Ia berpaling, menuju ke arah tangga dan naik ke atas. Gua lantas mengikutinya naik ke atas, ke lantai dua.
Nggak jauh berbeda dengan di lantai bawah, di lantai ini ruangan juga terlihat kosong tanpa ada banyak furniture dan pajangan. Kecuali sepasang meja dan kursi kerja yang berada di ujung ruangan, yang berbatasan dengan jendela menghadap ke luar. Di sisi sebelah kiri meja tersebut terdapat ruangan dengan pintu yang nggak tertutup rapat. Gua mendekat ke arah ruangan tersebut, ruangan yang kini gua yakini adalah kamarnya.
Perlahan, gua mendorong pintu. Gelap.
Gua meraba-raba dinding di sisi yang dekat dengan pintu, mencoba mencari saklar lampu. ‘Ctek!’ gua menyalakan lampu. Lalu terlihat sebuah ruangan kecil dengan kasur tanpa ranjang yang langsung terhampar di atas lantai. Di sebelah kasur terdapat kardus besar yang sepertinya digunakan sebagai pengganti meja. Lembaran koran terpasan pada daun jendela, digunakan sebagai pengganti tirai agar cahaya matahari nggak langsung masuk ke dalam.
Perlahan, gua masuk ke dalam, kembali menatap sekeliling, lalu duduk di atas ranjang. Tangan gua menyusuri permukaan ranjang, seakan mencoba mengambil memori akan tubuhnya yang selama ini berbaring disini.
Gua berbaring terlentang, menatap ke arah langit-langit kamar.
Marshall melongok sebentar lewat ambang pintu. Lalu terdengar suaranya; “Katanya laper?”
Gua bergeming, nggak menggubris ucapannya.
Detik berikutnya, terdengar suara langkah kakinya mendekat. Ia duduk, menatap gua yang masih berbaring terlentang di atas kasurnya. Gua menepuk area kosong di sebelah, memberikan kode agar ia ikut berbaring. Tanpa proters, Marshall membaringkan tubuhnya. Kepala kami saling menempel, sementara hanya setengah tubuhnya yang berada di atas kasur. Kini kami berdua sama-sama berbaring, terlentang sambil menatap ke arah langit-langit kamar.
“Jadi ini yang lo liat setiap malam sebelum tidur” Gua menggumam pelan.
Marshall nggak memberi respon. Tapi, gua dapat merasakan kalau ia memalingkan wajahnya, menatap ke arah gua.
Gua ikut menoleh. Kami saling menatap dalam kondisi berbaring.
“Selama ini, sejak lo pergi, lo bahagia nggak?” Tanya gua.
Marshall menggeleng.
“Sama, gua juga” Gua menambahkan.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Karena lo pergi” Gua menjawab.
“...”
“... Tapi, gua berhasil ngumpulin kebahagiaan-kebahagiaan kecil buat bertahan. Kadang gua merasa bahagia selama 5 detik, saat ada orang yang mengucapkan terima kasih. Kadang gua merasa bahagia selama 7 detik saat bangun tidur dan sadar kalau ternyata hari ini hari libur. Kadang, gua merasa bahagia selama beberapa detik saat melihat jam yang sudah menunjukkan waktu pulang kerja…”
“...”
“... Sejak lo pergi, Begitulah cara gua bertahan”
“...”
“... kalo elo gimana? Gimana lo bisa bertahan selama ini?” Gua bertanya kepadanya.
Alih-alih memberi jawaban, Marshall malah meraih ujung rambut gua dan memainkannya dengan jarinya. Gua merubah posisi, kini berbaring dengan posisi miring, menghadap persis ke arahnya. Perlahan dan hati-hati, gua menyentuh wajahnya yang penuh luka. Hidungnya, pipinya, dan bibirnya.
“Katanya laper?” Tanyanya.
Gua nggak menggubris pertanyaannya yang keluar dari konteks.
“Sal…”
“...”
“... Apa yang bikin lo pergi dari gua?” Akhirnya gua memberanikan diri menanyakan hal itu kepadanya.
“... Lo takut?”
“...”
“... Apa karena merasa lo nggak pantes buat gua? Lo takut dengan masa lalu lo? Lo takut kalau sama gua, gua bakal menyesal, hidup gua bakal hancur karena masa lalu lo?”
“...”
“... Kalo emang itu alasannya, pikiran lo terlalu dangkal, Sal”
“...”
“... Lo pikir gua sepeduli itu dengan masa lalu lo?”
“...”
“... Nggak, Sal. Nggak. Gua nggak peduli siapa elo di masa lalu, mau lo preman, penjahat bahkan alien sekalipun. Gua cuma peduli sama lo yang sekarang…”
Kami terdiam. Sementara Marshall masih memainkan ujung rambut gua dengan jarinya. Matanya lalu dipejamkan.
Saat gua hendak bangun, tiba-tiba ia meraih tangan gua, sementara matanya masih dalam kondisi terpejam.
“Gimana dengan bokap lo, nyokap lo, keluarga lo? Apa mereka mau nerima gua yang kayak gini?” Tanyanya.
“Emang yang mau jalanin hidup sama lo itu bokap gua, nyokap gua, keluarga gua?” Gua balik bertanya.
“Tapi kan…” Belum sempat Marshall menyelesaikan kalimatnya, gua keburu berdiri, dan keluar dari kamar.
Di luar, terlihat bungkusan berisi sate ayam tergeletak di atas lantai. Gua duduk, lalu membuka bungkusan tersebut dan mulai makan. Saat tengah menikmati sate ayam, tiba-tiba Marshall keluar dari kamar, dan langsung duduk tepat di hadapan gua. Tanpa menatapnya, gua membuka satu bungkusan sate dan menyodorkan ke arahnya. Marshall nggak bilang apa-apa, ia hanya menatap gua yang masih mengunyah makanan.
Marshall meraih dagu gua, membuat kami kini saling bertatapan. Ia menggeser tubuhnya mendekat dan langsung memberi kecupan tepat di bibir gua yang masih penuh dengan bumbu kacang.
Gua jelas kaget dan kesal.
Kaget, karena ia tiba-tiba mencium gua. Dan kesal karena merasa Marshall nggak tau momen. Kok bisa-bisanya mencium perempuan saat ia tengah makan. Makan sate pula!
Marshall melepas kecupannya, saat mendengar suara pagar rumah terbuka. Disusul teriakan seorang pria memanggil namanya; “Sal!!”
Ia mundur dan langsung makan seperti nggak terjadi apa-apa.
Menit berikutnya, terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga. Disusul munculnya seorang pria yang tadi sempat kami temui, pria si pemilik sepeda motor. Pria itu berdiri di ujung anak tangga dan langsung terdiam begitu melihat gua.
Gua tersenyum dan mulai berbasa-basi; “Makan kak?”
“Iya makasih” Jawabnya sambil balas tersenyum. Ia lalu berpaling ke Marshall dan mengedipkan matanya, seakan memberi kode.
“Tu, ini Poppy. Pop, itu Ketu” Ucap Marshall mencoba memperkenalkan kami berdua.
Kami saling menatap dan sama-sama menganggukkan kepala.
Setelah pria tadi turun, barulah gua memukul bahu Marshall berkali-kali. Gua sendiri bingung kenapa melakukan hal itu, tapi alasan paling masuk akal ya; karena ia mencium gua di saat yang nggak tepat.
“Gimana rasanya?” Tanya gua sambil menundukkan kepala.
“Ya rasa sate, rasa bumbu kacang” Jawab Marshall, masih terus makan.
“Bukan itu”
“...”
“... Apa rasanya ciuman tadi?” Tanya gua lagi sambil tersipu malu.
Marshall menghentikan makan, menatap gua dan memberi jawaban; “Bumbu kacang”
—
Sean Kingston - Beautiful Girls
aripinastiko612 dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup