Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Menyadari kehadiran gua disana, seluruh kru dan si fotografer seketika langsung berhenti bercanda. Mereka diam dan langsung fokus kembali ke pekerjaan.
“Screen test ya!” Seru perempuan berlanyard biru seraya membimbing gua ke tengah-tengah set.
Salah seorang kru, berjalan mendekat ke arah gua. Dengan sopan ia menunjuk ke sebuah tanda ‘x’ yang dibuat dengan lakban hitam sambil bicara; “Maaf kak, berdirinya disini ya”
“Oh Ok” Gua menjawab sambil tersenyum.
Si fotografer mulai membidik gua melalui kameranya. Namun, ia nggak langsung memotret, melainkan berkeliling, seakan mencoba mencari angle yang tepat untuk gua.
“Namanya siapa?” Tanya si Fotografer.
“Poppy, Kak” gua memperkenalkan diri tanpa beranjak. Masih berdiri mematung dengan gaya yang kaku.
“Hi Pop” Sapanya, masih sambil berkeliling dan sesekali membidik gua dengan kamera tanpa menjepretnya.
“Hi” Balas gua.
Setelah dirasa menemukan angle yang tepat. Ia berdiri sambil memberi perintah ke kru-nya untuk memindahkan posisi lampu-lampu sesuai dengan titik yang ditunjuknya.
“Pop, sisi terbaik lo sebelah mana?” Tanya si fotografer ke gua, masih dari tempatnya berdiri.
‘Ah, kalau ini gua tau! Para perempuan pasti tau angle yang tepat untuk dirinya sendiri saat hendak di foto’
Gua lalu agak memposisikan tubuh ke kanan, menunjukkan sisi kanan wajah gua kepadanya; “Kanan kak” Jawab gua.
“Cool..”
“Punya pacar Pop?” Tanyanya lagi.
Tentu saja pertanyaannya barusan membuat gua mengernyitkan dahi; bingung. Buat apa ia bertanya hal pribadi semacam itu. Tapi, entah kenapa gua menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Ok!” Jawab si fotografer.
Setelah menunggu sampai semua lampu siap. Si fotografer lantas mengangkat tangan kirinya ke atas, sementara tangan kanannya memegang kamera, bersiap membidik gua.
“Okay, Poppy! Nengok sini pelan-pelan” Seru si fotografer.
Gua mengikuti instruksinya; berpaling.
‘Knit!’ silau lampu flash seakan menyerang gua bertubi-tubi, membuat silau.
Si Fotografer mengecek ke kamera yang dipegangnya. Kemudian melakukan hal yang sama seperti sebelumnya; mengangkat tangan kirinya ke atas, sementara tangan kanannya memegang kamera, bersiap membidik gua.
“Yuk, Poppy! Jangan liat kamera, Senyum.. anggap cowok lo bawain bunga sekarang”
Gua tertegun sebentar, kemudian kembali mengikuti instruksinya, membayangkan Marshall datang saat ini. Nggak perlu muluk-muluk dengan membawa seikat bunga, membayangkan Marshall berada disini saja sudah membuat gua tersenyum.
‘Knit!’ Si fotografer kembali mengambil gambar disusul kilau lampu yang berkilauan.
Selesai mengecek hasil foto, si fotografer mengangkat ibu jarinya ke atas. Kemudian kembali membidik. “Lagi, Poppy. Senyum. Sekarang bayangin kencan pertama lo” Serunya.
Ingatan gua lantas terbang, melayang, mengingat kembali masa-masa saat bersama Marshall. Masa saat kami berboncengan dengan sepeda menyusuri pasar Palmerah, saat makan nasi goreng berdua bahkan saat gua duduk memandangnya saat menggambar.
‘Knit!’
Si fotografer lalu mundur beberapa langkah. Ia memberikan kode ke salah satu krunya dengan tangan. Kru tadi kemudian mendekat ke gua dan bicara; “Kak, sekarang pake pose ya”
“Hah, pose apa?” Tanya gua, bingung.
“Bebas” Jawabnya.
Gua yang nggak tau harus berpose apa tentu saja hanya berdiam. Membuat si fotografer dan kru lain juga ikut terdiam. Lalu, dari kerumunan, gua melihat Tata mendekat, ia tersenyum dan langsung berpose, seperti tengah memberi contoh ke gua. Dengan cepat, gua mengikuti pose yang ditunjukkan oleh Tata. Walaupun merasa geli sendiri dengan pose tersebut, entah kenapa gua tetap melakukannya.
‘Knit!’
Tata berganti pose dengan cepat, dan gua terus mengikutinya. Sesekali, seorang kru mendekat, mengecek kualitas makeup di wajah dengan sebuah alat kecil yang diarahkan ke wajah gua. Lalu melanjutkan kegiatan.
Setelah puluhan pose, si fotografer berhenti memotret. Ia menuju ke salah satu krunya yang duduk di balik laptop dan berdiri di belakangnya. Seperti tengah mengecek hasil jepretannya.
Si Fotografer lalu melambai ke arah gua; “Pop, sini”
Gua beranjak, mendekat ke arahnya. Saat berada di sampingnya, ia lalu menunjukkan hasil foto gua yang telah diambilnya. Sesekali, ia bilang ‘ini Ok’ sambil mengangguk, dan sesekali juga ia memberi saran seperti; “Yang ini, nextnya lo harus agak mendongak sedikit” dan saran-saran terkait pose lainnya. Sisanya, si fotografer sama sekali nggak menemukan kendala yang berarti saat mengambil gambar gua.
Sebelum gua pergi, ia sempat mengacungkan dua ibu jarinya ke arah gua; “Keren lo Pop” Serunya sambil tersenyum.
Gua ikut tersenyum, berbalik dan berjalan cepat kembali ke ruang ganti. Sementara, Tata terlihat berdiri di depan ruang ganti, menunggu gua.
Ia melebarkan kedua tangannya seakan mengajak berpelukan. Tenggelam dalam euforia kegembiraan karena berhasil menuntaskan sesi foto yang mana gua nggak yakin sebelumnya, membuat gua hilang kendali. Gua tersenyum lebar, melangkah dengan cepat dan menyambut pelukannya.
“Keren kamu Pop” Bisik Tata tepat di telinga gua.
Barulah saat itu, gua mulai menyadari kalau kami saat ini terlalu dekat. Gua melepaskan pelukan dan mundur beberapa langkah. “Thank you” Ucap gua pelan kemudian masuk ke ruang ganti.
Setelah berganti pakaian. Tata juga sudah melakukan hal yang sama, kami berdua pamit ke para kru dan si fotografer untuk pulang.
“Seru nggak?” Tanya Tata ke gua, saat kami berdiri di depan bangunan.
“Lumayan” Jawab gua berbohong. Tentu saja seru abis. Ini bahkan bakal menjadi kenangan terbaik kedua sepanjang hidup gua selama ini. Kenangan terbaik pertama tentu saja momen-momen saat bersama dengan Marshall.
“Mau ngopi dulu?” Tanyanya lagi.
“Mmmm…”
“Ayolah, sebentar aja”
“Ah, ntar lo pingsan lagi. Gua yang repot” Gua menjawab.
“Nggak. Kali ini nggak, serius deh” Ucapnya sambil mengangkat dua jari keatas dan tersenyum.
Gua lalu mengangguk.
Nggak berselang lama, kami berdua sudah berada di mall yang sama dengan tempat terakhir kali kami bertemu minggu lalu. Gua mengajak Tata untuk ke kedai yang sama, merasa tempatnya nyaman dan murah. Namun, Tata menolak; “Malu” Katanya.
Setelah menghabiskan waktu setengah jam berkeliling sambil melihat-lihat pakaian, kami berdua akhirnya memutuskan ke salah satu kedai kopi yang letaknya bersebelahan dengan kedai tempat kami ngopi sebelumnya.
Rupanya, semua kedai yang berada di deretan ini memiliki layout yang sama; punya area outdoor di bagian belakang yang berbatasan dengan halaman mall.
Gua memesan Iced Americano sementara Tata memesan Vanilla Latte. Sambil menunggu pesanan kami datang, ia mengeluarkan bungkusan rokok, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
“Kamu nggak ngerokok?” Tanyanya seraya menggeser kemasan rokok dan korek ke arah gua.
“...” Gua menggeleng.
“...Oh”
“Elo kemarin pingsan kenapa?” Kini giliran gua yang bertanya.
“Nggak tau, kayaknya kecapean” Jawabnya.
“Kecapean? Emang sibuk ngapain?” Tanya gua lagi, kini dengan nada sedikit meremehkan. Gua yakin orang kaya sepertinya pasti nggak perlu terlalu menguras tenaga untuk bekerja. Jadi, apa yang membuatnya keletihan.
Tata tersenyum sebentar, menghisap rokoknya dan menghembuskannya ke udara.
“Sibuk mikirin Marshall” Jawabnya.
Belum sempat gua merespon, Tata keburu meraih tangan gua dan kembali melengkapi kalimat sebelumnya; “.. Bercanda Pop. Bercanda”
“Aku tuh kadang suka gampang capek Pop, karena sulit tidur” Ucapnya, kini ia sepertinya serius.
“Kenapa?”
“Aku punya jawabannya, Tapi Jawaban aku pasti bakal bikin kamu BT deh” Jawabnya.
“Try me…” Gua menantang.
“Nggak deh, lebih baik kamu nggak tau kayaknya”
“Ah, males gua kalo udah rahasia-rahasiaan kayak gini. Teman kan seharusnya…” Gua berhenti bicara, merasa keceplosan, kemudian menutup mulut dengan tangan.
Sementara, Tata langsung tersenyum.
“Seharusnya berbagi rahasia” Gitu kan. Ucapnya seakan mencoba melengkapi kalimat gua yang terpotong tadi.
Gua terdiam nggak mampu berkata apa-apa.
“...Sejak kejadian di gudang olahraga, aku nggak pernah bisa sekalipun tidur dengan nyenyak. Kalaupun bisa terlelap, aku bakal mengalami mimpi buruk yang terus berulang. Saking takutnya, aku bahkan nggak mau kembali tertidur…”
“...”
“...Kamu tau nggak kapan, aku akhirnya bisa tidur dengan nyenyak tanpa bermimpi buruk?”
Gua menggeleng.
“... Sejak aku ketemu dan bicara dengan Marshall. Tapi, itu hanya sekali, setelahnya aku tetap kesulitan tidur, ya walaupun sekarang aku nggak pernah lagi mengalami mimpi yang buruk”
“Kenapa nggak ke psikolog?” Tanya gua.
Tata kembali tersenyum.
“Kamu pikir aku nggak nyoba?” Ia malah balik bertanya.
“Udah?”
“Udah” jawabnya sambil mengangguk.
“...”
“... Udah beberapa kali. Dan yang sekarang, yang terakhir ini kayaknya better” Tambahnya.
Gua menarik kursi agar lebih dekat dengannya. Kemudian mengajukan pertanyaan dengan suara lirih; “Emang apa sih rasanya?” Tanya gua.
“...”
“... Apa sih rasanya pernah ngancurin hidup seseorang?” Gua menambahkan.
Tata nggak langsung menjawab. Ia pasang tampang datar, menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke atas.
“Kamu pasti mikir kalau aku jahat banget ya Pop?” ia balik bertanya. Yang tentu saja langsung gua respon dengan anggukan kepala.
“Ya walaupun rasa-rasanya gua kayaknya nggak punya hak buat menghakimi elo sih. Tapi, jujur, ngeliat lo aja tuh rasanya bikin kesel banget” Gua memberi jawaban.
“Rasa kesel kamu ke aku itu karena kamu sayang sama Marshall, kan?” Tanyanya lagi, seakan mencoba memastikan
Lagi, gua merespon dengan anggukan kepala.
Mendapat respon dari gua, Tata lalu tersenyum. Ada sedikit kelegaan dari senyumnya yang misterius.
“Kenapa lo malah senyum?” Tanya gua.
“Gapapa, aku malah seneng karena kamu berarti kamu betul-betul sayang sama Marshall” Jawabnya.
“Iyalah!” Gua menjawab yakin.
“Sama” Responnya.
“...”
“... Aku juga masih sayang banget sama dia. Kalo nggak, mungkin aku sekarang udah nggak ada disini sekarang” Jawabnya.
Dengan jawaban darinya barusan, sudah sah-lah kami berdua sebagai rival. Tapi, entah kenapa, gua dan Tata sama sekali nggak ingin beranjak dari sini. Masih ingin tetap ngobrol berdua.
—
Ponsel gua bergetar, sebuah notifikasi pesan dari si gadis karbol. ‘Pop, ini link drive foto-foto kamu ya’ Isi pesan dari Tata, yang lalu disusul sebuah tautan yang membawa gua ke sebuah cloud drive berisi foto-foto gua waktu itu.
Gua membuka foldernya dan melihatnya satu persatu. Tentu saja sambil tersenyum dan tertawa kegirangan. Setelah mengunduhnya, gua memindahkan foto-foto tersebut ke ponsel, kemudian keluar dari kamar, turun ke bawah dan langsung menunjukkannya ke nyokap.
“Wuih, ini tenan kamu Pop?” Tanya nyokap dengan nada nggak percaya.
“Iya” Jawab gua sambil mengangguk.
“Tambah ayu kamu pop” Pujinya, seraya membelai rambut gua.
Selesai dengan Nyokap, gua lalu beralih ke Bokap yang kemudian memberikan respon serupa. Terakhir, tentu saja gua harus memamerkan ini ke Dinar.
Gua masuk ke kamarnya tanpa mengetuk, mengangkat kelopak matanya yang masih terpejam karena tertidur dan menunjukkan layar ponsel gua kepadanya. Dinar memberontak, bangun sambil mengucek matanya.
“Nih liat” Ucap gua sambil memberikan ponsel ke arahnya.
“Ih Baguuuussss” Serunya.
“Hehehe…” Gua terkekeh, bangga.
“Foto dimana?” Tanyanya.
“Ada deh” Jawab gua, sengaja ingin menggodanya.
“Gua ikut sih” Pintanya.
“Ogah!” Saru gua, merebut ponsel dari tangannya, keluar dan kembali ke kamar.
Dan yang nggak kalah membahagiakan adalah, ternyata minggu depan, gua mendapat ajakan dari si fotografer untuk kembali datang di sesi foto minggu depan. Kali ini, bukan hanya sekedar screen test, melainkan sesi photoshoot beneran.
Minggu berganti minggu. Sejak kali kedua melakukan sesi foto bersama Tata, gua kini mulai terbiasa. Walaupun masih banyak kekurangan disana-sini, terutama pose gua yang terbatas, hanya itu-itu saja, bikin gua jadi malu sendiri. Tata sempat memberi saran agar gua banyak-banyak membaca majalah mode untuk menambah referensi pose dan gaya gua saat di foto. Tapi, di kampung gua, di Palmerah, mana ada orang yang jual majalah fashion.
‘Lo punya?’ Gua bertanya ke Tata perihal majalah fashion yang sebelumnya ia bahas.
‘Punya’ Jawabnya singkat.
‘Pinjem’
‘Ambil aja’
‘Minggu depan deh, pas libur’ Jawab gua, mencoba mencari waktu yang tepat.
‘Yaudah. Eh Pop, aku punya kabar baru’ Balasnya.
Gua menekan icon telepon berwarna hijau dan menghubungi Tata. Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga suaranya menyambut gua; “Halo…”
“Kabar apa?” Tanya gua to the point.
“Alah, udah deh Ta. Lo paling cuma ngeledek gua doang kan?” Tanya gua, penuh curiga.
“Nggak kok, beneran”
“Apa? Lo punya kabar apa? Jangan bilang lo udah tau dimana si Marshall?” Tanya gua lagi, mencoba menebak.
“Iya” Ia menjawab singkat.
“Kamu mau tau?” Tanyanya lagi.
“...” Gua nggak memberi jawaban. Entah apa maksud dari Tata, kenapa ia dengan sengaja memberitahukan gua semua ini. Padahal ia bisa saja, menyimpannya sendiri dan bertemu dengan Marshall tanpa ada gua yang ikut campur tangan.
“... Nanti abis ini aku kirim alamatnya ke kamu ya.”
“...” Gua masih nggak menjawab.
“... Pop. Aku bakal menunggu.” Ucapnya.
“Maksudnya?”
“Seandainya kamu emang mau ketemu sama Marshall, aku bakal menahan diri untuk nggak menemuinya.”
“...”
“... Tapi, seandainya kamu nggak mau menemuinya, biar aku yang kesana”
“...”
“... Kasih kabar aku kalau kamu mau kesana, nemuin Marshall. Kalau kamu nggak kasih kabar, aku anggap kamu udah memberi izin untukku ketemu dengannya” Ia menambahkan lalu mengakhiri panggilan.
Beberapa saat setelahnya, sebuah pesan masuk dari Tata yang berisi alamat dan link lokasi tempat tinggal Marshall.
Gua duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah komik 20th century boys yang tergeletak di atas meja. Terbesit di dalam hati sebuah keraguan; haruskah gua menghampiri Marshall sekarang, atau tetap menunggunya. Jika, menghampiri Marshall sekarang tentu saja bersimpangan dengan komitmen gua sebelumnya, yang ingin memberinya kesempatan untuk sendiri. Seandainya sudah cukup waktunya, ia bakal kembali ke gua; pasti!
Akhirnya, gua memutuskan untuk nggak mengunjungi Marshall.
—
Hari itu, gua baru saja menyelesaikan seso foto. Sementara, Tata malah nggak terlihat di studio, beberapa kali gua mencoba menanyakan kabarnya melalui pesan singkat, namun tak kunjung ada balasan.
Gua turun dari gerbong kereta di stasiun Pondok Ranji. Rencananya, dari sini gua akan memesan ojek online untuk ke rumahnya Tata.
Sesaat setelah kereta yang membawa gua, pergi. Sosok pria terlihat berdiri di seberang rel; di peron sebelah. Sosok pria yang mengenakan jaket dengan wajahnya nampak penuh luka. Kami berdua saling menatap dalam diam, diiringi suara pengumuman kedatangan kereta melalui pengeras suara stasiun.
Foster The People - Houdini
Rise above, gonna start the war
Oh, what you want? What you need? What'd you come here for?
Well, an eye for an eye and an 'F' for fight
They're taking me down as the prisoners riot
Eh, yeah
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
Got shackles on, my words are tied
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
Fear can make you compromise
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
With the lights turned up, it's hard to hide
Sometimes I want to disappear
Eh, oh, eh
When I feel kinda bad and don't want to stress
I just pass it off on ability
Well, you got what you want and what you never knew
Perfect gift from me to you
Yeah, yeah, yeah
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
Got shackles on, my words are tied
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
Fear can make you compromise
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
With the lights turned up, it's hard to hide
(Ooh-ooh-ooh-ooh)
Sometimes I want to disappear
(Raise up to your ability)
You never knew what I could find
What could come when we realize
I don't want to compromise
(Raise up to your ability)
Yeah, I'm scared but I'll disappear
Running around before it corners you
Like he's someone who lost his way
(Raise up to your ability)
I know that you want me
'Cause it's simple to see of my ability
(Raise up to your ability)
Yeah, you're undecided
Hey, it's the right feeling
Yeah, I don't wanna run away
You gotta focus on your ability
Focus on your ability
Gotta focus on your ability
Focus on your ability
Then they can't get what they want to steal
Can't get what they want to steal
Then they can't get what they want to steal
Can't get what they want to steal