“Isengnya elo aja bisa jadi model” Gua bicara dengan suara pelan, sengaja agar nggak terdengar olehnya. Tapi nyatanya, suara gua nggak cukup pelan. Tata masih bisa mendengarnya.

Tata kembali tersenyum, lalu bicara; “Kamu mau ikut ‘iseng-iseng’ bareng aku?”

Gua mengernyitkan dahi, bingung dengan pertanyaannya.

“... Kamu mau ikut modeling bareng aku?” Tanya Tata lagi mengulang pertanyaannya barusan.

“Emang bisa?” Gua balik bertanya. Entah kenapa, gua malah terdengar seperti sangat tertarik. Ah, lagian perempuan mana sih yang nggak suka di foto, nggak mau tampil cantik, nggak mau jadi model, pasti nggak ada.

“Bisa lah, kamu cantik” Ucapnya.

Gua nggak menyangka kalau tawarannya ternyata serius. Tata lalu menjelaskan tentang, ‘pekerjaan iseng’ yang selama ini ia ikuti; menjadi model foto. Tentu saja saat ini yang ditawarkan ke gua bukan menjadi model pakaian atau model cover majalah seperti yang sudah pernah Tata jalani. Jika gua bersedia, Ia mau mengajak gua ikut menjadi model foto untuk ‘content image platform’. Bayarannya memang nggak besar, tapi lumayan untuk portfolio dan memuaskan hasrat perempuan seperti gua yang emang suka di foto.
—

Beberapa hari berikutnya, Tata mengirim sebuah pesan yang isinya ajakan untuk sesi pemotretan.

Jujur, gua nggak menyangka kalau Tata begitu serius dengan tawarannya tempo hari. Awalnya walau terdengar meyakinkan, gua hanya menganggap tawarannya sekedar basa-basi. Tapi ternyata ia benar-benar melakukannya.
Gua masih menggenggam ponsel, menatap ke arah layar ponsel. Memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasnya. Namun, belum sempat gua membalas, ponsel berdering, nama ‘Gadis Karbol’ muncul di layar.

Setelah mencoba mengatur nafas, gua menjawab panggilannya.

“Halo” sapa gua.

“Halo, Pop. Gimana mau kan? Aku udah bilang ke Telco nya” ucapnya dari ujung sana.

“Hmmm… nggak tau deh” gua menjawab ragu.

“Lho katanya kemarin mau?”

“Iya, gua pikir lo bercanda”

“Nggak lah. Jadi kamu nggak mau?” Tanyanya lagi.

“…” gue terdiam, nggak memberi jawaban, tenggelam dalam keraguan.

“… Oh, atau gini aja deh Pop. Kamu dateng aja, liat-liat dulu. Nanti kalo tertarik langsung ikutan aja. Gimana?” Tanyanya lagi, memberikan opsi.

“…”

“… Pop?”

“Ya?”

“Mau kan?”

“Yaudah deh” gua akhirnya mengiyakan tawaran darinya.

Selesai menelpon, Tata lalu mengirim pesan yang berisi alamat dan waktu pemotretan. Disusul sebuah pesan lanjutan; ‘Kamu nggak usah nyiapin apa-apa Pop. Dateng aja’

‘Ok’ gua memberi balasan.

Sabtu pagi adalah hari pemotretan. Malamnya, gua sama sekali nggak bisa tidur, deg-degan dan gelisah. Bagaimana mungkin gadis kampung kayak gua tiba-tiba mendapat tawaran menjadi model. Keraguan kembali muncul.
Gua meraih ponsel dan menghubungi Tata.

“Halo Ta” Sapa gua.

“Ya..” Jawabnya.

“Lo udah tidur ya?” Tanya gua.

“Belum. Lagi mikirin Marshall” Jawabnya santai.

Mendengar jawabannya barusan yang sepertinya sengaja ia lontarkan untuk bikin gua kesal nyatanya sukses.

“Ah elah!” Seru gua lalu mengakhiri panggilan.

Beberapa menit berikutnya, ponsel gua berdering; Tata.

“Apa?” Tanya gua dengan nada tinggi.

“Bercanda Pop, bercanda” jawabnya.

“Eh kita nggak sedeket itu ya, sampe lo bisa ngajak bercanda”

“Iya sorry, sorry. Kenapa?”

“Gua kayaknya besok nggak jadi ikut” ucap gua.

“Kenapa?” Tanyanya lagi.

“Gapapa, males aja” jawab gua berbohong. Mana mungkin gua bilang alasan sebenarnya ke Tata kalau gua takut, malu dan deg-degan. Gengsi dong!

“Yaah” Terdengar ada sedikit kekecewaan di nada bicaranya

“Sorry” Ucap gua, lalu mengakhiri panggilan.

Besok paginya, dengan mata masih super mengantuk gua duduk di tepi ranjang, menatap ke arah meja belajar dengan lembaran kertas gambar yang berantakan di atas komik 20th Century Boys. Gua meraih ponsel dari sisi bantal, dan mendapati pesan masuk dari Tata; ‘In case kamu berubah pikiran, nanti langsung ketemu aja di studio ya’

“Ck…” Gua menunduk sambil memegangi kepala. Di satu sisi, gua enggan datang karena merasa malu dan segan, apalagi gua sudah bilang ke Tata semalam. Tapi, di sisi lain ada sedikit keinginan untuk mencobanya, ada rasa ingin tau yang pada akhirnya membuat gua kembali berubah pikiran.

Setelah mandi dan hampir setengah jam memilih pakaian yang tepat, dengan menggunakan ojek online gua menuju ke alamat yang sebelumnya sudah di informasikan oleh Tata melalui pesan singkat.

Gua berdiri di depan sebuah bangunan dengan halaman yang cukup luas, bangunan yang berada nggak begitu jauh dari pemakaman Tanah Kusir. Nggak ada keterangan apapun dari bangunan ini selain nomor bangunan yang sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Tata dan lokasinya yang seperti menjadi satu dengan restoran khas bebek.

Ragu, gua berjalan mendekat, melintasi halaman, dan masuk ke dalam. Seorang perempuan dengan kemeja hitam dan lanyard berwarna biru mendekat ke arah gua, lalu bertanya; “Cari siapa kak?”

“Mmm, Anu… Tata” Jawab gua.

“Oh, Kak Poppy ya?” Tanyanya sambil memberi tebakan. Yang lantas gua respon dengan anggukan kepala.

Perempuan tadi lalu membimbing gua ke arah bangunan besar lain yang mirip seperti gudang, melewati halaman tak terurus dengan rumput ilalang yang tinggi dan beberapa bangkai mobil yang berkarat. Kami masuk ke dalam bangunan seperti gudang, melalui pintu kecil di bagian samping. Nggak seperti terlihat dari luar, di dalam gua langsung disambut suhu yang sejuk yang berasal dari beberapa pendingin ruangan.

“Boleh tunggu disini dulu ya kak, aku siapin dulu…” Ucap perempuan tadi, sambil menunjuk ke salah satu kursi di sudut ruangan.

Sementara di sisi terjauh terlihat sebuah set dengan latar putih dan begitu banyak lampu sorot yang mengarah ke tengah. Sesekali terdengar suara ‘knit’ yang disusul kilat nyala lampu. Beberapa kru terlihat mondar-mandir sambil membawa pakaian ke luar masuk dari ruangan kecil yang berada di seberang tempat gua duduk.

Penasaran, gua berdiri, berjalan mendekat ke arah set. Saat sudah dekat, barulah gua menyadari kalau Tata tengah berdiri, berpose, dikelilingi lampu-lampu, sementara, seorang fotografer tengah mengambil gambarnya.
Gua terpukau. Karena nggak hanya parasnya yang cantik, tapi saat ini Tata seperti menjelma menjadi sosok yang berbeda; ia terlihat cantik, manis dan elegan.

Menyadari gua sudah berada di sana, Tata memberikan kode ke fotografer untuk break sejenak. Ia menghampiri gua sambil pasang tampang sumringah.
“Dateng juga kan kamu..” Bisiknya, kemudian mengajak gua masuk ke ruangan kecil di sudut ruangan.

Di dalam ruangan, kami kembali bertemu dengan perempuan yang tadi menyambut gua. Ia membawa pakaian yang masih berada di dalam plastik.
“Eh, ini baru mau dibawain bajunya” Ucap perempuan tadi, kemudian menyerahkan pakaian di tangannya ke gua. Gua yang masih bingung tentu saja semakin heran. ‘Buat apa?’ batin gua dalam hati.

Gua menoleh ke arah Tata dan bertanya sambil mengangkat pakaian ke arahnya; “Ini buat apa?”

“Ya kamu pake, abis itu foto deh” Ucapnya.

“Lah, kata lo gua cuma dateng aja, nggak perlu foto?” Tanya gua, kaget.
“Gapapa Pop, cuma Screen test aja” Jawab Tata.

Gua terdiam. Nggak tau tentang istilah yang baru ia sebutkan. Gua lalu duduk di salah satu kursi, mengeluarkan ponsel dan mencari istilah screen test di dunia fotografi.

“Kak, boleh langsung ganti bajunya” Ucap si perempuan tadi yang baru saja kembali masuk ke dalam ruangan. Gua yang masih melakukan research kecil dengan ponsel langsung panik. Namun, Tata yang sepertinya tau dengan kondisi gua lantas menepuk pelan bahu gua, kemudian menunjukkan ruang ganti di pojok ruangan. Ruang ganti yang hanya berupa kain hitam dibuat berbentuk kolom.

Gua berganti pakaian.

Setelah selesai, gua kembali duduk. Sementara, Tata sudah nggak lagi terlihat di dalam ruangan. Sepertinya sudah kembali ke sesi pemotretan.

“Touch up dulu kak” Ucap perempuan makeup artist yang sejak tadi sibuk memberikan make up ke para model yang berada di sana.

Ragu, gua duduk di kursi, menghadap ke arah cermin portable dengan banyak lampu mengelilinginya. Si makeup artist lalu mulai menyisir rambut gua dengan perlahan, dan memberikan treatment rambut yang membuat rambut gua kini terlihat berkilau. Selesai dengan rambut, ia beralih ke wajah. Dengan kapas dan toner, ia menyeka wajah gua, membersihkan sisa-sisa debu yang menempel. Setelah itu, barulah ia mulai melakukan makeup.

Beberapa saat berikutnya, saat gua baru saja selesai di makeup, gua berdiri lalu menatap ke wajah sendiri melalui cermin. ‘Ternyata gua cantik juga’ Batin gua dalam hati, bangga. Namun, kebanggaan itu kembali sirna begitu Tata masuk ke dalam ruangan.

‘Duh, kayaknya dia jauh lebih cantik dari gua deh’ gua kembali membatin dalam hati, merasa insecure.

Tata yang baru saja masuk lantas pasang tampang terkejut dan berseru; “Wah, cantiknya”.

Jujur, Mendapat pujian darinya, nggak bisa dipungkiri ada rasa senang yang ngga bisa gua sembunyikan. Gua tersenyum. Mungkin ini kali pertama gua tersenyum kepadanya.

“Yuk kak” Seru si perempuan berlanyard biru. Lalu membimbing gua keluar dari ruangan dan menuju ke set foto.

Ada rasa berdebar, deg-degan yang nggak karuan saat berjalan mendekat ke arah set. Apalagi, para kru dan fotografer di sana kebanyakan laki-laki, yang tentu saja bikin gua semakin minder. Tata menyusul gua, sambil berjalan ia berbisik pelan; “Pop, ini cuma screen test aja. Jangan malu ya”

Gua lalu mengangguk, mencoba menenangkan diri.

Namun, semakin gua dekat ke set, jantung gua malah berdebar semakin cepat. Dari posisi gua saat ini terdengar para kru dan si fotografer tengah bercanda. Sepertinya salah satu kru tengah meledek si fotografer yang kesulitan mengeja sebuah tulisan pada sebuah kardus kemasan makanan.

“Coba baca?”

“Ogirinal” Seru si fotografer, tentu saja jawabannya membuat semua orang yang berada disana tertawa, termasuk gua. Bagaimana mungkin orang dewasa sepertinya nggak bisa mengeja kata ‘Original’.