Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
“Nggak!!” Gua menjawab, kemudian mengembalikan foto Marshall ke Tata. Ada rasa enggan yang luar biasa kala mengembalikan foto tersebut. Ingin memilikinya, memajangnya satu di dalam kamar dan satu disimpan di dalam dompet.
Tapi, tentu saja rasa gengsi lebih besar daripada malu. Apalagi di depan Tata.
Tata meraih foto tersebut, kemudian menyimpannya kembali ke saku celana.
Gua menatap ke arahnya, lalu bertanya; “Udah? Itu maksud lo ngajak gua ketemuan?”
Tata menggeleng.
“... Terus apa lagi?” Tanya gua lagi.
Belum sempat Tata memberikan jawaban, seorang pramusaji datang dengan sebuah nampan berisi kopi pesanan kami berdua. “Silahkan” Ucapnya.
Tata mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompet, dan menyerahkan ke pramusaji untuk memproses pembayaran.
“Ini pembayaran di gabung kak?” Tanya si pramusaji sambil menerima kartu tersebut.
“Iya, dua-duanya…” Jawab Tata. Ia lalu berpaling ke gua, kemudian bertanya; “Kamu mau pesen yang lain nggak Pop?”
Gua menggeleng; “Nggak, makasih”
Sementara Tata sibuk dengan si pramusaji, gua mulai menyeruput Americano dingin yang gua pesan sebelumnya. Tentu saja, rasanya nggak enak, seperti yang gua ingat. Tapi, gua nggak mau terlihat norak dan kampungan di depan Tata. Jadi, setelah menyeruputnya, merasakan sensasi pahit yang nggak gua suka, gua mengecap; ‘Ah’, berlagak menikmatinya.
Selesai dengan pembayaran, Tata kembali menatap gua.
“Jadi gimana, ada lagi maksud lo ngajak gua ketemuan?” Tanya gua lagi, karena pertanyaan sebelumnya belum mendapat jawaban.
“Nggak tau… Cuma pengen ketemu dan ngobrol aja” Jawabnya penuh ambiguitas.
“Ck, yang jujur lah, Ta” Seru gua.
Alih-alih langsung menjawab, Tata justru menoleh ke arah lain, ke halaman parkir mall, tatapannya terlihat kosong. Saat itulah gua menyadari kalau sejak pertama kali gua melihat dan bertemu dengannya tatapannya selalu kosong. Walaupun tersenyum dan mencoba ceria, matanya nggak pernah berbohong, selalu nampak kehampaan.
Masih sambil menatap kosong ke arah lain, ia lalu bicara; “Emang nggak boleh ya, Pop kalo aku pengen ketemu dan ngobrol sama kamu?”
“...”
“... Kalau aku cuma mau tanya pendapat kamu tentang baju, jepit rambut cantik dan drama korea yang bagus, juga nggak bisa?” Tambahnya.
“...”
“... Walaupun bukan tentang Marshall. Kamu tetap nggak mau ya Pop?”
Tanyanya lagi. Masih dengan posisi yang sama; menatap kosong ke arah lain.
Gua menghela nafas panjang, mencoba bertahan, takut kalau semua ini hanya akting-nya belaka. Berlagak merana, padahal mungkin punya agenda tersembunyi yang sampai saat ini masih gua coba cari tau.
Atau,
Bisa jadi gua yang salah. Gua yang salah menduga. Seandainya, Tata betul-betul merana, betul-betul merasa tersiksa karena kondisi yang juga masih belum gua ketahui.
Tapi,
Saat mengingat apa yang sudah dia lakukan terhadap Marshall, pertahanan gua semakin kuat. Gua nggak boleh melunak karena sikapnya saat ini.
“Nggak!!” Gua menjawab tegas, kemudian kembali menyeruput Americano dingin.
Saat mendengar jawaban gua yang tegas dan lugas sekalipun, sikapnya nggak berubah. Ia masih menatap kosong ke arah lain. Tapi, bedanya kali ini terlihat tersenyum, senyum yang seakan nggak lepas, senyum tertahan yang seakan terpaksa.
“Terus aku harus gimana supaya bisa ngobrol dan bercerita ke kamu?” Tanyanya lagi.
Gua mengangkat bahu, kemudian menatap ke arah langit-langit mencoba mencari kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaannya barusan.
“Nggak tau, atau mungkin emang nggak ada alasan supaya kita berdua bisa saling ngobrol dan saling bertukar cerita…” Jawab gua.
“Oh…” Ia merespon singkat.
Tata lalu menoleh ke arah gua, menyeruput Vanilla Latte miliknya, menyisakan buih di sekitar bibirnya yang tipis dan indah. Ia menyeka sisa-sisa buih tersebut dengan tisu. Bahkan, saat menyeka bibirnya saja, ia terlihat anggun, atau mungkin sengaja ingin bikin gua minder.
“Udah ya, gua cabut” Ucap gua, lalu berdiri dan bersiap untuk pergi.
Baru selangkah gua pergi, Tata kembali bicara, suaranya terdengar lebih lirih dan pelan dari sebelumnya; “Sejauh mana Marshall udah cerita ke kamu tentang kasus di gudang olahraga?” Tanyanya.
Gua menghentikan langkah begitu mendengar pertanyaannya barusan. Tubuh ini rasanya seperti membeku. Ada dorongan di dalam hati, dorongan yang besar, ingin mengetahui cerita tersebut versi dirinya.
Dengan penuh keraguan, gua berbalik dan kembali duduk di tempat sebelumnya. Sementara, Tata melihat ke arah gua, dengan mata yang berkaca-kaca, kedua tangannya diletakkan di atas meja, dan jari-jarinya ia mainkan, saling menyentuh satu sama lain.
Detik berikutnya, gua mulai bercerita tentang kejadian di gudang olahraga yang dulu sempat diceritakan oleh Marshall ke gua. Saat gua bercerita, Tata mendengarkan sambil sesekali mengangguk. Perlahan, air matanya mulai menetes, lalu semakin lama tangisnya pecah. Ia mengambil berlembar-lembar tisu dari atas meja, menyeka air mata di pipinya dan hidungnya yang mulai berair. Kini, ia seakan sudah nggak lagi peduli dengan sikap elegannya. Tata saat ini tampak seperti seorang anak yang menangis karena ditinggal orang tuanya pergi bekerja.
“Sekarang gua mau denger cerita versi lo” Tagih gua, begitu selesai bercerita.
Bukannya menjawab atau mulai bercerita versinya, Tata malah menangis semakin menjadi. Hal yang tentu saja membuat kami berdua menjadi pusat perhatian dari pelanggan lain yang kebetulan berada di sana. Walaupun hanya beberapa orang, tapi menjadi pusat perhatian karena menangis tentu bukan hal yang menyenangkan.
“Ck…” Gua menggeram, gemas, karena nggak tau harus berbuat apa.
“...”
“... Kalo lo cuma mau nangis, gua pergi aja” Gua mengancamnya.
Karena nggak mendapat respon seperti yang gua mau, Gua berdiri dan kali ini memutuskan untuk benar-benar pergi, meninggalkan Tata yang masih menangis sesenggukan. Saat baru saja hendak keluar dari kedai, samar terdengar teriakan orang disusul suara sesuatu yang pecah. Sontak gua berpaling. Dari posisi gua sekarang, terlihat salah satu pramusaji dan pelanggan yang berada di dalam kedai berhambur ke arah meja tempat gua duduk. Gua kembali ke dalam dan mendapati Tata sudah terkulai tak berdaya di lantai.
Gua berlari ke arah Tata, duduk di lantai dan memindahkan kepalanya ke atas pangkuan. Kemudian mencoba menyadarkannya dengan menepuk-nepuk pelan pipinya. “Ta, Ta, Bangun Ta”.
Salah seorang pelanggan perempuan yang berada di sana, berinisiatif mengeluarkan sebuah botol berwarna hijau dari dalam tasnya. Botol plastik yang berisi cairan minyak angin, dan menyerahkannya ke gua.
Dengan cepat gua membuka tutup botol plastik tersebut lalu mendekatkan permukaan botol ke arah hidungnya. Tata sempat bereaksi sebentar begitu menghirup uap dari minyak angin, tapi kembali lunglai setelahnya. Merasa kurang efektif, gua menuang minyak angin ke ujung jari dan mengoleskannya tepat di lubang hidungnya. Tata kembali bereaksi, ia terbatuk, lalu membuka matanya.
Begitu sadar, gua dan salah satu pramusaji perempuan membantu Tata duduk di salah satu kursi. Perlahan kesadarannya kembali pulih, namun wajahnya masih terlihat pucat pasi dengan tatapan yang kosong.
“Ta, lo kenapa?” Tanya gua, seraya mencoba menggoyangkan tubuhnya. Namun, ia nggak memberi jawaban.
Gua mengeluarkan ponsel, tapi bingung ingin menghubungi siapa. Sementara, salah satu pramusaji menyarankan untuk memanggil security. Dimana, security nanti akan membantu kami menyiapkan kursi roda dan memanggilkan ambulan atau taksi. Saat hendak melaksanakan saran dari si pramusaji, Tata menahan gua.
Ia menggelengkan kepalanya dan bicara lirih; “Nggak usah, pop”
Gua kembali duduk. “Ya lo kenapa?” Seru gua dengan nada sedikit tinggi. Yang tentu saja membuat orang-orang yang berada di sana langsung memberi tatapan sinis ke gua, seakan gua adalah tokoh antagonis yang nir empati dan nggak punya hati karena membentak orang yang baru saja sadar dari pingsan.
“Lo kenapa?” Tanya gua lagi, kini dengan suara sengaja dibuat pelan.
“Nggak tau, pusing” Jawabnya, seraya menekan bagian sisi keningnya dengan tangan.
Setelah menunggu sebentar, Tata mencoba berdiri, berusaha meraih dompet miliknya yang tergeletak di meja. Melihatnya kesulitan, gua membuatnya kembali duduk, mengambilkan dompet dan menyerahkan ke Tata. Ia membuka dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan 50 ribu dan memanggil seorang pramusaji yang tengah membereskan sisa pecahan gelas akibat pingsannya Tata.
“Mbak…” Panggilnya. Si Pramusaji lalu mendekat.
“Ya kak”
“Ini buat ganti, gelasnya ya. Maaf ya jadi merepotkan..”
Si Pramusaji nggak langsung menerima uang pemberian dari Tata, ia justru berpaling dan menatap ke salah satu rekannya. Si rekan pramusaji yang sepertinya adalah atasannya lalu mendekat, kemudian bicara; “Nggak usah Kak, gapapa” Jawabnya.
Namun, Tata memaksa. Ia meletakkan beberapa lembar uang tersebut ke genggaman si pramusaji. Dua orang pramusaji itu lalu saling pandang, yang pada akhirnya menerima uang kompensasi dari Tata.
Sementara, gua masih memperhatikan para pramusaji, Tata malah sudah berdiri dan berjalan ke arah keluar kedai sambil tertatih-tatih dengan salah satu tangannya ia sandarkan pada dinding, seakan mencoba menahan bobot tubuhnya sendiri.
Gua berdiri dan bergegas menyusulnya.
Sambil merangkulnya, gua bicara; “Lo bisa pulang sendiri nggak?” yang lalu di responnya dengan anggukan kepala.
“Gimana?” Tanya gua lagi, karena merasa nggak percaya ia bisa pulang sendiri dengan kondisinya sekarang ini.
“Taksi” Jawabnya singkat dan pelan.
“Yakin?” Tanya gua, memastikan. Kembali, ia mengangguk.
Kami berdua lalu berjalan menuju ke lobby mall. Di pelataran lobby mall, gua berlari menghampiri salah satu taksi berwarna biru yang berada di antrian paling depan. Membuka pintu bagian penumpang, kembali ke tempat Tata menunggu dan memapahnya hingga masuk ke dalam mobil.
“Thank you ya Pop” Ucapnya pelan sebelum gua menutup pintu.
Gua mengangguk pelan.
Detik berikutnya taksi yang membawa Tata lalu pergi. Terbesit di benak gua kejadian-kejadian di berita di televisi, saat perempuan muda diculik saat tengah naik kendaraan umum. Ya mungkin terdengar berlebihan, namun saat itu beneran terjadi, apa yang bakal gua katakan ke Marshall?
“Ah elah…” Gumam gua, lalu berlari mengejar taksi yang belum begitu jauh.
Gua berteriak memanggil taksi tersebut, sadar akan teriakan gua, si supir taksi menghentikan mobilnya. Gua membuka pintu bagian penumpang lalu masuk ke dalam, duduk di sebelah Tata yang menatap gua bingung.
Menjawab tatapan bingungnya, gua lalu bicara; “Gua sekalian balik”
Tata lalu tersenyum sebentar, kemudian menjatuhkan kepalanya pada jendela mobil.
“Nggak” Jawabnya pelan tanpa memalingkan wajahnya.
Setelah hampir setengah jam berikutnya, taksi membawa kami masuk ke dalam komplek perumahan yang terlihat mewah. Merasa sudah dekat, Tata menegakkan tubuh, mengambil dompet dan mengeluarkan uang sejumlah argo yang tertera pada layar di dashboard.
“Di sini aja pak…” Ucap Tata ke si supir taksi. Kemudian memberikan ongkos plus tips ke si supir.
Ia membuka pintu lalu turun. Sementara, gua masih duduk diam di dalam, berencana ingin segera pulang dengan taksi ini. Tata membungkuk, menatap gua lalu bertanya; “Kamu nggak turun?”
Gua menggeleng.
“Turun dulu, minum dulu…” Ucapnya.
Ragu, gua membuka pintu penumpang di sisi sebelah kiri, kemudian turun.
Dengan jalannya yang masih sedikit tertatih, Tata mengajak gua masuk ke dalam rumahnya yang besar dan mewah. Gua menatap berkeliling, ke arah dinding rumah yang penuh dengan frame berisi foto-foto keluarga, set sofa berlapis kulit yang terlihat nyaman dan pajangan-pajangan kristal yang berada di dalam rak kaca. Kami terus masuk ke dalam, ke arah ruang keluarga, dimana terdapat sebuah sofa dengan bahan beludru berwarna krem yang menghadap ke arah televisi berukuran besar. Mungkin ini adalah televisi paling besar yang pernah gua lihat seumur hidup.
Tata terus melangkah, melewati dapur bersih, dan akhirnya kami tiba di sebuah pintu geser terbuat dari kaca. Tata membuka pintu, semilir angin langsung menyambut kami. Di balik pintu kaca tersebut terdapat area outdoor dengan sebuah kolam ikan di salah satu sudutnya. Tata duduk di kursi santai dari kayu dan langsung menyandarkan tubuhnya disana. Sementara, gua hanya berdiri sambil terus menatap sekeliling.
“Duduk…” Ucapnya seraya menepuk salah satu kursi santai di sebelahnya.
Gua mengangguk pelan, lalu duduk di kursi tersebut.
“Sepi banget?” Tanya gua, merasa nggak ada tanda-tanda kehidupan lain di rumah yang besar dan mewah ini.
“Nyokap gua lagi keluar kayaknya” Jawabnya singkat.
“Oh…”
“Kamu mau minum apa?” Tanyanya seraya mencoba bangkit.
“Nggak usah” Jawab gua.
Namun, Tata nggak menggubris ucapan gua barusan. Ia tetap berdiri dan sepertinya bersiap untuk mengambil minum. Gua yang nggak sampai hati membiarkan dia kecapean tentu dengan cepat menahannya dengan mengarahkannya kembali untuk duduk.
“Gua ambil sendiri aja. Dimana?” Tanya gua.
Tata lalu menunjuk ke arah dapur yang tadi sempat kami lewati.
Gua berdiri dan menuju ke arah dapur. Tepat di atas meja dapur terdapat sebuah teko kaca transparan berisi air putih dengan beberapa gelas kosong yang diposisikan tengkurap. Gua meraih salah satu gelas, menuang air ke dalam gelas dan meminumnya.
Mata gua lalu tertuju ke tangga yang sepertinya mengarah ke lantai dua. Pada dinding di sisi tangga, terdapat deretan frame berisi foto. Gua mendekat, menaiki anak tangga satu persatu sambil memandang ke arah frame-frame tersebut. Terlihat foto-foto Tata yang tengah berpose. Dari pose dan gayanya, gua bisa dengan mudah menebak kalau foto tersebut dibuat dengan profesional. Beberapa frame lain bahkan terlihat cover sebuah majalah fashion dengan Tata sebagai modelnya.
“Anjir, udah cakep, kaya, model lagi.” Gua menggumam pelan.
Setelah puas melihat-lihat deretan frame foto tersebut, gua kembali ke dapur. Mengisi salah satu gelas dan membawanya ke tempat Tata berada.
“Nih…” Ucap gua seraya menyerahkan gelas berisi air putih kepadanya. Tata yang terlihat tengah berbaring bersandar pada kursi seraya menutupi matanya dengan lengan.
Dengan wajahnya yang masih kelihatan pucat ia bangkit, meraih gelas berisi air yang gua berikan. “Thank you” Ucapnya pelan.
“Emm.. gua abis liat foto-foto lo yang ada di tangga. Lo model?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah dalam ruangan.
Tata nggak langsung menjawab, ia tersenyum sebentar, menenggak habis air putih yang berada dalam gelas kemudian menoleh ke arah gua; “Cuma iseng-iseng aja” Jawabnya.
“Oh…”
—
Bastille - Pompeii
I was left to my own devi-i-i-i-ces
Many days fell away with nothing to show
And the walls kept tumbling down
In the city that we love
Gray clouds roll over the hills
Bringing darkness from above
But if you close your eyes
Does it almost feel like
Nothing changed at all?
And if you close your eyes
Does it almost feel like
You've been here before?
How am I gonna be an optimist about this?
How am I gonna be an optimist about this?
We were caught up and lost in all of our vices
In your pose as the dust settled around us
And the walls kept tumbling down
In the city that we love
Gray clouds roll over the hills
Bringing darkness from above
But if you close your eyes
Does it almost feel like
Nothing changed at all?
And if you close your eyes
Does it almost feel like
You've been here before?
How am I gonna be an optimist about this?
How am I gonna be an optimist about this?
Oh where do we begin?
The rubble or our sins?
Oh oh where do we begin?
The rubble or our sins?
And the walls kept tumbling down (oh where do we begin?)
In the city that we love (the rubble or our sins?)
Gray clouds roll over the hills (oh where do we begin?)
Bringing darkness from above (the rubble or our sins?)
But if you close your eyes
Does it almost feel like
Nothing changed at all?
And if you close your eyes
Does it almost feel like
You've been here before?
How am I gonna be an optimist about this?
How am I gonna be an optimist about this?
If you close your eyes, does it almost feel like nothing changed at all?