- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![kakeksegalatahu](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/09/30/avatar7218841_11.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
buljaw dan 152 lainnya memberi reputasi
153
228.9K
Kutip
3.6K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#895
Part 38 - Filtrum
Spoiler for Part 38 - Filtrum:
Sebuah mobil terparkir tepat di depan rumah Tata. Nyokap Tata menoleh ke arah gua yang duduk bersama Tata di kursi belakang mobil. Ekspresinya menunjukkan kekhawatiran. Gua mencoba menebak ekspresinya barusan, kemudian berpaling ke mobil yang terparkir di depan rumah Tata. Dari jenis dan warna mobilnya, gua bisa dengan mudah menebak kalau mobil tersebut merupakan milik Aris.
Sementara, Tata yang belum mengetahui hal ini tentu saja masih ‘santai’, menyandarkan kepalanya di bahu gua. Namun, itu nggak berlangsung lama. Menyadari kalau kami sudah tiba dan nyokapnya nggak langsung turun dari mobil, Tata menegakkan tubuh dan memandang sekeliling melalui jendela mobil. Dengan cepat ia mengetahui kalau Aris sudah menunggunya di rumah. Tentu saja dari kehadiran mobilnya di depan rumah.
Tata dengan cepat berusaha membuka pintu mobil, ingin cepat keluar.
Nyokapnya dengan cepat kembali mengunci pintu mobil dari sisi pintu pengemudi, lalu memberikan kode ke gua agar menahannya untuk tidak keluar.
Gua dengan cepat meraih lengan Tata, membawanya kembali ke dalam pelukan, mencoba menahannya agar nggak segera keluar. Tata menoleh dan menatap gua. Tatapannya seakan mengatakan; ‘Lepas, aku mau turun’.
Gua menggeleng.
Aris keluar dari pagar, berdiri dan menatap ke arah mobil yang berisi kami bertiga. Sepertinya, ia sudah menyadari kehadiran gua di dalam mobil. Aris mendekat dan mencoba membuka pintu mobil bagian penumpang di sisi Tata.
“Buka bund…” Seru Tata.
Nyokapnya akhirnya menyerah, lalu membuka kunci. Pintu di sisi Tata lalu terbuka. Aris sedikit membungkuk dan langsung menatap sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah gua.
“Ngapain lo?” Tanyanya dengan nada yang cukup tinggi, namun volume suaranya dibuat serendah mungkin. Dari posisi gua, bicaranya terdengar malah seperti menggeram.
Gua nggak menanggapi ucapannya. Sementara, Tata langsung menepis tangan Aris yang masih ditujukan ke arah gua.
“Awas!” Seru Tata sambil memberi tatapan tajam ke Aris.
Sementara gua hanya terdiam, masih bingung dengan apa yang terjadi, tentang hubungan mereka berdua saat ini. Tata lalu turun dari mobil dan mulai mendorong tubuh Aris. Nyokapnya keluar dan turun dari mobil, gua menyusulnya.
Tata dengan dibantu Nyokapnya lalu masuk ke dalam rumah. Sementara gua mengikuti dari belakang. Namun, Aris dengan cepat mengejar gua dan mencegahnya. Melihat adanya perselisihan, beberapa sanak-saudara Tata yang masih berada di dalam rumah lalu menghambur keluar.
Begitu pula dengan Tata. Ia menghentikan langkahnya, kemudian kembali mendekat sambil tertatih-tatih. Dengan sisa-sisa tenaganya ia berteriak; “Aris! Pergi nggak!!”
Aris yang masih mencoba mengintimidasi dengan menarik leher kaos yang gua kenakan langsung berhenti begitu mendengar teriakan dari Tata. Ia menoleh ke arah asal suara. Kesempatan itu gua gunakan untuk melepas cengkraman tangannya di kaos gua dan mendekat ke arah Tata.
Dengan cepat, gua menuntunnya masuk ke dalam rumah. Hingga ke lantai dua, ke dalam kamarnya.
“Kamu disini dulu ya Sal. Jangan turun dan keluar kalo masih ada Aris” Ucap Tata, sambil berbaring di atas ranjang. Gua nggak langsung memberi jawaban, hanya terdiam sambil menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya.
Menyadari gua nggak langsung menjawab, Tata kembali bicara; “... Sal”
“...”
“... Jangan keluar dulu ya” Tambahnya.
Bukannya gua nggak mau menemaninya. Gua cuma nggak mau berada disini terlalu lama bersama seorang perempuan yang statusnya masih kekasih orang. Sementara, kami berdua berada disini, kekasihnya berada di bawah. Jika kondisinya masih seperti sekarang ini, jelas gua lah yang patut dipersalahkan.
Seakan takut kalau gua nggak mengikuti permintaannya, ia langsung meraih tangan gua, mencegah gua keluar dari kamar. Gua menyentuh pelan dahinya, kemudian berbisik di dekat telinganya; “Gapapa Ta, Gapapa…”
“Gua berusaha melepas genggaman tangannya, lalu keluar dari kamar dan bergegas turun ke bawah.
Di lantai bawah, Nyokapnya Tata berusaha menahan gua agar nggak keluar. Ia bahkan menceritakan kronologi bagaimana Tata sangat ingin berpisah dengan Aris. Namun, Aris bersikeras menolaknya. Gua tertegun sejenak, merasa mendapat angin, karena Aris sudah bukan siapa-siapanya Tata.
“Tante sebelumnya sorry kalau saya lancang. Tapi, Tata emang nggak pantes sama dia” Ucap gua sambil menunjuk ke arah luar, dimana masih terdengar samar suaranya memanggil gua.
“Iya, Sal. Tante tau. Thats Why, tante nggak mau kamu keluar”
Gua menggelengkan kepala, kemudian bicara sambil berbisik kepadanya.
Nyokapnya Tata mengangguk pelan, lalu mulai mengikuti gua keluar.
Di teras rumah, Aris masih berteriak-teriak memanggil nama gua. Sementara, beberapa orang sanak-saudara Tata termasuk nyokapnya terlihat mencoba menahan dirinya agar nggak masuk.
Gua berjalan, melewati kerumunan keluar ke arah jalan.
Melihat gua yang mungkin dikiranya ingin kabur. Aris berbalik dan berusaha mengejar. Ia berhasil menggapai lengan gua tepat di depan pagar. Gua berbalik dan menatapnya yang sudah siap mengayunkan tangannya, bersiap memberi pukulan. Beruntung, salah satu pria yang mengenakan peci berwarna merah dengan sigap menahan Aris, sambil sesekali bicara; “Sabar, Ris.. Istigfar”
Sementara gua hanya berdiri diam menatap mereka semua.
Setelah berhasil di tenangkan, Aris, masih sambil menahan nafasnya bicara ke gua; “Lo ngapain kesini?”
Gua nggak menjawab.
“... Jawab njing!” Serunya.
Gua menggeleng, lalu meraih bungkusan rokok dari saku celana, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
“... Lo ngapain kesini?” Tanyanya lagi.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke Aris kemudian dengan perlahan mendekat. Sangat dekat hingga gua mampu merasakan aura kebenciannya yang membara. Dengan suara yang sangat pelan, gua berbisik kepadanya; “Nyokap lo pramuria”
Begitu mendengar bisikan gua barusan, emosinya kembali terbakar. Ia berteriak, memberontak, mencoba melepaskan diri dari tangan si pria berpeci merah. Saat berhasil melepaskan diri, ia langsung menerjang, membuat gua terhimpit pada kap mobil miliknya.
Dengan beringas, ia mulai memukul wajah gua; sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Saat ini, gua bisa saja balas menyerangnya. Hidup di dalam penjara selama 8 tahun, mengajari gua banyak hal, termasuk berkelahi. Walau nggak ada jaminan untuk menang, paling nggak, sedikit banyak gua tau cara berkelahi dengan gaya jalanan. Dan akibat hidup di penjara juga gua mampu bertahan dari keroyokan orang-orang sewaktu dijebak olehnya dulu. Ya, walaupun harus dengan banyak luka dan memar di sekujur tubuh.
Setelah puas memberi pukulan, dengan rasa sakit di bagian rahang kiri dan tulang hidung yang sepertinya patah, gua mencoba bangkit. Memungut puntung rokok yang terjatuh di jalan, dan kembali menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asapnya ke Aris.
Gua meraih kerah kemeja, menariknya mendekat dan kembali berbisik kepadanya; “Bokap lo homo”.
“Anjing!!” Serunya. Lalu kembali menyerang dengan membabi buta.
Satu, dua, tiga pukulannya berhasil mendarat mulus di wajah gua.
Barulah setelah dua serangan yang brutal, orang-orang yang berada di sana mencoba melerai kami. Hal itu terjadi bukan tanpa alasan, kenapa mereka nggak langsung melerai kami; mereka yang sama kesalnya dengan Aris, tentu mau dan senang melihat gua jadi bahan amukan.
Dengan wajah penuh darah, gua menoleh, mencari keberadaan nyokapnya Tata yang kini terlihat di teras rumah, memegang ponselnya di tangan; Merekam semua kejadian barusan.
Gua mengangguk, memberi kode ke nyokapnya Tata agar berhenti merekam. Kemudian melangkah mundur, mengambil kuda-kuda, lalu dengan cepat menendang spion kanan mobil yang terparkir disana; mobil Aris. Gua memutar, ke sisi satunya, kembali melakukan hal yang sama dengan spion sebelah kirinya.
Aris yang tentu saja merasa nggak terima, kembali bersiap menyerang gua. Namun, dengan cepat gua meraih batu berukuran besar dan mengangkatnya ke atas, ingin menghancurkan kaca mobil bagian samping.
“Berani lo sampe mecahin kaca mobil gua. Gua pecahin kepala lo” Ancamnya.
Gua tersenyum sebentar, sebelum akhirnya menghantamkan batu tersebut tepat di jendela bagian samping. ‘Prang’ Kaca mobilnya pecah menjadi serpihan. Gua meraih kembali batu yang sudah berada di jok mobil, dan pindah ke depan, naik ke atas kap; bersiap menghantamkannya lagi; kini ke kaca depan.
“Berani lo sampe…” Belum selesai ia bicara, gua langsung menghantam batu tersebut ke kaca depan. Namun, rupanya, kaca depan mobilnya cukup tebal sehingga hantaman gua nggak sepenuhnya merusak kaca. Gua mengambil kembali batu tersebut dan menghantamnya sekali lagi; ‘Prang’. Kaca depan pecah.
Karena kesulitan mengambil kembali batu yang sudah masuk ke dalam mobil. Gua turun dari kap, mengitari mobil, berusaha mencari batu yang ukurannya cukup besar untuk menghancurkan seluruh jendelanya. Sementara, Aris saat ini terlihat berdiri di depan kerumunan orang-orang, memegangi kepalanya, sepertinya terlihat shock sampai nggak bisa berbuat apa-apa.
Gua meraih sebuah batu yang berukuran kecil, menimbangnya dan kembali meletakkannya; “Terlalu kecil” gumam gua pelan. Lalu pandangan gua beralih ke sepasang batu bata berwarna merah yang berada di bagian bawah pot tanaman. Sepertinya sengaja digunakan sebagai bantalan agar pot tak langsung bersentuhan dengan tanah. Dengan hati-hati, gua mengangkat pot dan memindahkannya, kemudian meraih dua batu bata yang permukaannya masih menyisakan tanah dan membawanya ke sisi mobil yang kaca jendelanya masih utuh.
Melihatnya, Aris menggelengkan kepala sambil berteriak; “Berani lo sampe…”
Belum selesai ia bicara, gua langsung menghantam batu bata tersebut ke kaca samping bagian penumpang; ‘Prang!’
“Anjing!!” Aris berseru, kemudian berlari ke arah gua.
Dengan cepat, gua pasang pose bersiap menghantamkan sisa batu bata di tangan gua. Melihat hal tersebut, Aris melambatkan langkah dan berhenti.
“Sini” Panggil gua seraya melambaikan tangan.
Aris menggeleng.
Tanpa gua sadari, sudah banyak mata yang menatap ke arah kami berdua. Kebanyakan adalah para tetangga yang menonton dari balik pintu rumahnya. Entah karena ngeri atau kalau terlalu dekat takut dimintai bayaran. Kemudian seorang pria datang dengan berlari, ia memperlambat langkahnya begitu mendekat ke gua.
“Tenang Mas, semua bisa di obrolin baik-baik” Ucapnya, seraya menatap wajah gua yang sudah penuh dengan darah.
“...”
“... Saya RT disini” Tambahnya.
Gua menjatuhkan batu, mengibas telapak tangan yang kotor, kemudian menjabat tangannya; “Oh Pak RT…”
Pria tersebut terlihat kaget, lalu bengong.
Barulah setelah beberapa menit, ia bisa mengontrol keadaan. Mengumpulkan kami semua di teras rumah Tata. Aris kebagian memberi penjelasan, sementara gua, Pak RT dan semua orang yang berada di sana bersiap mendengarkan dengan seksama.
“Jadi gini pak… Dia ini, bekas napi. Terus pernah ganggu Tata. Dia datang kesini mau ganggu Tata lagi, makanya saya, cegah duluan…” Jelas si Aris yang lalu diamini oleh sanak-saudara Tata yang berkumpul di sana, kecuali nyokapnya.
Karena Tata nggak berada di sana dan nggak bisa dimintai keterangan, Pak RT berpaling ke Nyokapnya, seakan meminta validasi dari cerita Aris tersebut.
Nyokapnya Tata lalu mendekat, menatap ke arah sanak-saudaranya, berdehem sebentar kemudian mulai bicara; “Bapak-bapak semuanya, sebelumnya saya mohon maaf atas adanya ribut-ribut ini. Jadi, ceritanya anak saya; Tata sejak kemarin sakit, demam tinggi. Tapi, saya dicegah sama paman-pamannya Tata untuk dibawa ke dokter, lebih baik ke orang pinter…”
“...”
“...Saya lalu telpon Marshall” Ucap Nyokapnya Tata, seraya menunjuk ke arah gua.
“Kenapa telepon Marshall. Kenapa nggak telepon aku?” Tanya Aris, sambil berdiri. Nada suaranya terdengar tinggi.
Nyokapnya Tata nggak menggubris pertanyaan dari Aris. Ia tetap melanjutkan penjelasannya; “Saya minta Marshall untuk bantu bawa Tata ke rumah sakit. Karena jujur Pak RT, kalau saya sendirian, suara saya nggak didengar sama paman-pamannya ini..” Nyokap Tata menjelaskan, seraya menunjuk ke arah sanak-saudara Tata yang berdiri di belakang Aris. Sementara, Pak RT mendengarkan sambil manggut-manggut.
“...”
“...Begitu Marshall datang, dia langsung bawa Tata ke rumah sakit. Pas pulang, Aris udah ada di sini, marah-marah dan mukulin Marshall…”
Nyokapnya Tata menambahkan.
“Ah, tapi tadi saya liat, si Mas ini yang justru ngancurin kaca mobil” Jawab Pak RT sambil menunjuk ke arah gua.
Nyokapnya Tata menggeser duduknya, menunjukkan layar ponselnya ke arah Pak RT. Pak RT memundurkan wajahnya, memasang kacamata dan mulai menyimak isi dari video yang direkam oleh Nyokapnya tadi. Video yang menampilkan Aris memulai memukuli gua.
Selesai menonton video, Pak RT melepas kacamatanya kemudian berpaling ke Aris yang kini pasang tampang kebingungan.
“Waduh gimana nih Mas?” Tanya Pak RT ke Aris.
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak RT, Aris langsung gelagapan. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, ke arah salah satu paman Tata, seakan mencoba mencari perlindungan. Salah satu pria berpeci merah yang tadi sempat melerai gua dan Aris, lalu mendekat ke Pak RT dan membisikkan sesuatu.
Setelah mendapat bisikan, Pak RT lalu berpaling ke gua. “Nah, tapi masnya juga salah, kenapa ngancurin properti orang?” Tanya Pak RT sambil menunjuk ke arah mobil Aris yang kini hancur.
Saat gua hendak memberi jawaban, Nyokapnya Tata menyela. Ia bicara; “Untuk urusan mobil, biar nanti saya yang ganti biaya Pak RT.”
Nyokapnya Tata beralih ke Aris, kemudian lanjut bicara; “... Kamu bawa aja ke bengkel, Ris. Nanti Tante yang bayar biaya perbaikannya. Semuanya” Tambahnya.
“Tapi, Tan..” Aris berusaha bicara, namun Nyokapnya Tata keburu kembali bicara ke Pak RT.
“... Untuk pengobatan Marshall biar saya juga yang tanggung. Tapi, saya mau si Aris ini jangan kesini lagi..”
Pak RT melirik ke arah pria berpeci merah, lalu ke nyokapnya Tata kemudian mengangguk. Ia meminta beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen.
Beberapa menit berikutnya, Pak RT sudah selesai menulis sebuah surat perjanjian sederhana yang isinya kurang lebih menyatakan kalau Aris nggak bakal datang kesini lagi tanpa izin tertulis dari Tata atau nyokapnya, juga harus memberi laporan ke Pak RT. Dan lembar berikutnya berisi pernyataan tertulis kalau Gua; Marshall nggak bakal mengajukan laporan atau tuntutan atas pemukulan yang terjadi. Begitu pula dengan Aris, yang nggak bakal mengajukan tuntutan atas pengrusakan properti milikinya.
Setelah menempelkan materai yang baru saja diambil oleh nyokapnya Tata dari dalam rumah, Pak RT menggeser lembaran kertas tersebut ke arah Aris.
Sebelum membubuhkan tanda tangan, Aris sempat menatap nyokapnya Tata kemudian bicara; “Ini nggak adil Tan, kenapa cuma aku yang nggak dibolehin kesini? Kenapa dia boleh?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah gua.
Nyokapnya Tata nggak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Aris menandatangani surat perjanjian tersebut, kemudian mengembalikannya ke Pak RT. “Ok, ini suratnya saya terima, nanti habis ini saya copy, copy-nya saya kasih ke Ibu ya. Aslinya saya pegang” Ucap Pak RT.
Aris berdiri dan pergi.
—
Setelah semuanya mereda, Nyokapnya Tata memaksa gua untuk masuk ke dalam. Gua duduk di kursi meja makan, sementara nyokapnya Tata mulai membersihkan luka dan sisa darah di wajah gua yang mulai mengering.
“Kayaknya harus ke dokter deh, Marshall” Ucap Nyokapnya Tata, begitu melihat luka di hidung gua yang sepertinya patah.
Gua menggeleng, merasa gua bisa meluruskan kembali tulang hidung yang patah. Karena ini bukan untuk pertama kalinya gua mengalami patah hidung. Barulah setelah nyokapnya Tata selesai dengan luka dan sisa darah di wajah, gua permisi ke kamar mandi.
“Punya sumpit tan?” Tanya gua sebelum ke kamar mandi.
“Hah, sumpit. Ada, buat apa?” Ia balik bertanya. Namun tetap mengambilkan sepasang sumpit ke gua.
Di kamar mandi, di depan cermin, dengan menggunakan ujung sumpit, gua memasukkannya ke lubang hidung, menahannya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan gua mulai mencari titik yang tepat di sekitar tulang hidung, lalu mulai memberikan tekanan ke arah berlawanan dari titik patah.
Terdengar suara kretek pelan. Gua mengepalkan tangan sambil mencoba menahan teriakan, tapi rasa sakit yang luar biasa terus memaksa otak untuk berteriak sekencang mungkin. Akhirnya, gua berteriak.
Begitu keluar dari kamar mandi, Nyokapnya Tata dan salah satu asisten rumah tangga-nya sudah berdiri tepat di depan kamar mandi. Saat melihat mata gua yang berair akibat menahan rasa sakit, Nyokapnya Tata bertanya; “Kamu nangis, Sal?”
Gua menggeleng.
“Ngelurusin hidung” Jawab gua singkat.
Ia lalu meraih dagu gua, memicingkan mata dan menggeleng. “Kamu lurusin sendiri?” Tanyanya lagi, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
“Pake?”
Gua mengangkat batang sumpit ke atas.
—
Selesai dengan luka dan hidung yang patah, gua bersiap untuk pulang. Namun, sepertinya dengan kondisi saat ini; wajah luka, baju koyak dan penuh darah, tentu saja gua bakal jadi bahan tontonan orang kalau naik kendaraan umum.
Gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Ketu untuk minta di jemput. Tapi, setelah beberapa kali mencoba, panggilan gua nggak kunjung dijawab.
“Ayo tante anter aja, Sal” Nyokapnya Tata memberi penawaran.
“Nggak usah Tan, makasih” Gua menolak dengan sopan, nggak ingin merepotkannya.
“Terus mau naik apa?” Tanyanya.
“Naik kereta” Jawab gua.
“Yaudah ayo tante antar ke stasiun” Tawarnya lagi.
“Nggak usah, Tan, saya pesen ojek online aja”
“Oh.. Yaudah. Eh, tapi pamit dulu gih ke Tata” Pintanya.
Gua mengangguk dan naik ke atas.
Posisi pintu kamar Tata masih dalam keadaan seperti gua pergi, setengah terbuka. Gua mengetuk pelan, kemudian masuk dengan perlahan. Tata terlihat sedang terlelap, mungkin akibat obat yang dikonsumsinya, yang efeknya bikin orang teler.
Gua berlutut di lantai, membuat posisi kami berdua sejajar.
“Ta, gua balik ya…” Gua berbisik tepat di sisi telinganya.
Begitu mendengar suara gua, matanya terbuka, ia lalu menoleh. Gua dengan cepat berdiri dan berbalik. Nggak mau Tata melihat kondisi gua saat ini.
“Iya..” Jawabnya lirih.
Gua melangkah keluar dari kamar. Lalu terdengar samar ia memanggil nama gua; “Sal…”
Gua menghentikan langkah tepat di ambang pintu.
“... Filtrum, nama lekukan vertikal di antara hidung dan mulut”
“...”
“... Penyebab ledakan kambrium 5 abad yang lalu. Sebenernya bukan benar-benar ledakan, itu cuma istilah untuk sebuah fase. Fase Paleozoikum atau era di mana kehidupan kompleks mulai terbentuk secara utuh dan sempurna” Tambahnya dengan suara yang pelan dan lirih namun terdengar solid.
Gua tertegun. Ia bahkan masih ingat pertanyaan-pertanyaan absurd yang dulu sempat gua ajukan semasa kami bersama. Gua tersenyum sebentar, kemudian pergi.
Dengan ojek online gua menuju ke stasiun Pondok Ranji. Nyokapnya Tata sempat meminjami gua sebuah jaket untuk menutupi kaos yang penuh darah. Sebelumnya, ia menawarkan untuk menggunakan kaos milik almarhum bokapnya Tata, tapi gua menolak.
Gua berdiri di peron stasiun, menunggu kereta yang bakal membawa gua ke stasiun Cisauk. Terdengar jeritan klakson kereta listrik barang dari arah rangkas bitung, disusul deretan gerbong-gerbong kereta melaju melintasi stasiun. Angin menerpa jaket yang gua kenakan, membuat hoodie yang menutup kepala turun.
Sesaat setelah gerbong terakhir melintas, sosok perempuan terlihat berdiri di seberang rel; di peron sebelah. Kami berdua saling menatap dalam diam, diiringi suara pengumuman kedatangan kereta melalui pengeras suara stasiun.
—
Sementara, Tata yang belum mengetahui hal ini tentu saja masih ‘santai’, menyandarkan kepalanya di bahu gua. Namun, itu nggak berlangsung lama. Menyadari kalau kami sudah tiba dan nyokapnya nggak langsung turun dari mobil, Tata menegakkan tubuh dan memandang sekeliling melalui jendela mobil. Dengan cepat ia mengetahui kalau Aris sudah menunggunya di rumah. Tentu saja dari kehadiran mobilnya di depan rumah.
Tata dengan cepat berusaha membuka pintu mobil, ingin cepat keluar.
Nyokapnya dengan cepat kembali mengunci pintu mobil dari sisi pintu pengemudi, lalu memberikan kode ke gua agar menahannya untuk tidak keluar.
Gua dengan cepat meraih lengan Tata, membawanya kembali ke dalam pelukan, mencoba menahannya agar nggak segera keluar. Tata menoleh dan menatap gua. Tatapannya seakan mengatakan; ‘Lepas, aku mau turun’.
Gua menggeleng.
Aris keluar dari pagar, berdiri dan menatap ke arah mobil yang berisi kami bertiga. Sepertinya, ia sudah menyadari kehadiran gua di dalam mobil. Aris mendekat dan mencoba membuka pintu mobil bagian penumpang di sisi Tata.
“Buka bund…” Seru Tata.
Nyokapnya akhirnya menyerah, lalu membuka kunci. Pintu di sisi Tata lalu terbuka. Aris sedikit membungkuk dan langsung menatap sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah gua.
“Ngapain lo?” Tanyanya dengan nada yang cukup tinggi, namun volume suaranya dibuat serendah mungkin. Dari posisi gua, bicaranya terdengar malah seperti menggeram.
Gua nggak menanggapi ucapannya. Sementara, Tata langsung menepis tangan Aris yang masih ditujukan ke arah gua.
“Awas!” Seru Tata sambil memberi tatapan tajam ke Aris.
Sementara gua hanya terdiam, masih bingung dengan apa yang terjadi, tentang hubungan mereka berdua saat ini. Tata lalu turun dari mobil dan mulai mendorong tubuh Aris. Nyokapnya keluar dan turun dari mobil, gua menyusulnya.
Tata dengan dibantu Nyokapnya lalu masuk ke dalam rumah. Sementara gua mengikuti dari belakang. Namun, Aris dengan cepat mengejar gua dan mencegahnya. Melihat adanya perselisihan, beberapa sanak-saudara Tata yang masih berada di dalam rumah lalu menghambur keluar.
Begitu pula dengan Tata. Ia menghentikan langkahnya, kemudian kembali mendekat sambil tertatih-tatih. Dengan sisa-sisa tenaganya ia berteriak; “Aris! Pergi nggak!!”
Aris yang masih mencoba mengintimidasi dengan menarik leher kaos yang gua kenakan langsung berhenti begitu mendengar teriakan dari Tata. Ia menoleh ke arah asal suara. Kesempatan itu gua gunakan untuk melepas cengkraman tangannya di kaos gua dan mendekat ke arah Tata.
Dengan cepat, gua menuntunnya masuk ke dalam rumah. Hingga ke lantai dua, ke dalam kamarnya.
“Kamu disini dulu ya Sal. Jangan turun dan keluar kalo masih ada Aris” Ucap Tata, sambil berbaring di atas ranjang. Gua nggak langsung memberi jawaban, hanya terdiam sambil menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya.
Menyadari gua nggak langsung menjawab, Tata kembali bicara; “... Sal”
“...”
“... Jangan keluar dulu ya” Tambahnya.
Bukannya gua nggak mau menemaninya. Gua cuma nggak mau berada disini terlalu lama bersama seorang perempuan yang statusnya masih kekasih orang. Sementara, kami berdua berada disini, kekasihnya berada di bawah. Jika kondisinya masih seperti sekarang ini, jelas gua lah yang patut dipersalahkan.
Seakan takut kalau gua nggak mengikuti permintaannya, ia langsung meraih tangan gua, mencegah gua keluar dari kamar. Gua menyentuh pelan dahinya, kemudian berbisik di dekat telinganya; “Gapapa Ta, Gapapa…”
“Gua berusaha melepas genggaman tangannya, lalu keluar dari kamar dan bergegas turun ke bawah.
Di lantai bawah, Nyokapnya Tata berusaha menahan gua agar nggak keluar. Ia bahkan menceritakan kronologi bagaimana Tata sangat ingin berpisah dengan Aris. Namun, Aris bersikeras menolaknya. Gua tertegun sejenak, merasa mendapat angin, karena Aris sudah bukan siapa-siapanya Tata.
“Tante sebelumnya sorry kalau saya lancang. Tapi, Tata emang nggak pantes sama dia” Ucap gua sambil menunjuk ke arah luar, dimana masih terdengar samar suaranya memanggil gua.
“Iya, Sal. Tante tau. Thats Why, tante nggak mau kamu keluar”
Gua menggelengkan kepala, kemudian bicara sambil berbisik kepadanya.
Nyokapnya Tata mengangguk pelan, lalu mulai mengikuti gua keluar.
Di teras rumah, Aris masih berteriak-teriak memanggil nama gua. Sementara, beberapa orang sanak-saudara Tata termasuk nyokapnya terlihat mencoba menahan dirinya agar nggak masuk.
Gua berjalan, melewati kerumunan keluar ke arah jalan.
Melihat gua yang mungkin dikiranya ingin kabur. Aris berbalik dan berusaha mengejar. Ia berhasil menggapai lengan gua tepat di depan pagar. Gua berbalik dan menatapnya yang sudah siap mengayunkan tangannya, bersiap memberi pukulan. Beruntung, salah satu pria yang mengenakan peci berwarna merah dengan sigap menahan Aris, sambil sesekali bicara; “Sabar, Ris.. Istigfar”
Sementara gua hanya berdiri diam menatap mereka semua.
Setelah berhasil di tenangkan, Aris, masih sambil menahan nafasnya bicara ke gua; “Lo ngapain kesini?”
Gua nggak menjawab.
“... Jawab njing!” Serunya.
Gua menggeleng, lalu meraih bungkusan rokok dari saku celana, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya.
“... Lo ngapain kesini?” Tanyanya lagi.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke Aris kemudian dengan perlahan mendekat. Sangat dekat hingga gua mampu merasakan aura kebenciannya yang membara. Dengan suara yang sangat pelan, gua berbisik kepadanya; “Nyokap lo pramuria”
Begitu mendengar bisikan gua barusan, emosinya kembali terbakar. Ia berteriak, memberontak, mencoba melepaskan diri dari tangan si pria berpeci merah. Saat berhasil melepaskan diri, ia langsung menerjang, membuat gua terhimpit pada kap mobil miliknya.
Dengan beringas, ia mulai memukul wajah gua; sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Saat ini, gua bisa saja balas menyerangnya. Hidup di dalam penjara selama 8 tahun, mengajari gua banyak hal, termasuk berkelahi. Walau nggak ada jaminan untuk menang, paling nggak, sedikit banyak gua tau cara berkelahi dengan gaya jalanan. Dan akibat hidup di penjara juga gua mampu bertahan dari keroyokan orang-orang sewaktu dijebak olehnya dulu. Ya, walaupun harus dengan banyak luka dan memar di sekujur tubuh.
Setelah puas memberi pukulan, dengan rasa sakit di bagian rahang kiri dan tulang hidung yang sepertinya patah, gua mencoba bangkit. Memungut puntung rokok yang terjatuh di jalan, dan kembali menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asapnya ke Aris.
Gua meraih kerah kemeja, menariknya mendekat dan kembali berbisik kepadanya; “Bokap lo homo”.
“Anjing!!” Serunya. Lalu kembali menyerang dengan membabi buta.
Satu, dua, tiga pukulannya berhasil mendarat mulus di wajah gua.
Barulah setelah dua serangan yang brutal, orang-orang yang berada di sana mencoba melerai kami. Hal itu terjadi bukan tanpa alasan, kenapa mereka nggak langsung melerai kami; mereka yang sama kesalnya dengan Aris, tentu mau dan senang melihat gua jadi bahan amukan.
Dengan wajah penuh darah, gua menoleh, mencari keberadaan nyokapnya Tata yang kini terlihat di teras rumah, memegang ponselnya di tangan; Merekam semua kejadian barusan.
Gua mengangguk, memberi kode ke nyokapnya Tata agar berhenti merekam. Kemudian melangkah mundur, mengambil kuda-kuda, lalu dengan cepat menendang spion kanan mobil yang terparkir disana; mobil Aris. Gua memutar, ke sisi satunya, kembali melakukan hal yang sama dengan spion sebelah kirinya.
Aris yang tentu saja merasa nggak terima, kembali bersiap menyerang gua. Namun, dengan cepat gua meraih batu berukuran besar dan mengangkatnya ke atas, ingin menghancurkan kaca mobil bagian samping.
“Berani lo sampe mecahin kaca mobil gua. Gua pecahin kepala lo” Ancamnya.
Gua tersenyum sebentar, sebelum akhirnya menghantamkan batu tersebut tepat di jendela bagian samping. ‘Prang’ Kaca mobilnya pecah menjadi serpihan. Gua meraih kembali batu yang sudah berada di jok mobil, dan pindah ke depan, naik ke atas kap; bersiap menghantamkannya lagi; kini ke kaca depan.
“Berani lo sampe…” Belum selesai ia bicara, gua langsung menghantam batu tersebut ke kaca depan. Namun, rupanya, kaca depan mobilnya cukup tebal sehingga hantaman gua nggak sepenuhnya merusak kaca. Gua mengambil kembali batu tersebut dan menghantamnya sekali lagi; ‘Prang’. Kaca depan pecah.
Karena kesulitan mengambil kembali batu yang sudah masuk ke dalam mobil. Gua turun dari kap, mengitari mobil, berusaha mencari batu yang ukurannya cukup besar untuk menghancurkan seluruh jendelanya. Sementara, Aris saat ini terlihat berdiri di depan kerumunan orang-orang, memegangi kepalanya, sepertinya terlihat shock sampai nggak bisa berbuat apa-apa.
Gua meraih sebuah batu yang berukuran kecil, menimbangnya dan kembali meletakkannya; “Terlalu kecil” gumam gua pelan. Lalu pandangan gua beralih ke sepasang batu bata berwarna merah yang berada di bagian bawah pot tanaman. Sepertinya sengaja digunakan sebagai bantalan agar pot tak langsung bersentuhan dengan tanah. Dengan hati-hati, gua mengangkat pot dan memindahkannya, kemudian meraih dua batu bata yang permukaannya masih menyisakan tanah dan membawanya ke sisi mobil yang kaca jendelanya masih utuh.
Melihatnya, Aris menggelengkan kepala sambil berteriak; “Berani lo sampe…”
Belum selesai ia bicara, gua langsung menghantam batu bata tersebut ke kaca samping bagian penumpang; ‘Prang!’
“Anjing!!” Aris berseru, kemudian berlari ke arah gua.
Dengan cepat, gua pasang pose bersiap menghantamkan sisa batu bata di tangan gua. Melihat hal tersebut, Aris melambatkan langkah dan berhenti.
“Sini” Panggil gua seraya melambaikan tangan.
Aris menggeleng.
Tanpa gua sadari, sudah banyak mata yang menatap ke arah kami berdua. Kebanyakan adalah para tetangga yang menonton dari balik pintu rumahnya. Entah karena ngeri atau kalau terlalu dekat takut dimintai bayaran. Kemudian seorang pria datang dengan berlari, ia memperlambat langkahnya begitu mendekat ke gua.
“Tenang Mas, semua bisa di obrolin baik-baik” Ucapnya, seraya menatap wajah gua yang sudah penuh dengan darah.
“...”
“... Saya RT disini” Tambahnya.
Gua menjatuhkan batu, mengibas telapak tangan yang kotor, kemudian menjabat tangannya; “Oh Pak RT…”
Pria tersebut terlihat kaget, lalu bengong.
Barulah setelah beberapa menit, ia bisa mengontrol keadaan. Mengumpulkan kami semua di teras rumah Tata. Aris kebagian memberi penjelasan, sementara gua, Pak RT dan semua orang yang berada di sana bersiap mendengarkan dengan seksama.
“Jadi gini pak… Dia ini, bekas napi. Terus pernah ganggu Tata. Dia datang kesini mau ganggu Tata lagi, makanya saya, cegah duluan…” Jelas si Aris yang lalu diamini oleh sanak-saudara Tata yang berkumpul di sana, kecuali nyokapnya.
Karena Tata nggak berada di sana dan nggak bisa dimintai keterangan, Pak RT berpaling ke Nyokapnya, seakan meminta validasi dari cerita Aris tersebut.
Nyokapnya Tata lalu mendekat, menatap ke arah sanak-saudaranya, berdehem sebentar kemudian mulai bicara; “Bapak-bapak semuanya, sebelumnya saya mohon maaf atas adanya ribut-ribut ini. Jadi, ceritanya anak saya; Tata sejak kemarin sakit, demam tinggi. Tapi, saya dicegah sama paman-pamannya Tata untuk dibawa ke dokter, lebih baik ke orang pinter…”
“...”
“...Saya lalu telpon Marshall” Ucap Nyokapnya Tata, seraya menunjuk ke arah gua.
“Kenapa telepon Marshall. Kenapa nggak telepon aku?” Tanya Aris, sambil berdiri. Nada suaranya terdengar tinggi.
Nyokapnya Tata nggak menggubris pertanyaan dari Aris. Ia tetap melanjutkan penjelasannya; “Saya minta Marshall untuk bantu bawa Tata ke rumah sakit. Karena jujur Pak RT, kalau saya sendirian, suara saya nggak didengar sama paman-pamannya ini..” Nyokap Tata menjelaskan, seraya menunjuk ke arah sanak-saudara Tata yang berdiri di belakang Aris. Sementara, Pak RT mendengarkan sambil manggut-manggut.
“...”
“...Begitu Marshall datang, dia langsung bawa Tata ke rumah sakit. Pas pulang, Aris udah ada di sini, marah-marah dan mukulin Marshall…”
Nyokapnya Tata menambahkan.
“Ah, tapi tadi saya liat, si Mas ini yang justru ngancurin kaca mobil” Jawab Pak RT sambil menunjuk ke arah gua.
Nyokapnya Tata menggeser duduknya, menunjukkan layar ponselnya ke arah Pak RT. Pak RT memundurkan wajahnya, memasang kacamata dan mulai menyimak isi dari video yang direkam oleh Nyokapnya tadi. Video yang menampilkan Aris memulai memukuli gua.
Selesai menonton video, Pak RT melepas kacamatanya kemudian berpaling ke Aris yang kini pasang tampang kebingungan.
“Waduh gimana nih Mas?” Tanya Pak RT ke Aris.
Mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak RT, Aris langsung gelagapan. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, ke arah salah satu paman Tata, seakan mencoba mencari perlindungan. Salah satu pria berpeci merah yang tadi sempat melerai gua dan Aris, lalu mendekat ke Pak RT dan membisikkan sesuatu.
Setelah mendapat bisikan, Pak RT lalu berpaling ke gua. “Nah, tapi masnya juga salah, kenapa ngancurin properti orang?” Tanya Pak RT sambil menunjuk ke arah mobil Aris yang kini hancur.
Saat gua hendak memberi jawaban, Nyokapnya Tata menyela. Ia bicara; “Untuk urusan mobil, biar nanti saya yang ganti biaya Pak RT.”
Nyokapnya Tata beralih ke Aris, kemudian lanjut bicara; “... Kamu bawa aja ke bengkel, Ris. Nanti Tante yang bayar biaya perbaikannya. Semuanya” Tambahnya.
“Tapi, Tan..” Aris berusaha bicara, namun Nyokapnya Tata keburu kembali bicara ke Pak RT.
“... Untuk pengobatan Marshall biar saya juga yang tanggung. Tapi, saya mau si Aris ini jangan kesini lagi..”
Pak RT melirik ke arah pria berpeci merah, lalu ke nyokapnya Tata kemudian mengangguk. Ia meminta beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen.
Beberapa menit berikutnya, Pak RT sudah selesai menulis sebuah surat perjanjian sederhana yang isinya kurang lebih menyatakan kalau Aris nggak bakal datang kesini lagi tanpa izin tertulis dari Tata atau nyokapnya, juga harus memberi laporan ke Pak RT. Dan lembar berikutnya berisi pernyataan tertulis kalau Gua; Marshall nggak bakal mengajukan laporan atau tuntutan atas pemukulan yang terjadi. Begitu pula dengan Aris, yang nggak bakal mengajukan tuntutan atas pengrusakan properti milikinya.
Setelah menempelkan materai yang baru saja diambil oleh nyokapnya Tata dari dalam rumah, Pak RT menggeser lembaran kertas tersebut ke arah Aris.
Sebelum membubuhkan tanda tangan, Aris sempat menatap nyokapnya Tata kemudian bicara; “Ini nggak adil Tan, kenapa cuma aku yang nggak dibolehin kesini? Kenapa dia boleh?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah gua.
Nyokapnya Tata nggak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Aris menandatangani surat perjanjian tersebut, kemudian mengembalikannya ke Pak RT. “Ok, ini suratnya saya terima, nanti habis ini saya copy, copy-nya saya kasih ke Ibu ya. Aslinya saya pegang” Ucap Pak RT.
Aris berdiri dan pergi.
—
Setelah semuanya mereda, Nyokapnya Tata memaksa gua untuk masuk ke dalam. Gua duduk di kursi meja makan, sementara nyokapnya Tata mulai membersihkan luka dan sisa darah di wajah gua yang mulai mengering.
“Kayaknya harus ke dokter deh, Marshall” Ucap Nyokapnya Tata, begitu melihat luka di hidung gua yang sepertinya patah.
Gua menggeleng, merasa gua bisa meluruskan kembali tulang hidung yang patah. Karena ini bukan untuk pertama kalinya gua mengalami patah hidung. Barulah setelah nyokapnya Tata selesai dengan luka dan sisa darah di wajah, gua permisi ke kamar mandi.
“Punya sumpit tan?” Tanya gua sebelum ke kamar mandi.
“Hah, sumpit. Ada, buat apa?” Ia balik bertanya. Namun tetap mengambilkan sepasang sumpit ke gua.
Di kamar mandi, di depan cermin, dengan menggunakan ujung sumpit, gua memasukkannya ke lubang hidung, menahannya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan gua mulai mencari titik yang tepat di sekitar tulang hidung, lalu mulai memberikan tekanan ke arah berlawanan dari titik patah.
Terdengar suara kretek pelan. Gua mengepalkan tangan sambil mencoba menahan teriakan, tapi rasa sakit yang luar biasa terus memaksa otak untuk berteriak sekencang mungkin. Akhirnya, gua berteriak.
Begitu keluar dari kamar mandi, Nyokapnya Tata dan salah satu asisten rumah tangga-nya sudah berdiri tepat di depan kamar mandi. Saat melihat mata gua yang berair akibat menahan rasa sakit, Nyokapnya Tata bertanya; “Kamu nangis, Sal?”
Gua menggeleng.
“Ngelurusin hidung” Jawab gua singkat.
Ia lalu meraih dagu gua, memicingkan mata dan menggeleng. “Kamu lurusin sendiri?” Tanyanya lagi, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
“Pake?”
Gua mengangkat batang sumpit ke atas.
—
Selesai dengan luka dan hidung yang patah, gua bersiap untuk pulang. Namun, sepertinya dengan kondisi saat ini; wajah luka, baju koyak dan penuh darah, tentu saja gua bakal jadi bahan tontonan orang kalau naik kendaraan umum.
Gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Ketu untuk minta di jemput. Tapi, setelah beberapa kali mencoba, panggilan gua nggak kunjung dijawab.
“Ayo tante anter aja, Sal” Nyokapnya Tata memberi penawaran.
“Nggak usah Tan, makasih” Gua menolak dengan sopan, nggak ingin merepotkannya.
“Terus mau naik apa?” Tanyanya.
“Naik kereta” Jawab gua.
“Yaudah ayo tante antar ke stasiun” Tawarnya lagi.
“Nggak usah, Tan, saya pesen ojek online aja”
“Oh.. Yaudah. Eh, tapi pamit dulu gih ke Tata” Pintanya.
Gua mengangguk dan naik ke atas.
Posisi pintu kamar Tata masih dalam keadaan seperti gua pergi, setengah terbuka. Gua mengetuk pelan, kemudian masuk dengan perlahan. Tata terlihat sedang terlelap, mungkin akibat obat yang dikonsumsinya, yang efeknya bikin orang teler.
Gua berlutut di lantai, membuat posisi kami berdua sejajar.
“Ta, gua balik ya…” Gua berbisik tepat di sisi telinganya.
Begitu mendengar suara gua, matanya terbuka, ia lalu menoleh. Gua dengan cepat berdiri dan berbalik. Nggak mau Tata melihat kondisi gua saat ini.
“Iya..” Jawabnya lirih.
Gua melangkah keluar dari kamar. Lalu terdengar samar ia memanggil nama gua; “Sal…”
Gua menghentikan langkah tepat di ambang pintu.
“... Filtrum, nama lekukan vertikal di antara hidung dan mulut”
“...”
“... Penyebab ledakan kambrium 5 abad yang lalu. Sebenernya bukan benar-benar ledakan, itu cuma istilah untuk sebuah fase. Fase Paleozoikum atau era di mana kehidupan kompleks mulai terbentuk secara utuh dan sempurna” Tambahnya dengan suara yang pelan dan lirih namun terdengar solid.
Gua tertegun. Ia bahkan masih ingat pertanyaan-pertanyaan absurd yang dulu sempat gua ajukan semasa kami bersama. Gua tersenyum sebentar, kemudian pergi.
Dengan ojek online gua menuju ke stasiun Pondok Ranji. Nyokapnya Tata sempat meminjami gua sebuah jaket untuk menutupi kaos yang penuh darah. Sebelumnya, ia menawarkan untuk menggunakan kaos milik almarhum bokapnya Tata, tapi gua menolak.
Gua berdiri di peron stasiun, menunggu kereta yang bakal membawa gua ke stasiun Cisauk. Terdengar jeritan klakson kereta listrik barang dari arah rangkas bitung, disusul deretan gerbong-gerbong kereta melaju melintasi stasiun. Angin menerpa jaket yang gua kenakan, membuat hoodie yang menutup kepala turun.
Sesaat setelah gerbong terakhir melintas, sosok perempuan terlihat berdiri di seberang rel; di peron sebelah. Kami berdua saling menatap dalam diam, diiringi suara pengumuman kedatangan kereta melalui pengeras suara stasiun.
—
![](https://img.youtube.com/vi/sU1f3BI7Ruc/0.jpg)
Jamrud - Nekad
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
![mmuji1575](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/10/16/avatar10724019_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
pavidean dan 44 lainnya memberi reputasi
45
Kutip
Balas
Tutup