Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
“Oh… Nunggu lo” Gua menjawab, tentu saja berbohong. Kemudian berdiri dan kembali ke rumah. Ketu menaiki sepeda motor dan mengajak gua; “Ayo naik”
“Nggak usah, gua jalan aja, deket doang” Jawab gua sambil terus berjalan. Sementara, Ketu langsung tancap gas dengan sepeda motornya menuju ke rumah.
Ketu terlihat sudah berdiri sambil menunjuk ke arah plastik berisi belanjaan yang tadi sempat gua dan Tata beli di minimarket. Belanjaan yang sepertinya masih utuh, karena gua hanya mengeluarkan botol air mineral dan rokok dari dalam plastik.
“Abis ada tamu?” Tanyanya.
“Nggak” Gua menjawab singkat, kemudian membereskan plastik tersebut.
“Terus ini punya siapa?” Tanyanya lagi, kini ia sudah berada di depan meja kerja gua dan memegang sebuah jepit rambut plastik berwarna hitam.
Gua merebut jepit rambut berwarna hitam tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dan memberi jawaban; “Punya gua”.
“Buat apaan?” Tanyanya lagi, kini ekspresi wajahnya terlihat penuh kecurigaan.
“Buat nanti gua gambar” Gua memberi alasan yang paling masuk akal. Lalu masuk ke dalam kamar, menyimpan jepit rambut hitam tersebut di dalam tas. Kemudian kembali keluar.
Ketu duduk di kursi, sementara gua duduk di lantai bersandar di dinding. Ia lalu mulai bercerita tentang pengalamannya di tempat pameran tadi. Menurut cerita Ketu, ia sempat diwawancara oleh beberapa media tentang konsep karya yang tampil di pameran.
“Terus lo bisa jawab?” Tanya gua.
“Bisa lah… Tenang” Jawabnya.
“Nggak bawa-bawa nama gua kan?” Tanya gua lagi.
“Nggak tenang aja. Aku pas ditanya-tanya tetep bilang kalau untuk publikasi pake nama M2150…” Jawabnya.
“Oh..”
“Terus tadi ada beberapa orang yang mau beli salah satu karyamu. Tapi, sesuai yang kamu pesen, karya itu nggak dijual satuan. Bener kan? Tanyanya.
“Iya. Lagian lo harusnya nggak usah jawab yang kayak gitu. Kan gua udah pernah bilang ke pihak panitia juga, kalo itu nggak dijual satuan”
“Emang kenapa sih, Sal? Kan lumayan kalo laku salah satu?” Tanyanya lagi.
“Ya emang itu gua bikin satu set, jadi satu kesatuan. Kalo ilang satu, udah nggak jadi karya yang utuh lagi…”
“Kalo ada yang mau beli semuanya, satu set. Gimana?”
“Ya gapapa” Gua menjawab santai. Pesimis dengan hal tersebut. ‘Siapa pula yang mau beli karya dari artis medioker kayak gua. Apalagi, gua sengaja pasang harga ‘buang’ yang setinggi langit, dengan maksud agar nggak ada yang membelinya. Dan bakal gua simpan sendiri sebagai kenang-kenangan.
“Ok, berarti kalo ada yang mau beli satu set langsung lepas ya?” Tanyanya lagi untuk terakhir kalinya, mencoba memastikan.
“Iya Tu…” Jawab gua, lalu masuk ke dalam kamar.
Malamnya, saat tengah berbaring di atas kasur yang tanpa ranjang. Ponsel gua berdering. Gua bangkit, melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas kardus besar. Kardus yang selama ini gua fungsikan sebagai pengganti meja di sisi tempat tidur. Layar ponsel menampilkan nama Tata. Gua mengabaikan panggilannya, lalu kembali berbaring. Namun, setelah sempat berhenti, ponsel gua kembali berdering. Gua meraba permukaan kardus dan meraih ponsel dan menjawabnya.
“Halo…”
“Halo, Sal…” Terdengar suaranya di ujung sana.
“Ya…” Gua merespon singkat.
Lalu tak terdengar lagi suaranya. Kami berdua sama-sama nggak bicara, hanya terdiam. Yang terdengar hanya deru nafas kami berdua. Dan disisa panggilan, kami sama-sama tak bicara, hanya saling terdiam, sampai salah satu dari kami terlelap.
Besok paginya, terdengar ketukan membabi buta pada pintu kamar diselingi dengan suara Ketu memanggil-manggil nama gua.
Gua buru-buru bangkit, dan membuka pintu, khawatir ada hal gawat yang terjadi. Begitu pintu terbuka, terlihat Ketu tengah berdiri sambil memegang ponsel. Ia lalu menunjukkan layar ponselnya ke arah gua, layar yang menunjukkan sebuah email yang berisi surat penawaran harga untuk satu set lukisan gua yang saat ini masih bertengger di pameran.
“Kan kemarin gua udah bilang, Tu. Kalo ada yang mau beli satu set kasih aja” Ucap gua ke Ketu sambil mencoba menutup pintu kamar, ingin kembali tidur sejenak.
Namun, Ketu dengan cepat menahan pintu, dan kembali menunjukkan layar ponselnya. Kali ini ia menunjuk ke bagian bawah email yang berisi rincian harga yang harus dibayar si calon pembeli. Gua menyipitkan mata dan menatap ke arah deretan nominal yang tertera, kemudian menghitung barisan angka tersebut, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh.
“Hah… Serius Tu?” Tanya gua, saat menyadari kalau satu set karya gua dihargai senilai puluhan juta rupiah. Padahal, saat gua memasang harga senilai 9 juta rupiah saja sudah terbilang nggak masuk akal.
“Serius! Bisa kaya ini kita Sal, bisa kaya kita, hahaha” Seru Ketu, kemudian mundur beberapa langkah dan mulai menari.
Gua merebut ponsel dari tangannya dan mulai mengecek detail pembelian. Di sana tertera nama si calon pembeli yang namanya terdengar nggak begitu asing. Gua beralih ke menu browser, mengetik nama calon pembeli dan melakukan pencarian. Detik berikutnya, layar browser berubah, kini menampilkan hasil pencarian.
—
“Buset!” Gua menggumam pelan saat mengetahui sosok yang membeli hasil karya gua.
Melihat keterkejutan gua, Ketu berhenti menari dan mendekat, ia lalu melirik ke arah hasil pencarian pada browser ponsel dan terdiam sebentar. “Kenapa dia?” Tanyanya, seraya menunjuk ke sosok pria yang mengenakan jas; foto si calon pembeli yang berada di layar ponsel.
“Yang mau beli karya gua” Gua menjawab.
“Hah!!! Tenanan Sal?” Tanyanya.
Gua menoleh ke arahnya.
“Lah, emang tadi lo nggak ngecek?” Tanya gua.
“Nggak. Lha wong baru ngeliat nominalnya aja udah bikin shock” Ketu menjawab.
Gua melanjutkan membaca informasi mengenai si walikota calon pembeli karya gua. Rupanya, si calon pembeli ini memang punya latar belakang arsitektur, jadinya mungkin karya gua cukup menarik perhatiannya sehingga bersedia dengan sukarela menggelontorkan kocek pribadinya hanya untuk karya medioker milik gua.
“Udah, Tu jogetnya. Capek gua ngeliatnya…” Ucap gua ke Ketu yang langsung bersiap kembali menari.
Begitu mendengar ucapan gua, Ketu terdiam. Lalu turun ke lantai bawah. Terdengar suara sayup lagu Campursari yang diputar dengan menggunakan ponsel. Ketu pasti lanjut menari di bawah.
Gua yang kehilangan keinginan untuk kembali tidur, lalu duduk di kursi, menghadap ke arah lembaran kertas baru di atas meja. Sementara, jendela di hadapan gua masih dalam kondisi tertutup. Gua berdiri, menggeser slot kunci dan membuka jendela lebar-lebar.
Terasa sesuatu menyentuh tangan gua. Sebuah jepit rambut berwarna hitam, menjepit bagian bawah kaos yang gua kenakan. Semalam, saat menelpon Tata, gua memainkan jepit hitam ini dan tanpa sadar menjepitnya di pangkal kaos. Gua memainkan jepit rambut tersebut dengan tangan, sementara pikiran gua mulai melayang, membayangkan wajahnya, mencoba mengingat aroma tubuhnya.
Ada perasaan yang kuat dari dalam hati untuk mencegah gua terus larut dalam bayangan ini. Namun, entah kenapa pikiran gua terus menolaknya, membuat khayalan ini semakin terbang, membumbung tinggi hingga ke langit.
Dering suara ponsel lalu membuyarkan lamunan gua. Ogah-ogahan, gua beranjak ke dalam kamar. Layar ponsel gua berpendar, gua mendekat ke arah kardus tempat ponsel tergeletak dan melihat ke layarnya yang menampilkan nama Tata.
Gua nggak langsung menjawab. Hanya terdiam sambil terus menatap layar yang berpendar. Setelah beberapa saat, panggilan berakhir, menyisakan notifikasi ‘panggilan tak terjawab’ pada bagian atas layar. Notifikasi bertambah, kini masuk sebuah pesan dari orang yang sama; dari Tata. Gua meraih ponsel dan mulai membaca pesan darinya; ‘Halo Selamat Pagi, Marshall. Ini aku bundanya Tata. Bisa Tante ngomong sama Marshall.’
Nggak sampai beberapa menit, ponsel kembali berdering. Nama Tata kembali muncul di layarnya. Kini, gua langsung menjawab panggilan tersebut.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Marshall?” Terdengar suara perempuan dari ujung sana.
“Iya..”
“Marshall. Aku bundanya Tata. Tante sebenarnya malu banget karena harus telepon kamu, Tapi tante nggak tau harus hubungin siapa..”
“...”
“... Sekarang Tante butuh banget bantuan Marshall.”
“Kenapa tan?” Tanya gua.
“Tata sakit, panasnya tinggi, sampai mengigau. Tapi, dia keukeuh nggak mau diajak ke dokter. Tante khawatir, takut nanti dia kenapa-kenapa kalo nggak mau ke dokter. Kalau nggak keberatan, mau nggak Marshall dateng untuk bujuk Tata, sebentaaaar aja..” Ucap Nyokapnya Tata dengan nada memohon yang sangat.
Gua terdiam.
“... Tante tau, kamu pasti merasa kalau tante nggak tau diri. Nggak ada permintaan maaf,, belum sempat berterima kasih secara langsung, dan sekarang malah minta kamu dateng untuk Tata…” Tambahnya.
“...”
“... Tapi, kalau Marshall keberatan. Ya mau gimana lagi…” Tambahnya, karena merasa nggak mendapat tanggapan dari gua.
Setelah panggilan berakhir, Gua melempar ponsel ke atas ranjang, meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar dan bersiap untuk mandi. Nggak sampai 10 menit berikutnya gua sudah berada di boncengan sepeda motor dengan Ketu di balik kemudi.
“Mau kemana sih, Sal? Kok tiba-tiba” Tanya Ketu saat kami masih berada di sepeda motor.
“Ada urusan” Gua menjawab.
“Ah, biasanya semua urusanmu aku tau…” Sanggahnya. Gua melihat ekspresinya melalui kaca spion, ia terlihat kecewa, mungkin merasa ada yang gua sembunyikan darinya. Padahal selama ini kami saling terbuka, dan tau rahasia masing-masing.
Hampir satu jam perjalanan, kami akhirnya tiba di depan komplek perumahan, dengan berbekal ingatan yang kini samar, gua memandu Ketu, menyusuri jalan perumahan tempat tinggal Tata yang dulu sering gua sambangi. Dan setelah salah jalan beberapa kali, akhirnya kami tiba di depan sebuah rumah besar dengan pagar besi tinggi pada bagian depannya.
Gua turun dari boncengan sepeda motor dan menyerahkan helm kepada Ketu. Ia lalu bertanya; “Mau ta’ tungguin apa gimana?”
“Lo kalo mau balik, balik aja gapapa. Daripada nunggu ntar malah lama” Gua memberi saran kepadanya.
“Oh yowis, aku pulang wae yo..” Ucapnya, kemudian memutar sepeda motor dan pergi.
Gua mendekat ke arah pagar, dan menekan tombol bertuliskan ‘Bel’ yang berada di sisi pagar sebelah kanan. Setelah menekan bel beberapa kali, terlihat pintu rumah terbuka, seorang perempuan muda keluar dari dalam dan berjalan menuju ke pagar. Nggak lama berselang, seorang perempuan setengah baya yang gua kenali sebagai nyokapnya Tata menyusul keluar. Ia berlari secepat mungkin, menyusul si mbak yang langkahnya lambat.
Nyokapnya Tata dengan cepat membuka pintu pagar dan membiarkan gua masuk. Ia menepuk bahu gua pelan sambil berbisik; “Lantai dua, kamar yang diujung”
Gua bergegas masuk ke dalam, di ruang keluarga terlihat beberapa orang yang terlihat seperti menunggu sambil pasang ekspresi khawatir, sepertinya sanak saudara Tata. Mereka memberi tatapan penuh curiga ke gua yang langsung menaiki tangga, mengikuti petunjuk nyokapnya hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar yang sepertinya sengaja dibiarkan sedikit terbuka. Dengan hati-hati, gua membuka pintu kamar.
Terlihat, Tata sedang berbaring di atas ranjang dengan selimut menyelubungi hampir seluruh tubuhnya. Sementara, sebuah lap kecil yang basah berada tepat di keningnya. Gua masuk ke dalam, mendekat ke arah ranjang. Kini, semakin jelas terlihat kondisinya.
Tubuhnya menggigil, bagian hitam pada kedua matanya bergerak ke atas, nyaris tak terlihat. Gua lalu menyentuh bagian lehernya dengan punggung tangan; Panas, sangat panas.
Gua menyentuh pelan bagian pipi sambil mencoba memanggil namanya; “Ta, ta.. Tata..”
“Ta, ini gua Marshall”
Seketika, kedua matanya berkedip cepat. Terdengar suaranya meracau nggak jelas. Gua lantas mencoba membangunkan tubuhnya, memposisikan dalam dekapan dan langsung membopongnya. Menyusuri lorong, menuruni anak tangga. Banyak mata yang menatap ke arah gua yang masih menggendong Tata, ada tatapan ketakutan di mata mereka semua.
Gua sendiri cukup bingung dengan keluarga ini, bagaimana mungkin Tata yang sudah dalam kondisi seperti ini nggak langsung dibawa ke rumah sakit.
Kenapa malah menunggu gua datang?
Nyokapnya yang tau dengan apa yang gua pikirkan lalu dengan cepat meraih kunci mobil dan menyusul gua ke depan rumah. Membuka pintu bagian penumpang, kemudian masuk ke dalam mobil lewat pintu bagian pengemudi.
Dengan hati-hati, gua masuk ke dalam mobil sambil membawa Tata. Sesaat berikutnya kami bertiga sudah berada di jalan raya, menembus kemacetan menuju ke rumah sakit.
“Makasih ya Marshall, udah mau dateng” Ucap Nyokapnya Tata, sambil menyetir.
“Iya” Gua menjawab singkat sambil membiarkan Tata menyandarkan kepalanya di bahu gua. Ia masih meracau, bicara nggak jelas, sementara tubuhnya masih terasa sangat panas.
“...”
“Kenapa nggak langsung dibawa ke dokter atau rumah sakit, Tan? Kenapa harus nunggu saya?” Gua mencoba memberanikan diri bertanya kepadanya. Ingin tau alasan kenapa ada banyak orang di rumah tapi nggak ada satupun yang berinisiatif membawa Tata ke dokter.
Nyokapnya Tata terdiam sebentar, ia menghela nafas kemudian barulah memberi jawaban; “Hhh… Itu dia Sal. Tante udah mau bawa Tata ke dokter. Tapi, paman-paman nya malah ngelarang. Kata mereka Tata nggak sakit biasa, Tata harus diperiksa sama orang ‘pinter’”
“bodoh” Gua menggumam pelan. Merasa kalau kekayaan yang mereka miliki kok nggak seimbang dengan pola pikir yang ortodoks. Sudah jelas kalau, Tata demam tinggi, bahkan sampai meracau, kenapa malah manggil orang pinter?
Setibanya di rumah sakit, Tata langsung menerima perawatan di IGD. Setelah menjalani pemeriksaan, dipasang infus dan pengambilan darah untuk proses cek lab, kini ia sudah tak lagi meracau. Suhu tubuhnya memang sudah sedikit menurun, tapi panasnya masih berada di atas normal.
Hampir satu jam berikutnya, hasil cek lab milik Tata keluar. Nyokapnya mendatangi kami berdua bersama dengan seorang dokter yang terlihat membawa kertas. Sepertinya kertas berisi hasil lab milik Tata. Setelah melakukan pemeriksaan sekali lagi, si dokter lalu memberi penjelasan kalau demam yang diderita Tata disebabkan infeksi bakteri. Menurut si dokter, demam tinggi yang muncul adalah upaya tubuh yang berusaha melawan infeksi bakteri. Nah, demam akibat infeksi bakteri bisa berakibat fatal bila kalau nggak segera mendapat penanganan medis.
Begitu mendengar penjelasan si dokter, gua dan nyokapnya Tata lalu saling pandang. Nggak tau deh gimana jadinya seandainya, beliau masih mengikuti apa kata-kata para sanak saudaranya yang berusaha memanggil orang pinter buat ngobatin Tata.
“Ini nanti tunggu sampai infusnya habis, boleh langsung pulang. Terus obat dan antibiotiknya ditebus ya” Ucap si dokter kemudian menyobek lembaran kertas berisi resep yang baru saja ditulisnya.
“Ok Makasih ya dok” Ucap Nyokapnya Tata.
Setelah si dokter pergi, Nyokapnya Tata mengajak gua keluar dari ruang IGD. Gua cukup kesulitan melepas genggaman tangan Tata yang sangat erat.
Setelah berhasil, gua lalu menyusul nyokapnya keluar dari ruang IGD.
Sambil menunggu obat di depan apotik di area rumah sakit. Kami duduk di kursi besi sambil memegang gelas berisi kopi sachet yang gua beli di kafetaria tadi. Nyokapnya Tata lalu mulai bercerita tentang bokapnya Tata yang belum lama meninggal. Dan kondisi mental Tata selama ini, selama hampir 9 tahun terakhir, sejak kejadian yang menimpanya di gudang olahraga.
Tiba-tiba, nyokapnya turun dari kursi, bersimpuh di lantai dan bersujud tepat di depan gua. Mendapat perlakuan seperti itu jelas bikin gua salah tingkah. Bagaimana mungkin gua bisa diam saja melihat orang yang lebih tua bersujud ke gua. ‘Macam dewa aja’ Batin gua dalam hati, kemudian meraih kedua bahu nyokapnya Tata, berusaha membuatnya bangkit.
Ia bergeming, sambil menangis ia mengucap maaf dan rasa terima kasih yang nggak henti-hentinya.
“Iya tan.. Iya” Jawab gua sambil terus berusaha membuatnya berdiri tapi selalu gagal.
Akhirnya sebuah panggilan dari pengeras suara apotek terdengar memanggil nama Tata; “Atas nama Tata”
Gua lantas memanfaatkan kesempatan ini untuk membebaskan diri dari posisi terjepit ini. Dengan cepat gua berdiri dan menuju ke loket penerimaan obat. Sementara, nyokapnya Tata terlihat langsung bangun dan kembali duduk di kursi. Kini, kedua matanya terlihat sembab akibat tak berhenti menangis.
Sebelum kembali ke Tata, nyokapnya menyempatkan diri ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Sepertinya ia nggak ingin anaknya mengetahui kalau ia habis menangis.
Begitu kembali ke IGD, Tata yang kini sudah terlihat ‘mendingan’ memberi tatapannya yang tajam ke gua. “Katanya nggak bakal pergi” Ucapnya lirih, saat gua duduk di sebelah ranjangnya.
Gua lalu mengangkat plastik bening berisi obat-obatan miliknya dan menjawab; “Abis nebus obat”
“Emang bunda kemana?” Tanyanya.
Pertanyaannya langsung terjawab saat nyokapnya hadir menyusul gua. Walau sudah menyeka wajah, masih terlihat sisa-sisa tangisan dari kedua matanya yang sembab.
Hampir satu jam berikutnya, cairan infus milik Tata habis. Setelah mendapat petunjuk minum obat dari suster, Tata diperbolehkan untuk pulang.
Selesai menemani Tata hingga ke mobil di area parkir, gua membantunya masuk ke mobil, sementara gua sendiri nggak ikut. Menyadari hal tersebut, Tata langsung kembali membuka pintu mobil dan keluar. “Kamu nggak ikut?” Tanyanya.
Gua menggeleng.
“Kenapa?” Tanyanya lagi.
“Masih ada kerjaan” Jawab gua mencoba mencari alasan.
Tata terdiam, ia mendekat ke arah gua dan memberikan pelukan. Tubuhnya yang masih terasa panas terasa menyentuh lengan gua. Masih sambil memeluk gua, ia bicara sambil berbisik; “Bisa abaikan sebentar pekerjaan kamu buat aku?”
Gua terdiam, menatap wajahnya yang sendu. Sambil menyibak helaian rambut dan menyelipkan ke telinganya, gua lalu mengangguk pelan.
—
Foster The People - Pumped Up Kicks
Robert's got a quick hand
He'll look around the room
He won't tell you his plan
He's got a rolled cigarette
Hanging out his mouth
He's a cowboy kid
Yeah he found a six-shooter gun
In his dad's closet with a box of fun things
I don't even know what
But he's coming for you, yeah he's coming for you, wait
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, outrun my gun
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, faster than my bullet
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, outrun my gun
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, faster than my bullet
Daddy works a long day
He be coming home late, and he's coming home late
And he's bringing me a surprise
'Cause dinner's in the kitchen and it's packed in ice
I've waited for a long time
Yeah the sleight of my hand is now a quick-pull trigger
I reason with my cigarette
And say, "Your hair's on fire, you must've lost your wits?"
Yeah
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, outrun my gun
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, faster than my bullet
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, outrun my gun
All the other kids with the pumped up kicks
You better run, better run, faster than my bullet