Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Gua meraih hoodie menutupi kepala, menghindari terik panas matahari yang menusuk. Kemudian menyusuri gang, menuju ke arah jalan raya. Langkah gua lalu terhenti saat melihat sosok perempuan berdiri di ujung gang, menatap ke arah gua dengan tatapan matanya yang tajam.
Kami berdua saling menatap dari kejauhan. Gua nggak mungkin kembali, tapi cukup enggan untuk terus melangkah maju.
Ia lalu melangkah maju, mempercepat langkahnya kemudian berlari. Saat posisinya sudah semakin dekat, gua mampu melihat matanya yang berkaca-kaca. Ia menghentikan langkahnya tepat di hadapan gua.
Perlahan dan hati-hati ia semakin mendekat, melingkarkan kedua tangannya di pinggul dan langsung memberikan pelukan. Dalam kondisi masih memeluk gua, terlihat bahunya naik turun dan terdengar suara isak tangisnya.
Gua berusaha melepas pelukannya. Risih dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang dan memberi tatapan nyinyir ke arah kami berdua.
Ia bergeming.
Namun, sepertinya ia juga menyadari hal yang sama, sadar banyak orang lalu lalang, yang tentu saja posisi kami berdua terlihat sangat menarik perhatian. Tata lantas mengendurkan dan melepas pelukannya. Ia lalu mendongak, menatap ke arah gua dengan matanya yang basah dan berkaca-kaca. Ia menyeka sisa air mata dari kedua pipinya masih sambil sesenggukan layaknya anak kecil yang ngambek karena nggak dapat uang jajan.
Gua melanjutkan langkah menuju ke depan gang tempat ia tadi datang. Tata berbalik dan menyusul. Kini, ia berada tepat di sebelah gua.
Kami berdua terus berjalan hingga keluar gang, berbelok ke kanan, masuk ke halaman parkir deretan ruko-ruko, menuju ke salah satu minimarket yang ada disana. Sementara, gua terus melangkah, Tata tetap berada di sebelah gua, kami hanya berjalan tanpa bicara, sama-sama tenggelam dalam diam.
Gua masuk ke dalam minimarket, mengambil beberapa roti kemasan dan botol kaleng berisi kopi instan dan air mineral kemudian menuju ke meja kasir, untuk memesan sebungkus rokok. Sementara, Tata juga mengikuti apa yang gua lakukan, ia mengambil beberapa bungkusan snack dan botol berisi minuman ringan. Ia lalu meletakkan barang belanjaannya di atas meja kasir, menggabungkannya dengan belanjaan milik gua.
Ia lalu mengeluarkan dompet dari dalam tas selempang yang ia kenakan dan bersiap untuk membayar. Gua yang nggak mau ia membayar semua belanjaan ini, dengan cepat merogoh saku celana, mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan 50 ribuan dan langsung meletakkannya di atas barang belanjaan.
Melihat sikap gua barusan, Tata menoleh dan menatap ke arah gua. Ia meraih lembaran uang milik gua dan tanpa aba-aba meletakkannya di dalam genggaman gua. Sementara, ia mengeluarkan kartu dari dompet dan menyerahkannya ke kasir.
Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah berada di luar minimarket. Dengan plastik berisi belanjaan kami berdua, Tata berjalan di sebelah. Masih nggak ada percakapan diantara kami.
Awalnya gua sempat berpikir untuk mengajaknya ke tempat lain, ke kedai kopi atau ke warung makan, untuk mencegah ia mengetahui lokasi tepatnya rumah kontrakan gua. Tapi, buat apa? Ia bisa sampai disini sekarang adalah sebuah bukti kalau bersembunyi darinya adalah hal yang sepertinya hampir mustahil. Akhirnya, gua putuskan untuk pulang, kembali ke rumah kontrakan. Tentu saja bersama dengannya.
Setibanya di rumah, gua masuk, membuka pintu dan membiarkannya mengikuti gua. Ia berhenti tetap di ambang pintu, ragu harus melepas sepatu atau tetap memakainya. Ia lalu menatap ke arah lantai rumah yang bersih dan kinclong. Iya, setiap pagi, Ketu pasti menyempatkan diri untuk menyapu dan mengepel lantai. Tata, melepas sepatu kets yang ia kenakan dan mengikuti gua masuk ke dalam.
Begitu sudah di dalam, ia menatap berkeliling ke seisi ruang tamu. Mungkin merasa aneh melihat rumah sebesar ini namun nggak ada sama sekali perabotan di dalamnya.
Gua terus masuk, menaiki anak tangga menuju ke atas. Tata mengikuti gua, sementara matanya masih menatap berkeliling.
Di atas, di lantai dua, Tata kembali berdiri dan menatap sekeliling. Gua menuju ke ujung ruangan, menarik satu-satunya kursi yang berada disana, kursi yang biasa gua gunakan untuk menggambar dan memberinya kode agar duduk disana.
Ia meletakkan plastik berisi belanjaan yang sejak tadi dibawanya di lantai, kemudian duduk di kursi. Sementara, gua masuk ke dalam kamar, melepas sweater yang gua kenakan, menggantungnya di balik pintu dan kembali keluar.
Gua mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam plastik, membuka, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya. Tata membungkuk, juga mengambil bungkusan rokok dan melakukan hal yang sama; menyulutnya.
Ini untuk pertama kalinya gua melihatnya merokok. Tata yang sebelumnya gua kenal bukanlah seorang perokok. ‘Sejak kapan ia mulai merokok?’ tanya gua dalam hati. Nggak mau langsung bertanya kepadanya.
Gua duduk di lantai, bersandar pada dinding yang posisinya berlawanan dengan tempat Tata duduk di kursi. Kami masih sama-sama terdiam, yang terdengar hanya samar suara detak jarum jam di dinding.
Asap rokok mengepul memenuhi ruangan.Tata berdiri, mendekat ke arah meja gambar gua lalu membuka dua jendela yang berada tepat di depan meja. Hembusan angin langsung masuk, membuat kepulan asap rokok yang terjebak di dalam ruangan perlahan menghilang. Tata, melepas jepit rambut yang lalu membuat rambutnya yang indah tergerai dan melambai disapu angin. Ia lalu beralih ke tumpukan kertas diatas meja, melihat beberapa hasil kerja gua yang baru saja selesai dan belum sempat gua simpan di dalam map arsip.
Tata menatap satu persatu lembaran kertas di atas meja. Perlahan senyum di wajahnya mulai terkembang, sementara kedua matanya kembali berkaca-kaca. Sesekali ia menyeka ujung mata dengan punggung tangannya, sambil terus membalik satu persatu kertas berisi hasil gambar gua.
Setelah puas memandangi lembaran kertas di atas meja, ia berbalik, menatap ke arah gua sebentar kemudian mendekat. Perlahan ia duduk di lantai tepat di sebelah gua.
Kini, kami berdua duduk bersisian tanpa ada sepatah katapun yang terucap.
Ia lalu menyandarkan kepalanya tepat di bahu gua. Dengan posisi seperti ini, tercium aroma khas dari shampo yang biasa digunakannya. Aroma yang dulu begitu gua kenali, aroma yang membangkitkan memori gua tentang dirinya, tentang kita; dulu.
Kami terdiam dalam posisi seperti ini cukup lama. Gua meraih ponsel dari saku celana, menggunakan layarnya yang hitam dan gelap, gua memposisikan layar ponsel di depan kami berdua, ingin melihat kondisinya melalui pantulan layar ponsel. Ia tertidur pulas, layaknya bayi yang kelelahan setelah bermain seharian.
Enggan membangunkannya, gua menahan diri untuk beranjak.
1 jam, 2 jam berlalu. Kini lengan bagian sebelah kiri gua mulai terasa kesemutan akibat menahan beban yang terus menerus. Namun, gua tetap mencoba bertahan.
Nggak seberapa lama, Tata membuka kedua matanya, menegakkan tubuh dan langsung meregangkan kedua tangannya, sementara mulutnya terbuka lebar, menguap; mungkin masih mengantuk. Lalu, menatap gua.
Gua menatap wajahnya yang baru saja bangun dari tidurnya, rambutnya yang hitam dan panjang terlihat sedikit kusut, matanya yang masih sedikit sembab karena mungkin baru saja bangun dan efek dari ia menangis tadi, ia terlihat tetap cantik, terlihat sebagaimana Tata yang gua kenali dulu.
Kami berdua kembali terdiam dan saling menatap.
Untuk menghindari suasana yang semakin canggung, gua meraih kemasan rokok yang tergeletak di lantai, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya. Tata pun melakukan hal yang sama. Gua meraih plastik berisi belanjaan yang sejak tadi terabaikan, mengambil botol air mineral, membuka tutup dan memberikan kepadanya.
Tata meraih botol air mineral dari tangan gua dan mulai mendongak, menenggak air dari dalam botol. Terlihat lehernya yang jenjang, yang sedikit basah karena keringat, dan tanpa sadar gua terdiam sambil menatapnya. Gua menggelengkan kepala, lalu mengutuk diri sendiri karena dengan mudahnya terpesona.
Menit berikutnya, kami masih tenggelam dalam diam, tiba-tiba terdengar dering suara ponsel. Tata meraih tas miliknya, mengambil ponsel dan menatap ke arah layarnya. Kini sudah tak lagi terlihat foto dirinya dan pacarnya pada layar ponsel. Dari nama yang tertera pada layar ponsel gau mengetahui kalau yang menelpon adalah nyokapnya. Ia lalu menjawab panggilan, tanpa bicara. Yang terdengar hanya gumaman ‘Hmmm..’ dan ‘Ya’ yang lirih.
Ia lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Menghisap rokok dalam-dalam, dan mematikan sisa puntung yang masih tersisa ke asbak, kemudian berdiri.
Gua ikut berdiri.
Kami saling menatap cukup lama, kemudian Tata mendekat. Dengan tangannya ia menyentuh lembut pipi gua sambil terus memberi tatapan, terasa tangannya yang hangat. Kemudian memberikan pelukan. Lalu pergi.
Beberapa saat setelah ia pergi, gua mendekat ke arah jendela dan menatapnya keluar dari rumah kemudian berjalan pelan menyusuri gang menuju ke arah jalan raya.
Gua bergegas menuruni tangga lalu keluar. Sengaja menjaga jarak, gua mengikutinya dari kejauhan. Ingin memastikan kalau ia aman dan baik-baik saja.
Tata berdiri tepat di depan gang, sementara kepalanya menunduk menatap ke arah layar ponselnya. Nggak seberapa lama, sebuah mobil sedan berhenti tepat di depannya. Kaca pada bagian penumpang turu, lalu terlihat seorang perempuan setengah baya; nyokapnya berada di balik kemudi. Tata membuka pintu dan masuk ke dalam mobil yang kemudian membawanya pergi.
Gua meneruskan langkah hingga ke ujung gang, menatap ke arah mobil yang membawa Tata pergi. Lalu duduk di sisi trotoar sambil menyulut sebatang rokok.
Cukup lama gua duduk disana, hingga akhirnya terasa seseorang memberikan tepukan di bahu. Gua menoleh dan mendapati Ketu berada disana, masih dengan masker dan helm menutupi kepalanya. Sementara, sepeda motornya terlihat terparkir di sisi gang.
Depeche Mode - Enjoy The Silence
Words like violence break the silence
Come crashing in into my little world
Painful to me, pierce right through me
Can't you understand? Oh, my little girl
All I ever wanted
All I ever needed is here in my arms
Words are very unnecessary
They can only do harm
Vows are spoken to be broken
Feelings are intense, words are trivial
Pleasures remain, so does the pain
Words are meaningless and forgettable
All I ever wanted
All I ever needed is here in my arms
Words are very unnecessary
They can only do harm
All I ever wanted
All I ever needed is here in my arms
Words are very unnecessary
They can only do harm
All I ever wanted
All I ever needed is here in my arms
Words are very unnecessary
They can only do harm