- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
darmasant dan 123 lainnya memberi reputasi
124
119.7K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#832
Part 35 - Bangunan, Manusia dan Waktu
Spoiler for Part 35 - Bangunan, Manusia dan Waktu:
Setibanya di rumah, gua langsung menuju ke meja gambar, mencoba mencari kertas berisi gambar perempuan yang sepertinya istrinya Jeje, dari tumpukan kertas di atas meja. Begitu ketemu, gua menatap sekilas ke arah perempuan pemilik tatapan super tajam tersebut, melipat kertas tersebut dan melemparnya ke arah tempat sampah yang berada di sudut ruangan.
‘Bisa-bisanya gua nyimpen gambar istri orang’ batin gua dalam hati.
Seraya menatap ke arah tempat sampah plastik berisi tumpukan kertas-kertas lecek yang kebanyakan adalah hasil gambar gua yang salah; termasuk kertas dengan gambar perempuan pemilik tatapan super tajam itu.
Gua berdiri, mendekat ke arah papan tulis yang berisi antrian task pekerjaan, memberi tanda centang pada task yang sudah berhasil gua selesaikan kemudian beralih ke task lain. Setelah membaca brief pada post-it yang tertempel pada papan tulis, gua kembali ke meja dan mulai menggambar.
Baru beberapa menit gua menggambar, pikiran gua kembali tertuju ke arah tempat sampah. Gua berpaling, menatap ke arah kertas terlipat yang berada di bagian paling atas tumpukan.
Gua menghela nafas, menunduk, mengambil kembali kertas tersebut dan membetulkan lembaran agar bekas lipatannya kembali lurus. Kemudian menyimpannya ke dalam map yang berisi hasil karya gua.
Beberapa waktu berselang, terdengar suara mesin sepeda motor berhenti tepat di teras rumah kontrakan. Disusul, Ketu yang masuk ke dalam rumah. Ia langsung mendekat, meletakkan ponselnya di atas meja, sengaja memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan email berisi permintaan kerja sama.
Gua mengernyitkan dahi, meraih ponsel dan mulai membaca isinya. Email tersebut berisi ajakan kerjasama dari sebuah galeri seni yang berlokasi di Jakarta.
“Mau kan?” Tanya Ketu, saat tau gua telah selesai membaca email tersebut.
“...”
“... Bayarannya guede, Sal” Ketu menambahkan seraya mengangkat jarinya, menunjukkan nominal yang bakal kami terima seandainya setuju untuk ikut pada proyek ini.
Nggak langsung menjawab, gua memutar pensil di jari tangan, mencoba berpikir dan menimbangnya. Lalu teringat dengan kejadian di kantin kantor bersama Koko pagi tadi. Kalau Tata memang orang dibalik pinjaman alat melalui Koko, artinya pekerjaan yang diberikan ke gua juga bisa jadi berasal darinya. Ya tentu saja, uang hasil pekerjaan tersebut juga pasti berasal dari koceknya.
Tapi, mau gimana lagi. Sebagian uangnya sudah terpakai dan hampir nggak mungkin gua mengembalikan uang tersebut. Karena sebagian besar sisa uangnya sudah dialokasikan Ketu untuk membeli motor dan proses pendaftaran kejar paket C.
“Sal…” Ketu memanggil karena gua yang nggak kunjung memberi respon.
Gua mengangkat tangang, memberi tanda padanya agar menunggu.
Kemudian meraih sebatang rokok, menyulutnya dan pergi ke teras. Di teras, gua duduk di lantai, menghadap ke arah mesin sepeda motor yang masih terasa panas, sambil merenung, mencoba berpikir kembali, menyusun semua kepingan-kepingan kejadian sebelumnya menjadi satu kesatuan.
Lewat akun media sosialnya, Tata melihat karya-karya gua yang di posting oleh Ketu. Ia lalu dengan sengaja mengirim pesan yang lalu dibalas oleh Ketu. Seharusnya, Tata bisa langsung tau kalau yang membalas pesannya bukanlah gua. ‘Terus, kenapa ia tetap melanjutkannya?’
Kemudian, melalui Koko ia mengajukan proyek yang harus gua kerjakan dengan bayaran yang bagus dan pinjaman alat yang mahal. Sementara, Koko sebelumnya sudah pernah bekerja bersama kami di proyek buku milik Jeje.
‘Apa mungkin, Tata sudah terlibat sejak awal. Sejak proyek buku milik Jeje? Jika iya, besar kemungkinan Jeje juga turut terlibat’.
Ditambah lagi, saat ini Koko sudah tau alamat dan tempat tinggal gua, yang artinya dia bisa dengan mudah memberikan laporan ke Tata perihal ini. Jadi sepertinya, saat ini hanya tinggal menunggu waktu sampai Tata datang untuk menemui gua.
Lalu, kini datang sebuah proyek yang terbilang cukup besar. Proyek yang nantinya bakal mengekspos diri gua lebih jauh. Gua jadi merasa nggak ada artinya usaha gua selama ini untuk menghindar kalau ujung-ujungnya bakal terekspos.
Sementara, jika gua menolak proyek ini, maka kami bakal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang yang nominalnya cukup besar. Buat kami berdua yang hidup bergantung pada pekerjaan menggambar, tentu saja menolaknya adalah sebuah kehilangan yang besar.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke udara dan melempar puntung ke halaman kemudian masuk ke dalam.
“Tu.. Kalo nggak usah diambil proyek ini gimana?” Tanya gua ke Ketu.
Ekspresi wajahnya lalu berubah; kini ia terlihat merana.
“... Atau gini deh, bisa nggak nanti karyanya anonim aja?” Tanya gua lagi, nggak kuasa melihatnya merana.
“Lah, ini emang proyek anonim. Sal. Si penyelenggara aja manggil kita dengan sebutan M1250…” Jawab Ketu.
“Oh berarti, mereka juga nggak tau dong siapa orang dibalik gambar-gambar gua?” Gua mencoba memastikan.
“Ya selama ini kan emang gitu. Nggak ada yang tau kok” Jawabnya.
Gua menggaruk kepala yang nggak gatal. Ada sedikit kelegaan di dalam hati ketika mendengar jawaban dari Ketu sebelumnya. Namun, lega bukan berarti nggak lagi khawatir.
“... Tapi, kalo kita jadi ambil proyek ini. Kita, eh kamu harus tetep dateng ke pameran deh” Tambahnya.
“Ya kalo nggak ada yang tau gua siapa, kan bisa aja lo yang dateng. Lo aja yang ngakut sebagai si M1250” Ucap gua, mencoba memberi solusi yang baru saja terpikirkan.
Begitu mendengar ucapan gua barusan Ketu langsung mengangguk. Iya, yang memang suka menjadi pusat perhatian tentu saja nggak mau melewatkan kesempatan ini.
“Ok!!” Serunya, kemudian meraih kembali ponsel dan mengetik balasan email ke pihak penyelenggara.
Sementara gua masih berusaha memikirkan tentang hubungan Tata, Koko dan Jeje. Nama terakhir tentu saja masih tentatif untuk ditasbihkan menjadi ‘tersangka’. Saat ini, solusi terbaik yang terpikir adalah; pindah rumah dan untuk sementara memutus hubungan dengan Koko juga Jeje sampai semua jelas.
“Tu…”
“Mmm…” Ketu hanya menggumam karena sibuk menatap layar ponselnya.
“Kita kayaknya harus pindah”
“Ya…” Jawabnya, yang gua tau ia hanya asal bicara karena masih fokus dengan layar ponselnya. Namun, setelah beberapa saat barulah ia tercengan dan memberi respon yang sebenarnya.
“Hah? Pindah. Kemana? Kenapa?” Tanyanya kaget.
“Lo mau gua jawab yang mana dulu? Yang Kemana atau yang kenapa?” Gua balik bertanya.
Ketu lalu berdiri dan memberi jawaban; “Kenapa”
“Pertama; Tata sekarang pasti udah tau tempat tinggal gua. Dan gua nggak mau dia kesini. Kedua; kalau sampai dia dateng ke gua. Sia-sia selama ini gua nyoba ngilang dari dia”
Mendengar alasan yang gua beberkan. Ketu sempat menghela nafas sebentar kemudian memberikan jawaban; “Emang kenapa, Sal? Emang kenapa kalau dia kesini dan nemuin kamu? Emang kamu mau terus kabur?”
“...”
“... Kamu pernah sayang sama dia. Dia juga sama. Kalian ketemu lagi, terus dimana masalahnya. Iya, Ok, aku ngerti kalau ada rasa trauma yang besar dari masing-masing kalian. Tapi, apa nggak bisa diobati?”
Gua menggeleng.
“Lo nggak tau, Tu. Lo nggak tau apa yang bakal menimpa dia kalau dia terus sama gua” Gua menjawab.
Ketu terdiam sebentar, lalu akhirnya menyerah. “Yaudah, gapapa kalo kamu mau pindah. Tapi, pindah kemana?”
“Nggak tau, terserah lo aja”
“Terus, nanti kalau dia bisa tau tempat tinggal kamu selanjutnya? Kamu bakal pindah lagi?”
“Iya…”
“...”
“... Atau, gua pergi aja ke tempat dimana dia nggak bisa nyari gua”
“Terus, cewek yang satu lagi, yang pernah kamu buat gambarnya?” Ketu bertanya merujuk ke Poppy.
Gua menggelengkan kepala; nggak tau harus menjawab apa.
Kami berdua lalu sama-sama terdiam.
Kemudian, Ketu kembali buka suara; “Tapi, kamu tetep mau kan ikut proyek pameran ini, Sal. Soalnya aku udah bilang ‘Ok’?” Tanyanya.
“Iya. Asal lo yang nanti ngurus semuanya.” Jawab gua.
“Sip”
Beberapa jam berikutnya, Ketu mendapat balasan email dari pihak penyelenggara pameran. Sambil menatap layar ponselnya, ia mulai menyalin brief untuk pameran tersebut di papan tulis. Beserta dengan spesifikasi yang diperlukan. Gua berdiri, memposisikan tepat di belakang Ketu yang masih menyalin spesifikasi dari ponsel ke papan tulis.
“Ukuran kertas-nya harus A3?” Tanya gua ke Ketu ketika baru saja selesai menulis spesifikasi yang diperlukan.
“Iya” Jawabnya.
“Kenapa?” Tanya gua lagi.
“Nggak tau”
Gua yang nggak bisa menerima jawaban ‘nggak tau’ dari Ketu lalu meraih ponsel dari tangannya dan membaca brief beserta spesifikasi yang diperlukan melalui email. Rupanya, ukuran terkecil yang dibutuhkan adalah A3 agar bisa terlihat selaras dengan karya dari artis lain yang punya ukuran lumayan besar. Sementara, spesifikasi lainnya masih terlihat masuk akal buat gua, seperti; gramasi kertas hingga penggunaan pensil untuk membuat gambar.
Sementara untuk urusan briefnya sama sekali nggak ada yang bikin pusing. Hanya sebuah detail yang menarik perhatian gua karena tema karya harus berupa lanskap bangunan. Penasaran, gua mulai mencari nama pameran dan artis utamanya melalui browser pada ponsel milik Ketu. Pencarian menghasilkan sebuah nama artis kontemporer yang biasa membuat karya lukisan dengan tema lanskap bangunan dan alam terbuka.
‘Ah, mungkin ini alasan gua terpilih untuk mengisi slot yang kosong pada acara pameran itu’ Gua membatin dalam hati. Ada rasa lega setelah mengetahui, kalau ada alasan konkrit kenapa gua terpilih diantara ribuah artis lain yang sepertinya lebih baik dari gua.
—
Besoknya, Ketu mulai berkeliling dengan sepeda motor ‘baru’-nya, mencari kontrakan lain untuk tempat kami tinggal. Sementara, gua melanjutkan task pekerjaan, mencoba mengosongkan jadwal untuk beberapa minggu kedepan guna mengerjakan proyek pameran nanti.
Sesekali, Ketu mengirimkan foto penampakan rumah kontrakan yang ia sambangi melalui pesan. Gua yang nggak terlalu peduli dengan bentuk dan ukuran rumah tentu saja menyerahkan semuanya ke Ketu. Hanya satu syarat yang gua ajukan; “Kalo bisa banyak ventilasi-nya, Tu”.
Beberapa hari berikutnya, gua hampir berhasil menyelesaikan task-task yang tersisa. Kini tersisa satu task, yang mungkin terbilang mudah; Membuat story board untuk keperluan video komersial.
“Sal, ayo kalo mau liat kontrakan yang baru” Ajak Ketu yang kini sudah terlihat necis.
Gua memandangnya dari atas ke bawah. “Lo mau ngeliat kontrakan apa mau nonton orkes?” Tanya gua, bingung dengan penampilannya yang terlalu ‘keren’ untuk sekedar melihat rumah kontrakan.
“Udah cepet” Serunya.
“Bentar, tanggung” Jawab gua sambil lanjut menggambar yang kini sudah memasuki proses fill-in. Sementara, Ketu yang berdiri di belakang gua terus mengeluarkan suara-suara aneh dengan bagian bawah sol sepatunya, sengaja ingin membuat gua kesal dan kehilangan konsentrasi.
Gua menghela nafas panjang; meletakkan pensil di atas meja lalu berdiri, berbalik dan bersiap keluar. “Udah ayo-ayo…”
Ketu tersenyum, kemudian menyusul gua keluar.
Dengan gua berada di boncengan, ia membawa gua menyusuri jalan raya, kemudian masuk ke dalam sebuah gang yang diapit deretan ruko-ruko. Lokasinya nggak terlalu jauh dari tempat tinggal kami sebelumnya, jika ditempuh dengan sepeda motor, paling hanya membutuhkan waktu nggak sampai 10 menit.
Ketu menepikan sepeda motornya tepat di depan sebuah rumah dua lantai, berpagar besi warna hitam. Gua turun dari boncengan, mundur beberapa langkah, meraih ponsel dan mulai memotret rumah tersebut; iya buat bahan gambar gua nanti.
Ketu membuka pagarnya dan masuk ke area teras yang sepertinya juga berfungsi sebagai carport. Lalu pintu utama yang berukuran besar dengan bahan kayu yang diukir terbuka. Muncul sosok perempuan manis yang mengenakan hijab dan langsung mengucapkan salam. Ketu membetulkan posisi kerah kemejanya, kemudian membalas ucapan salam dengan syahdu.
‘Ah, ini dia alasan kenapa Ketu tampil necis’ Batin gua dalam hati.
“Sal, kenalin ini Nina, anak yang punya rumah” Ketu lalu memperkenalkan gua ke Nina. Gua menyatukan kedua telapak tangan dan mengajaknya berkenalan dengan cara islami sambil menyebut nama.
Nina lalu membuka pintu lebar-lebar, mengajak kami berdua untuk masuk ke dalam. Di dalam terlihat semua ruangan kosong melompong. Nina lalu bicara; “Nah ini ruang tamunya kak” ucapnya.
Gua mengernyitkan dahi. Bingung. Awalnya gua berpikir kalau rumah ini adalah rumah si pemilik kontrakan bukan rumah yang akan kami sewa. Karena rumahnya kelewat besar untuk ukuran kami yang hanya tinggal berdua. Gua menarik ujung kaos Ketu dan berbisik kepadanya; “Kita mau ngontrak rumah ini?”
“Iya…”
“Gila, gede banget, berapa duit?” Tanya gua lagi.
Ketu nggak menjawab, ia hanya tersenyum dan langsung kembali ke sisi Nina yang masih menunjukkan area-area di dalam rumah. Selesai dengan lantai satu, Nina lalu membawa kami ke atas, ke lantai dua. Dimana terdapat satu kamar, satu kamar mandi dan sebuah area kosong di tengah ruangan yang cukup luas.
Gua lalu menginterupsi penjelasan Nina dengan mengangkat tangan.
“Kenapa kak?” Tanyanya.
“Sorry, ini setahun berapa?” Gua balik bertanya, merujuk ke harga sewa rumah ini yang menurut gua pasti diluar dari budget yang sebelumnya sudah kami sepakati.
Baru saja Nina hendak memberi jawaban, Ketu menyela dengan menanyakan hal yang lain.
Setelah selesai berkeliling, kami bertiga kembali ke bawah, ke teras. “Tu, katanya ada tempat yang lain? Ayo kita liat dulu” Ajak gua sambil berbisik ke Ketu.
Namun ia menolak.
“Udah sing iki wae, Sal.. Wis mantep iki” Ucapnya, juga dengan cara berbisik.
Gua menghela nafas kemudian keluar, duduk di jok motor, sambil menyulut sebatang rokok.
Beberapa saat kemudian, Ketu menyusul keluar, dari ekspresi wajahnya yang girang gua bisa menebak kalau saat ini ia pasti sudah bikin kesepakatan dengan Nina. Kesepakatan kontrak rumah yang gua nggak ketahui.
Barulah saat kami makan di warteg, gua kembali mengajukan pertanyaan kepadanya; “Lo jawab yang jujur, itu sewa rumah berapa duit?”
Ketu nggak langsung menjawab, menunggu sampai semua makanan di mulutnya tertelan barulah ia memberi jawaban. Sebuah jawaban yang membuat gua langsung naik darah. Ia menyebutkan nominal harga sewa sebesar tiga kali lipat lebih besar dari yang sebelumnya sudah kami berdua sepekati.
“Lah, gimana sih Tu… Duit segitu kan bisa sewa buat tiga tahun” Seru gua.
“Tenang Sal. Itu rumahnya kan guede, ventilasine uakeh.. Kamare loro, kamu satu, aku satu. Kita nggak usah sempit-sempitan lagi…” Jawabnya.
“Iya, gua ngerti. Tapi, kita nggak butuh yang segede itu juga, Tu”
“Ya seharusnya kita malah nggak perlu pindah kalo bukan karena kamu takut. Lagian, Duit bisa dicari. Kan nanti dapet bayaran dari proyek pameran”
Jawabnya, kemudian lanjut makan seakan nggak ada yang terjadi. Sementara gua masih menatap kesal ke arahnya. Gua yakin, alasan yang ia kemukakan sebelumnya bukanlah alasan sebenarnya. Ia hanya ingin dekat dengan gadis manis bernama Nina.
Nggak menunggu lama, besoknya kami berdua mulai mengosongkan jadwal dan membersihkan rumah tersebut. Sementara, malamnya kami belajar kejar paket C. Beruntungnya, lokasi tempat belajar dekat dari rumah kontrakan baru kami. Saking dekatnya kami bisa berjalan kaki dengan hanya membutuhkan waktu nggak sampai 10 menit untuk tiba di yayasan tempat kami belajar.
Hari berikutnya, Ketu mulai mencicil, membawa barang-barang dari rumah kontrakan lama ke sini. Sementara, gua yang lebih dulu membawa peralatan menggambar sudah mulai mengerjakan proyek untuk keperluan pameran.
Gua memutar pensil, menatap ke arah dinding kosong sambil mencari inspirasi.
Dinding kosong sepertinya bukan tempat yang tepat untuk menatap sambil bengong. Gua berkeliling, dan mendapati sebuah spot yang sepertinya pas untuk tempat gua bekerja. Tepat di depan sebuah jendela besar dengan teralis besi, gua meletakkan meja gambar dan beberapa alat lain yang tersusun rapi pada sebuah rak besi kecil.
Gua duduk. Kini pemandangan di hadapan gua terlihat sedikit lebih baik. Langit yang biru dengan awan putih yang berarak terlihat seperti menaungi atap-atap rumah tetangga, gedung apartemen yang menjulang di kejauhan dan beberapa dahan dari pohon milik tetangga yang tinggi.
“Ah!” Gua berseru. Baru saja mendapat ide untuk proyek di pameran nanti.
Gua meraih lembaran kertas berukuran A3 yang baru saja kemarin dibeli oleh Ketu dan mulai membuat garis horison pada bagian tengah kertas. Disusul dua garis vertikal di kedua sisi terluar kertas, menasbihkan kalau gambar yang akan gua buat adalah sebuah bangunan yang amat besar.
Hari berganti hari, kini kesibukan gua bertambah seiring semakin gencarnya Ketu memposting karya-karya gua di portal portfolio khusus art dan desain.
Adakalanya, Ketu lebih banyak mereject request ketimbang menerimanya, karena antrian task sudah tak lagi memenuhi kuota dari tenaga gua yang segini-segini aja. Padahal, Ketu belum lama mini baru saja mengupgrade papan tulis tempat Ketu biasa menuliskan task-task untuk gua kerjakan, menjadi lebih besar.
Sementara, proyek untuk pameran sudah selesai gua kerjakan. Saat ini, hasil karya gua sudah dalam tahap finishing oleh pihak panitia pameran. Finishing disini, bukan artinya karya gua di touchup lagi, melainkan dipasang frame dan screen pelindung agar nggak rusak dan berdebu. Pihak penyelenggara juga menyertakan sebuah file yang nanti bakal dipasang pada bagian bawah karya yang berisi tentang informasinya.
Kini kekhawatiran gua tentang Tata tentu saja sudah sedikit mereda. Nyatanya, pindah rumah punya dampak yang cukup baik buat gua, dan mungkin juga buat dirinya.
Ketu mondar-mandir naik dan turun, dengan setelan pakaian yang berbeda. Setiap kali naik ia berpose tepat di depan gua dan bertanya; “Ini cocok Sal?” Tanyanya.
Hari ini merupakan hari pertama pembukaan pameran. Dan Ketu diharuskan tampil di sana untuk memberi penjelasan tentang karya yang sudah gua buat. Tentu saja gua sudah memberi penjelasan dan filosofi dari karya-karya yang sudah gua submit, dan semua karya tersebut saling berhubungan satu sama lain, bahkan semuanya memiliki satu judul yang sama; ‘Bangunan, Manusia dan Waktu’.
“Iya udah itu aja, Tu. Lo telanjang aja ganteng kok...” Ucap gua asal.
“Asu…” Serunya.
Sambil terus berganti pakaian, Ketu berusaha menghafalkan penjelasan akan karya yang sudah gua submit. 10 menit berikutnya, Ketu sudah pergi dengan sepeda motornya. Sementara gua duduk, bersandar pada kursi, dengan menaikkan kedua kaki di atas meja sambil memainkan pensil di jari kiri dan sebatang rokok di jari sebelah kanan.
Jujur, gua nggak terlalu peduli dengan hasil atau pandangan orang terhadap karya-karya gua di pameran nanti. Tapi, jujur gua khawatir kalau-kalau justru Ketu yang nanti malah bikin masalah dan ujung-ujungnya menguak identitas gua.
Berusaha mencari kesibukan, gua meraih sweater dan bersiap keluar. Berencana keluar untuk sekedar jalan-jalan mencari referensi dan sekalian membeli rokok untuk stok.
Gua meraih hoodie menutupi kepala, menghindari terik panas matahari yang menusuk. Kemudian menyusuri gang, menuju ke arah jalan raya. Langkah gua lalu terhenti saat melihat sosok perempuan berdiri di ujung gang, menatap ke arah gua dengan tatapan matanya yang tajam.
Kami berdua saling menatap dari kejauhan. Gua nggak mungkin kembali, tapi cukup enggan untuk terus melangkah maju.
—
‘Bisa-bisanya gua nyimpen gambar istri orang’ batin gua dalam hati.
Seraya menatap ke arah tempat sampah plastik berisi tumpukan kertas-kertas lecek yang kebanyakan adalah hasil gambar gua yang salah; termasuk kertas dengan gambar perempuan pemilik tatapan super tajam itu.
Gua berdiri, mendekat ke arah papan tulis yang berisi antrian task pekerjaan, memberi tanda centang pada task yang sudah berhasil gua selesaikan kemudian beralih ke task lain. Setelah membaca brief pada post-it yang tertempel pada papan tulis, gua kembali ke meja dan mulai menggambar.
Baru beberapa menit gua menggambar, pikiran gua kembali tertuju ke arah tempat sampah. Gua berpaling, menatap ke arah kertas terlipat yang berada di bagian paling atas tumpukan.
Gua menghela nafas, menunduk, mengambil kembali kertas tersebut dan membetulkan lembaran agar bekas lipatannya kembali lurus. Kemudian menyimpannya ke dalam map yang berisi hasil karya gua.
Beberapa waktu berselang, terdengar suara mesin sepeda motor berhenti tepat di teras rumah kontrakan. Disusul, Ketu yang masuk ke dalam rumah. Ia langsung mendekat, meletakkan ponselnya di atas meja, sengaja memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan email berisi permintaan kerja sama.
Gua mengernyitkan dahi, meraih ponsel dan mulai membaca isinya. Email tersebut berisi ajakan kerjasama dari sebuah galeri seni yang berlokasi di Jakarta.
“Mau kan?” Tanya Ketu, saat tau gua telah selesai membaca email tersebut.
“...”
“... Bayarannya guede, Sal” Ketu menambahkan seraya mengangkat jarinya, menunjukkan nominal yang bakal kami terima seandainya setuju untuk ikut pada proyek ini.
Nggak langsung menjawab, gua memutar pensil di jari tangan, mencoba berpikir dan menimbangnya. Lalu teringat dengan kejadian di kantin kantor bersama Koko pagi tadi. Kalau Tata memang orang dibalik pinjaman alat melalui Koko, artinya pekerjaan yang diberikan ke gua juga bisa jadi berasal darinya. Ya tentu saja, uang hasil pekerjaan tersebut juga pasti berasal dari koceknya.
Tapi, mau gimana lagi. Sebagian uangnya sudah terpakai dan hampir nggak mungkin gua mengembalikan uang tersebut. Karena sebagian besar sisa uangnya sudah dialokasikan Ketu untuk membeli motor dan proses pendaftaran kejar paket C.
“Sal…” Ketu memanggil karena gua yang nggak kunjung memberi respon.
Gua mengangkat tangang, memberi tanda padanya agar menunggu.
Kemudian meraih sebatang rokok, menyulutnya dan pergi ke teras. Di teras, gua duduk di lantai, menghadap ke arah mesin sepeda motor yang masih terasa panas, sambil merenung, mencoba berpikir kembali, menyusun semua kepingan-kepingan kejadian sebelumnya menjadi satu kesatuan.
Lewat akun media sosialnya, Tata melihat karya-karya gua yang di posting oleh Ketu. Ia lalu dengan sengaja mengirim pesan yang lalu dibalas oleh Ketu. Seharusnya, Tata bisa langsung tau kalau yang membalas pesannya bukanlah gua. ‘Terus, kenapa ia tetap melanjutkannya?’
Kemudian, melalui Koko ia mengajukan proyek yang harus gua kerjakan dengan bayaran yang bagus dan pinjaman alat yang mahal. Sementara, Koko sebelumnya sudah pernah bekerja bersama kami di proyek buku milik Jeje.
‘Apa mungkin, Tata sudah terlibat sejak awal. Sejak proyek buku milik Jeje? Jika iya, besar kemungkinan Jeje juga turut terlibat’.
Ditambah lagi, saat ini Koko sudah tau alamat dan tempat tinggal gua, yang artinya dia bisa dengan mudah memberikan laporan ke Tata perihal ini. Jadi sepertinya, saat ini hanya tinggal menunggu waktu sampai Tata datang untuk menemui gua.
Lalu, kini datang sebuah proyek yang terbilang cukup besar. Proyek yang nantinya bakal mengekspos diri gua lebih jauh. Gua jadi merasa nggak ada artinya usaha gua selama ini untuk menghindar kalau ujung-ujungnya bakal terekspos.
Sementara, jika gua menolak proyek ini, maka kami bakal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang yang nominalnya cukup besar. Buat kami berdua yang hidup bergantung pada pekerjaan menggambar, tentu saja menolaknya adalah sebuah kehilangan yang besar.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke udara dan melempar puntung ke halaman kemudian masuk ke dalam.
“Tu.. Kalo nggak usah diambil proyek ini gimana?” Tanya gua ke Ketu.
Ekspresi wajahnya lalu berubah; kini ia terlihat merana.
“... Atau gini deh, bisa nggak nanti karyanya anonim aja?” Tanya gua lagi, nggak kuasa melihatnya merana.
“Lah, ini emang proyek anonim. Sal. Si penyelenggara aja manggil kita dengan sebutan M1250…” Jawab Ketu.
“Oh berarti, mereka juga nggak tau dong siapa orang dibalik gambar-gambar gua?” Gua mencoba memastikan.
“Ya selama ini kan emang gitu. Nggak ada yang tau kok” Jawabnya.
Gua menggaruk kepala yang nggak gatal. Ada sedikit kelegaan di dalam hati ketika mendengar jawaban dari Ketu sebelumnya. Namun, lega bukan berarti nggak lagi khawatir.
“... Tapi, kalo kita jadi ambil proyek ini. Kita, eh kamu harus tetep dateng ke pameran deh” Tambahnya.
“Ya kalo nggak ada yang tau gua siapa, kan bisa aja lo yang dateng. Lo aja yang ngakut sebagai si M1250” Ucap gua, mencoba memberi solusi yang baru saja terpikirkan.
Begitu mendengar ucapan gua barusan Ketu langsung mengangguk. Iya, yang memang suka menjadi pusat perhatian tentu saja nggak mau melewatkan kesempatan ini.
“Ok!!” Serunya, kemudian meraih kembali ponsel dan mengetik balasan email ke pihak penyelenggara.
Sementara gua masih berusaha memikirkan tentang hubungan Tata, Koko dan Jeje. Nama terakhir tentu saja masih tentatif untuk ditasbihkan menjadi ‘tersangka’. Saat ini, solusi terbaik yang terpikir adalah; pindah rumah dan untuk sementara memutus hubungan dengan Koko juga Jeje sampai semua jelas.
“Tu…”
“Mmm…” Ketu hanya menggumam karena sibuk menatap layar ponselnya.
“Kita kayaknya harus pindah”
“Ya…” Jawabnya, yang gua tau ia hanya asal bicara karena masih fokus dengan layar ponselnya. Namun, setelah beberapa saat barulah ia tercengan dan memberi respon yang sebenarnya.
“Hah? Pindah. Kemana? Kenapa?” Tanyanya kaget.
“Lo mau gua jawab yang mana dulu? Yang Kemana atau yang kenapa?” Gua balik bertanya.
Ketu lalu berdiri dan memberi jawaban; “Kenapa”
“Pertama; Tata sekarang pasti udah tau tempat tinggal gua. Dan gua nggak mau dia kesini. Kedua; kalau sampai dia dateng ke gua. Sia-sia selama ini gua nyoba ngilang dari dia”
Mendengar alasan yang gua beberkan. Ketu sempat menghela nafas sebentar kemudian memberikan jawaban; “Emang kenapa, Sal? Emang kenapa kalau dia kesini dan nemuin kamu? Emang kamu mau terus kabur?”
“...”
“... Kamu pernah sayang sama dia. Dia juga sama. Kalian ketemu lagi, terus dimana masalahnya. Iya, Ok, aku ngerti kalau ada rasa trauma yang besar dari masing-masing kalian. Tapi, apa nggak bisa diobati?”
Gua menggeleng.
“Lo nggak tau, Tu. Lo nggak tau apa yang bakal menimpa dia kalau dia terus sama gua” Gua menjawab.
Ketu terdiam sebentar, lalu akhirnya menyerah. “Yaudah, gapapa kalo kamu mau pindah. Tapi, pindah kemana?”
“Nggak tau, terserah lo aja”
“Terus, nanti kalau dia bisa tau tempat tinggal kamu selanjutnya? Kamu bakal pindah lagi?”
“Iya…”
“...”
“... Atau, gua pergi aja ke tempat dimana dia nggak bisa nyari gua”
“Terus, cewek yang satu lagi, yang pernah kamu buat gambarnya?” Ketu bertanya merujuk ke Poppy.
Gua menggelengkan kepala; nggak tau harus menjawab apa.
Kami berdua lalu sama-sama terdiam.
Kemudian, Ketu kembali buka suara; “Tapi, kamu tetep mau kan ikut proyek pameran ini, Sal. Soalnya aku udah bilang ‘Ok’?” Tanyanya.
“Iya. Asal lo yang nanti ngurus semuanya.” Jawab gua.
“Sip”
Beberapa jam berikutnya, Ketu mendapat balasan email dari pihak penyelenggara pameran. Sambil menatap layar ponselnya, ia mulai menyalin brief untuk pameran tersebut di papan tulis. Beserta dengan spesifikasi yang diperlukan. Gua berdiri, memposisikan tepat di belakang Ketu yang masih menyalin spesifikasi dari ponsel ke papan tulis.
“Ukuran kertas-nya harus A3?” Tanya gua ke Ketu ketika baru saja selesai menulis spesifikasi yang diperlukan.
“Iya” Jawabnya.
“Kenapa?” Tanya gua lagi.
“Nggak tau”
Gua yang nggak bisa menerima jawaban ‘nggak tau’ dari Ketu lalu meraih ponsel dari tangannya dan membaca brief beserta spesifikasi yang diperlukan melalui email. Rupanya, ukuran terkecil yang dibutuhkan adalah A3 agar bisa terlihat selaras dengan karya dari artis lain yang punya ukuran lumayan besar. Sementara, spesifikasi lainnya masih terlihat masuk akal buat gua, seperti; gramasi kertas hingga penggunaan pensil untuk membuat gambar.
Sementara untuk urusan briefnya sama sekali nggak ada yang bikin pusing. Hanya sebuah detail yang menarik perhatian gua karena tema karya harus berupa lanskap bangunan. Penasaran, gua mulai mencari nama pameran dan artis utamanya melalui browser pada ponsel milik Ketu. Pencarian menghasilkan sebuah nama artis kontemporer yang biasa membuat karya lukisan dengan tema lanskap bangunan dan alam terbuka.
‘Ah, mungkin ini alasan gua terpilih untuk mengisi slot yang kosong pada acara pameran itu’ Gua membatin dalam hati. Ada rasa lega setelah mengetahui, kalau ada alasan konkrit kenapa gua terpilih diantara ribuah artis lain yang sepertinya lebih baik dari gua.
—
Besoknya, Ketu mulai berkeliling dengan sepeda motor ‘baru’-nya, mencari kontrakan lain untuk tempat kami tinggal. Sementara, gua melanjutkan task pekerjaan, mencoba mengosongkan jadwal untuk beberapa minggu kedepan guna mengerjakan proyek pameran nanti.
Sesekali, Ketu mengirimkan foto penampakan rumah kontrakan yang ia sambangi melalui pesan. Gua yang nggak terlalu peduli dengan bentuk dan ukuran rumah tentu saja menyerahkan semuanya ke Ketu. Hanya satu syarat yang gua ajukan; “Kalo bisa banyak ventilasi-nya, Tu”.
Beberapa hari berikutnya, gua hampir berhasil menyelesaikan task-task yang tersisa. Kini tersisa satu task, yang mungkin terbilang mudah; Membuat story board untuk keperluan video komersial.
“Sal, ayo kalo mau liat kontrakan yang baru” Ajak Ketu yang kini sudah terlihat necis.
Gua memandangnya dari atas ke bawah. “Lo mau ngeliat kontrakan apa mau nonton orkes?” Tanya gua, bingung dengan penampilannya yang terlalu ‘keren’ untuk sekedar melihat rumah kontrakan.
“Udah cepet” Serunya.
“Bentar, tanggung” Jawab gua sambil lanjut menggambar yang kini sudah memasuki proses fill-in. Sementara, Ketu yang berdiri di belakang gua terus mengeluarkan suara-suara aneh dengan bagian bawah sol sepatunya, sengaja ingin membuat gua kesal dan kehilangan konsentrasi.
Gua menghela nafas panjang; meletakkan pensil di atas meja lalu berdiri, berbalik dan bersiap keluar. “Udah ayo-ayo…”
Ketu tersenyum, kemudian menyusul gua keluar.
Dengan gua berada di boncengan, ia membawa gua menyusuri jalan raya, kemudian masuk ke dalam sebuah gang yang diapit deretan ruko-ruko. Lokasinya nggak terlalu jauh dari tempat tinggal kami sebelumnya, jika ditempuh dengan sepeda motor, paling hanya membutuhkan waktu nggak sampai 10 menit.
Ketu menepikan sepeda motornya tepat di depan sebuah rumah dua lantai, berpagar besi warna hitam. Gua turun dari boncengan, mundur beberapa langkah, meraih ponsel dan mulai memotret rumah tersebut; iya buat bahan gambar gua nanti.
Ketu membuka pagarnya dan masuk ke area teras yang sepertinya juga berfungsi sebagai carport. Lalu pintu utama yang berukuran besar dengan bahan kayu yang diukir terbuka. Muncul sosok perempuan manis yang mengenakan hijab dan langsung mengucapkan salam. Ketu membetulkan posisi kerah kemejanya, kemudian membalas ucapan salam dengan syahdu.
‘Ah, ini dia alasan kenapa Ketu tampil necis’ Batin gua dalam hati.
“Sal, kenalin ini Nina, anak yang punya rumah” Ketu lalu memperkenalkan gua ke Nina. Gua menyatukan kedua telapak tangan dan mengajaknya berkenalan dengan cara islami sambil menyebut nama.
Nina lalu membuka pintu lebar-lebar, mengajak kami berdua untuk masuk ke dalam. Di dalam terlihat semua ruangan kosong melompong. Nina lalu bicara; “Nah ini ruang tamunya kak” ucapnya.
Gua mengernyitkan dahi. Bingung. Awalnya gua berpikir kalau rumah ini adalah rumah si pemilik kontrakan bukan rumah yang akan kami sewa. Karena rumahnya kelewat besar untuk ukuran kami yang hanya tinggal berdua. Gua menarik ujung kaos Ketu dan berbisik kepadanya; “Kita mau ngontrak rumah ini?”
“Iya…”
“Gila, gede banget, berapa duit?” Tanya gua lagi.
Ketu nggak menjawab, ia hanya tersenyum dan langsung kembali ke sisi Nina yang masih menunjukkan area-area di dalam rumah. Selesai dengan lantai satu, Nina lalu membawa kami ke atas, ke lantai dua. Dimana terdapat satu kamar, satu kamar mandi dan sebuah area kosong di tengah ruangan yang cukup luas.
Gua lalu menginterupsi penjelasan Nina dengan mengangkat tangan.
“Kenapa kak?” Tanyanya.
“Sorry, ini setahun berapa?” Gua balik bertanya, merujuk ke harga sewa rumah ini yang menurut gua pasti diluar dari budget yang sebelumnya sudah kami sepakati.
Baru saja Nina hendak memberi jawaban, Ketu menyela dengan menanyakan hal yang lain.
Setelah selesai berkeliling, kami bertiga kembali ke bawah, ke teras. “Tu, katanya ada tempat yang lain? Ayo kita liat dulu” Ajak gua sambil berbisik ke Ketu.
Namun ia menolak.
“Udah sing iki wae, Sal.. Wis mantep iki” Ucapnya, juga dengan cara berbisik.
Gua menghela nafas kemudian keluar, duduk di jok motor, sambil menyulut sebatang rokok.
Beberapa saat kemudian, Ketu menyusul keluar, dari ekspresi wajahnya yang girang gua bisa menebak kalau saat ini ia pasti sudah bikin kesepakatan dengan Nina. Kesepakatan kontrak rumah yang gua nggak ketahui.
Barulah saat kami makan di warteg, gua kembali mengajukan pertanyaan kepadanya; “Lo jawab yang jujur, itu sewa rumah berapa duit?”
Ketu nggak langsung menjawab, menunggu sampai semua makanan di mulutnya tertelan barulah ia memberi jawaban. Sebuah jawaban yang membuat gua langsung naik darah. Ia menyebutkan nominal harga sewa sebesar tiga kali lipat lebih besar dari yang sebelumnya sudah kami berdua sepekati.
“Lah, gimana sih Tu… Duit segitu kan bisa sewa buat tiga tahun” Seru gua.
“Tenang Sal. Itu rumahnya kan guede, ventilasine uakeh.. Kamare loro, kamu satu, aku satu. Kita nggak usah sempit-sempitan lagi…” Jawabnya.
“Iya, gua ngerti. Tapi, kita nggak butuh yang segede itu juga, Tu”
“Ya seharusnya kita malah nggak perlu pindah kalo bukan karena kamu takut. Lagian, Duit bisa dicari. Kan nanti dapet bayaran dari proyek pameran”
Jawabnya, kemudian lanjut makan seakan nggak ada yang terjadi. Sementara gua masih menatap kesal ke arahnya. Gua yakin, alasan yang ia kemukakan sebelumnya bukanlah alasan sebenarnya. Ia hanya ingin dekat dengan gadis manis bernama Nina.
Nggak menunggu lama, besoknya kami berdua mulai mengosongkan jadwal dan membersihkan rumah tersebut. Sementara, malamnya kami belajar kejar paket C. Beruntungnya, lokasi tempat belajar dekat dari rumah kontrakan baru kami. Saking dekatnya kami bisa berjalan kaki dengan hanya membutuhkan waktu nggak sampai 10 menit untuk tiba di yayasan tempat kami belajar.
Hari berikutnya, Ketu mulai mencicil, membawa barang-barang dari rumah kontrakan lama ke sini. Sementara, gua yang lebih dulu membawa peralatan menggambar sudah mulai mengerjakan proyek untuk keperluan pameran.
Gua memutar pensil, menatap ke arah dinding kosong sambil mencari inspirasi.
Dinding kosong sepertinya bukan tempat yang tepat untuk menatap sambil bengong. Gua berkeliling, dan mendapati sebuah spot yang sepertinya pas untuk tempat gua bekerja. Tepat di depan sebuah jendela besar dengan teralis besi, gua meletakkan meja gambar dan beberapa alat lain yang tersusun rapi pada sebuah rak besi kecil.
Gua duduk. Kini pemandangan di hadapan gua terlihat sedikit lebih baik. Langit yang biru dengan awan putih yang berarak terlihat seperti menaungi atap-atap rumah tetangga, gedung apartemen yang menjulang di kejauhan dan beberapa dahan dari pohon milik tetangga yang tinggi.
“Ah!” Gua berseru. Baru saja mendapat ide untuk proyek di pameran nanti.
Gua meraih lembaran kertas berukuran A3 yang baru saja kemarin dibeli oleh Ketu dan mulai membuat garis horison pada bagian tengah kertas. Disusul dua garis vertikal di kedua sisi terluar kertas, menasbihkan kalau gambar yang akan gua buat adalah sebuah bangunan yang amat besar.
Hari berganti hari, kini kesibukan gua bertambah seiring semakin gencarnya Ketu memposting karya-karya gua di portal portfolio khusus art dan desain.
Adakalanya, Ketu lebih banyak mereject request ketimbang menerimanya, karena antrian task sudah tak lagi memenuhi kuota dari tenaga gua yang segini-segini aja. Padahal, Ketu belum lama mini baru saja mengupgrade papan tulis tempat Ketu biasa menuliskan task-task untuk gua kerjakan, menjadi lebih besar.
Sementara, proyek untuk pameran sudah selesai gua kerjakan. Saat ini, hasil karya gua sudah dalam tahap finishing oleh pihak panitia pameran. Finishing disini, bukan artinya karya gua di touchup lagi, melainkan dipasang frame dan screen pelindung agar nggak rusak dan berdebu. Pihak penyelenggara juga menyertakan sebuah file yang nanti bakal dipasang pada bagian bawah karya yang berisi tentang informasinya.
Kini kekhawatiran gua tentang Tata tentu saja sudah sedikit mereda. Nyatanya, pindah rumah punya dampak yang cukup baik buat gua, dan mungkin juga buat dirinya.
Ketu mondar-mandir naik dan turun, dengan setelan pakaian yang berbeda. Setiap kali naik ia berpose tepat di depan gua dan bertanya; “Ini cocok Sal?” Tanyanya.
Hari ini merupakan hari pertama pembukaan pameran. Dan Ketu diharuskan tampil di sana untuk memberi penjelasan tentang karya yang sudah gua buat. Tentu saja gua sudah memberi penjelasan dan filosofi dari karya-karya yang sudah gua submit, dan semua karya tersebut saling berhubungan satu sama lain, bahkan semuanya memiliki satu judul yang sama; ‘Bangunan, Manusia dan Waktu’.
“Iya udah itu aja, Tu. Lo telanjang aja ganteng kok...” Ucap gua asal.
“Asu…” Serunya.
Sambil terus berganti pakaian, Ketu berusaha menghafalkan penjelasan akan karya yang sudah gua submit. 10 menit berikutnya, Ketu sudah pergi dengan sepeda motornya. Sementara gua duduk, bersandar pada kursi, dengan menaikkan kedua kaki di atas meja sambil memainkan pensil di jari kiri dan sebatang rokok di jari sebelah kanan.
Jujur, gua nggak terlalu peduli dengan hasil atau pandangan orang terhadap karya-karya gua di pameran nanti. Tapi, jujur gua khawatir kalau-kalau justru Ketu yang nanti malah bikin masalah dan ujung-ujungnya menguak identitas gua.
Berusaha mencari kesibukan, gua meraih sweater dan bersiap keluar. Berencana keluar untuk sekedar jalan-jalan mencari referensi dan sekalian membeli rokok untuk stok.
Gua meraih hoodie menutupi kepala, menghindari terik panas matahari yang menusuk. Kemudian menyusuri gang, menuju ke arah jalan raya. Langkah gua lalu terhenti saat melihat sosok perempuan berdiri di ujung gang, menatap ke arah gua dengan tatapan matanya yang tajam.
Kami berdua saling menatap dari kejauhan. Gua nggak mungkin kembali, tapi cukup enggan untuk terus melangkah maju.
—
Someday We'll Know - Mandy Moore
Ninety miles outside Chicago
Can't stop driving I don't know why
So many questions, I need an answer
Two years later you're still on my mind
Whatever happened to Amelia Earhart?
Who holds the stars up in the sky?
Is true love just once in a lifetime?
Did the captain of the Titanic cry? Oh
Someday we'll know if love can move a mountain
Someday we'll know why the sky is blue
Someday we'll know why I wasn't meant for you
Does anybody know the way to Atlantis?
Or what the wind says when she cries?
I'm speeding by the place that I met you
For the ninety-seventh time, tonight
jiyanq dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Kutip
Balas
Tutup