Setelah malam itu, hampir setiap hari gua terus menerus menghubungi Koko, ingin mengajaknya bertemu untuk mengembalikan laptop dan tablet gambar yang sejak proyek kemarin selesai gua nggak lai menggunakannya. Tapi, dia terus berkelit dan menolak.

Sementara, beberapa submission proyek mulai masuk lagi. Kali ini melalui media sosial. Beberapa orang mencoba menghubungi Ketu melalui fitur pesan, ingin meminta gua untuk membuatkan ilustrasi. Sebenarnya sudah banyak yang meminta gua untuk membuat ilustrasi melalui channel yang sama, namun gua sempat bilang ke Ketu kalau waktu yang gua punya terbatas. Jadi, Ketu-lah yang bertugas memilih dan memilah proyek yang bakal diambil. Biasanya, ia memprioritaskan calon klien perempuan dan dengan bayaran yang cukup besar.
Hari berganti hari, submission yang gua terima semakin banyak. Pasalnya, kini Ketu nggak hanya memposting karya gua melalui media sosial, melainkan juga melalui sebuah portal portfolio khusus art dan desain. Di web portal tersebut, pengunjung bisa dengan mudah melihat karya gua yang di posting Ketu, lalu melakukan ‘pemesanan’ hanya dengan sebuah klik.

Sejak saat itu, gua nggak lagi memiliki sama sekali waktu yang senggang. Gua malah merasa seperti sapi perah yang nggak henti-hentinya bekerja, sementara Ketu juga nggak kalah sibuk karena harus menyortir proyek yang masuk, membuat quotation dan invoice. Tapi, di sisi lain, banyaknya proyek yang masuk tentu saja seiring dengan semakin mengembangnya rekening bank kami berdua.
Hingga akhirnya gua sampai disatu titik. Titik dimana sepertinya gua sudah nggak bisa lagi melakukan dua hal sekaligus; bekerja di proyek dan menggambar.

“Tu, kayaknya nggak bisa nih kalo gini terus-terusan” Ucap gua ke Ketu. Saat itu, gua bicara sambil menyelesaikan sebuah gambar, sementara Ketu sibuk membuat invoice melalui aplikasi pada ponselnya.

“Maksudnya?” Tanyanya tanpa memalingkan pandangan dari layar ponsel.

“Gila, capek banget gua, pagi kerja, malem gambar…” Keluh gua seraya sesekali memijat bahu bagian kanan gua yang sekarang rasanya mau copot.

“Ya tapi kan, duite lumayan Sal” Ucap Ketu, santai.

“Punya duit tapi tangan patah buat apaan” Jawab gua.

“Terus kepiye?” Tanyanya.

“Coba lo kalkulasi lagi, income kita dari gambar sama dari kerja di proyek banyakan mana? Kalau mulai banyakan dari menggambar, kayaknya kita berhenti aja nggak sih dari kerja di proyek?”

“Tapi opo ra sayang, Sal?” Tanyanya lagi, ragu.

“Sayang sih, tapi kalau kita ambil dua-duanya kayak gini, jadi terkesan serakah nggak sih?”

“Iya sih…”

Kemudian, selama beberapa hari setelahnya, gua dan Ketu membahas perihal tersebut dengan intens. Nggak hanya melakukan pembahasan, Ketu bahkan mulai membuat proyeksi, rencana jangka pendek dan jangka menengah untuk kami berdua seandainya benar-benar meninggalkan pekerjaan sebagai tukang di proyek bangunan.

Sambil menatap kertas berisi tulisannya sendiri, Ketu berbicara; “Jadi, kalau mau settle dengan hanya menggambar, kita butuh income paling nggak sekian Sal” Ucapnya, kemudian menunjukkan hasil hitungannya pada selembar kertas ke gua.

“... Nah, untuk bisa dapet angka segitu, berarti tugas menggambar mu jadi semakin banyak”

“...”

“... Terus, kamu udah ra iso lagi tuh, nolak-nolak kerjaan. Piye, sanggup po ra?” Tanyanya.

Gua terdiam sebentar, kemudian menjawab; “Ya kalo cuma gambar doang sih kayaknya bisa”

“Jangan ‘kayaknya’, Sal. Soale kalau kita keluar dari kerjaan bangunan, wis susah balik. Piye, nek iso yo iso, nek ora yo ora?”

Sama sekali nggak ada kekhawatiran akan kondisi gua selanjutnya. Gua memulai ini semua dari 0. Dan seandainya gagal, gua bersedia untuk memulai kembali semuanya dari 0 lagi. Tapi, ini kan bukan hanya perkara gua seorang diri, ini juga melibatkan dirinya; Ketu.

“Gua sih Bisa. Lo gimana? Lo kan sekarang punya tanggungan karena bokap lo udah nggak bisa kerja”

“Aku yakin iso, Sal” Jawabnya, yakin.

“Yaudah kalo gitu, ayo”

Setelah memantapkan diri, kami berdua mulai mereview proyeksi dan rencana jangka pendek yang sudah dibuat oleh Ketu. Pertama; kami harus mengumpulkan sejumlah uang untuk membeli peralatan. Karena, gua sama sekali nggak mau menggunakan laptop dan tablet milik Koko. Kedua, kami berdua harus segera mengikuti kelas paket C.

Besoknya, kami berdua langsung bicara ke pimpinan proyek bangunan; Mas Juhdi tentang rencana keluar.

“Nah bagus itu. Jangan seumur hidup jadi tukang bangunan…” Ucap Mas Juhdi begitu mendengar alasan kami berdua keluar kerja untuk mengejar mimpi, melanjutkan sekolah.

“...”

“... Tapi, nanti aja keluarnya, abis bulan. Tanggung, nunggu gajian” Tambahnya.
Kami berdua pun setuju dengan usulan Mas Juhdi; menunggu hingga akhir bulan untuk keluar dari tempat kerja.

Pada prosesnya, fokus pada satu pekerjaan saja memang membuat hasil yang berbeda. Setelah keluar dari proyek bangunan, gua merasa kualitas gambar yang gua hasilkan jauh meningkat daripada sebelumnya. Mungkin faktor kelelahan yang selama ini menjadi penghambatnya.

Kini, hari-hari gua diisi hanya dengan menggambar. Sementara, Ketu yang kebagian tugas administrasinya. Selain itu, uang yang sudah terkumpul sekarang juga rasa-rasanya sudah cukup untuk kami mendaftar ‘Kejar paket C’. Jadi, Ketu mulai mencari tempat kejar paket C yang lokasinya nggak begitu jauh, agar kami bisa ‘belajar’ tanpa kehabisan waktu dan tenaga.

“Ada nih, Sal. Lokasinya nggak jauh. Tapi belajarnya malem” Ucap Ketu sambil menyodorkan sebuah brosur yang baru saja didapatnya.

Gua yang nggak mau ambil pusing lantas mengangguk.

“Yaudah terserah lo Tu, gua ngikut aja…”

“Yowis, besok ta’ daftarin ya”

“Iya…”

“Oiya Tu.. Waktu itu kan lo sempet ketemu sama klien pertama yang lewan si Koko”

“...”

“... Yang buat buku marketing itu lho”

“Oh, iya ho oh.. Yang kowe ra sido mlebu, ketemuan kan?”

“Iya…”

“Lo punya kontaknya?” Tanya gua.

“Buat opo?” Ia balik bertanya.

“Gua mau nyari si Koko. Mau gua samperin aja ke tempatnya, ngembaliin ini” Jawab gua seraya menunjuk ke arah Laptop dan Tablet yang kini sudah berada di dalam kardus.

“Lah terus hubungannya sama si klien opo?”

“Siapa tau dia tau alamatnya Koko”

“Oh.. bentar, ta’ cari dulu” Jawab Ketu, kemudian meraih tas selempang yang biasa ia kenakan. Lalu menuang isinya, yang disusul kertas-kertas bon, dan kartu nama berjatuhan di lantai. Ketu lalu mulai memeriksa kartu nama satu persatu.

Nggak seberapa lama, ia menyodorkan sebuah kartu nama berwarna hitam. Gua meraihnya dan mulai membaca nama serta nomor ponsel yang tertera pada kartu, kemudian memindahkan nama beserta nomornya ke kontak pada ponsel. Lalu, mulai mengetik pesan ke nomor tersebut; ‘Selamat malam, Mas. Sorry sebelumnya, gua Marshall yang sempat bikin ilustrasi di buku yang lo tulis. Boleh minta waktunya untuk ngobrol sebentar?’

Satu menit berikutnya, datang sebuah balasan pesan darinya; ‘Malam Mas Marshall. Boleh kok’

Gua lantas menekan tombol berwarna hijau di ujung layar; melakukan panggilan.

Sementara nada dering terdengar, gua meraih sebatang rokok, menyulutnya dan keluar menuju ke teras, masih dengan ponsel di telinga.

“Halo…” Terdengar sapaan pria tadi di ujung sana.

“Halo, Selamat malam mas, ini gua Marshall” Ucap gua membalas sapaan darinya dan memperkenalkan diri.

“Iya gimana Mas Marshall?” Tanyanya dengan nada suara yang santun.

“Jadi gini Mas. Eh gua panggil Mas Julian atau Jonathan nih enaknya?” Gua balik bertanya.

“Jeje aja” Jawabnya singkat.
—
*Yang belum tau dan kenal Jeje, bisa baca disiniya