- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#773
Spoiler for Part 33 - Rencana Ke Depan:
Setelahnya, gua beristirahat sejenak sambil menyandarkan tubuh ke dinding dan menyulut sebatang rokok. Sementara, ponsel milik Ketu terlihat berbunyi memunculkan notifikasi yang tak henti-hentinya. Penasaran, gua meraih ponsel miliknya dan melihat deretan notifikasi pada layarnya.
Hampir semua notifikasi berisi pesan melalui aplikasi media sosial yang biasa digunakannya. Salah satu notifikasi pesan menarik perhatian gua, notifikasi berisi nama pengirim; Tata19 yang isinya; ‘I Miss you so much’’.
Dengan tangan bergetar, gua menekan gambar profil akun tersebut. Yang lalu menampilkan sosok yang gua kenali; ‘Tata’
Damn!
Gua berdiri, beranjak masuk ke dalam kamar, kemudian membangunkan Ketu yang masih terlelap.
“Tu, Bangun.. Tu, Bangun..” Seru gua seraya menggoyangkan tubuhnya dengan menggunakan kaki.
Ia hanya merespon dengan menggumam tapi sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Gua beranjak ke kamar mandi, mengambil air dalam gayung dan bersiap untuk menyiramnya. Namun, setelah dipikir-pikir kayaknya terlalu ‘brutal’ kalau gua sampai harus menyiramnya. Tentu saja gua nggak khawatir akan dirinya, justru gua lebih khawatir kalau nanti kasur yang digunakannya basah.
Gua mencelupkan tangan ke dalam gayung berisi air dan mencipratkannya ke wajah Ketu. Satu kali; nggak ada efek apa-apa. Dua kali, tiga kali, barulah ke empat kalinya Ketu terbangun. Ia terduduk seraya menyeka wajahnya yang kini basah, kemudian menatap ke arah gua lalu berpaling ke gayung berisi air di tangan.
“Asu, apaan sih Sal?” Ucapnya, masih sambil menyeka wajah.
“Sini..” Seru gua, kemudian berdiri dan kembali ke depan.
Sambil sempoyongan dan mengucek matanya, Ketu mengikuti ke depan. Gua meraih ponsel dan menunjukkan layar yang menampilkan isi chat dari akun ‘Tata19’ kepada Ketu.
“Oh” Gumamnya pelan.
“Oh?” Tanya gua.
“Kenapa emang?” Ia balik bertanya.
“Ck.. Tu, ngapain sih lo chat-chat-an sama dia?” Tanya gua, masih menunjukkan layar ponsel yang menampilkan isi chat.
“Lah, ya orang dia duluan yang nge-chat. Aku bales dong…” Jawabnya tanpa sedikitpun merasa bersalah.
Barulah gua menyadari kalau mungkin saja Ketu nggak tau siapa yang selama ini diajaknya bicara melalui chat di media sosial. Gua lalu duduk, disusul Ketu yang duduk tepat di sebelah. Setelah menghela nafas panjang, gua kemudian bercerita tentang sosok Tata kepadanya. Tentu nggak semuanya gua ceritakan, gua hanya garis besarnya aja.
Selesai gua bicara, kini gantian si Ketu yang bercerita tentang awal mula ‘Tata19’ mengirimkan pesan kepadanya. Menurut pengakuan Ketu, si akun ini lebih dulu mengirimkan pesan yang isinya pujian akan gambar yang Ketu posting.
“Nggak semua chat aku bales, Sal…” Ucap Ketu.
“...”
“... Cuma cewek-cewek cakep aja yang aku bales chat-nya. Ya termasuk dia ini” Tambahnya.
Rupanya Ketu memang sengaja hanya membalas pesan yang berasal dari para cewek-cewek cakep. Nantinya, Ketu bakal mengeluarkan jurus rayuannya, berharap ia bisa menjaring kesempatan untuk berkenalan dan ujungnya tentu saja menjalin sebuah hubungan.
Modus yang digunakan Ketu buat gua terdengar normal. Kayaknya hampir semua cowok di dunia ini bakal menggunakan teknik yang sama saat ada kesempatan.
“Sorry ya, Sal” Ucap Ketu, yang kini pasang tampang menyesal.
Gua mengangguk dan mengembalikan ponsel kepadanya. Yakin, kalau dalam hal ini Ketu sama sekali nggak melakukan kesalahan. “Gapapa, Tu. Bukan salah lo kok”
“Terus kepiye iki, Sal?” Tanyanya.
“Yaudah sementara ini nggak usah lo ladenin dulu chat dari dia…” Ucap gua, yang lalu di responnya dengan anggukan kepala.
“...”
“... Eh tapi, lo nggak sempet ngasih alamat kita kan?” Tanya gua.
“Nggak kok, tenang wae…”
“Tapi, bisa nggak sih orang ngelacak lokasi dari media sosial?” Tanya gua lagi penasaran.
“Ya bisa-bisa aja, tapi kayaknya butuh skill dan perangkat khusus deh” Jawab si Ketu, ragu.
“Oh, yaudah deh…”
“Tapi, cewek lain yang chat, tetap boleh aku bales-balesin kan, Sal?” Tanyanya sambil cengengesan, kini ekspresi berganti menjadi penuh harap.
“Terserah…” Gua menjawab santai. Kemudian berdiri untuk mengembalikan gayung yang masih terisi air ke kamar mandi.
Besok paginya, sebelum berangkat kerja, Ketu menyempatkan diri mengantar draft ilustrasi yang sudah selesai gua buat ke Koko. Tentu saja dengan meminjam sepeda motor milik salah satu teman yang tinggal di sebelah rumah. Sementara, gua langsung berangkat menuju ke proyek untuk bekerja.
Selama bekerja, gua nggak henti-hentinya berpikir tentang kejadian semalam. ‘Bagaimana seandainya Tata tau gua ada dimana?’ Gua terus bertanya-tanya dalam hati.
Jujur, ketakutan terbesar gua bukanlah Tata tau tempat tinggal gua saat ini. Yang bikin gua takut justru orang-orang terdekatnya yang rasa-rasanya bakal memberikan tekanan berlebih ke Tata seandainya ia menemui gua.
Sorenya, saat pulang kerja, Ketu duduk menunggu gua tepat di depan gerbang proyek. “Sal, udah ada balesan nih dari Koko” Ucapnya.
“Apa katanya?” Tanya gua.
Ketu mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan dan menunjukkan pesan terakhir dari Koko. Sebuah pesan yang berisi salah satu foto draft ilustrasi yang semalam gua buat beserta keterangan; ‘Yang ini approved’.
“Oh Oke” Respon gua setelah melihat isi pesan dari Koko.
“Oiya Sal, nanti malem si Koko mau nganterin tools buat kamu katanya” Ketu menambahkan. Gua lalu teringat kalau, Koko kemarin menjanjikan untuk meminjami tools agar gua bisa membuat ilustrasi digital. Yang mana gua memang nggak punya alatnya dan belum pernah sama sekali melakukannya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
Sesuai dengan ucapan Koko kepada Ketu, malamnya ia datang. Kini Koko nggak menggunakan sepeda motor mahal miliknya, melainkan mengendarai sebuah sedan kecil yang ia parkir tepat di depan halaman kontrakan.
Koko keluar dari mobil dan langsung menyunggingkan senyum ke kami berdua yang tengah duduk merokok sambil ngopi di teras rumah.
Ia membuka pintu penumpang bagian belakang lalu mengeluarkan sebuah box berukuran besar, yang kemudian ia langsung letakkan di teras. Kembali ke pintu belakang mobilnya mengeluarkan box lain dan meletakkannya di atas kardus sebelumnya.
“Apaan nih? Kok banyak banget?” Tanya Ketu sambil mengamati tumpukan box yang kini berada di teras.
“Ya in tools yang gua bilang kemarin” Jawab Koko.
Gua nggak yakin dengan semua ini. Karena merasa barang-barang yang dibawa Koko saat ini semuanya terlihat baru.
“Ini beneran di pinjemin?” Tanya gua ke Koko.
“Nanti gua ceritain deh…” Jawab Koko.
Ia lalu mulai membuka segel pada kardus dan mengeluarkan isinya; sebuah laptop dengan logo mata yang terlihat super mahal. Kemudian beralih ke kardus satunya lagi, melakukan hal yang sama; membuka segel dan mengeluarkan isinya. Kini terlihat sebuah perangkat yang mirip layar monitor dengan beberapa tombol pada bagian sisinya.
Gua mengernyitkan dahi, begitu melihat perangkat tersebut.
“Apaan tuh?” Tanya gua.
“Drawing tablet” Jawab Koko santai.
“Kok gede banget?” Kini giliran Ketu yang mengajukan pertanyaan. Rasa penasarannya sama seperti gua, karena baru pertama kali melihat perangkat seperti ini.
Bukannya menjawab pertanyaan gua, Koko malah bicara hal lain. “Ini boleh nggak sih kita pindah ke dalem aja. Biar nggak jadi tontonan orang?” Tanya Koko saat menyadari sudah ada beberapa bocah yang berkerumun di depan rumah kontrakan.
Gua lalu masuk ke dalam. Sementara Ketu dan Koko terlihat membawa barang-barang tersebut menyusul masuk.
Di dalam, Koko mulai menyalakan satu persatu barang yang ia bawa. Pertama-tama ia menyalakan laptop dan memberi tahu gua dasar-dasar pengoperasiannya. Ia lalu melakukan pairing antara tablet gambar dengan laptop melalui sambungan nirkabel. Setelah selesai, tablet seukuran televisi 24 inch tersebut berpendar, memunculkan logo animasi 3D yang saling menari. Koko mengeluarkan sebuah benda seperti pensil berwarna hitam dan menyerahkannya ke gua.
“Coba deh…” Ucapnya, sambil memberikan benda seperti pensil dan menunjuk ke arah tablet gambar.
Penuh keraguan gua meraih pensil tersebut dan mulai membuat garis di atas permukaan tablet gambar. Seketika, layar pada tablet langsung menghasilkan garis sesuai dengan yang gua buat. Nggak hanya itu saja, pada layar laptop juga menampilkan hal yang sama; sebuah garis.
“Ini buat setting pressure pen-nya, nah kalo mau zoom lo tinggal gini aja, terus kalo mau pindah layar gini..” Koko mulai memberi penjelasan perkara fitur-fitur yang ada pada tablet gambar tersebut.
Sementara gua hanya bisa mendengar sambil tak kuasa menahan takjub.
Butuh waktu lebih dari dua jam untuk gua bisa memahami hampir semua fitur-fitur tersebut. Belum lagi untuk urusan laptop dan perkara install ini dan itu, gua jelas pusing. Bagusnya ada Ketu yang cukup paham dengan teknologi, jadi perkara Laptop biar Ketu saja yang mengurus. Jadi, gua bisa fokus memahami cara kerja si tablet gambar ini.
“Gimana? Udah paham kan?” Tanya Koko setelah memberi penjelasan panjang lebar. Kini wajah antusiasnya berganti dengan ekspresi lelah.
“Udah” Jawab gua penuh keraguan.
“Alhamdulillah…” Seru Koko.
“Tapi, kalo bingung, boleh gua tanya lagi?”
“Boleh”
“Terus satu lagi, Ko…”
“Apa?”
“Ini semua dipinjemin ke gua apa gimana?” Tanya gua, merasa aneh. Kenapa jika ini merupakan barang pinjaman, semuanya terlihat baru.
Koko yang sebelumnya menjawab gua dengan respon yang cepat, kini terdiam. Bola matanya menatap ke atas, sementara tangannya yang bebas ia gunakan untuk menggaruk kepalanya yang gua yakin nggak gatal.
“Eee, ya dipinjemin sih. Tapi, lo bisa pake sampe sepuas lo kok” Jawabnya dengan terbata-bata.
“Kalo proyek ini udah selesai?” Tanya gua lagi.
“Eee.. ya nanti kita obrolin lagi dah itu mah” Koko menjawab, kemudian berdiri dan bergegas pergi dengan terburu-buru.
‘Aneh banget!’ batin gua dalam hati.
Tapi, walau seaneh apapun perilaku dan sikapnya. Gua masih harus tetap mengerjakan proyek ini. Karena gua sudah terlanjur mengambil uang DP darinya untuk biaya pengobatan dan operasi bokapnya Ketu.
Nggak menunggu lama, malam itu juga, gua langsung mencoba dan belajar menggambar dengan menggunakan tablet. Awalnya gua merasa frustasi karena kesulitan mendapat feel yang tepat. Dengan menggunakan pensil dan kertas, gua bisa merasakan ‘getaran’, bisa dengan cepat mengatur pressure dan ketebalan yang gua inginkan. Gua tau, pada tablet yang gua pakai saat ini semua fitur tersebut tersedia, bahkan saat menggores saja, alat ini bisa mengeluarkan suara mirip goresan pada kertas. Namun, gua yang masih awam tentu saja kesulitan.
Setelah beberapa kali mencoba, gua mundur, menyipitkan mata dan menatap ke hasil gambar gua sendiri; terlihat sedikit berbeda. Rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang disana; hand-drawn feel.
Nggak mau menyerah, gua terus mencoba. Kini gua mengikuti saran dari Ketu untuk mencari video tutorial, tips dan trik menggunakan tablet gambar dari youtube. Setelah beberapa video berhasil gua tonton, gua kembali mencobanya. Kini rasanya sedikit berbeda, walau masih merasa tetap kesulitan.
Beberapa hari berikutnya, gua menghabiskan waktu malam hari untuk terus berlatih menggunakan tablet gambar. Setiap selesai menggambar, gua pasti langsung menunjukkannya ke Ketu, mencoba memperlihatkan kepadanya hasil gambar yang gua buat dengan cara ‘konvensional’ dengan versi digital. Goalsnya adalah membuat Ketu nggak bisa menemukan perbedaannya.
“Nah, ini udah mulai agak sulit ketebak nih” Serunya begitu melihat perbandingan gambar gua dengan menggunakan dua metode yang berbeda.
“Yakin?” Tanya gua.
“Yakin…” Jawabnya.
Karena merasa belum yakin dengan jawaban Ketu, gua lalu keluar dari kontrakan dan bertanya ke beberapa tetangga yang kebetulan belum tidur. Kemudian menunjukkan gambar yang sama seperti yang gua tunjukkan ke Ketu. Ternyata, mereka semua berpendapat sama; ‘Mirip’.
Gua menarik nafas lega dan menghembuskannya.
‘Besok, berarti gua udah bisa mulai proyeknya’ Batin gua dalam hati. Kemudian kembali ke kontrakan untuk beristirahat.
—
Besoknya, gua beraktifitas seperti biasa; pagi kerja di proyek sementara malam harinya gua gunakan untuk membuat ilustrasi pesanan Koko. Selain urusan keterbiasaan menggunakan tablet gambar, gua sama sekali nggak menemukan kendala teknis lainnya.
Kendala yang gua temui hanyalah perasaan mengganjal di dalam hati, perasaan yang sama yang gua rasakan saat berada di dalam penjara. Perasaan aneh karena harus menggambar karakter dan menggambar makhluk hidup yang bukan tumbuhan. Tapi, gua terus mengabaikan perasaan tersebut dan berusaha secepatnya menyelesaikan proyek ini.
Gua ingin segera menyelesaikan proyek ini dengan dua tujuan. Pertama; ingin segera mendapat bayaran, karena takutnya proses pengobatan dan operasi bokapnya Ketu masih membutuhkan biaya tambahan. Kedua; gua sungguh penasaran dengan status perlengkapan yang kini gua gunakan; laptop dan tablet gambar.
Beberapa hari sebelum deadline, gua sudah berhasil menyelesaikan semua ilustrasi yang dibutuhkan. Dari total 20 ilustrasi yang diminta, gua membuat 25 ilustrasi. Sengaja membuat 5 ilustrasi lebih banyak agar bisa ada opsi lain pada beberapa ilustrasi yang gua rasa masih sedikit kurang ‘maksimal’.
“Kirim Tu” Ucap gua ke Ketu setelah memindahkan semua file-file berisi ilustrasi gua ke dalam sebuah folder.
Gua menggeser duduk, kemudian Ketu menempati posisi gua sebelumnya, menghadap ke layar laptop. Ia lalu meng-klik di sana-sini, mengetik dan Selesai; “Udah, udah kukirim ke Koko” Ucapnya.
Ia lalu beralih ke ponselnya, kemudian mengirim pesan ke Koko. Memberi kabar kalau semua ilustrasinya sudah dikirim melalui email.
Nggak seberapa lama, Koko memberi balasan; ‘Ok, Gua forward dulu ke big boss’
“Tu, khusus yang ini jangan lo posting di media sosial ya” Ucap gua memberi peringatan ke Ketu.
“Lah emang kenapa? Ini kan bagus, karakter, ada warnanya lagi” Sanggahnya. Merasa gambar gua kali ini lebih baik dari sebelumnya karena merupakan gambar karakter dan gua sengaja membuatnya full color. Berbeda dengan karya-karya gua sebelumnya yang hanya berupa bangunan dengan arsiran pensil.
“Ya jangan lah. Ini kan nanti mau dipake sama klien. Kalo lo posting ntar kliennya marah” Gua menjawab.
“Iya, aku ngerti kok. Bercanda lho” Jawabnya sambil cengengesan.
Setelah menunggu hampir dua jam. Ponsel milik Ketu bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk. Kami langsung menunduk, menatap ke arah layar ponsel. Terlihat sebuah pesan dari Koko; ‘Udah mantab; Approved! Gua transfer sisanya ya’
Gua dan Ketu menoleh dan saling pandang, kemudian berteriak; “Yes!”
Uang hasil pengerjaan proyek sengaja kami tabung. Kami berdua sepakat kalau nanti bakal kami sama-sama gunakan untuk mendaftar Paket C agar paling tidak status kami berdua nggak lagi cuma sebagai lulusan SMP.
Sementara, pesan gua ke Koko melalui Ketu yang menanyakan nasib laptop dan tablet gambar yang masih berada di tangan gua, nggak kunjung mendapat jawaban.
“Lah enak malahan, Sal. Dapet laptop sama tablet gratis. Mana kayaknya mahal-mahal lagi nih barang” Ucap Ketu.
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Ketu barusan, kemudian berbalik dan bertanya; “Seberapa mahal emangnya, Tu? Lo tau harganya?”
“Nggak tau” Ketu menjawab seenaknya.
Gua melempar puntung rokok ke arahnya, seraya berseru; “Kata lo tadi mahal”
Ketu mencoba menghindar lemparan gua, kemudian menjawab; “Ya kan aku bilang ‘Kayaknya’”
“...”
“...Eh tapi, bentar, aku cari harganya nih…” Tambahnya, kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai melakukan riset.
Nggak lama berselang, wajahnya berubah, ekspresinya terlihat kaget dan ia menatap gua dengan pandangan nanar.
“Kenapa?” Tanya gua penasaran.
Ia membalik ponselnya ke arah gua, memperlihatkan sebuah tablet gambar, persis seperti yang gua pakai dan harganya yang nggak masuk akal.
“Jangkrik. Kita punya tiga aja tablet itu, kalo dijual bisa buat beli mobil, Sal” Ketu bicara dengan nada bergetar.
Gua merebut ponsel dari tangan Ketu dan memperhatikan dengan seksama. Ternyata memang benar, alat-alat tersebut terbilang sangat mahal. Kecurigaan gua kini semakin menjadi, bagaimana mungkin orang bisa mempercayakan barang yang nilainya tinggi ke orang lain yang belum lama dikenalnya. Ditambah lagi, kini Koko seakan mencoba menghindar saat gua ingin mengembalikan barang tersebut.
Dengan menggunakan ponsel milik Ketu, gua mencari nama Koko di daftar kontak dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suara menyapa; “Halo, yo Ketu my man, ada apa?”
“Ini gua; Marshall, Besok bisa kita ketemu?” Gua langsung mengajaknya untuk bertemu.
“Eh.. Mmm… Waduh so sorry, Sal. Besok gua nggak bisa” Sanggahnya
“Terus kapan lo ada waktu?” Tanya gua lagi.
“Mmm.. belum tau sih. Ada apaan sih emangnya?” Ia balik bertanya. Gua sadar, ia hanya berpura-pura tidak tau dan berusaha untuk menghindar.
“Gua mau balikin laptop sama tablet” Jawab gua.
“Oh urusan itu mah gampang. Nanti gua kabarin lagi deh ya. Sementara ini lo pake aja dulu” Ucap Koko, lalu dengan segera mengakhiri panggilan.
Mendapat jawaban seperti itu membuat kecurigaan gua semakin besar terhadapnya. Apa maksud dari semua ini?, dan siapa orang yang berada di balik Koko.
Hampir semua notifikasi berisi pesan melalui aplikasi media sosial yang biasa digunakannya. Salah satu notifikasi pesan menarik perhatian gua, notifikasi berisi nama pengirim; Tata19 yang isinya; ‘I Miss you so much’’.
Dengan tangan bergetar, gua menekan gambar profil akun tersebut. Yang lalu menampilkan sosok yang gua kenali; ‘Tata’
Damn!
Gua berdiri, beranjak masuk ke dalam kamar, kemudian membangunkan Ketu yang masih terlelap.
“Tu, Bangun.. Tu, Bangun..” Seru gua seraya menggoyangkan tubuhnya dengan menggunakan kaki.
Ia hanya merespon dengan menggumam tapi sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Gua beranjak ke kamar mandi, mengambil air dalam gayung dan bersiap untuk menyiramnya. Namun, setelah dipikir-pikir kayaknya terlalu ‘brutal’ kalau gua sampai harus menyiramnya. Tentu saja gua nggak khawatir akan dirinya, justru gua lebih khawatir kalau nanti kasur yang digunakannya basah.
Gua mencelupkan tangan ke dalam gayung berisi air dan mencipratkannya ke wajah Ketu. Satu kali; nggak ada efek apa-apa. Dua kali, tiga kali, barulah ke empat kalinya Ketu terbangun. Ia terduduk seraya menyeka wajahnya yang kini basah, kemudian menatap ke arah gua lalu berpaling ke gayung berisi air di tangan.
“Asu, apaan sih Sal?” Ucapnya, masih sambil menyeka wajah.
“Sini..” Seru gua, kemudian berdiri dan kembali ke depan.
Sambil sempoyongan dan mengucek matanya, Ketu mengikuti ke depan. Gua meraih ponsel dan menunjukkan layar yang menampilkan isi chat dari akun ‘Tata19’ kepada Ketu.
“Oh” Gumamnya pelan.
“Oh?” Tanya gua.
“Kenapa emang?” Ia balik bertanya.
“Ck.. Tu, ngapain sih lo chat-chat-an sama dia?” Tanya gua, masih menunjukkan layar ponsel yang menampilkan isi chat.
“Lah, ya orang dia duluan yang nge-chat. Aku bales dong…” Jawabnya tanpa sedikitpun merasa bersalah.
Barulah gua menyadari kalau mungkin saja Ketu nggak tau siapa yang selama ini diajaknya bicara melalui chat di media sosial. Gua lalu duduk, disusul Ketu yang duduk tepat di sebelah. Setelah menghela nafas panjang, gua kemudian bercerita tentang sosok Tata kepadanya. Tentu nggak semuanya gua ceritakan, gua hanya garis besarnya aja.
Selesai gua bicara, kini gantian si Ketu yang bercerita tentang awal mula ‘Tata19’ mengirimkan pesan kepadanya. Menurut pengakuan Ketu, si akun ini lebih dulu mengirimkan pesan yang isinya pujian akan gambar yang Ketu posting.
“Nggak semua chat aku bales, Sal…” Ucap Ketu.
“...”
“... Cuma cewek-cewek cakep aja yang aku bales chat-nya. Ya termasuk dia ini” Tambahnya.
Rupanya Ketu memang sengaja hanya membalas pesan yang berasal dari para cewek-cewek cakep. Nantinya, Ketu bakal mengeluarkan jurus rayuannya, berharap ia bisa menjaring kesempatan untuk berkenalan dan ujungnya tentu saja menjalin sebuah hubungan.
Modus yang digunakan Ketu buat gua terdengar normal. Kayaknya hampir semua cowok di dunia ini bakal menggunakan teknik yang sama saat ada kesempatan.
“Sorry ya, Sal” Ucap Ketu, yang kini pasang tampang menyesal.
Gua mengangguk dan mengembalikan ponsel kepadanya. Yakin, kalau dalam hal ini Ketu sama sekali nggak melakukan kesalahan. “Gapapa, Tu. Bukan salah lo kok”
“Terus kepiye iki, Sal?” Tanyanya.
“Yaudah sementara ini nggak usah lo ladenin dulu chat dari dia…” Ucap gua, yang lalu di responnya dengan anggukan kepala.
“...”
“... Eh tapi, lo nggak sempet ngasih alamat kita kan?” Tanya gua.
“Nggak kok, tenang wae…”
“Tapi, bisa nggak sih orang ngelacak lokasi dari media sosial?” Tanya gua lagi penasaran.
“Ya bisa-bisa aja, tapi kayaknya butuh skill dan perangkat khusus deh” Jawab si Ketu, ragu.
“Oh, yaudah deh…”
“Tapi, cewek lain yang chat, tetap boleh aku bales-balesin kan, Sal?” Tanyanya sambil cengengesan, kini ekspresi berganti menjadi penuh harap.
“Terserah…” Gua menjawab santai. Kemudian berdiri untuk mengembalikan gayung yang masih terisi air ke kamar mandi.
Besok paginya, sebelum berangkat kerja, Ketu menyempatkan diri mengantar draft ilustrasi yang sudah selesai gua buat ke Koko. Tentu saja dengan meminjam sepeda motor milik salah satu teman yang tinggal di sebelah rumah. Sementara, gua langsung berangkat menuju ke proyek untuk bekerja.
Selama bekerja, gua nggak henti-hentinya berpikir tentang kejadian semalam. ‘Bagaimana seandainya Tata tau gua ada dimana?’ Gua terus bertanya-tanya dalam hati.
Jujur, ketakutan terbesar gua bukanlah Tata tau tempat tinggal gua saat ini. Yang bikin gua takut justru orang-orang terdekatnya yang rasa-rasanya bakal memberikan tekanan berlebih ke Tata seandainya ia menemui gua.
Sorenya, saat pulang kerja, Ketu duduk menunggu gua tepat di depan gerbang proyek. “Sal, udah ada balesan nih dari Koko” Ucapnya.
“Apa katanya?” Tanya gua.
Ketu mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan dan menunjukkan pesan terakhir dari Koko. Sebuah pesan yang berisi salah satu foto draft ilustrasi yang semalam gua buat beserta keterangan; ‘Yang ini approved’.
“Oh Oke” Respon gua setelah melihat isi pesan dari Koko.
“Oiya Sal, nanti malem si Koko mau nganterin tools buat kamu katanya” Ketu menambahkan. Gua lalu teringat kalau, Koko kemarin menjanjikan untuk meminjami tools agar gua bisa membuat ilustrasi digital. Yang mana gua memang nggak punya alatnya dan belum pernah sama sekali melakukannya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
Sesuai dengan ucapan Koko kepada Ketu, malamnya ia datang. Kini Koko nggak menggunakan sepeda motor mahal miliknya, melainkan mengendarai sebuah sedan kecil yang ia parkir tepat di depan halaman kontrakan.
Koko keluar dari mobil dan langsung menyunggingkan senyum ke kami berdua yang tengah duduk merokok sambil ngopi di teras rumah.
Ia membuka pintu penumpang bagian belakang lalu mengeluarkan sebuah box berukuran besar, yang kemudian ia langsung letakkan di teras. Kembali ke pintu belakang mobilnya mengeluarkan box lain dan meletakkannya di atas kardus sebelumnya.
“Apaan nih? Kok banyak banget?” Tanya Ketu sambil mengamati tumpukan box yang kini berada di teras.
“Ya in tools yang gua bilang kemarin” Jawab Koko.
Gua nggak yakin dengan semua ini. Karena merasa barang-barang yang dibawa Koko saat ini semuanya terlihat baru.
“Ini beneran di pinjemin?” Tanya gua ke Koko.
“Nanti gua ceritain deh…” Jawab Koko.
Ia lalu mulai membuka segel pada kardus dan mengeluarkan isinya; sebuah laptop dengan logo mata yang terlihat super mahal. Kemudian beralih ke kardus satunya lagi, melakukan hal yang sama; membuka segel dan mengeluarkan isinya. Kini terlihat sebuah perangkat yang mirip layar monitor dengan beberapa tombol pada bagian sisinya.
Gua mengernyitkan dahi, begitu melihat perangkat tersebut.
“Apaan tuh?” Tanya gua.
“Drawing tablet” Jawab Koko santai.
“Kok gede banget?” Kini giliran Ketu yang mengajukan pertanyaan. Rasa penasarannya sama seperti gua, karena baru pertama kali melihat perangkat seperti ini.
Bukannya menjawab pertanyaan gua, Koko malah bicara hal lain. “Ini boleh nggak sih kita pindah ke dalem aja. Biar nggak jadi tontonan orang?” Tanya Koko saat menyadari sudah ada beberapa bocah yang berkerumun di depan rumah kontrakan.
Gua lalu masuk ke dalam. Sementara Ketu dan Koko terlihat membawa barang-barang tersebut menyusul masuk.
Di dalam, Koko mulai menyalakan satu persatu barang yang ia bawa. Pertama-tama ia menyalakan laptop dan memberi tahu gua dasar-dasar pengoperasiannya. Ia lalu melakukan pairing antara tablet gambar dengan laptop melalui sambungan nirkabel. Setelah selesai, tablet seukuran televisi 24 inch tersebut berpendar, memunculkan logo animasi 3D yang saling menari. Koko mengeluarkan sebuah benda seperti pensil berwarna hitam dan menyerahkannya ke gua.
“Coba deh…” Ucapnya, sambil memberikan benda seperti pensil dan menunjuk ke arah tablet gambar.
Penuh keraguan gua meraih pensil tersebut dan mulai membuat garis di atas permukaan tablet gambar. Seketika, layar pada tablet langsung menghasilkan garis sesuai dengan yang gua buat. Nggak hanya itu saja, pada layar laptop juga menampilkan hal yang sama; sebuah garis.
“Ini buat setting pressure pen-nya, nah kalo mau zoom lo tinggal gini aja, terus kalo mau pindah layar gini..” Koko mulai memberi penjelasan perkara fitur-fitur yang ada pada tablet gambar tersebut.
Sementara gua hanya bisa mendengar sambil tak kuasa menahan takjub.
Butuh waktu lebih dari dua jam untuk gua bisa memahami hampir semua fitur-fitur tersebut. Belum lagi untuk urusan laptop dan perkara install ini dan itu, gua jelas pusing. Bagusnya ada Ketu yang cukup paham dengan teknologi, jadi perkara Laptop biar Ketu saja yang mengurus. Jadi, gua bisa fokus memahami cara kerja si tablet gambar ini.
“Gimana? Udah paham kan?” Tanya Koko setelah memberi penjelasan panjang lebar. Kini wajah antusiasnya berganti dengan ekspresi lelah.
“Udah” Jawab gua penuh keraguan.
“Alhamdulillah…” Seru Koko.
“Tapi, kalo bingung, boleh gua tanya lagi?”
“Boleh”
“Terus satu lagi, Ko…”
“Apa?”
“Ini semua dipinjemin ke gua apa gimana?” Tanya gua, merasa aneh. Kenapa jika ini merupakan barang pinjaman, semuanya terlihat baru.
Koko yang sebelumnya menjawab gua dengan respon yang cepat, kini terdiam. Bola matanya menatap ke atas, sementara tangannya yang bebas ia gunakan untuk menggaruk kepalanya yang gua yakin nggak gatal.
“Eee, ya dipinjemin sih. Tapi, lo bisa pake sampe sepuas lo kok” Jawabnya dengan terbata-bata.
“Kalo proyek ini udah selesai?” Tanya gua lagi.
“Eee.. ya nanti kita obrolin lagi dah itu mah” Koko menjawab, kemudian berdiri dan bergegas pergi dengan terburu-buru.
‘Aneh banget!’ batin gua dalam hati.
Tapi, walau seaneh apapun perilaku dan sikapnya. Gua masih harus tetap mengerjakan proyek ini. Karena gua sudah terlanjur mengambil uang DP darinya untuk biaya pengobatan dan operasi bokapnya Ketu.
Nggak menunggu lama, malam itu juga, gua langsung mencoba dan belajar menggambar dengan menggunakan tablet. Awalnya gua merasa frustasi karena kesulitan mendapat feel yang tepat. Dengan menggunakan pensil dan kertas, gua bisa merasakan ‘getaran’, bisa dengan cepat mengatur pressure dan ketebalan yang gua inginkan. Gua tau, pada tablet yang gua pakai saat ini semua fitur tersebut tersedia, bahkan saat menggores saja, alat ini bisa mengeluarkan suara mirip goresan pada kertas. Namun, gua yang masih awam tentu saja kesulitan.
Setelah beberapa kali mencoba, gua mundur, menyipitkan mata dan menatap ke hasil gambar gua sendiri; terlihat sedikit berbeda. Rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang disana; hand-drawn feel.
Nggak mau menyerah, gua terus mencoba. Kini gua mengikuti saran dari Ketu untuk mencari video tutorial, tips dan trik menggunakan tablet gambar dari youtube. Setelah beberapa video berhasil gua tonton, gua kembali mencobanya. Kini rasanya sedikit berbeda, walau masih merasa tetap kesulitan.
Beberapa hari berikutnya, gua menghabiskan waktu malam hari untuk terus berlatih menggunakan tablet gambar. Setiap selesai menggambar, gua pasti langsung menunjukkannya ke Ketu, mencoba memperlihatkan kepadanya hasil gambar yang gua buat dengan cara ‘konvensional’ dengan versi digital. Goalsnya adalah membuat Ketu nggak bisa menemukan perbedaannya.
“Nah, ini udah mulai agak sulit ketebak nih” Serunya begitu melihat perbandingan gambar gua dengan menggunakan dua metode yang berbeda.
“Yakin?” Tanya gua.
“Yakin…” Jawabnya.
Karena merasa belum yakin dengan jawaban Ketu, gua lalu keluar dari kontrakan dan bertanya ke beberapa tetangga yang kebetulan belum tidur. Kemudian menunjukkan gambar yang sama seperti yang gua tunjukkan ke Ketu. Ternyata, mereka semua berpendapat sama; ‘Mirip’.
Gua menarik nafas lega dan menghembuskannya.
‘Besok, berarti gua udah bisa mulai proyeknya’ Batin gua dalam hati. Kemudian kembali ke kontrakan untuk beristirahat.
—
Besoknya, gua beraktifitas seperti biasa; pagi kerja di proyek sementara malam harinya gua gunakan untuk membuat ilustrasi pesanan Koko. Selain urusan keterbiasaan menggunakan tablet gambar, gua sama sekali nggak menemukan kendala teknis lainnya.
Kendala yang gua temui hanyalah perasaan mengganjal di dalam hati, perasaan yang sama yang gua rasakan saat berada di dalam penjara. Perasaan aneh karena harus menggambar karakter dan menggambar makhluk hidup yang bukan tumbuhan. Tapi, gua terus mengabaikan perasaan tersebut dan berusaha secepatnya menyelesaikan proyek ini.
Gua ingin segera menyelesaikan proyek ini dengan dua tujuan. Pertama; ingin segera mendapat bayaran, karena takutnya proses pengobatan dan operasi bokapnya Ketu masih membutuhkan biaya tambahan. Kedua; gua sungguh penasaran dengan status perlengkapan yang kini gua gunakan; laptop dan tablet gambar.
Beberapa hari sebelum deadline, gua sudah berhasil menyelesaikan semua ilustrasi yang dibutuhkan. Dari total 20 ilustrasi yang diminta, gua membuat 25 ilustrasi. Sengaja membuat 5 ilustrasi lebih banyak agar bisa ada opsi lain pada beberapa ilustrasi yang gua rasa masih sedikit kurang ‘maksimal’.
“Kirim Tu” Ucap gua ke Ketu setelah memindahkan semua file-file berisi ilustrasi gua ke dalam sebuah folder.
Gua menggeser duduk, kemudian Ketu menempati posisi gua sebelumnya, menghadap ke layar laptop. Ia lalu meng-klik di sana-sini, mengetik dan Selesai; “Udah, udah kukirim ke Koko” Ucapnya.
Ia lalu beralih ke ponselnya, kemudian mengirim pesan ke Koko. Memberi kabar kalau semua ilustrasinya sudah dikirim melalui email.
Nggak seberapa lama, Koko memberi balasan; ‘Ok, Gua forward dulu ke big boss’
“Tu, khusus yang ini jangan lo posting di media sosial ya” Ucap gua memberi peringatan ke Ketu.
“Lah emang kenapa? Ini kan bagus, karakter, ada warnanya lagi” Sanggahnya. Merasa gambar gua kali ini lebih baik dari sebelumnya karena merupakan gambar karakter dan gua sengaja membuatnya full color. Berbeda dengan karya-karya gua sebelumnya yang hanya berupa bangunan dengan arsiran pensil.
“Ya jangan lah. Ini kan nanti mau dipake sama klien. Kalo lo posting ntar kliennya marah” Gua menjawab.
“Iya, aku ngerti kok. Bercanda lho” Jawabnya sambil cengengesan.
Setelah menunggu hampir dua jam. Ponsel milik Ketu bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk. Kami langsung menunduk, menatap ke arah layar ponsel. Terlihat sebuah pesan dari Koko; ‘Udah mantab; Approved! Gua transfer sisanya ya’
Gua dan Ketu menoleh dan saling pandang, kemudian berteriak; “Yes!”
Uang hasil pengerjaan proyek sengaja kami tabung. Kami berdua sepakat kalau nanti bakal kami sama-sama gunakan untuk mendaftar Paket C agar paling tidak status kami berdua nggak lagi cuma sebagai lulusan SMP.
Sementara, pesan gua ke Koko melalui Ketu yang menanyakan nasib laptop dan tablet gambar yang masih berada di tangan gua, nggak kunjung mendapat jawaban.
“Lah enak malahan, Sal. Dapet laptop sama tablet gratis. Mana kayaknya mahal-mahal lagi nih barang” Ucap Ketu.
Gua mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapan Ketu barusan, kemudian berbalik dan bertanya; “Seberapa mahal emangnya, Tu? Lo tau harganya?”
“Nggak tau” Ketu menjawab seenaknya.
Gua melempar puntung rokok ke arahnya, seraya berseru; “Kata lo tadi mahal”
Ketu mencoba menghindar lemparan gua, kemudian menjawab; “Ya kan aku bilang ‘Kayaknya’”
“...”
“...Eh tapi, bentar, aku cari harganya nih…” Tambahnya, kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai melakukan riset.
Nggak lama berselang, wajahnya berubah, ekspresinya terlihat kaget dan ia menatap gua dengan pandangan nanar.
“Kenapa?” Tanya gua penasaran.
Ia membalik ponselnya ke arah gua, memperlihatkan sebuah tablet gambar, persis seperti yang gua pakai dan harganya yang nggak masuk akal.
“Jangkrik. Kita punya tiga aja tablet itu, kalo dijual bisa buat beli mobil, Sal” Ketu bicara dengan nada bergetar.
Gua merebut ponsel dari tangan Ketu dan memperhatikan dengan seksama. Ternyata memang benar, alat-alat tersebut terbilang sangat mahal. Kecurigaan gua kini semakin menjadi, bagaimana mungkin orang bisa mempercayakan barang yang nilainya tinggi ke orang lain yang belum lama dikenalnya. Ditambah lagi, kini Koko seakan mencoba menghindar saat gua ingin mengembalikan barang tersebut.
Dengan menggunakan ponsel milik Ketu, gua mencari nama Koko di daftar kontak dan mulai menghubunginya. Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suara menyapa; “Halo, yo Ketu my man, ada apa?”
“Ini gua; Marshall, Besok bisa kita ketemu?” Gua langsung mengajaknya untuk bertemu.
“Eh.. Mmm… Waduh so sorry, Sal. Besok gua nggak bisa” Sanggahnya
“Terus kapan lo ada waktu?” Tanya gua lagi.
“Mmm.. belum tau sih. Ada apaan sih emangnya?” Ia balik bertanya. Gua sadar, ia hanya berpura-pura tidak tau dan berusaha untuk menghindar.
“Gua mau balikin laptop sama tablet” Jawab gua.
“Oh urusan itu mah gampang. Nanti gua kabarin lagi deh ya. Sementara ini lo pake aja dulu” Ucap Koko, lalu dengan segera mengakhiri panggilan.
Mendapat jawaban seperti itu membuat kecurigaan gua semakin besar terhadapnya. Apa maksud dari semua ini?, dan siapa orang yang berada di balik Koko.
Lanjut ke bawah(Nggak muat)
Diubah oleh robotpintar 14-04-2024 23:47
Herisyahrian dan 36 lainnya memberi reputasi
37
Kutip
Balas
Tutup