- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
darmasant dan 123 lainnya memberi reputasi
124
120K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#754
Part 32 - Kemungkinan yang Diusahakan
Spoiler for Part 32 - Kemungkinan yang Diusahakan:
Beberapa hari setelah pertemuan gua dengan si perempuan karbol, gua pikir perempuan itu hanya ingin sekedar bersikap sok manis dengan meminta nomor ponsel gua. Karena sejak saat itu, ia sama sekali nggak mencoba menghubungi gua, entah melalui panggilan telepon atau pesan singkat. Kini, gua yakin kalau, ia betul-betul hanya ingin mengetahui kabar Marshall.
Setelah, gua hampir lupa pernah memberikan nomor ponsel ke si perempuan karbol, saat gua tengah duduk di kursi meja belajar, di dalam kamar, sambil menghadapi sketchbook, ponsel gua berdering. Layarnya menampilkan deretan nomor yang nggak gua kenal.
Gua menunggu dan membiarkannya tetap berdering. Enggan menjawab panggilan telepon dari nomor yang nggak gua kenali. Seandainya memang ini perihal urusan penting, orang itu pasti akan mengirimkan pesan.
Tebakan gua ternyata benar.
Setelah beberapa kali berdering dan nggak gua jawab, sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan yang berasal dari nomor asing yang tadi sempat beberapa kali menghubungi gua; Tata.
‘Hi, Pop. Ini Aku; Tata. Boleh aku telp?’
‘Untuk?’ Gua membalas
Nggak lama berselang, Tata mengirim balasan yang isinya nggak kalah singkat dari pesan gua sebelumnya; ‘Ngobrol’
Walau gua tau alasan dia mau menelpon yang pastinya tentang Marshall, tapi gua tetap bertanya; ‘Tentang?’
‘Marshall’ Balasnya. Sesuai dengan tebakan gua sebelumnya.
Gua meletakkan ponsel di atas meja, kemudian melanjutkan menggambar sambil memikirkan kalimat-kalimat apa yang bakal gua gunakan saat mengobrol dengannya.
Setelah beberapa lama, barulah gua meraih ponsel, dan mulai menghubungi nomor milik Tata. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu terdengar sapaannya di ujung sana;“Halo…”
“...”
“... Halo”
“Kenapa?” tanya gua, mengabaikan sapaan darinya.
“Hmmm… Aku nggak ganggu kan?” Tanyanya, mencoba berbasa-basi.
“Ya tergantung. Kalo obrolan yang lo maksud tadi ternyata nggak penting; lo ganggu waktu gua” Jawab gua.
“Menurutku sih penting”
“Apa?” Tanya gua lagi.
“Aku kayaknya tau Marshall ada dimana deh, Pop” Ucapnya dengan nada yang seakan dibuat sengaja terdengar datar.
Mendengar ucapannya barusan tentu saja membuat gua cukup terkejut. ‘Bagaimana mungkin ia bisa dengan cepat mengetahui keberadaan Marshall? Batin gua dalam hati. Tapi, tentu saja gua nggak mau terdengar kaget di depannya, bakal menjatuhkan harga diri.
Gua menutup area speaker pada ponsel, berdehem sebentar untuk menyesuaikan suara kemudian bicara; “Oh, terus?”
“Kamu emang nggak mau tau?” Tanyanya.
“Mau” Gua memberi jawaban dengan cepat. Yang merupakan respon alamiah dari gua, dan barulah gua sadari, kalau gua keceplosan.
“Lah, gimana? Kamu mau tau tentang Marshall tapi kok kayaknya respon kamu tadi biasa aja”
“Ya emang kalo kaget harus gimana? Salto?” Tanya gua, berusaha menjaga agar terdengar tetap cool.
“Nggak sih, soalnya nada suara kamu tuh kedengeran datar aja..”
“Ya emang gua gini kok, emang nggak ekspresif” Gua menjawab, berbohong.
“Jadi, mau tau nggak dimana Marshall sekarang?” Tanyanya lagi.
“Kalo lo mau ngasih tau, langsung kasih tau aja. Kalo lo nggak mau ngasih tau juga gapapa sih”.
“Aku jadi bingung sama kamu, Pop…”
“Bingung kenapa?”.
“Sebenernya, kamu ini masih mau memperjuangkan Marshall nggak sih?” Ia langsung bertanya, langsung, tanpa tedeng aling-aling.
“Gini ya, Ta. Lo kayaknya terlalu lama hidup di sangkar emas deh. Menurut lo cinta itu harus gimana sih? Menurut lo cinta itu hanya satu arah? Cinta itu harus dua arah, Ta. Buat apa kalau hanya gua yang memperjuangkan hubungan, sementara cowoknya nggak mau…”
“Kamu nyindir aku?” Ia bertanya, mencoba mengkonfirmasi.
“Oh Nggak, Ta. Tapi, gua jadi tau nih, kalau ternyata Marshall juga nggak mau memperjuangkan hubungan kalian kan?”
“Ya, berarti kamu juga sama kan?” Tanyaku lagi.
“Iya” Poppy menjawab singkat.
“...”
“... Sekarang ini Ta, kita sama-sama cewek yang bukan siapa-siapanya dia. Hanya kebetulan aja, disini gua, nggak mau mengejar sesuatu yang nggak pasti…”
“...”
“... Dan seandainya sekarang gua tau dimana lokasi Marshall. Gua nggak bakal nyari atau nyamperin dia.”
“Kenapa?”
“Karena gua yakin, dia pergi karena suatu alasan. Dan gua berusaha untuk menghormati pilihannya. Seandainya memang takdir bakal mempertemukan kami lagi, ya gua bakal menerimanya. Sambil menunggu takdir itu datang, gua sebisa mungkin memperbaiki diri agar menjadi pantas buatnya, ya sambil sekalian mengejar mimpi..” Gua memberi penjelasan.
Setelah selesai bicara, gua nggak mendengar respon darinya. Ia seakan-akan hilang.
“Halo…”
Tata barulah ia menjawab; “Ya”.
“Lo masih mau ngasih tau Marshall dimana?” Tanya gua, kembali menegaskan maksud dan tujuannya menghubungi gua.
“Iya, nanti aku chat lokasinya kalau aku udah tau..” Jawabnya.
Mendengar jawabannya barusan, jelas membuat gua bingung. ‘Tadi katanya, mau ngasih tau dimana Marshall. Terus, sekarang bilang ‘kalau sudah tau’’ Batin gua dalam hati; “Lah, jadi lo juga belum tau?”
“Hampir…”
“Oh… Yaudah nanti kalau lo udah dapet alamatnya, Let me know ya. Tapi, seandainya lo nggak mau ngasih tau, ya gapapa”
“Iya, pasti aku kasih tau kok” Jawabnya.
“Ok, eh Ta..”
“Ya?”
“Sebelumnya, lo merasa terganggu nggak sih?” Gua mengajukan pertanyaan, penasaran dengan bagaimana perasaan dirinya saat mendapati pria yang ia sukai dan lama tak ditemui, terlihat bersama perempuan lain; bersama gua.
“Terganggu? Kenapa?” Ia balik bertanya.
“Waktu lo tau kalau Marshall, cowok yang selama ini lo suka dan lo tunggu, ternyata dekat sama cewek kayak gua?”
“Hmmm… Cukup terganggu sih” Ia memberi jawaban. Jawaban yang terdengar ragu-ragu.
“Oh…”
“Tapi, seandainya kita sama-sama berjuang dengan fair, aku rasa nggak ada masalah. Biar aja Marshall dan keberuntungan yang memutuskan” Tata memberi jawaban, berlagak filosofis.
“Hahaha.. Tau apa lo tentang keberuntungan?”
“Ya semua hal kan pasti ada faktor keberuntungannya, Pop” Jawabnya.
“Buat gua sih nggak”
“Hah. Nggak mungkin lah. Keberuntungan itu permainan Tuhan Pop. Bagian dari takdir” Ia memberikan penjelasan, pengertiannya tentang keberuntungan.
“Oh gitu, sorry nih Ta. Berarti arti keberuntungan lo sama gua beda”.
“Beda gimana?” Tanyanya.
“Waktu terakhir lo berangkat atau pulang kerja, berapa banyak mobil warna merah yang lo liat?”
“Hmmm… Nggak tau deh, nggak merhatiin” Jawabnya.
“Ok, seandainya, gua bakal ngasih lo duit 1 juta setiap lo ngeliat mobil warna merah, kira-kira gimana?”.
“Ya, aku bakal nyari lah. Kalo perlu aku muter-muter dulu buat sengaja nyari mobil yang warnanya merah”
“Nah, gitu lah kira-kira cara kerja keberuntungan menurut gua. Gua nggak mau nunggu keberuntungan itu dateng. Gua mau sebisa mungkin membuat kemungkinan-kemungkinan biar kesempatan agar keberuntungan itu dateng ke gua.”
“Oh gitu” Tata merespon dengan nada suara yang terdengar datar.
“Iya, yaudah deh. Udah ngantuk nih gua” Ucap gua berbohong, saat ini gua hanya ingin menghindar dari percakapan ini.
“Yaudah…”
“Bye..”
“Eh, Pop…”
“Apa?”
“Seandainya, kapan-kapan kita ketemuan mau nggak?” Tanyanya.
“Buat?”
“Ngobrol kayak gini, tapi kalo ketemuan langsung kayaknya lebih seru”
“Hmmm… boleh”
“Ok”
“Tapi nggak janji ya”
“Iya..”
“Yaudah, bye”
Gua mengakhiri panggilan. Masuk ke menu histori panggilan dan memberi nama nomor terakhir yang gua hubungi; Gadis Karbol.
—
Kini gua sudah mulai disibukkan dengan skripsi dan pekerjaan baru. Beruntung pekerjaan gua bisa dilakukan secara remote, jadi gua bisa bekerja sambil mengerjakan skripsi secara bersamaan. Bermodal sebuah laptop yang dipinjamkan kantor, gua seringkali menghabiskan waktu di kedai kopi tempat Marshall sebelumnya bekerja. Ini merupakan satu-satunya tempat yang terpikirkan. Tempat yang nggak begitu jauh dari rumah, dimana gua bisa mendapatkan akses internet secara gratis. Ya, nggak bisa dibilang gratis sih sebenernya, karena untuk mendapatkan akses internet, gua harus rela merogoh kocek untuk membeli secangkir kopi yang rasanya nggak enak. Tapi, itu lebih baik ketimbang gua menghabiskan kuota internet dengan tethering melalui ponsel.
Sering berada di kedai, membuat gua kini semakin akrab dengan Dahlan, Ahmad dan Novi; teman-teman Marshall. Adakalanya saat kondisi kedai sepi, salah satu dari mereka duduk di kursi di sebelah, hanya untuk menemani gua yang sendirian.
Kadang kami ngobrol membahas Marshall, atau sekedar membicarakan pekerjaan dan skripsi yang tengah gua kerjakan.
Menjadi akrab dengan mereka rupanya membawa keberkahan tersendiri buat gua. Pernah gua mengeluh tentang harga kopi yang terlalu mahal untuk mahasiswa kelas kacangan seperti gua. Jadi, Dahlan memberi sedikit kelonggaran; “Ya kalo lagi nggak ada duit, nggak usah beli kopi, Pop. Dateng aja, kalo mau kerja disini”
“Hehe.. bener nih?”
“Iya… Tapi, kalo pas lagi ada bos gua, ya lo beli kopi”
Sesekali gua membawa satu sachet kopi instan dari rumah, dan langsung menuju ke konter begitu datang. “Minga air panas dong…” Ucap gua seraya berbisik, takut terdengar pelanggan lain.
“Buat?” Tanya Dahlan.
Gua lantas mengeluarkan kopi sachet dari saku sweater dan menyerahkannya ke Dahlan secara diam-diam. Mungkin jika diperhatikan dengan seksama, sikap kami saat itu seperti tengah melakukan transaksi narkoba.
“Ya, nggak bawa kopi dari rumah juga kali pop” Keluh Dahlan, namun tetap meraih sachet kopi instan dari gua dan menyeduhnya dengan air panas.
Ponsel gua bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk. Gua yang tengah sibuk bekerja, menghadapi laptop, melirik sebentar ke arah layar ponsel; Pesan dari si Gadis Karbol.
Gua meraih ponsel dan membaca isi pesan darinya.
‘Pop, sibuk nggak?’ Tanyanya melalui pesan singkat.
‘Sibuk’ gua membalasnya.
‘Kira-kira, kapan free?’ Tanyanya lagi.
‘Nggak tau, mungkin pas weekend. Ada apaan?’ Gua menjawab, kemudian memberikan pertanyaan lain.
‘Pengen ngajak kamu ketemuan, ngobrol’ Jawabnya.
Gua terdiam. Menyadari kalau ternyata ucapannya waktu itu, tentang kemungkinan kami bertemu langsung untuk sekedar ngobrol, benar-benar terjadi.
‘Sabtu ini bisa?’ Tanyanya lagi.
Gua lantas memberi balasan; ‘Bisa’
‘Ok, cool’
—
Tepat sehari sebelum janji temu kami. Tata kembali mengirim pesan singkat ke gua. Isinya kurang lebih meminta konfirmasi gua akan acara ketemu besok.
‘Pop, besok jadi kan?’
‘Jadi’ Balas gua singkat.
Nggak seberapa lama, ia kembali mengirim balasan. Kali ini isinya berupa link sebuah alamat. Gua meng-klik link tersebut, layar ponsel lalu beralih ke browser yang kini menampilkan sebuah resto mewah, beserta daftar menu dan alamatnya. Gua mengernyitkan dahi, merasa agak aneh jika hanya mau ngobrol di tempat yang se-mewah seperti yang terlihat pada halaman browser.
Lalu, masuk pesan berikutnya dari Tata; ‘Di situ gapapa kan, nanti aku booking tempatnya’
Sontak gua langsung membalas pesannya; ‘Lo mau ngajak gua ngobrol apa mau ngelamar gua? Tempatnya fancy banget?’
‘Oh, terus kamu maunya dimana? Kamu yang tentuin deh’ Balasnya.
‘Rumah lo dimana sih?’ Tanya gua, ingin menentukan lokasi bertemu yang nggak terlalu jauh dari rumahnya dan juga dari rumah gua, kalau meminjam istilah Medan; ‘Jumpa tengah’
‘Ciputat’ Balasnya.
Gua lantas terbayang sebuah Mall di bilangan Jakarta Selatan, Mall yang lokasinya nggak begitu jauh dari Stasiun Kebayoran Lama. Jadi, gua nya dekat, dia juga nggak terlalu jauh. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain amat gua mikirin dia.
Setelah menyarankan Mall tersebut, dan Tata juga setuju, akhirnya kami sepakat untuk bertemu jam satu siang.
‘Kamu mau dijemput apa kita ketemuan disana aja?’ Tata kembali mengirim pesan.
‘Apaan sih lo! Gua udah sengaja milih tempat di tengah, ngapain lo malah mau jemput gua?’ Balas gua.
‘Oh yaudah kalo gitu’ Balasnya.
Besoknya tepat pukul 12 siang, gua sudah tiba di Mall tempat kami janji bertemu. Sebelumnya, Gua dan Tata, sepakat agar orang yang datang lebih dulu, bisa memilih tempat dimanapun yang mereka mau. Karena merasa tiba lebih dulu, gua menyempatkan diri berkeliling, mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol dan yang paling penting; terlihat murah.
Sebelumnya, gua nggak pernah sama sekali ‘nongkrong’ bareng teman-teman di tempat seperti kafe, resto atau di manapun di area mall. Biasanya orang-orang kelas rendahan seperti gua dan teman-teman, hanya menghabiskan waktu ‘nongkrong’ di rumah salah satu dari kami atau, tempat paling keren yang pernah kami gunakan untuk nongkrong ya; resto cepat saji.
Maka dari itu, sebelum bertemu dengan Tata, gua menyempatkan diri bertanya ke Mbak Nindi, tentang tempat-tempat yang asoy buat nongkrong di mall ini. Mbak Nindi yang notabene adalah perempuan ‘gaul’ tentu saja langsung tertawa begitu mendengar pertanyaan gua. Ia lalu memberikan gua referensi-referensi tempat yang keren, yang nggak pernah terbayangkan oleh gua.
“Tapi ini mahal nggak, Mbak?” Tanya gua, ragu.
Begitu mendengar pertanyaan gua barusan, Mbak Nindi lalu merevisi ucapannya. Lalu mulai berpikir ulang. Kini ia membutuhkan waktu yang lama untuk berpikir.
“Ah, disini aja nih, Pop… Murah, enak lagi tempatnya” Mbak Nindi berseru sambil mengetik sebuah nama Kafe pada browser ponselnya dan menunjukkannya ke gua.
“Murahkan, Mbak?” Tanya gua lagi, masih ragu.
Bukannya menjawab, Mbak Nindi malah meraih kembali ponselnya, nggak lama ia menunjukkan layar ponselnya ke gua, layar yang menunjukkan bukti transfer. Rupanya, ia baru saja mengirim sejumlah uang untuk gua.
“Ih, apaan sih Mbak. Nggak usah” Seru gua.
“Udah Gapapa, sekali-sekali. Besok nggak usah nyari yang murah. Pilih aja salah satu dari tempat-tempat yang tadi aku kasih tau ke kamu” Ucapnya.
Sebuah kafe dengan nuansa hitam dan pendaran dari signage namanya menarik perhatian. Gua mendekat, lalu masuk ke dalam. Seorang pramusaji yang berada di balik bar stool tersenyum dan bertanya; “Mau di dalam atau yang diluar kak?”
“Hmmm… Di luar dimana ya?” Tanya gua, karena nggak melihat akses untuk ke area outdoor.
Pramusaji tersebut lalu keluar dari bali bar stool dan membimbing gua ke belakang. Ternyata ada satu area di bagian belakang yang punya akses ke teras. Area outdoor ini berbatasan langsung dengan halaman Mall, yang membatasi hanya sebuah bagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Namun, walaupun outdoor, kondisinya tetap sejuk dengan sebuah kipas besar di bagian atap yang sekaligus melindungi area dari terik matahari.
Gua memilih salah satu kursi di ujung area, dan duduk.
“Mbak, anu.. Mau sekalian pesen bisa?” Tanya gua ke si pramusaji.
“Oh boleh kak. Mau pesen apa?” Ia balik bertanya.
“Boleh liat menunya?”
Si pramusaji lalu menunjuk sebuah QR code yang sengaja di tempel pada permukaan meja; “Menu-nya bisa scan disini kak”
“Oh…”
Gua lalu mengeluarkan ponsel dan melihat menu dengan memindai QR Code tersebut. Dari sekian banyak menu yang tersedia, gua nggak mempedulikan nama atau qualitas menunya, gua meniti jari, menelusuri daftar menu dengan harga termurah.
“Americano dingin, satu ya” Ucap gua.
“Americano dingin satu, ada lagi kak?” Tanyanya.
“Mmm, udah itu dulu deh” Jawab gua berlagak santai.
Setelah memesan, gua mengambil gambar area outdoor kafe tersebut lalu mengirimkannya ke Tata melalui pesan.
Nggak lama berselang, ponsel gua berdering, nama Gadis Karbol muncul di layarnya.
“Halo…” Gua memberi sapaan.
“Halo, pop.. Lo di xxxxxxx ya?” Tanya Tata.
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaannya.
‘Bagaimana mungkin, dia bisa tau lokasi gua saat ini hanya dengan foto bagian belakang kafe. Padahal, di foto yang gua kirim, sama sekali nggak tercantum nama kafe-nya’ batin gua dalam hati seraya menggelengkan kepala.
Enggan terlihat kagum, gua berdehem sambil menutup area speaker pada ponsel, kemudian memberi jawaban; “Iya, lo dimana?”
“Ini aku baru sampe lobby, bentar ya” Jawabnya, kemudian mengakhiri panggilan.
Nggak sampai lima menit berikutnya, terlihat Tata datang. Kini ia terlihat sedikit berbeda. Ia tampil sederhana, sangat sederhana dengan kaos putih polos berlengan pendek dan celana denim biru. Tapi, walau begitu, aura kecantikannya tetap terpancar, tetap elegan. Saat ini, cewek manapun yang melihatnya pasti akan minder; termasuk gua.
Ia masuk ke dalam kedai, berhenti sejenak di area bar stool; sepertinya tengah memesan sesuatu kemudian melangkah ke arah gua.
Tata duduk tepat di hadapan gua, ia melepas kacamata hitam miliknya, meletakkannya di atas meja kemudian tersenyum. Kali ini senyumnya terlihat berbeda, ia seperti baru saja merasakan kelegaan luar biasa. Melihatnya seperti itu, jujur membuat gua sedikit khawatir, merasa kebahagiaan buat dia bisa jadi sebuah kabar buruk buat gua.
‘Bagaimana jika ia sudah bertemu dengan Marshall lebih dulu’, ‘Bagaimana jika, Marshall sudah kembali ke pelukannya?’, pengandaian-pengandaian mulai berseliweran di kepala.
“Udah pesen, Pop?” Tanyanya santai.
“Udah” Jawab gua.
“Apa kabar?” Tanyanya lagi.
“Baik”
“Good to know”
“Ada apaan sih?” Tanya gua langsung ke poin utama.
“Hah, ada apa? Nggak ada apa-apa kok” Jawabnya.
“Lah terus ngapain ngajak ketemu?” Tanya gua, penasaran.
“Nggak ada apa-apa, cuma ketemuan aja…”
Gua pasang tampang bingung sambil menggelengkan kepala, nggak habis pikir dengannya. Bagaimana mungkin, ia mengajak gua bertemu hanya untuk sekedar ngobrol.
“C’mon, Ta… Kita bahkan bukan teman. Ngapain ketemuan cuma buat ngobrol?” Tanya gua.
Tata tersenyum sebentar, kemudian bicara; “Yaudah ayo kita jadi berteman”
“Hah!?”
“...”
“... Lo tau arti teman nggak sih Ta?” Tanya gua, masih bingung dengan permintaannya. Mana mungkin kita berdua yang kenal karena kebencian bisa berteman, padahal penyebab kebencian itu sendiri masih ada dan masih menjadi bahan perdebatan kita.
“Emang nggak bisa kita berteman? Kenapa?” Ia malah menjawab pertanyaan gua dengan pertanyaan lainnya.
“Ya nggak bisa aja ta” Gua menjawab, enggan memberi penjelasan panjang lebar.
Tata nggak merespon, masih sambil tersenyum, ia berdiri, mengeluarkan beberapa lembar foto yang terlipat dari saku belakang celana jeansnya dan meletakkannya di atas meja. Gua meraih lembaran foto itu dan membuka lipatannya.
Terlihat foto Marshall muda yang masih mengenakan seragam SMA. Pada foto tersebut Marshall terlihat begitu tampan, ia tertawa, ekspresi wajahnya terlihat bahagia tanpa beban. Gua lalu beralih ke foto lainnya, nampak foto Marshall yang berdiri, berpose dengan dua jari tangan ke atas, sambil tersenyum.
Seketika, gua langsung merasa iri kepada Tata. Ia sudah pernah melihat Marshall tertawa dan tersenyum lepas. Hal yang selama ini nggak berhasil gua lihat.
“Kamu mau ngeliat Marshall tertawa kayak gitu lagi nggak Pop?” Tanyanya.
Gua berpaling, menatap ke arah Tata. Kemudian mengangguk.
“Ayo kita berteman, paling nggak sampai bisa bikin dia tertawa lepas lagi” Tambahnya.
—
Setelah, gua hampir lupa pernah memberikan nomor ponsel ke si perempuan karbol, saat gua tengah duduk di kursi meja belajar, di dalam kamar, sambil menghadapi sketchbook, ponsel gua berdering. Layarnya menampilkan deretan nomor yang nggak gua kenal.
Gua menunggu dan membiarkannya tetap berdering. Enggan menjawab panggilan telepon dari nomor yang nggak gua kenali. Seandainya memang ini perihal urusan penting, orang itu pasti akan mengirimkan pesan.
Tebakan gua ternyata benar.
Setelah beberapa kali berdering dan nggak gua jawab, sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan yang berasal dari nomor asing yang tadi sempat beberapa kali menghubungi gua; Tata.
‘Hi, Pop. Ini Aku; Tata. Boleh aku telp?’
‘Untuk?’ Gua membalas
Nggak lama berselang, Tata mengirim balasan yang isinya nggak kalah singkat dari pesan gua sebelumnya; ‘Ngobrol’
Walau gua tau alasan dia mau menelpon yang pastinya tentang Marshall, tapi gua tetap bertanya; ‘Tentang?’
‘Marshall’ Balasnya. Sesuai dengan tebakan gua sebelumnya.
Gua meletakkan ponsel di atas meja, kemudian melanjutkan menggambar sambil memikirkan kalimat-kalimat apa yang bakal gua gunakan saat mengobrol dengannya.
Setelah beberapa lama, barulah gua meraih ponsel, dan mulai menghubungi nomor milik Tata. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu terdengar sapaannya di ujung sana;“Halo…”
“...”
“... Halo”
“Kenapa?” tanya gua, mengabaikan sapaan darinya.
“Hmmm… Aku nggak ganggu kan?” Tanyanya, mencoba berbasa-basi.
“Ya tergantung. Kalo obrolan yang lo maksud tadi ternyata nggak penting; lo ganggu waktu gua” Jawab gua.
“Menurutku sih penting”
“Apa?” Tanya gua lagi.
“Aku kayaknya tau Marshall ada dimana deh, Pop” Ucapnya dengan nada yang seakan dibuat sengaja terdengar datar.
Mendengar ucapannya barusan tentu saja membuat gua cukup terkejut. ‘Bagaimana mungkin ia bisa dengan cepat mengetahui keberadaan Marshall? Batin gua dalam hati. Tapi, tentu saja gua nggak mau terdengar kaget di depannya, bakal menjatuhkan harga diri.
Gua menutup area speaker pada ponsel, berdehem sebentar untuk menyesuaikan suara kemudian bicara; “Oh, terus?”
“Kamu emang nggak mau tau?” Tanyanya.
“Mau” Gua memberi jawaban dengan cepat. Yang merupakan respon alamiah dari gua, dan barulah gua sadari, kalau gua keceplosan.
“Lah, gimana? Kamu mau tau tentang Marshall tapi kok kayaknya respon kamu tadi biasa aja”
“Ya emang kalo kaget harus gimana? Salto?” Tanya gua, berusaha menjaga agar terdengar tetap cool.
“Nggak sih, soalnya nada suara kamu tuh kedengeran datar aja..”
“Ya emang gua gini kok, emang nggak ekspresif” Gua menjawab, berbohong.
“Jadi, mau tau nggak dimana Marshall sekarang?” Tanyanya lagi.
“Kalo lo mau ngasih tau, langsung kasih tau aja. Kalo lo nggak mau ngasih tau juga gapapa sih”.
“Aku jadi bingung sama kamu, Pop…”
“Bingung kenapa?”.
“Sebenernya, kamu ini masih mau memperjuangkan Marshall nggak sih?” Ia langsung bertanya, langsung, tanpa tedeng aling-aling.
“Gini ya, Ta. Lo kayaknya terlalu lama hidup di sangkar emas deh. Menurut lo cinta itu harus gimana sih? Menurut lo cinta itu hanya satu arah? Cinta itu harus dua arah, Ta. Buat apa kalau hanya gua yang memperjuangkan hubungan, sementara cowoknya nggak mau…”
“Kamu nyindir aku?” Ia bertanya, mencoba mengkonfirmasi.
“Oh Nggak, Ta. Tapi, gua jadi tau nih, kalau ternyata Marshall juga nggak mau memperjuangkan hubungan kalian kan?”
“Ya, berarti kamu juga sama kan?” Tanyaku lagi.
“Iya” Poppy menjawab singkat.
“...”
“... Sekarang ini Ta, kita sama-sama cewek yang bukan siapa-siapanya dia. Hanya kebetulan aja, disini gua, nggak mau mengejar sesuatu yang nggak pasti…”
“...”
“... Dan seandainya sekarang gua tau dimana lokasi Marshall. Gua nggak bakal nyari atau nyamperin dia.”
“Kenapa?”
“Karena gua yakin, dia pergi karena suatu alasan. Dan gua berusaha untuk menghormati pilihannya. Seandainya memang takdir bakal mempertemukan kami lagi, ya gua bakal menerimanya. Sambil menunggu takdir itu datang, gua sebisa mungkin memperbaiki diri agar menjadi pantas buatnya, ya sambil sekalian mengejar mimpi..” Gua memberi penjelasan.
Setelah selesai bicara, gua nggak mendengar respon darinya. Ia seakan-akan hilang.
“Halo…”
Tata barulah ia menjawab; “Ya”.
“Lo masih mau ngasih tau Marshall dimana?” Tanya gua, kembali menegaskan maksud dan tujuannya menghubungi gua.
“Iya, nanti aku chat lokasinya kalau aku udah tau..” Jawabnya.
Mendengar jawabannya barusan, jelas membuat gua bingung. ‘Tadi katanya, mau ngasih tau dimana Marshall. Terus, sekarang bilang ‘kalau sudah tau’’ Batin gua dalam hati; “Lah, jadi lo juga belum tau?”
“Hampir…”
“Oh… Yaudah nanti kalau lo udah dapet alamatnya, Let me know ya. Tapi, seandainya lo nggak mau ngasih tau, ya gapapa”
“Iya, pasti aku kasih tau kok” Jawabnya.
“Ok, eh Ta..”
“Ya?”
“Sebelumnya, lo merasa terganggu nggak sih?” Gua mengajukan pertanyaan, penasaran dengan bagaimana perasaan dirinya saat mendapati pria yang ia sukai dan lama tak ditemui, terlihat bersama perempuan lain; bersama gua.
“Terganggu? Kenapa?” Ia balik bertanya.
“Waktu lo tau kalau Marshall, cowok yang selama ini lo suka dan lo tunggu, ternyata dekat sama cewek kayak gua?”
“Hmmm… Cukup terganggu sih” Ia memberi jawaban. Jawaban yang terdengar ragu-ragu.
“Oh…”
“Tapi, seandainya kita sama-sama berjuang dengan fair, aku rasa nggak ada masalah. Biar aja Marshall dan keberuntungan yang memutuskan” Tata memberi jawaban, berlagak filosofis.
“Hahaha.. Tau apa lo tentang keberuntungan?”
“Ya semua hal kan pasti ada faktor keberuntungannya, Pop” Jawabnya.
“Buat gua sih nggak”
“Hah. Nggak mungkin lah. Keberuntungan itu permainan Tuhan Pop. Bagian dari takdir” Ia memberikan penjelasan, pengertiannya tentang keberuntungan.
“Oh gitu, sorry nih Ta. Berarti arti keberuntungan lo sama gua beda”.
“Beda gimana?” Tanyanya.
“Waktu terakhir lo berangkat atau pulang kerja, berapa banyak mobil warna merah yang lo liat?”
“Hmmm… Nggak tau deh, nggak merhatiin” Jawabnya.
“Ok, seandainya, gua bakal ngasih lo duit 1 juta setiap lo ngeliat mobil warna merah, kira-kira gimana?”.
“Ya, aku bakal nyari lah. Kalo perlu aku muter-muter dulu buat sengaja nyari mobil yang warnanya merah”
“Nah, gitu lah kira-kira cara kerja keberuntungan menurut gua. Gua nggak mau nunggu keberuntungan itu dateng. Gua mau sebisa mungkin membuat kemungkinan-kemungkinan biar kesempatan agar keberuntungan itu dateng ke gua.”
“Oh gitu” Tata merespon dengan nada suara yang terdengar datar.
“Iya, yaudah deh. Udah ngantuk nih gua” Ucap gua berbohong, saat ini gua hanya ingin menghindar dari percakapan ini.
“Yaudah…”
“Bye..”
“Eh, Pop…”
“Apa?”
“Seandainya, kapan-kapan kita ketemuan mau nggak?” Tanyanya.
“Buat?”
“Ngobrol kayak gini, tapi kalo ketemuan langsung kayaknya lebih seru”
“Hmmm… boleh”
“Ok”
“Tapi nggak janji ya”
“Iya..”
“Yaudah, bye”
Gua mengakhiri panggilan. Masuk ke menu histori panggilan dan memberi nama nomor terakhir yang gua hubungi; Gadis Karbol.
—
Kini gua sudah mulai disibukkan dengan skripsi dan pekerjaan baru. Beruntung pekerjaan gua bisa dilakukan secara remote, jadi gua bisa bekerja sambil mengerjakan skripsi secara bersamaan. Bermodal sebuah laptop yang dipinjamkan kantor, gua seringkali menghabiskan waktu di kedai kopi tempat Marshall sebelumnya bekerja. Ini merupakan satu-satunya tempat yang terpikirkan. Tempat yang nggak begitu jauh dari rumah, dimana gua bisa mendapatkan akses internet secara gratis. Ya, nggak bisa dibilang gratis sih sebenernya, karena untuk mendapatkan akses internet, gua harus rela merogoh kocek untuk membeli secangkir kopi yang rasanya nggak enak. Tapi, itu lebih baik ketimbang gua menghabiskan kuota internet dengan tethering melalui ponsel.
Sering berada di kedai, membuat gua kini semakin akrab dengan Dahlan, Ahmad dan Novi; teman-teman Marshall. Adakalanya saat kondisi kedai sepi, salah satu dari mereka duduk di kursi di sebelah, hanya untuk menemani gua yang sendirian.
Kadang kami ngobrol membahas Marshall, atau sekedar membicarakan pekerjaan dan skripsi yang tengah gua kerjakan.
Menjadi akrab dengan mereka rupanya membawa keberkahan tersendiri buat gua. Pernah gua mengeluh tentang harga kopi yang terlalu mahal untuk mahasiswa kelas kacangan seperti gua. Jadi, Dahlan memberi sedikit kelonggaran; “Ya kalo lagi nggak ada duit, nggak usah beli kopi, Pop. Dateng aja, kalo mau kerja disini”
“Hehe.. bener nih?”
“Iya… Tapi, kalo pas lagi ada bos gua, ya lo beli kopi”
Sesekali gua membawa satu sachet kopi instan dari rumah, dan langsung menuju ke konter begitu datang. “Minga air panas dong…” Ucap gua seraya berbisik, takut terdengar pelanggan lain.
“Buat?” Tanya Dahlan.
Gua lantas mengeluarkan kopi sachet dari saku sweater dan menyerahkannya ke Dahlan secara diam-diam. Mungkin jika diperhatikan dengan seksama, sikap kami saat itu seperti tengah melakukan transaksi narkoba.
“Ya, nggak bawa kopi dari rumah juga kali pop” Keluh Dahlan, namun tetap meraih sachet kopi instan dari gua dan menyeduhnya dengan air panas.
Ponsel gua bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk. Gua yang tengah sibuk bekerja, menghadapi laptop, melirik sebentar ke arah layar ponsel; Pesan dari si Gadis Karbol.
Gua meraih ponsel dan membaca isi pesan darinya.
‘Pop, sibuk nggak?’ Tanyanya melalui pesan singkat.
‘Sibuk’ gua membalasnya.
‘Kira-kira, kapan free?’ Tanyanya lagi.
‘Nggak tau, mungkin pas weekend. Ada apaan?’ Gua menjawab, kemudian memberikan pertanyaan lain.
‘Pengen ngajak kamu ketemuan, ngobrol’ Jawabnya.
Gua terdiam. Menyadari kalau ternyata ucapannya waktu itu, tentang kemungkinan kami bertemu langsung untuk sekedar ngobrol, benar-benar terjadi.
‘Sabtu ini bisa?’ Tanyanya lagi.
Gua lantas memberi balasan; ‘Bisa’
‘Ok, cool’
—
Tepat sehari sebelum janji temu kami. Tata kembali mengirim pesan singkat ke gua. Isinya kurang lebih meminta konfirmasi gua akan acara ketemu besok.
‘Pop, besok jadi kan?’
‘Jadi’ Balas gua singkat.
Nggak seberapa lama, ia kembali mengirim balasan. Kali ini isinya berupa link sebuah alamat. Gua meng-klik link tersebut, layar ponsel lalu beralih ke browser yang kini menampilkan sebuah resto mewah, beserta daftar menu dan alamatnya. Gua mengernyitkan dahi, merasa agak aneh jika hanya mau ngobrol di tempat yang se-mewah seperti yang terlihat pada halaman browser.
Lalu, masuk pesan berikutnya dari Tata; ‘Di situ gapapa kan, nanti aku booking tempatnya’
Sontak gua langsung membalas pesannya; ‘Lo mau ngajak gua ngobrol apa mau ngelamar gua? Tempatnya fancy banget?’
‘Oh, terus kamu maunya dimana? Kamu yang tentuin deh’ Balasnya.
‘Rumah lo dimana sih?’ Tanya gua, ingin menentukan lokasi bertemu yang nggak terlalu jauh dari rumahnya dan juga dari rumah gua, kalau meminjam istilah Medan; ‘Jumpa tengah’
‘Ciputat’ Balasnya.
Gua lantas terbayang sebuah Mall di bilangan Jakarta Selatan, Mall yang lokasinya nggak begitu jauh dari Stasiun Kebayoran Lama. Jadi, gua nya dekat, dia juga nggak terlalu jauh. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain amat gua mikirin dia.
Setelah menyarankan Mall tersebut, dan Tata juga setuju, akhirnya kami sepakat untuk bertemu jam satu siang.
‘Kamu mau dijemput apa kita ketemuan disana aja?’ Tata kembali mengirim pesan.
‘Apaan sih lo! Gua udah sengaja milih tempat di tengah, ngapain lo malah mau jemput gua?’ Balas gua.
‘Oh yaudah kalo gitu’ Balasnya.
Besoknya tepat pukul 12 siang, gua sudah tiba di Mall tempat kami janji bertemu. Sebelumnya, Gua dan Tata, sepakat agar orang yang datang lebih dulu, bisa memilih tempat dimanapun yang mereka mau. Karena merasa tiba lebih dulu, gua menyempatkan diri berkeliling, mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol dan yang paling penting; terlihat murah.
Sebelumnya, gua nggak pernah sama sekali ‘nongkrong’ bareng teman-teman di tempat seperti kafe, resto atau di manapun di area mall. Biasanya orang-orang kelas rendahan seperti gua dan teman-teman, hanya menghabiskan waktu ‘nongkrong’ di rumah salah satu dari kami atau, tempat paling keren yang pernah kami gunakan untuk nongkrong ya; resto cepat saji.
Maka dari itu, sebelum bertemu dengan Tata, gua menyempatkan diri bertanya ke Mbak Nindi, tentang tempat-tempat yang asoy buat nongkrong di mall ini. Mbak Nindi yang notabene adalah perempuan ‘gaul’ tentu saja langsung tertawa begitu mendengar pertanyaan gua. Ia lalu memberikan gua referensi-referensi tempat yang keren, yang nggak pernah terbayangkan oleh gua.
“Tapi ini mahal nggak, Mbak?” Tanya gua, ragu.
Begitu mendengar pertanyaan gua barusan, Mbak Nindi lalu merevisi ucapannya. Lalu mulai berpikir ulang. Kini ia membutuhkan waktu yang lama untuk berpikir.
“Ah, disini aja nih, Pop… Murah, enak lagi tempatnya” Mbak Nindi berseru sambil mengetik sebuah nama Kafe pada browser ponselnya dan menunjukkannya ke gua.
“Murahkan, Mbak?” Tanya gua lagi, masih ragu.
Bukannya menjawab, Mbak Nindi malah meraih kembali ponselnya, nggak lama ia menunjukkan layar ponselnya ke gua, layar yang menunjukkan bukti transfer. Rupanya, ia baru saja mengirim sejumlah uang untuk gua.
“Ih, apaan sih Mbak. Nggak usah” Seru gua.
“Udah Gapapa, sekali-sekali. Besok nggak usah nyari yang murah. Pilih aja salah satu dari tempat-tempat yang tadi aku kasih tau ke kamu” Ucapnya.
Sebuah kafe dengan nuansa hitam dan pendaran dari signage namanya menarik perhatian. Gua mendekat, lalu masuk ke dalam. Seorang pramusaji yang berada di balik bar stool tersenyum dan bertanya; “Mau di dalam atau yang diluar kak?”
“Hmmm… Di luar dimana ya?” Tanya gua, karena nggak melihat akses untuk ke area outdoor.
Pramusaji tersebut lalu keluar dari bali bar stool dan membimbing gua ke belakang. Ternyata ada satu area di bagian belakang yang punya akses ke teras. Area outdoor ini berbatasan langsung dengan halaman Mall, yang membatasi hanya sebuah bagar besi setinggi pinggang orang dewasa. Namun, walaupun outdoor, kondisinya tetap sejuk dengan sebuah kipas besar di bagian atap yang sekaligus melindungi area dari terik matahari.
Gua memilih salah satu kursi di ujung area, dan duduk.
“Mbak, anu.. Mau sekalian pesen bisa?” Tanya gua ke si pramusaji.
“Oh boleh kak. Mau pesen apa?” Ia balik bertanya.
“Boleh liat menunya?”
Si pramusaji lalu menunjuk sebuah QR code yang sengaja di tempel pada permukaan meja; “Menu-nya bisa scan disini kak”
“Oh…”
Gua lalu mengeluarkan ponsel dan melihat menu dengan memindai QR Code tersebut. Dari sekian banyak menu yang tersedia, gua nggak mempedulikan nama atau qualitas menunya, gua meniti jari, menelusuri daftar menu dengan harga termurah.
“Americano dingin, satu ya” Ucap gua.
“Americano dingin satu, ada lagi kak?” Tanyanya.
“Mmm, udah itu dulu deh” Jawab gua berlagak santai.
Setelah memesan, gua mengambil gambar area outdoor kafe tersebut lalu mengirimkannya ke Tata melalui pesan.
Nggak lama berselang, ponsel gua berdering, nama Gadis Karbol muncul di layarnya.
“Halo…” Gua memberi sapaan.
“Halo, pop.. Lo di xxxxxxx ya?” Tanya Tata.
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaannya.
‘Bagaimana mungkin, dia bisa tau lokasi gua saat ini hanya dengan foto bagian belakang kafe. Padahal, di foto yang gua kirim, sama sekali nggak tercantum nama kafe-nya’ batin gua dalam hati seraya menggelengkan kepala.
Enggan terlihat kagum, gua berdehem sambil menutup area speaker pada ponsel, kemudian memberi jawaban; “Iya, lo dimana?”
“Ini aku baru sampe lobby, bentar ya” Jawabnya, kemudian mengakhiri panggilan.
Nggak sampai lima menit berikutnya, terlihat Tata datang. Kini ia terlihat sedikit berbeda. Ia tampil sederhana, sangat sederhana dengan kaos putih polos berlengan pendek dan celana denim biru. Tapi, walau begitu, aura kecantikannya tetap terpancar, tetap elegan. Saat ini, cewek manapun yang melihatnya pasti akan minder; termasuk gua.
Ia masuk ke dalam kedai, berhenti sejenak di area bar stool; sepertinya tengah memesan sesuatu kemudian melangkah ke arah gua.
Tata duduk tepat di hadapan gua, ia melepas kacamata hitam miliknya, meletakkannya di atas meja kemudian tersenyum. Kali ini senyumnya terlihat berbeda, ia seperti baru saja merasakan kelegaan luar biasa. Melihatnya seperti itu, jujur membuat gua sedikit khawatir, merasa kebahagiaan buat dia bisa jadi sebuah kabar buruk buat gua.
‘Bagaimana jika ia sudah bertemu dengan Marshall lebih dulu’, ‘Bagaimana jika, Marshall sudah kembali ke pelukannya?’, pengandaian-pengandaian mulai berseliweran di kepala.
“Udah pesen, Pop?” Tanyanya santai.
“Udah” Jawab gua.
“Apa kabar?” Tanyanya lagi.
“Baik”
“Good to know”
“Ada apaan sih?” Tanya gua langsung ke poin utama.
“Hah, ada apa? Nggak ada apa-apa kok” Jawabnya.
“Lah terus ngapain ngajak ketemu?” Tanya gua, penasaran.
“Nggak ada apa-apa, cuma ketemuan aja…”
Gua pasang tampang bingung sambil menggelengkan kepala, nggak habis pikir dengannya. Bagaimana mungkin, ia mengajak gua bertemu hanya untuk sekedar ngobrol.
“C’mon, Ta… Kita bahkan bukan teman. Ngapain ketemuan cuma buat ngobrol?” Tanya gua.
Tata tersenyum sebentar, kemudian bicara; “Yaudah ayo kita jadi berteman”
“Hah!?”
“...”
“... Lo tau arti teman nggak sih Ta?” Tanya gua, masih bingung dengan permintaannya. Mana mungkin kita berdua yang kenal karena kebencian bisa berteman, padahal penyebab kebencian itu sendiri masih ada dan masih menjadi bahan perdebatan kita.
“Emang nggak bisa kita berteman? Kenapa?” Ia malah menjawab pertanyaan gua dengan pertanyaan lainnya.
“Ya nggak bisa aja ta” Gua menjawab, enggan memberi penjelasan panjang lebar.
Tata nggak merespon, masih sambil tersenyum, ia berdiri, mengeluarkan beberapa lembar foto yang terlipat dari saku belakang celana jeansnya dan meletakkannya di atas meja. Gua meraih lembaran foto itu dan membuka lipatannya.
Terlihat foto Marshall muda yang masih mengenakan seragam SMA. Pada foto tersebut Marshall terlihat begitu tampan, ia tertawa, ekspresi wajahnya terlihat bahagia tanpa beban. Gua lalu beralih ke foto lainnya, nampak foto Marshall yang berdiri, berpose dengan dua jari tangan ke atas, sambil tersenyum.
Seketika, gua langsung merasa iri kepada Tata. Ia sudah pernah melihat Marshall tertawa dan tersenyum lepas. Hal yang selama ini nggak berhasil gua lihat.
“Kamu mau ngeliat Marshall tertawa kayak gitu lagi nggak Pop?” Tanyanya.
Gua berpaling, menatap ke arah Tata. Kemudian mengangguk.
“Ayo kita berteman, paling nggak sampai bisa bikin dia tertawa lepas lagi” Tambahnya.
—
Naif - Dimana aku disini
Bilakah engkau mengerti
Semua yang ada dihatiku ini
Kuhanya ingin dekatmu
Namun kau slalu meniadakan aku
Bukankah oh...
Kau yang slalu bilang
Slalu bilang tuk tetap aku disini
Tak kah berarti?
Bahwa yang kau bilang
Yang kau bilang kita saling memiliki
Dimana aku disini?
Dimana aku disini
Dimana aku disini
Pernahkah engkau sadari?
Bahwa kau slalu meniadakan aku
Bukankah oh...
Kau yang slalu bilang
Slalu bilang tuk tetap aku disini
Tak kah berarti?
Bahwa yang kau bilang
Yang kau bilang kita saling memiliki
Dimana aku disini?
Dimana aku disini
Dimana aku disini
dodol4765 dan 51 lainnya memberi reputasi
52
Kutip
Balas
Tutup