- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 06-05-2024 10:33
darmasant dan 123 lainnya memberi reputasi
124
119.9K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#718
Part 30 - Keberuntungan
Spoiler for Part 30 - Keberuntungan:
“Jadi, Lo mau gua pura-pura nawarin kerjaan buat si Marshall ini? Terus nanti semua briefnya dari lo kan?” Tanya Mas Koko mencoba merangkum permintaanku sebelumnya.
Aku mengangguk.
“Nanti urusan teknisnya, terserah Mas Koko aja…” Ucapku.
“Oke, no problemo selama ada cuannya” Tambahnya.
Jujur, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang mata duitan dan bersikap terang-terangan layaknya hal tersebut lumrah adanya; Mas Koko.
“Nanti gua dapet berapa persen dari nominal proyek fiktif karangan lo ini?” Tanyanya lagi.
Aku mendongak, mencoba mengkalkulasi agar nominalnya nggak terlalu sedikit, biar ia bersedia jika aku kembali minta tolong kepadanya. Setelah berhitung, aku menatapnya dan mengangkat 5 jari ke atas; “50% Mas, gimana?”
“Gas!” Serunya penuh semangat.
“Tapi, yang ini jadi gratis” Ucapku seraya menunjuk ke arah gambar sketsa yang tergeletak di atas meja.
“Yah jangan dong… Ini kan dapetnya susah” Jawabnya.
“Katanya Mas Koko belum pernah ketemu langsung sama Marshall. Terus kok bisa susah dapetnya?” Tanyaku penasaran.
“Iya, jadi si Marshall ini kayaknya punya temen yang ngurusin media sosial sama urusan sepele lainnya” Mas Koko memberi penjelasan.
“Hah? Cewek?” Tanyaku.
“Cowok…” Jawabnya singkat.
“Ooh…”
Artinya, cowok ini juga yang mungkin menjadi admin untuk akun media sosial dengan akun M2150_bisa. Dengan begini terjawab sudah siapa orang di balik akun ini. Marshall mungkin berada tepat di bawah bayang-bayangnya.
Aku bakal mulai berhati-hati, nggak terburu-buru dan mendekatinya dengan perlahan. Dan aku hanya akan masuk kembali ke hidupnya jika ia membuka diri. Aku nggak mau lagi memberi paksaan, yang nantinya malah membebani hati dan hidupnya.
Perlahan-lahan, hidupku mulai kembali terisi dengan warna, nggak banyak, namun paling nggak ada warnanya. Dari yang sebelumnya hanya ada kelabu, kini setidaknya aku mulai merasakan hijau dan biru.
Besoknya, aku kembali menyempatkan diri mampir ke agen sembako. Namun, saat baru aja berbelok, terlihat mobil Aris sudah terparkir di depan agen. Sementara orangnya sedang sibuk berbincang dengan Cing Nawan. Keduanya seperti tengah seru berdebat perkara politik sambil minum kopi.
Aku yang teringat dengan ucapan Bunda; “Kalau kamu udah nggak mau jalan sama Aris lagi, kamu harus ngomong baik-baik sama dia lho Ta. Jangan terus dikasih harapan”
Sambil mengepalkan tangan, aku melanjutkan langkah dan mendekat ke arah Aris dan Cing Nawan yang masih berbincang seru.
Cing Nawan yang pertama menyadari kehadiranku, ia mengangkat tangannya dan melambai; “Neng, ini di cariin…” Serunya, lalu menunjuk ke arah Aris yang kebetulan duduk membelakangiku.
Mendengar seruan Cing Nawan, Aris sontak menoleh ke arahku. Ia langsung berdiri seakan memberikan tempatnya agar aku bisa duduk di sana. Tapi, aku nggak berniat untuk duduk.
“Eh, Ta… Aku baru aja mau ke rumah…” Ucap Aris, kini nada bicaranya terdengar sengaja direndahkan.
“Aku mau ngomong sama kamu…” Ucapku tanpa menatap ke arahnya.
“Nah, kebetulan. Aku juga..” Balasnya.
“Tunggu disini…” Aku melangkah, masuk ke dalam agen, meninggalkan Aris dan Cing Nawan yang masih berada di depan Agen Sembako.
Setelah mengambil sebungkus rokok aku kembali ke depan.
“Cing, aku ambil ini satu ya..” Ucapku ke Cing Nawan seraya mengangkat bungkusan rokok ke atas. Cing Nawan lalu meresponnya dengan mengacungkan ibu jari.
Aku berpaling ke Aris, lalu mengajaknya pergi; “Ayo…”
Sementara aku berjalan ke arah berlawanan dengan arah aku tadi datang, Aris justru melangkah ke arah sebaliknya, ke tempat dimana mobilnya terparkir. Saat melihatku, barulah ia menyadari kalau ia melangkah ke arah yang salah, kemudian berbalik dan berusaha mengejarku.
“Kemana, Ta?” Tanyanya begitu berhasil menyusulku.
“Ngobrol” Jawabku singkat.
“Iya, tapi dimana?” Tanyanya lagi.
“Udah, ikut aja, ntar juga tau…”
“Jauh nggak, Ta?”
“Nggak”
Aku terus melangkah ke Kedai Kopi Mas Koko yang lokasinya nggak terlalu jauh dari agen sembako. Sementara aku memesan kopi, terlihat Aris berdiri di area luar kedai kopi seraya mengibas-ngibas kemeja trendy yang ia kenakan, ia terlihat kegerahan. Dengan dua gelas iced americano di tangan, aku keluar, lalu duduk di salah satu kursi besi yang berada di teras kedai.
“Nggak di dalem aja, Ta?” Tanyanya, seraya meraih gelas americano yang kuberikan.
“Nggak, aku lagi pengen ngerokok” Jawabku, lalu mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyulutnya.
“Tapi gerah, Ta…” Keluhnya.
Aku lalu mengeluarkan kipas portable berukuran super mini yang memang selalu kubawa jika ke Agen sembako, lalu menyodorkan kipas portable bermotif Hello Kitty itu kepadanya. Tanpa segan, ia meraihnya, menekan tombol power yang diiringi suara mendesis dan mengarahkan kipas ke bagian wajahnya.
“Aku mau ngomong sesuatu” Ucapku pelan, mencoba membuka topik obrolan.
“Aku juga…” Ucapnya.
“Yaudah kamu duluan aja..” Aku berusaha memberikan kesempatan pertama kepadanya. Namun, sepertinya ia nggak mau menggunakan kesempatan ini dan malah memintaku untuk bicara lebih dulu; “Nggak, kamu duluan aja..”
Sebelum bicara, aku menyulut batang rokok dan menghembuskannya ke udara.
“Ris, hubungan kita ini kayaknya bukan cinta deh, jadi daripada kamunya sakit hati, kayaknya better kita udahan aja..” Ucapku.
Mendengar ucapanku barusan, Aris terlihat terkejut. Ia langsung berdiri, membuat kursi besi yang ia gunakan untuk duduk terjatuh.
“Hah… Nggak, nggak, nggak bisa, Ta. Nggak bisa gini dong” Serunya, masih dengan kondisi berdiri.
“Harusnya sih bisa…” Aku merespon dengan suara pelan.
“Nggak, pokoknya aku nggak mau, Titik” Aris bersikeras.
“Ya terserah, kalo kamu nggak mau gapapa. Yang penting aku udah memutuskan, dan keputusanku udah bulat”
“Emang kenapa sih Ta, ada apa sih sebenernya, sampe kamu minta putus kayak gini, Nggak jelas banget deh…” Aris mengajukan pertanyaan, seperti tengah mengajukan banding.
Namun, pertanyaannya barusan justru menyulut kembali emosiku yang sebelumnya sudah ku tahan sekeras mungkin.
“Kenapa? Kamu nanya kenapa? Menurut kamu, apa yang kemarin kamu lakukan ke Marshall fine-fine aja?” Aku balik bertanya, kini dengan nada suara sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
“...”
“... Menurut kamu, aku bakal bahagia diperlakukan kayak gitu? Hah?” Aku menambahkan.
“...”
“... Ris, Terus-terusan sama kamu tuh bisa bikin aku beneran gila!”
“Iya tapi, kalu aku nggak sama kamu, aku yang bisa gila Ta..” Jawabnya, mencoba peruntungan lewat kata rayuan. Padahal, maksud kata ‘gila’ di ucapanku sebelumnya adalah benar-benar ‘Gila’ bukan hanya kata kiasan.
“Yaudah coba aja. Aku pengen tau, kalo kamu gila kaya gimana” Tantangku.
Kami berdua lalu terdiam. Yang terdengar hanya desing kipas angin portable dan suara ‘klak-klik’ dari tutup korek api besi yang sejak tadi kumainkan.
“Kamu tau nggak sih, Ris.. Selama ini aku pikir, kesalahan terbesarku adalah menjadi anak ayah. Tapi, ternyata aku salah. Kamu! Percaya sama kamu adalah kesalahan terbesarku…” Ucapku.
Masih segar di ingatanku kala itu, saat Aris pertama kali mengajakku berkenalan dengan cara yang menurut sebagian orang saat itu; Kuno. Ia menitipkan sepucuk surat melalui salah satu temannya untukku. Iya, bener, sepucuk surat. Surat dari lembaran kertas yang rapi dan wangi, isinya; mengajak berkenalan.
Setelah memastikan aku menerima surat tersebut, barulah ia menemuiku; mengajak berkenalan secara langsung.
Saat itu, ia merupakan pribadi yang santun. Gerak gerik, sikap dan tutur katanya menggambarkan kalau ia merupakan pria berpendidikan dan dibesarkan dengan layak. Momen itu terjadi saat aku berada di pertengahan kuliah, sementara ia tengah mengejar gelar S2 nya. Aku yang baru saja menyelesaikan terapi klinis dengan psikolog dan psikiater untuk memulihkan mental yang ‘drop’ akibat kasus di gudang olahraga tentu saja nggak bisa langsung membuka hati untuknya, bahkan untuk pria manapun.
Namun, di posisiku saat itu, yang tengah butuh sosok untuk bersandar, sosok untuk mendengarkan keluh-kesahku, Aris hadir. Bahkan setelah ia tahu tentang masa laluku, yang tentu saja diceritakan oleh ayah. Ia tetap bersedia berada di sisiku, mendampingiku.
Tentu saja saat itu aku nggak berpikir sejauh yang aku mampu. Aku egois, merasa Aris adalah jawaban dari semua harapanku selama ini.
Tapi ternyata aku salah.
Setelah kejadian pengeroyokan Marshall yang disebabkan olehnya. Penilaianku terhadap Aris berubah total. Aris yang selama ini kukenal santun ternyata menyembunyikan monster didalam dirinya.
Sejatinya aku yakin, sangat yakin kalau Aris begitu mencintaiku. Tapi, yang kutahu, cara dia mencintaiku salah. Dan aku nggak mau kesalahan ini terus menghantuiku.
Tapi, itu semua hanyalah retorika belaka. Aris adalah kesalahanku. Tanpa perlu panjang lebar mencari alasan atau pembenaran kenapa aku berhubungan dengannya padahal Marshall mendekam di penjara gara-gara aku adalah juga sebuah kesalahan; kesalahanku.
“Nggak bisa, pokoknya nggak bisa, Ta. Aku bakal ngomong sama bunda…” Ucapnya, kemudian bergegas pergi dari sana. Baru beberapa langkah, ia kembali, meletakkan kipas angin portable milikku di atas meja, lalu pergi lagi.
Dari kisah ini, terpikir sebuah ide tentang brief yang nantinya bakal dikerjakan oleh Marshall. Aku menghabiskan kopi dan segera pergi dari kedai, pulang ke rumah.
Di kamar, aku membuka laptop dan mulai menuliskan sesuatu. Sebuah cerita. Cerita anak-anak yang berkisah tentang sebuah pengorbanan. Bagaimana si karakter utama yang merupakan seekor hewan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan pasangannya, menyelamatkan hutan tempat tinggalnya dari ancaman kebakaran.
Tentu saja, hewan si karakter utama adalah Marshall, sementara karakter pasangannya adalah aku.
Setelah menulis premis dan brief detail tentang cerita tersebut, aku langsung mengirimkannya ke Mas Koko. Berharap ia juga langsung menyampaikan hal ini ke Marshall. Aku tau kalau Marshall nggak terbiasa menggambar karakter, aku juga yakin kalau ia bakal menolaknya. Dan aku sudah menyiapkan rencana cadangan seandainya ia benar-benar langsung menolak tawaran pertamaku ini. Tapi, seandainya ia mau langsung menerimanya, maka aku yakin ada hal yang membuatnya berubah; entah kehidupan di penjara atau perempuan bernama Poppy.
Penasaran dengan Poppy, aku beralih ke tab lain, membuka laman media sosial milikku dan mulai mencari username dengan nama ‘Poppy’, berharap bisa mencari tau tentang sosoknya, dan seperti apa orangnya. Tentu saja pencarianku menghasilkan ratusan bahkan ribuan nama Poppy, ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami. ‘Ah kenapa nggak langsung ku telpon saja’ batinku dalam hati.
Aku meraih ponsel, mencari nama ‘Poppy’ di daftar kontak dan langsung menghubunginya.
Nada sambung terdengar berkali-kali, namun tak ada jawaban. Aku kembali mencoba menghubunginya sekali lagi, dan masih tak ada jawaban darinya. Kemudian aku masuk ke menu pesan pada layar ponsel dan mulai mengetik pesan untuknya, takutnya ia nggak mau menjawab nomor asing. Karena setahuku, tempo hari kami nggak bertukar nomor, ia yang memberikan nomor ponselnya kepadaku. Sementara, ia nggak meminta nomorku.
‘Hi, Pop. Ini Aku; Tata. Boleh aku telp?’ Aku lalu mengirimnya.
Nggak seberapa lama, muncul balasan pesan dari Poppy, yang artinya ia mungkin nggak mau menjawab panggilan dari nomor asing.
‘Untuk?’ isi balasan pesan darinya, balasan yang super singkat.
‘Ngobrol’ aku membalas dengan pesan yang tak kalah singkat.
Hanya berselang beberapa detik, kembali datang balasan darinya; ‘Tentang?’
‘Marshall’ Balasku.
Lalu, nggak ada lagi balasan darinya.
Aku duduk di kursi meja belajar, bertumpu pada tangan sambil menatap layar ponsel; menunggu jawaban pesan darinya. 1 menit, 2 menit, 3 menit, 5 menit, hingga 10 menit aku menunggu dan masih belum ada balasan pesan darinya. Saat aku beranjak, bersiap untuk tidur, tiba-tiba ponselku berdering. Layarnya menampilkan nama Poppy.
Dengan cepat, kuraih ponsel dan menjawab panggilannya.
“Halo…” Sapaku.
“...”
“... Halo” Aku kembali mengulang sapaan, karena tak ada jawaban.
“Kenapa?” Terdengar suaranya, langsung mengajukan pertanyaan, tanpa menjawab sapaan dariku.
“Hmmm… Aku nggak ganggu kan?” Tanyaku, mencoba berbasa-basi.
“Ya tergantung. Kalo obrolan yang lo maksud tadi ternyata nggak penting; lo ganggu waktu gua” Jawabnya.
“Menurutku sih penting”
“Apa?” Tanyanya.
“Aku kayaknya tau Marshall ada dimana deh, Pop” Ucapku, memberikan informasi yang mungkin bakal membuatnya kaget dan excited.
Tapi, nyatanya respon dari Poppy nggak sesuai dengan dugaanku. Dengan nada suara yang masih sama; datar, ia memberi jawaban; “Oh, terus?”
Mendengar respon darinya yang ‘datar’, aku lalu mulai menebak-nebak, membuat beberapa kemungkinan dan alasan kenapa ia nggak terdengar kaget begitu mendengar kabar kalau aku sudah tau dimana Marshall sekarang. Pertama; ia sebetulnya kaget dan excited tapi dengan sengaja menutupinya karena mungkin gengsi. Kedua; ia sudah tau dimana Marshall. Dan yang ketiga; Ia sudah nggak lagi peduli dengan Marshall.
“Kamu emang nggak mau tau?” Tanyaku, sengaja memancing jawaban berikutnya.
“Mau” Ia menjawab singkat dan cepat. Membuatku semakin bingung dengan responnya.
“Lah, gimana? Kamu mau tau tentang Marshall tapi kok kayaknya respon kamu tadi biasa aja”
“Ya emang kalo kaget harus gimana? Salto?” Tanyanya.
Kini aku mulai yakin, kalau tebakan dari kemungkinan yang pertama; ia sebetulnya kaget dan excited tapi dengan sengaja menutupinya karena mungkin gengsi.
“Nggak sih, soalnya nada suara kamu tuh kedengeran datar aja..”
“Ya emang gua gini kok, emang nggak ekspresif” Jawabnya, yang tentu saja aku yakin kalau ia berbohong.
“Jadi, mau tau nggak dimana Marshall sekarang?” Tanyaku lagi.
“Kalo lo mau ngasih tau, langsung kasih tau aja. Kalo lo nggak mau ngasih tau juga gapapa sih” Jawabnya.
“Aku jadi bingung sama kamu, Pop…”
“Bingung kenapa?” Tanyanya.
“Sebenernya, kamu ini masih mau memperjuangkan Marshall nggak sih?” Aku balik bertanya; to the point.
“Gini ya, Ta. Lo kayaknya terlalu lama hidup di sangkar emas deh. Menurut lo cinta itu harus gimana sih? Menurut lo cinta itu hanya satu arah? Cinta itu harus dua arah, Ta. Buat apa kalau hanya gua yang memperjuangkan hubungan, sementara cowoknya nggak mau…”
Ucapannya barusan terasa sedikit menyentil egoku. Aku jadi merasa kalau saat ini Poppy tengah menyindirku.
“Kamu nyindir aku?” Tanyaku.
“Oh Nggak, Ta. Tapi, gua jadi tau nih, kalau ternyata Marshall juga nggak mau memperjuangkan hubungan kalian kan?”
“Ya, berarti kamu juga sama kan?” Tanyaku lagi.
“Iya” Poppy menjawab singkat.
“...”
“... Sekarang ini Ta, kita sama-sama cewek yang bukan siapa-siapanya dia. Hanya kebetulan aja, disini gua, nggak mau mengejar sesuatu yang nggak pasti…”
“...”
“... Dan seandainya sekarang gua tau dimana lokasi Marshall. Gua nggak bakal nyari atau nyamperin dia.”
“Kenapa?”
“Karena gua yakin, dia pergi karena suatu alasan. Dan gua berusaha untuk menghormati pilihannya. Seandainya memang takdir bakal mempertemukan kami lagi, ya gua bakal menerimanya. Sambil menunggu takdir itu datang, gua sebisa mungkin memperbaiki diri agar menjadi pantas buatnya, ya sambil sekalian mengejar mimpi..” Poppy memberi penjelasan.
Aku langsung tertegun begitu mendengar ucapannya barusan, nggak nyangka ia punya pola pikir yang diluar nalar dan logika ku.
“Halo…” Sapa Poppy karena nggak mendengar respon dariku.
“Ya…” Jawabku.
“Lo masih mau ngasih tau Marshall dimana?” Tanyanya.
“Iya, nanti aku chat lokasinya kalau aku udah tau..” Jawabku.
“Lah, jadi lo juga belum tau?”
“Hampir…”
“Oh… Yaudah nanti kalau lo udah dapet alamatnya, Let me know ya. Tapi, seandainya lo nggak mau ngasih tau, ya gapapa”
“Iya, pasti aku kasih tau kok” Jawabku.
“Ok, eh Ta..”
“Ya?”
“Sebelumnya, lo merasa terganggu nggak sih?” Tanyanya.
“Terganggu? Kenapa?” Aku balik bertanya, karena merasa nggak mengerti dengan maksud dari pertanyaan singkatnya barusan.
“Waktu lo tau kalau Marshall, cowok yang selama ini lo suka dan lo tunggu, ternyata dekat sama cewek kayak gua?” Tanyanya lagi, kini dengan lebih detail.
“Hmmm… Cukup terganggu sih” Jawabku, berbohong. Sudah barang tentu aku sangat amat terganggu dengan hadirnya dia di sisi Marshall disaat aku nggak ada.
“Oh…”
“Tapi, seandainya kita sama-sama berjuang dengan fair, aku rasa nggak ada masalah. Biar aja Marshall dan keberuntungan yang memutuskan” Jawabku, sok filosofis.
“Hahaha.. Tau apa lo tentang keberuntungan?” Responnya dengan nada bicara yang ambigu, entah kalimatnya tadi adalah pernyataan atau pertanyaan.
“Ya semua hal kan pasti ada faktor keberuntungannya, Pop” Jawabku.
“Buat gua sih nggak”
“Hah. Nggak mungkin lah. Keberuntungan itu permainan Tuhan Pop. Bagian dari takdir” Jawabku, memberi sedikit penjelasan tentang arti keberuntungan berdasar yang aku tau.
“Oh gitu, sorry nih Ta. Berarti arti keberuntungan lo sama gua beda”.
“Beda gimana?” Tanyaku, kini ingin tau pendapatnya.
“Waktu terakhir lo berangkat atau pulang kerja, berapa banyak mobil warna merah yang lo liat?” Tanyanya, seakan ingin menjelaskan dengan sebuah analogi.
“Hmmm… Nggak tau deh, nggak merhatiin” Jawabku.
“Ok, seandainya, gua bakal ngasih lo duit 1 juta setiap lo ngeliat mobil warna merah, kira-kira gimana?” Tanyanya.
“Ya, aku bakal nyari lah. Kalo perlu aku muter-muter dulu buat sengaja nyari mobil yang warnanya merah”
“Nah, gitu lah kira-kira cara kerja keberuntungan menurut gua. Gua nggak mau nunggu keberuntungan itu dateng. Gua mau sebisa mungkin membuat kemungkinan-kemungkinan biar kesempatan agar keberuntungan itu dateng ke gua.”
Lagi-lagi, ucapannya membuatku kembali tertegun. Kini, aku yakin kalau Poppy bukanlah perempuan sembarangan. Paling tidak, pola pikirnya jauh melebihi diriku.
Tapi, tentu saja dengan ego ku saat ini, aku nggak mau mengakuinya dengan terang-terangan.
“Oh gitu” Responku, berusaha sebisa mungkin nggak terdengar kagum.
“Iya, yaudah deh. Udah ngantuk nih gua” Ucapnya.
“Yaudah…”
“Bye..”
“Eh, Pop…”
“Apa?”
“Seandainya, kapan-kapan kita ketemuan mau nggak?” Tanyaku.
“Buat?”
“Ngobrol kayak gini, tapi kalo ketemuan langsung kayaknya lebih seru”
“Hmmm… boleh”
“Ok”
“Tapi nggak janji ya”
“Iya..”
“Yaudah, bye”
Poppy mengakhiri panggilan.
Aku meletakkan ponsel di atas meja. Berdiri dari kursi meja belajar dan menjatuhkan diri di ranjang. Sambil memeluk guling aku mulai mencoba menganalisa semua ucapannya barusan. Seandainya, aku harus berkompetisi dengannya saat ini, aku yakin, aku bakal kalah telak.
Dan untuk bisa menang aku juga harus memperbaiki diri dan tentu saja mendekatinya. Seperti kata pepatah; Keep your friends close and your enemies closer. Because, You'll be safer if you know more about your enemies than you know about your friends. Look after your enemies better than you look after your friends.
—
I'll be there for you - The Rembrandts
Diubah oleh robotpintar 11-04-2024 08:24
jiyanq dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup