- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#675
Part 29 - Sebuah Rencana
Spoiler for Part 29 - Sebuah Rencana:
Aku terbangun dengan sisa rasa sakit di kepala. Begitu membuka mata terlihat bunda sudah duduk di kursi sebelah ranjang, sementara aku memandang sekeliling ke ruangan kecil yang kukenali sebagai ruang perawatan rumah sakit.
“Ta… Kamu gapapa sayang?” Tanya Bunda.
“...”
“... Kepalanya masih sakit nggak sayang?” Tambahnya seraya membelai rambutku.
Aku menggeleng, mengabaikan sedikit rasa sakit yang tersisa. Bunda lalu meraih sebuah kabel dengan tombol pada bagian ujungnya dan mulai menekannya. Nggak lama berselang, pintu kamar terbuka dan muncul seorang perawat perempuan yang membawa troli berisi perlengkapan pemeriksaan.
Dengan sigap perawat itu lalu mulai mengukur tekanan darahku dengan alat tensi yang dibawanya sambil mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku; “Masih pusing kak?”, “Mual nggak?”.
Aku menggeleng.
Beberapa waktu berselang, seorang pria berjubah putih menyusul masuk, di tangannya terlihat sebuah amplop berwarna putih yang super besar.
“Halo… Gimana, udah nggak pusing kan?” Tanya si Pak Dokter begitu masuk.
“Katanya sih udah nggak dok” Jawab Bunda mencoba mewakiliku.
Sementara, si Pak Dokter mulai mengeluarkan hasil CT Scan yang berada di dalam amplop dan menjelaskan kondisiku ke Bunda, aku hanya terdiam, menatap kosong ke atas, ke langit-langit kamar. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir, membasahi kedua pipi, lalu mulai terisak dan tangisku pecah.
Melihat aku tiba-tiba menangis, Bunda langsung terlihat kelimpungan. Begitu juga dengan si Pak Dokter yang tengah memberi penjelasan ke Bunda tentang kondisiku yang konon katanya baik-baik saja.
Bunda lantas memelukku erat.
Saat berada di dalam pelukannya, aku berbisik; “Aku jahat ya Bund…”
“Eh, kok ngomongnya begitu sih. Nggak dong, anak Bunda mana mungkin jahat…” Hibur Bunda seraya memberikan tepukan di punggung.
Mendengar ucapan penghiburan dari bunda, aku bukannya semakin tenang, kini tangisku semakin kencang dan membabi-buta.
Bunda lantas, melepaskan pelukan dan mencoba meyakinkan Pak Dokter kalau saat ini kondisi fisikku memang baik-baik saja, sesuai dengan hasil diagnosa beliau. Si Pak Dokter, penuh dengan keraguan lalu perlahan mundur, dan keluar dari dalam ruangan.
Setelahnya, Bunda kembali mendekat ke arahku, duduk di tepian ranjang pasien dan memeluk tubuhku. Kali ini pelukannya lebih erat dari sebelumnya, sambil sesekali ia membelai rambutku dan memberi usapan di punggung.
Pelukan bunda nyatanya nggak mampu meredakan kesedihan hatiku yang semakin lama malah semakin pilu. Perlahan ingatanku yang sebelumnya bertumpuk dan hilang akan kejadian di gudang perlengkapan olahraga kini kembali.
Karena nggak ada kendala fisik yang signifikan dan merasa sehat wal-afiat, setelah satu hari berada di rumah sakit, aku diizinkan untuk pulang.
Selama perjalanan pulang ke rumah, aku meminta bunda untuk kembali konsultasi ke Mbak Ver. “Bund, Aku mau ke tempat Mbak Ver lagi…” Pintaku, tanpa menatapnya.
Bunda yang tengah menyetir mobil, nggak langsung menggubrisku. Ia menunggu hingga mobil yang dikendarainya berada di situasi yang nyaman, barulah ia memberi jawaban.
“Kamu yakin? Bunda tapi takut ah, ntar kalo kamu pingsan lagi gimana?”
“Mudah-mudahan nggak…” Jawabku, mencoba meyakinkannya.
Setelah mengeluarkan semua bujuk rayuku, akhirnya Bunda setuju untuk membawaku kembali berkonsultasi dengan mbak Ver. Namun, karena merasa kalau berkonsultasi di rumah akan lebih nyaman, Bunda minta konsultasi dilakukan di rumah. Ya walaupun konsekuensinya, bunda harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendatangkan Mbak Ver ke rumah dan waktu konsultasi yang nggak bisa dilangsungkan dalam waktu dekat.
Sambil menunggu jadwal konsultasi, Mbak Ver sempat mengirimkan sebuah buku untukku. Sebuah buku tentang ‘Ingatan dan Hal yang menyelubunginya’.
‘Untuk apa Mbak Ver memberikan buku seperti ini untukku? Aku sudah mendapatkan kembali ingatanku yang hilang’ Batin ku dalam hati sambil menatap ke buku dengan sampul berwarna hitam yang kini sudah berada di tanganku.
Aku membuka sampul buku, terlihat ada sebuah tulisan pada halaman pertama; “Untuk Zetta dari Ver”. Aku tersenyum sebentar kemudian melanjutkan membuka halaman berikutnya dan berikutnya, dan berikutnya.
Hingga tanpa kusadari, aku tenggelam dalam buku ini dan menghabiskan seluruh isinya dalam waktu semalaman.
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari saat aku berhasil menyelesaikan buku dari Mbak Ver. Aku menjatuhkan diri di atas ranjang dengan buku tergeletak di sebelahku seraya menatap ke arah langit-langit kamar. Mencoba meresapi kata-kata yang kudapat dari buku yang baru saja kubaca, tentang cara ingatan manusia bekerja;
Aku menghela nafas panjang. Selama ini, psikolog yang disarankan oleh mendiang ayah hanya memberikan sugesti dasar yang membuatku melupakan kejadian sebenarnya di Gudang Olahraga. Menggantinya dengan ingatan yang aku yakini benar, ingatan yang disusupi oleh mendiang ayah melalui psikolog kenalannya.
Tanpa menunggu pagi, aku bangkit, turun dari ranjang dan segera turun, menuju ke kamar Bunda.
Aku mengetuk pintu kamar bunda, kemudian membuka nya secara perlahan. Kondisi kamar gelap, hanya temaram lampu baca yang terlihat di sisi ranjang terjauh, yang terdekat dengan jendela. Bunda yang tengah berbaring membelakangiku, lalu menoleh. Menyadari kehadiranku, Bunda langsung menyeka kedua matanya yang basah, kemudian tersenyum.
Ia bangkit, duduk di tepi ranjang dan menatap ke arah jam yang terletak di meja kecil di sisi ranjang.
“Kenapa sayang? Nggak bisa bobo?” Tanyanya sambil tersenyum.
Aku masuk, mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Tanpa aba-aba, Bunda memeluk dan membelai rambutku.
“Bund…” Panggilku.
“Ya…”
“Bunda kenapa nangis?” Tanyaku, setelah melihatnya menangis barusan.
“Mmm… Kepikiran Ayah…” Jawabnya.
“...”
“... Ya, walaupun ayah punya tabiat yang buruk dan sering kali berlaku kasar sama kamu, tapi tetap, dia adalah suami Bunda. Cinta pertama bunda…”
“...”
“... Di satu sisi Bunda sedih karena ayah lebih dulu pergi. Tapi, di sisi lain, Bunda juga lega, karena sekarang kamu jadi nggak lagi tertekan…” Tambahnya.
“...”
“... Bunda jadi bingung, harus menempatkan diri dimana?”
“Sama Bund, Tata juga…” Jawabku, mencoba memberi penghiburan untuknya.
Mendengar ucapanku barusan, Bunda lalu mempererat pelukannya. Kemudian berbisik; “Mudah-mudahan kita berdua di kuatkan ya, Ta…”
Aku mengangguk.
“...Sekarang ini, kita fokus ke kamu dulu ya Ta. Mudah-mudahan Mbak Ver bisa ngasih solusi yang terbaik..” Tambahnya.
Karena Bunda membahas perihal ‘Aku dan psikolog’, ini merupakan waktu yang tepat untuk aku bertanya tentang yang kumaksudkan sebelumnya.
“Bund…”
“Ya?”
“Bunda tau apa yang sebenarnya terjadi waktu kejadian di Gudang Olahraga dulu?” Tanyaku dengan suara yang lirih dan penuh keraguan.
Bunda tersenyum sebentar, membelai rambutku, barulah memberi jawaban; “Bagaimana mungkin Bunda nggak tau, Ta”
“Apa yang bunda tau?” Tanyaku. Ingin menyelaraskan ingatan yang kumiliki dengan cerita versinya.
Bunda terdiam sebentar kemudian mulai bicara; Menurut versi bunda, saat itu, aku yang masih dalam kondisi shock dan tertekan sama sekali nggak bicara sepatah katapun. Sama sekali nggak bisa memberikan keterangan apapun tentang kejadian tersebut.
Sementara, polisi yang sudah mendapatkan keterangan dari orang yang pertama kali mendapati Marshall berdiri sambil memegang pecahan botol langsung menetapkan Marshall sebagai terduga utama. Saat itu, polisi yang datang ke rumah memberi keterangan bahwa, yang bersangkutan, dalam hal ini Marshall sudah mengakui semua perbuatannya. Marshall dari terduga menjadi tersangka.
Ayah yang nggak mau nama baik keluarganya tercoreng karena anak perempuan satu-satunya terlibat sebuah kasus pembunuhan langsung ambil tindakan.
“Bunda setuju dengan tindakan ayah?” Tanyaku lagi.
Bunda mengangguk.
“Bunda setuju dan bunda sadar sepenuh hati. Tapi, bunda sama sekali nggak mengira kalau efek kasus tersebut bakal menghantui kamu, Ta..” Tambahnya.
Kini aku sadar, kalau dalam kasus ini nggak ada yang tahu sama sekali perihal kejadian yang sebenarnya terjadi di gudang olahraga waktu itu. Rahasia itu hanya diketahui oleh Aku, Marshall dan Mbak Ver. Bahkan, bunda dan ayah hanya tau versi yang sama dengan yang kuketahui.
Tiba-tiba, jantung ini terasa ingin lepas. Seandainya, aku mengatakan yang sebenarnya, mungkin aku yang bakal menerima semua hukuman itu; bukan Marshall.
“Bund… Sebenarnya… aku yang nusuk cowok itu, bukan Marshall..” Ucapku lirih.
Mendengar ucapanku barusan, tak terlihat sedikitpun rasa terkejut di wajahnya. Aku mengernyitkan dahi, dan bertanya; “Kok Bunda nggak kaget?”
Bunda tersenyum kemudian mempererat pelukannya, lalu berbisik; “Apapun yang kamu lakukan dulu, Bunda udah nggak peduli lagi. Sekarang, bunda cuma mau hidup normal dan bahagia bareng-bareng sama kamu…”
Aku tau, itu merupakan hiburan bunda semata. Aku pun yakin, kalau sejatinya Bunda nggak serius mendengarkan pengakuanku barusan. Ia hanya nggak ingin berada dalam kondisi ‘menentangku’.
—
Beberapa hari berikutnya, Mbak Ver datang ke rumah. Bunda mempersilahkan Mbak Ver langsung naik ke atas, ke kamarku.
“Halo Ta, apa kabar?” Sapanya dari ambang pintu.
Aku yang tengah berbaring, cukup terkejut begitu melihatnya tiba-tiba sudah berada di kamarku.
“Boleh Mbak masuk?” Tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
Mbak Ver masuk ke dalam kamar, sebelum duduk, ia memandang sekeliling sambil sesekali mengeluarkan decak kagum; entah apa yang ia kagumi dari kamarku yang sederhana ini.
“Mbak duduk disini gapap kan Ta?” Tanyanya lagi sambil menunjuk ke arah kursi meja belajarku.
“Bolah mbak…” Jawabku yang masih duduk di atas ranjang, dan bersiap untuk berdiri. Namun, Mbak Ver mencegahku pergi. “Udah gapapa, kamu disitu aja, Ta…” Ucapnya.
Aku berhenti, lalu kembali duduk di atas ranjang sambil memeluk lututku yang terlipat. Sementara, Mbak Ver terlihat mengeluarkan tablet dari dalam tasnya seperti akan mencatat. Ia lalu mulai mengajakku ngobrol. Obrolan sederhana, seputar apa saja yang sudah kulakukan semenjak sesi pertama kami. Aku mulai menceritakan semuanya, hingga detail terkecil, sejak kejadian aku tersadar di rumah sakit, hingga sesaat sebelum Mbak Ver datang.
Mbak Ver mengangguk sambil sesekali menanggapi ceritaku dengan ‘Hmmm..’, ‘Oh Gitu…’, ‘Terus, terus…’
Hingga pada akhirnya aku bercerita tentang keluh kesahku kepada bunda perihal ingatanku tentang kejadian yang melibatkanku dengan Marshall.
“Menurut Mbak Ver gimana?” Tanyaku.
Mbak Ver mengangkat kedua bahunya, lalu merespon; “You tell me…”
Aku terdiam sesaat.
Kemudian mulai bicara tanpa jeda. Membuat berbagai alasan yang seakan menjustifikasi tindakan yang aku lakukan, alasan-alasan yang pada ujungnya justru seakan ‘menyalahkan’ Marshall. Saat aku menyadari kalimat-kalimat barusan, aku langsung terdiam dan menutup mulut dengan kedua tangan.
Mbak Ver tersenyum. Ia lalu berdiri, dan berpindah, duduk di tepi ranjang, dekat dengan posisiku. Mbak Ver meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Jangan sedih Ta, Jangan merasa kecewa atau bersalah. Jangan! Kalimat-kalimat yang kamu ucapkan barusan itu adalah bentuk pembelaan alami, bentuk basic insting manusia, Ta…”
“Tapi, aku kok ngerasa salahku ke Marshall semakin besar, Mbak…” Ucapku.
“Ya harus. Justru aneh kalau kamu nggak merasa bersalah. Sekarang, problemnya adalah, gimana kamu bisa ‘membayar’ rasa bersalah kamu…”
“Gimana caranya mbak?” Tanyaku penuh harap.
Lagi, Mbak Ver mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. “I Don’t know. You tell me…” Ucapnya.
“... Kamu yang lebih mengenalnya. Mungkin saat ini, sekarang ini, nggak ada di dunia ini yang lebih mengenalnya daripada kamu…” Tambahnya.
Setelah selesai dengan sesi bersama Mbak Ver, ia pamit dan pulang.
Sementara, hati ini langsung terasa plong, terasa lega. Walau, masih ada tekanan di dalam batin, masih ada rasa bersalah yang luar biasa besar, tapi setidaknya kini aku bisa berpikir jernih dan punya semangat baru untuk memperjuangkan ‘hutangku’ yang belum tuntas.
—
“Ta… Kamu gapapa sayang?” Tanya Bunda.
“...”
“... Kepalanya masih sakit nggak sayang?” Tambahnya seraya membelai rambutku.
Aku menggeleng, mengabaikan sedikit rasa sakit yang tersisa. Bunda lalu meraih sebuah kabel dengan tombol pada bagian ujungnya dan mulai menekannya. Nggak lama berselang, pintu kamar terbuka dan muncul seorang perawat perempuan yang membawa troli berisi perlengkapan pemeriksaan.
Dengan sigap perawat itu lalu mulai mengukur tekanan darahku dengan alat tensi yang dibawanya sambil mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku; “Masih pusing kak?”, “Mual nggak?”.
Aku menggeleng.
Beberapa waktu berselang, seorang pria berjubah putih menyusul masuk, di tangannya terlihat sebuah amplop berwarna putih yang super besar.
“Halo… Gimana, udah nggak pusing kan?” Tanya si Pak Dokter begitu masuk.
“Katanya sih udah nggak dok” Jawab Bunda mencoba mewakiliku.
Sementara, si Pak Dokter mulai mengeluarkan hasil CT Scan yang berada di dalam amplop dan menjelaskan kondisiku ke Bunda, aku hanya terdiam, menatap kosong ke atas, ke langit-langit kamar. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir, membasahi kedua pipi, lalu mulai terisak dan tangisku pecah.
Melihat aku tiba-tiba menangis, Bunda langsung terlihat kelimpungan. Begitu juga dengan si Pak Dokter yang tengah memberi penjelasan ke Bunda tentang kondisiku yang konon katanya baik-baik saja.
Bunda lantas memelukku erat.
Saat berada di dalam pelukannya, aku berbisik; “Aku jahat ya Bund…”
“Eh, kok ngomongnya begitu sih. Nggak dong, anak Bunda mana mungkin jahat…” Hibur Bunda seraya memberikan tepukan di punggung.
Mendengar ucapan penghiburan dari bunda, aku bukannya semakin tenang, kini tangisku semakin kencang dan membabi-buta.
Bunda lantas, melepaskan pelukan dan mencoba meyakinkan Pak Dokter kalau saat ini kondisi fisikku memang baik-baik saja, sesuai dengan hasil diagnosa beliau. Si Pak Dokter, penuh dengan keraguan lalu perlahan mundur, dan keluar dari dalam ruangan.
Setelahnya, Bunda kembali mendekat ke arahku, duduk di tepian ranjang pasien dan memeluk tubuhku. Kali ini pelukannya lebih erat dari sebelumnya, sambil sesekali ia membelai rambutku dan memberi usapan di punggung.
Pelukan bunda nyatanya nggak mampu meredakan kesedihan hatiku yang semakin lama malah semakin pilu. Perlahan ingatanku yang sebelumnya bertumpuk dan hilang akan kejadian di gudang perlengkapan olahraga kini kembali.
Karena nggak ada kendala fisik yang signifikan dan merasa sehat wal-afiat, setelah satu hari berada di rumah sakit, aku diizinkan untuk pulang.
Selama perjalanan pulang ke rumah, aku meminta bunda untuk kembali konsultasi ke Mbak Ver. “Bund, Aku mau ke tempat Mbak Ver lagi…” Pintaku, tanpa menatapnya.
Bunda yang tengah menyetir mobil, nggak langsung menggubrisku. Ia menunggu hingga mobil yang dikendarainya berada di situasi yang nyaman, barulah ia memberi jawaban.
“Kamu yakin? Bunda tapi takut ah, ntar kalo kamu pingsan lagi gimana?”
“Mudah-mudahan nggak…” Jawabku, mencoba meyakinkannya.
Setelah mengeluarkan semua bujuk rayuku, akhirnya Bunda setuju untuk membawaku kembali berkonsultasi dengan mbak Ver. Namun, karena merasa kalau berkonsultasi di rumah akan lebih nyaman, Bunda minta konsultasi dilakukan di rumah. Ya walaupun konsekuensinya, bunda harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendatangkan Mbak Ver ke rumah dan waktu konsultasi yang nggak bisa dilangsungkan dalam waktu dekat.
Sambil menunggu jadwal konsultasi, Mbak Ver sempat mengirimkan sebuah buku untukku. Sebuah buku tentang ‘Ingatan dan Hal yang menyelubunginya’.
‘Untuk apa Mbak Ver memberikan buku seperti ini untukku? Aku sudah mendapatkan kembali ingatanku yang hilang’ Batin ku dalam hati sambil menatap ke buku dengan sampul berwarna hitam yang kini sudah berada di tanganku.
Aku membuka sampul buku, terlihat ada sebuah tulisan pada halaman pertama; “Untuk Zetta dari Ver”. Aku tersenyum sebentar kemudian melanjutkan membuka halaman berikutnya dan berikutnya, dan berikutnya.
Hingga tanpa kusadari, aku tenggelam dalam buku ini dan menghabiskan seluruh isinya dalam waktu semalaman.
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari saat aku berhasil menyelesaikan buku dari Mbak Ver. Aku menjatuhkan diri di atas ranjang dengan buku tergeletak di sebelahku seraya menatap ke arah langit-langit kamar. Mencoba meresapi kata-kata yang kudapat dari buku yang baru saja kubaca, tentang cara ingatan manusia bekerja;
Quote:
Coba bayangkan sebuah permainan sambung kata; Dalam permainan sambung kata, orang pertama akan membisikkan pesan ke orang di sebelahnya. Kemudian orang sebelahnya akan meneruskannya pesan tersebut ke orang berikutnya, dan seterusnya, hingga ke orang terakhir. Setiap kali pesan tersebut disampaikan, ada kemungkinan terjadi salah dengar, yang lalu diubah, diperbaiki, atau dilupakan. Begitu pesan tiba di orang terakhir, bisa saja pesan tersebut jauh berbeda dari pesan aslinya.
Begitu pula dengan cara ingatan manusia bekerja. Banyak faktor yang bisa membuat ingatan kita berubah. Bisa saja ada yang terlewat, ada yang ditambah dan ada pula yang terlupakan. Salah satu faktor paling mempengaruhi ingatan ‘apa yang kita yakini benar atau kita harapkan benar. Sehingga otak akan menolak tentang apa yang orang katakan tentang peristiwa masa lalu yang nggak sesuai dengan ingatan kita. Jika, terus berlanjut, hal ini bisa menimbulkan efek jangka panjang pada cara kita mengingat memori tersebut kedepannya.
Begitu pula dengan cara ingatan manusia bekerja. Banyak faktor yang bisa membuat ingatan kita berubah. Bisa saja ada yang terlewat, ada yang ditambah dan ada pula yang terlupakan. Salah satu faktor paling mempengaruhi ingatan ‘apa yang kita yakini benar atau kita harapkan benar. Sehingga otak akan menolak tentang apa yang orang katakan tentang peristiwa masa lalu yang nggak sesuai dengan ingatan kita. Jika, terus berlanjut, hal ini bisa menimbulkan efek jangka panjang pada cara kita mengingat memori tersebut kedepannya.
Aku menghela nafas panjang. Selama ini, psikolog yang disarankan oleh mendiang ayah hanya memberikan sugesti dasar yang membuatku melupakan kejadian sebenarnya di Gudang Olahraga. Menggantinya dengan ingatan yang aku yakini benar, ingatan yang disusupi oleh mendiang ayah melalui psikolog kenalannya.
Tanpa menunggu pagi, aku bangkit, turun dari ranjang dan segera turun, menuju ke kamar Bunda.
Aku mengetuk pintu kamar bunda, kemudian membuka nya secara perlahan. Kondisi kamar gelap, hanya temaram lampu baca yang terlihat di sisi ranjang terjauh, yang terdekat dengan jendela. Bunda yang tengah berbaring membelakangiku, lalu menoleh. Menyadari kehadiranku, Bunda langsung menyeka kedua matanya yang basah, kemudian tersenyum.
Ia bangkit, duduk di tepi ranjang dan menatap ke arah jam yang terletak di meja kecil di sisi ranjang.
“Kenapa sayang? Nggak bisa bobo?” Tanyanya sambil tersenyum.
Aku masuk, mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Tanpa aba-aba, Bunda memeluk dan membelai rambutku.
“Bund…” Panggilku.
“Ya…”
“Bunda kenapa nangis?” Tanyaku, setelah melihatnya menangis barusan.
“Mmm… Kepikiran Ayah…” Jawabnya.
“...”
“... Ya, walaupun ayah punya tabiat yang buruk dan sering kali berlaku kasar sama kamu, tapi tetap, dia adalah suami Bunda. Cinta pertama bunda…”
“...”
“... Di satu sisi Bunda sedih karena ayah lebih dulu pergi. Tapi, di sisi lain, Bunda juga lega, karena sekarang kamu jadi nggak lagi tertekan…” Tambahnya.
“...”
“... Bunda jadi bingung, harus menempatkan diri dimana?”
“Sama Bund, Tata juga…” Jawabku, mencoba memberi penghiburan untuknya.
Mendengar ucapanku barusan, Bunda lalu mempererat pelukannya. Kemudian berbisik; “Mudah-mudahan kita berdua di kuatkan ya, Ta…”
Aku mengangguk.
“...Sekarang ini, kita fokus ke kamu dulu ya Ta. Mudah-mudahan Mbak Ver bisa ngasih solusi yang terbaik..” Tambahnya.
Karena Bunda membahas perihal ‘Aku dan psikolog’, ini merupakan waktu yang tepat untuk aku bertanya tentang yang kumaksudkan sebelumnya.
“Bund…”
“Ya?”
“Bunda tau apa yang sebenarnya terjadi waktu kejadian di Gudang Olahraga dulu?” Tanyaku dengan suara yang lirih dan penuh keraguan.
Bunda tersenyum sebentar, membelai rambutku, barulah memberi jawaban; “Bagaimana mungkin Bunda nggak tau, Ta”
“Apa yang bunda tau?” Tanyaku. Ingin menyelaraskan ingatan yang kumiliki dengan cerita versinya.
Bunda terdiam sebentar kemudian mulai bicara; Menurut versi bunda, saat itu, aku yang masih dalam kondisi shock dan tertekan sama sekali nggak bicara sepatah katapun. Sama sekali nggak bisa memberikan keterangan apapun tentang kejadian tersebut.
Sementara, polisi yang sudah mendapatkan keterangan dari orang yang pertama kali mendapati Marshall berdiri sambil memegang pecahan botol langsung menetapkan Marshall sebagai terduga utama. Saat itu, polisi yang datang ke rumah memberi keterangan bahwa, yang bersangkutan, dalam hal ini Marshall sudah mengakui semua perbuatannya. Marshall dari terduga menjadi tersangka.
Ayah yang nggak mau nama baik keluarganya tercoreng karena anak perempuan satu-satunya terlibat sebuah kasus pembunuhan langsung ambil tindakan.
“Bunda setuju dengan tindakan ayah?” Tanyaku lagi.
Bunda mengangguk.
“Bunda setuju dan bunda sadar sepenuh hati. Tapi, bunda sama sekali nggak mengira kalau efek kasus tersebut bakal menghantui kamu, Ta..” Tambahnya.
Kini aku sadar, kalau dalam kasus ini nggak ada yang tahu sama sekali perihal kejadian yang sebenarnya terjadi di gudang olahraga waktu itu. Rahasia itu hanya diketahui oleh Aku, Marshall dan Mbak Ver. Bahkan, bunda dan ayah hanya tau versi yang sama dengan yang kuketahui.
Tiba-tiba, jantung ini terasa ingin lepas. Seandainya, aku mengatakan yang sebenarnya, mungkin aku yang bakal menerima semua hukuman itu; bukan Marshall.
“Bund… Sebenarnya… aku yang nusuk cowok itu, bukan Marshall..” Ucapku lirih.
Mendengar ucapanku barusan, tak terlihat sedikitpun rasa terkejut di wajahnya. Aku mengernyitkan dahi, dan bertanya; “Kok Bunda nggak kaget?”
Bunda tersenyum kemudian mempererat pelukannya, lalu berbisik; “Apapun yang kamu lakukan dulu, Bunda udah nggak peduli lagi. Sekarang, bunda cuma mau hidup normal dan bahagia bareng-bareng sama kamu…”
Aku tau, itu merupakan hiburan bunda semata. Aku pun yakin, kalau sejatinya Bunda nggak serius mendengarkan pengakuanku barusan. Ia hanya nggak ingin berada dalam kondisi ‘menentangku’.
—
Beberapa hari berikutnya, Mbak Ver datang ke rumah. Bunda mempersilahkan Mbak Ver langsung naik ke atas, ke kamarku.
“Halo Ta, apa kabar?” Sapanya dari ambang pintu.
Aku yang tengah berbaring, cukup terkejut begitu melihatnya tiba-tiba sudah berada di kamarku.
“Boleh Mbak masuk?” Tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
Mbak Ver masuk ke dalam kamar, sebelum duduk, ia memandang sekeliling sambil sesekali mengeluarkan decak kagum; entah apa yang ia kagumi dari kamarku yang sederhana ini.
“Mbak duduk disini gapap kan Ta?” Tanyanya lagi sambil menunjuk ke arah kursi meja belajarku.
“Bolah mbak…” Jawabku yang masih duduk di atas ranjang, dan bersiap untuk berdiri. Namun, Mbak Ver mencegahku pergi. “Udah gapapa, kamu disitu aja, Ta…” Ucapnya.
Aku berhenti, lalu kembali duduk di atas ranjang sambil memeluk lututku yang terlipat. Sementara, Mbak Ver terlihat mengeluarkan tablet dari dalam tasnya seperti akan mencatat. Ia lalu mulai mengajakku ngobrol. Obrolan sederhana, seputar apa saja yang sudah kulakukan semenjak sesi pertama kami. Aku mulai menceritakan semuanya, hingga detail terkecil, sejak kejadian aku tersadar di rumah sakit, hingga sesaat sebelum Mbak Ver datang.
Mbak Ver mengangguk sambil sesekali menanggapi ceritaku dengan ‘Hmmm..’, ‘Oh Gitu…’, ‘Terus, terus…’
Hingga pada akhirnya aku bercerita tentang keluh kesahku kepada bunda perihal ingatanku tentang kejadian yang melibatkanku dengan Marshall.
“Menurut Mbak Ver gimana?” Tanyaku.
Mbak Ver mengangkat kedua bahunya, lalu merespon; “You tell me…”
Aku terdiam sesaat.
Kemudian mulai bicara tanpa jeda. Membuat berbagai alasan yang seakan menjustifikasi tindakan yang aku lakukan, alasan-alasan yang pada ujungnya justru seakan ‘menyalahkan’ Marshall. Saat aku menyadari kalimat-kalimat barusan, aku langsung terdiam dan menutup mulut dengan kedua tangan.
Mbak Ver tersenyum. Ia lalu berdiri, dan berpindah, duduk di tepi ranjang, dekat dengan posisiku. Mbak Ver meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Jangan sedih Ta, Jangan merasa kecewa atau bersalah. Jangan! Kalimat-kalimat yang kamu ucapkan barusan itu adalah bentuk pembelaan alami, bentuk basic insting manusia, Ta…”
“Tapi, aku kok ngerasa salahku ke Marshall semakin besar, Mbak…” Ucapku.
“Ya harus. Justru aneh kalau kamu nggak merasa bersalah. Sekarang, problemnya adalah, gimana kamu bisa ‘membayar’ rasa bersalah kamu…”
“Gimana caranya mbak?” Tanyaku penuh harap.
Lagi, Mbak Ver mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. “I Don’t know. You tell me…” Ucapnya.
“... Kamu yang lebih mengenalnya. Mungkin saat ini, sekarang ini, nggak ada di dunia ini yang lebih mengenalnya daripada kamu…” Tambahnya.
Setelah selesai dengan sesi bersama Mbak Ver, ia pamit dan pulang.
Sementara, hati ini langsung terasa plong, terasa lega. Walau, masih ada tekanan di dalam batin, masih ada rasa bersalah yang luar biasa besar, tapi setidaknya kini aku bisa berpikir jernih dan punya semangat baru untuk memperjuangkan ‘hutangku’ yang belum tuntas.
—
Lanjut Di Bawah
Diubah oleh robotpintar 08-04-2024 22:18
viper990 dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Kutip
Balas
Tutup