- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![mmmsemangat2858](https://s.kaskus.id/user/avatar/2024/06/23/avatar11656733_1.gif)
mmmsemangat2858 dan 153 lainnya memberi reputasi
154
241.5K
Kutip
3.8K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#581
Part 26 - Karakter Lain
Spoiler for Part 26 - Karakter Lain:
Nggak ada rutinitas yang berubah sejak kami menerima proyek menggambar untuk sebuah buku. Gua dan Ketu tetap menuntaskan kewajiban bekerja di proyek bangunan saat pagi hingga sore. Selepas maghrib, setelah makan dan beristirahat sejenak, gua mulai menggambar sementara Ketu; seperti biasa membalas komentar di media sosial sambil cengar-cengir, ngopi dan merokok.
Sebelumnya, Ketu sudah membuat jadwal untuk gua; 10 gambar dalam 10 hari. Tapi, kadang saat mood sedang bagus, gua bisa membuat 3 gambar dalam semalam, jadi di malam yang ke 5 saja, pekerjaan gua sudah kelar.
Hampir nggak ada kesulitan yang gua rasakan saat mengerjakan proyek untuk buku ini. Briefnya terbilang ‘longgar’ dan bisa dikatakan sama sekali nggak ada tenggat waktu buat gua. Menurut Ketu, Koko sama sekali membebaskan gua untuk menyelesaikan gambar semau gua; “Take your time…” ucapnya yang ditirukan dengan sangat baik oleh Ketu.
Sementara, si penulis hanya memberikan brief sederhana yaitu; Buat sepuluh gambar bangunan yang bukan tempat tinggal yang ber-eskalasi, dari gambar pertama; bangunan kecil hingga bangunan terakhir adalah bangunan yang paling besar, nantinya gambar bangunan ini akan ditempatkan di setiap awal bab.
Untuk mencari referensi gua sengaja berkeliling di sekitar daerah proyek bangunan selepas bekerja. Mencari warung, kedai kopi, rumah makan padang, warteg, supermarket, deretan ruko-ruko, pom bensin, klinik, hingga mall yang super besar. Gua mengumpulkan semua referensi tersebut dengan memotret menggunakan ponsel milik Ketu yang kualitas kameranya sedikit lebih baik dari punya gua.
Di hari ke 6, Ketu sengaja nggak langsung mengirimkan hasil gambar gua ke Koko. Ia sengaja menunggu hingga hari ke sepuluh.
“Wah, ketoke emang nggak boleh terlalu cepet, Sal…” Ucapnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Nanti mereka mikirnya, kamu kerjanya cepet..”
“Ya bagus dong”
“Lha kepiye sih, katanya kamu nggak mau kerja sambil di kejar-kejar?”
“Iya sih…”
“Kalo terlalu cepet, di proyek selanjutnya mereka pasti minta hasilnya cepet” Ketu mengemukakan alasan.
“Emang bakal ada proyek selanjutnya?”
Ketu nggak menjawab, hanya mengangkat kedua bahunya.
Memasuki hari ke sepuluh, barulah ketu mengirim hasil gambar gua dengan menggunakan ojek online. Koko dan si penulis memang sengaja ingin meminta hasil gambar gua dalam bentuk hardcopy, tentu saja yang sudah dibubuhi sign ‘M’ pada bagian pojok kanan bawah kertas. Setelah karya gua diterima, Ketu lantas menerima seluruh pembayaran yang sejumlah Rp1.800.000.
“Sal, udah masuk nih transferan 1.800” Ucap Ketu.
“...”
“... Kata si Koko, ada potongan pajak, jadi kita terima bersihnya segitu” Ketu menambahkan.
“Yaudah kasih gua setengahnya, lo ambil setengahnya” Ucap gua, sambil menatap layar ponsel. Memandangi browser yang menampilkan komik online 20th Century Boys, menyelesaikan volume terakhir yang entah sudah berapa kali gua baca.
“Hah, setengahnya; nggak kebanyakan?” Seru Ketu.
“Nggak…” Jawab gua tanpa memalingkan wajah dari layar ponsel. Menurut gua, dari effort dan pengorbanan yang sudah dia lakukan selama ini sepertinya pembagian seperti itu cukup adil.
“Asyik… Suwun yo, Sal..”
“Iya..”
“Kamu bikin rekening bank sih, Sal. Biar gampang…” Ketu memberi usulan.
Kayaknya enggan harus ke ATM menarik uang dan memberikannya ke gua. Iya, sepertinya sudah saatnya gua untuk membuka rekening bank, selain biar gampang ngurus duitnya, punya rekening bank kayaknya juga bakal memudahkan gua untuk urusan bayar-membayar, dimana sekarang segala sesuatunya bisa dilakukan dengan transaksi non tunai.
Gua bangkit, duduk dan beralih ke Ketu. “Besok malem anterin gua deh, Tu. Bikin rekening bank…”
“Malem mana ada yang buka” Keluhnya.
“Terus kapan?”
“Nanti aja pas kamu libur, dateng sendiri ke bank. Emang nggak berani?” Tanyanya, yang lantas gua respon dengan gelengan kepala.
Entah kemana keberanian yang selama ini gua miliki hilang. Dulu, sewaktu jaman SMA, gua punya kepercayaan diri setinggi langit. Gua suka bergaul, gua suka berhubungan dan berbincang dengan orang lain. Gua juga suka membuat orang tertawa, suka membuat kebahagiaan buat yang lain.
Kini, entah kemana keberanian itu hilang. Sekarang, gua cenderung merasa lebih nyaman dalam situasi yang sepi. Atau gua bisa saja berada di keramaian asal nggak ada yang mengajak gua berinteraksi apalagi menjadi pusat perhatian.
“Kalo nunggu kita libur bareng masih lama, Sal..” Ucapnya.
Gua yang lebih memilih menunggu ketimbang harus datang sendirian ke bank tentu saja langsung menjawab; “Yaudah gapapa”
“Terus ini berarti duit kamu gimana?”
“Hmmm, gimana ya? Gini aja deh, Tu. Besok kalo lo libur gua minta tolong lu beliin meja gambar, drawing mate, sketchbook sama isi pensil deh…”
“Hah, meja gambar bukannya mahal?”
“Yang kecil aja Tu, yang kayak biasa dipake anak-anak buat ngaji itu lho…” Gua menjelaskan, memberi contoh meja lipat kecil yang biasa digunakan anak-anak kecil untuk belajar di rumah atau mengaji.
“Oh iya tau… Yaudah”
Sementara, uang jatah gua dihabiskan untuk membeli peralatan. Uang Jatah Ketu sengaja ia tabung. Iya, selama ini ia selalu menyisihkan uang gajinya untuk ditabung. Rencananya ia ingin melanjutkan sekolahnya yang hanya sampai SMP; mengejar paket C. Dan jika tabungannya berlebih, ia ingin sekali membeli sepeda motor. “Biar kayak orang-orang” katanya.
Beberapa hari berselang, sepulangnya gua bekerja di proyek bangunan, terlihat sebuah plastik besar yang tergeletak di ruang tamu kontrakan. ‘Ah, ini pasti barang-barang yang gua minta belikan tempo hari’ batin gua dalam hati. Kemudian langsung membuka plastik berukuran besar tersebut.
Namun, isinya begitu membuat gua terkejut; bagai tersambar petir di siang bolong gua membelalakan mata seraya menarik keluar meja lipat kecil berwarna biru dengan motif Tayo the little bus pada bagian atasnya.
Gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Ketu. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya menyapa gua; “Halo, opo Sal?”
“Tu, gua emang bilang meja yang kayak dipake anak-anak. Tapi, nggak yang gambar Tayo juga kali…” Seru gua.
“Lah terus sing gambar opo? Spongebob?” Tanyanya dengan nada suara datar.
“Hah, emang nggak ada motif selain itu?”
“Ada, tapi kamu pasti nggak suka barbie atau little mermaid..” Jelasnya.
Gua nggak menjawab, dan langsung mengakhiri panggilan. Kemudian dengan menggunakan cutter, gua melepas plastik yang membungkus permukaan meja lipat dan melepas stiker bermotif Tayo tersebut.
Setelah proyek menggambar pertama dengan bayaran masing-masing 900rb, hampir nggak ada lagi kabar dari Koko melalui Ketu. Kami berdua pun sudah mulai melupakan janji dari Koko kalau bakal ada proyek lainnya. Gua dan Ketu, kembali ke rutinitas sebelumnya, rutinitas sehari-hari sebagai pekerja proyek bangunan. Tapi, setiap malam gua masih sering menggambar. Sementara, Ketu masih tetap menyibukkan diri dengan media sosial yang berisi karya-karya gua.
Untuk urusan biaya hidup, kami berdua terbilang nggak terlalu boros. Biasanya setiap habis gajian, kami patungan dengan jumlah yang sama untuk belanja bulanan. Daftar belanjaannya pun sudah terlebih dahulu di list oleh Ketu. Demi berhemat, kami sengaja hanya makan satu kali sehari, itupun gua yang memasak di rumah yang nantinya dibuat bekal ke tempat kerja. Sementara, untuk menghilangkan rasa lapar di malam hari kami hanya minum air sebanyak-banyaknya. Jika, masih tidak bisa menghilangkan rasa lapar; tidur adalah solusi yang tepat.
Lalu datang berita yang cukup mengejutkan dari Ketu. Rupanya, ia mendapat pesan singkat dari ibunya di kampung yang memberi kabar kalau bapaknya kini tengah sakit. Nggak pikir lama, Ketu langsung bersiap untuk mentransfer seluruh uang tabungannya yang selama ini ia sisihkan untuk biaya operasi usus buntu sang ayah.
“Cukup nggak, Tu?” Tanya gua ke Ketu yang masih terlihat duduk di teras, termenung sambil menatap ke layar ponselnya.
“Masih kurang, Sal” Jawabnya lirih.
“Kurang berapa?” Tanya gua lagi.
Ketu lalu mengangkat empat jarinya ke atas.
“Empat juta?” Tanya gua, memastikan.
Ketu lalu mengangguk.
Gua masuk ke dalam, merogoh tas ransel dan mengeluarkan amplop putih yang berisi uang hasil gaji selama ini yang sengaja gua sisihkan. Gua sendiri sebelumnya nggak punya motivasi apapun untuk menabung. Namun, setelah mendengar kalau Ketu punya niat untuk melanjutkan pendidikan dengan mengejar Paket C, gua pun muncul niat yang sama; ingin menabung agar bisa ikut kejar Paket C.
Dulu sebelum gua terkena kasus, gua sudah menyelesaikan ujian nasional, bahkan sudah dinyatakan lulus. Namun, hingga gua terjerat kasus, ijazah gua belum juga terbit. Usut punya usut, ijazah SMA gua memang sengaja nggak diterbitkan karena gua berada di dalam penjara.
Gua kembali ke teras dan memberikan amplop berisi uang tabungan gua. Ketu mendongak, menatap ke arah gua, kemudian dengan ragu-ragu ia meraihnya.
“Kayaknya nggak sampe dua juta, tapi paling nggak lumayan buat nambah-nambahin…” Ucap gua.
“Tapi gapapa Sal? Ini kan duit tabunganmu…”
“Gapapa, duit mah gampang nanti di cari lagi…” Jawab gua sambil tersenyum.
Ketu lalu berdiri dan berlari ke salah satu tetangga kontrakan. Meminjam sepeda motor untuk langsung menuju ke ATM Setor tunai terdekat.
Awalnya, Ketu berencana untuk pulang kampung, menemani operasi Bapaknya sekaligus mencari pinjaman uang guna melunasi sisa biaya pengobatan yang masih kurang. Namun, setelah dipikir-pikir, jika Ketu pulang kampung, maka akan ada cost tambahan yang malah nambah pengeluaran. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap tinggal disini, sambil terus bertukar pesan dengan ibunya yang berada di kampung.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Ponsel Ketu berdering, layarnya menampilkan nama Koko. Ketu buru-buru menjawabnya sambil berdiri dan berjalan ke dalam, mencari tempat yang lebih tenang. Beberapa menit berselang, ia kembali ke luar, ke teras. Kini wajahnya terlihat berbeda; ia tersenyum.
“Proyek baru, Sal..” Ucapnya.
Mendengar kabar tersebut tentu saja gua ikutan senang. Itu artinya, kami bakal dapat uang tambahan yang mudah-mudahan bisa melunasi biaya operasi dan pengobatan bapaknya Ketu.
“Mantab. Bikin apaan?” Tanya gua.
“Belum tau, besok baru mau ngajak ketemuan” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
“Ok, lo aja yang ketemuan sama Koko ya? Gua males…”
“Koko yang mau dateng kesini kok”
“Hah, serius?”
“Iya…”
Besoknya, selepas Maghrib, sepulangnya kami bekerja, Koko sudah terlihat tengah duduk di teras kontrakan kami. Sementara, sebuah sepeda motor mewah terparkir tepat di depannya. Begitu melihat kami, Koko mengangkat tangannya, memberi sapaan yang lalu dibalas oleh Ketu dengan hal sama.
Sementara, Ketu kembali ke warung untuk memesan kopi, gua terpaksa duduk menemani Koko. Walaupun sudah pernah bekerja sama sebelumnya, namun kami belum pernah ngobrol secara langsung. Obrolan kami sebelumnya pasti lewat Ketu.
“Marshall kan?” Tanyanya, membuka topik obrolan.
Gua mengangguk.
“... Jadi, gini Sal. Kita lagi butuh artwork untuk buku bergambar anak” Tambahnya.
“Ntar dulu, tunggu si Ketu..” Gua sengaja menyelanya. Ingin ia memberi penjelasan yang detail saat ada Ketu, agar ia nggak mengulanginya.
Beberapa menit berikutnya, Ketu datang dengan membawa dua gelas plastik berisi kopi hitam instan dan sebatang rokok yang langsung ia berikan ke gua. Sementara, rokok miliknya terlihat terselip di telinga.
Begitu, Ketu hadir, Koko kembali bicara.
“Jadi gini guys. Proyek yang kemarin itu kan proyek pribadi dari temen gua. Nah, kalo yang ini proyek dari tempat gua kerja…” Koko bicara.
“Proyek apa?” Tanya Ketu nggak sabar.
“Nah, kita lagi butuh artwork buat di buku bergambar anak. Kira-kira 20 halaman yang berarti 20 artwork.”
“...”
“... Tapi, kita butuh outputnya digital…” Tambahnya.
“Ada gambar karakternya?” Gua mengajukan pertanyaan, memastikan.
“Ada dong, karakternya binatang, kan buat buku anak…” Jawab Koko.
“Tapi, gua nggak gambar karakter..” Jawab gua, kemudian melirik ke arah Ketu yang langsung terlihat lemas.
“Yah, gimana dong…” Ucap Koko.
Jujur, di momen ini gua sungguh nggak tega jika menolak proyek ini. Karena, Ketu sangat butuh uang buat biaya berobat dan operasi bapaknya. Tapi, gua sungguh nggak terbiasa menggambar sosok orang atau karakter. Selama ini gua hanya menggambar bangunan karena merasa bangunan nggak pernah berubah dan nggak pernah berbohong. Berbeda dengan manusia yang bisa berubah dengan cepat, bisa berbohong bahkan berlaku jahat. Dan sosok pertama yang gua gambar adalah Tata.
Sosok berikutnya yang gua gambar adalah para penjahat di dalam penjara dan keluarganya. Iya, dulu sewaktu di penjara, gua sering menggambar orang, karena saat itu gua merasa nyawa gua terancam, dengan menggambar sosok mereka, gua bisa mendapat jaminan keamanan. Dalam kondisi terpaksa, gua akhirnya menggambar apa yang gua nggak suka. Dan kali ini, demi membantu Ketu, gua akan mengulanginya.
“Yaudah deh, gapapa, gua kerjain…” Ucap gua, yang langsung disambut senyum sumringah Ketu.
“Nah, gitu dong. Mantab” Seru Koko.
“Ada satu masalah lagi nih…”
“Apa?” Tanya Koko.
“Gua nggak bisa bikin artwork digital, paling nanti gua buat manual di kertas. Kalian yang digitalin sendiri…” Gua menjelaskan.
“Wah, susah kalo gitu Sal. Soalnya artwork lo nanti pasti ‘rusak’ kalo digitalin sama orang yang beda”
“...”
“... Gini aja deh, kalo lo nggak ada toolsnya, lo bisa pake tools punya kantor. Nanti gua bawain kesini…” Tambah Koko.
Gua yang seumur hidup hanya menggambar dengan menggunakan kertas dan pensil mekanik, jujur nggak tau cara menggambar dengan tools lain. Jadi, kembali muncul keraguan di dalam hati untuk menerima proyek ini. Tapi, lagi-lagi gua teringat akan kondisi Ketu yang begitu butuh uang.
“Deadline-nya berapa lama?” Tanya gua.
“Hmm.. kira-kira dua mingguan lah” Jawab Koko.
“Bisa dimundurin lagi?” Tanya gua, karena merasa deadline yang diajukan terlalu mepet, apalagi gua masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan tools baru.
“Mmm… tiga minggu deh. Itu udah mepet banget tapi” Jawabnya.
Gua menggaruk kepala, berusaha menimbang-nimbang dan mulai menghitung; 20 artwork. Seandainya, gua butuh waktu satu minggu untuk menyesuaikan diri dengan tools baru, berarti tersisa waktu dua minggu. Artinya, dalam seminggu gua harus menyelesaikan 10 artwork.
“Gini deh.. Lo kasih ke gua brief-nya. Nanti gua buat samplenya dulu secara manual. Kalo dari kalian udah ‘Ok’ dengan style-nya, baru kita lanjut…” Gua mengajukan usul.
“Sounds good” Gumam Koko.
“Dan, deadlinenya dihitung setelah style-nya OK?” Gua menambahkan syarat.
“Yap, gapapa, Ok” Jawab Koko, sambil menjulurkan tangannya. Gua lalu menjawab tangannya. Sementara, di sisi lain, terlihat kelegaan yang luar biasa di wajah Ketu.
Setelah urusan perkara pekerjaan beres, Kami bertiga lalu ngobrol tentang hal lainnya. Begitu kopi miliknya habis, Koko lalu pamit dan bersiap untuk pergi. Sebelum ia benar-benar pergi, gua kembali mengajukan pertanyaan; “Ko, bisa nggak gua minta DP dulu?”
“Oh Bisa. Tenang aja. Nanti kalo style udah OK gua transfer DP nya” Jawabnya.
“Bisa nggak lo kirim brief secepatnya. Soalnya gua butuh DP-nya sekarang” Ucap gua.
Koko yang sebelumnya sudah bersiap di atas sepeda motornya, kembali turun begitu mendengar permintaan gua barusan.
“Emang lo lagi butuh duit banget?” Tanyanya.
“Iya” Jawab gua, sambil mengangguk.
“Berapa?” Tanyanya lagi.
“Dua juta” Gua menjawab sambil mengangkat dua jari tangan.
Tanpa banyak pertanyaan lagi, Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mulai menekan-nekan bagian layar. Menit berselang ia menunjukkan layar ponsel yang berisi bukti transfer dengan nominal 2 juta ke rekening milik Ketu yang sebelumnya digunakan untuk mentransfer uang proyek buku.
“Nih, udah gua transfer. Ini gua talangin pake duit gua dulu, Nanti kalo DP nya turun, langsung gua potong” Ucapnya.
“Thanks ya”
Begitu Koko pulang, Ketu langsung bersujud di lantai, sambil mengucap syukur. Setelahnya, ia langsung mengirim semua uang yang barusan di dapat ke ibunya di kampung.
“Makasih ya, Sal” Ucapnya.
“Nggak usah makasih, nanti bikinin gua kopi aja kalo gua lagi gambar”
“Siap!”
Malamnya, Koko langsung mengirim brief berisi detail ilustrasi yang diinginkan melalui pesan singkat ke Ketu. Gua membaca dengan hati-hati brief tersebut, kemudian langsung mengerjakan sesuai dengan brief tersebut.
Gua sengaja membuat beberapa alternatif style karakter sesuai dengan brief agar pihak Koko bisa memilih mana yang terbaik. Jam dinding menunjukkan pukul 4 dini hari saat gua berhasil menyelesaikan alternatif terakhir. Gua mengumpulkan lembaran kertas berisi gambar karakter, menumpuknya, memasukkannya ke dalam amplop besar berwarna coklat dan menulis catatan untuk Ketu, agar langsung mengirimkan gambar tersebut ke Koko pagi hari nanti.
Setelahnya, gua beristirahat sejenak sambil menyandarkan tubuh ke dinding dan menyulut sebatang rokok. Sementara, ponsel milik Ketu terlihat berbunyi memunculkan notifikasi yang tak henti-hentinya. Penasaran, gua meraih ponsel miliknya dan melihat deretan notifikasi pada layarnya.
Hampir semua notifikasi berisi pesan melalui aplikasi media sosial yang biasa digunakannya. Salah satu notifikasi pesan menarik perhatian gua, notifikasi berisi nama pengirim; Tata19 yang isinya; ‘I Miss you so much’
Gua lantas berusaha menekan notifikasi tersebut dengan ujung jari, namun muncul titik-titik lockscreen yang mengharuskan gua membuka pola tersebut untuk dapat melihat isi dari pesan. Gua masuk ke dalam, menepuk-nepuk pipi Ketu yang sudah terlelap sambil memanggilnya; "Tu, Tu.."
"Hmm.." Gumamnya tanpa membuka mata.
"Pola HP lo apaan?" Tanya gua lagi, sambil terus menggoyangkan tubuhnya.
"Hmm..."
Gua lantas menarik lengannya, membuatnya terduduk lalu menamparnya perlahan. Terkejut begitu mendapat tamparan, Ketu lantas membuka mata, namun sepertinya kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Dengan cepat gua menyodorkan ponselnya; "Buka nih"
Ketu meraih ponsel, membuka pola lockscreen kemudian menjatuhkan dirinya; kembali tidur.
Dengan kondisi ponsel sudah tak terkunci, gua kembali ke depan dan membuka aplikasi media sosial, masuk ke menu pesan dan mencari nama 'Tata19' yang tadi sempat gua lihat.
Ternyata, selama ini Ketu sudah beberapa kali berkirim pesan ke sosok bernama Tata19, terlihat dari riwayat perpesanan disana. Gua menscroll ke atas, ke bagian paling awal dan mendapati kalau selama ini Ketu berpura-pura menjadi gua; menjadi Marshall.
---
Sebelumnya, Ketu sudah membuat jadwal untuk gua; 10 gambar dalam 10 hari. Tapi, kadang saat mood sedang bagus, gua bisa membuat 3 gambar dalam semalam, jadi di malam yang ke 5 saja, pekerjaan gua sudah kelar.
Hampir nggak ada kesulitan yang gua rasakan saat mengerjakan proyek untuk buku ini. Briefnya terbilang ‘longgar’ dan bisa dikatakan sama sekali nggak ada tenggat waktu buat gua. Menurut Ketu, Koko sama sekali membebaskan gua untuk menyelesaikan gambar semau gua; “Take your time…” ucapnya yang ditirukan dengan sangat baik oleh Ketu.
Sementara, si penulis hanya memberikan brief sederhana yaitu; Buat sepuluh gambar bangunan yang bukan tempat tinggal yang ber-eskalasi, dari gambar pertama; bangunan kecil hingga bangunan terakhir adalah bangunan yang paling besar, nantinya gambar bangunan ini akan ditempatkan di setiap awal bab.
Untuk mencari referensi gua sengaja berkeliling di sekitar daerah proyek bangunan selepas bekerja. Mencari warung, kedai kopi, rumah makan padang, warteg, supermarket, deretan ruko-ruko, pom bensin, klinik, hingga mall yang super besar. Gua mengumpulkan semua referensi tersebut dengan memotret menggunakan ponsel milik Ketu yang kualitas kameranya sedikit lebih baik dari punya gua.
Di hari ke 6, Ketu sengaja nggak langsung mengirimkan hasil gambar gua ke Koko. Ia sengaja menunggu hingga hari ke sepuluh.
“Wah, ketoke emang nggak boleh terlalu cepet, Sal…” Ucapnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Nanti mereka mikirnya, kamu kerjanya cepet..”
“Ya bagus dong”
“Lha kepiye sih, katanya kamu nggak mau kerja sambil di kejar-kejar?”
“Iya sih…”
“Kalo terlalu cepet, di proyek selanjutnya mereka pasti minta hasilnya cepet” Ketu mengemukakan alasan.
“Emang bakal ada proyek selanjutnya?”
Ketu nggak menjawab, hanya mengangkat kedua bahunya.
Memasuki hari ke sepuluh, barulah ketu mengirim hasil gambar gua dengan menggunakan ojek online. Koko dan si penulis memang sengaja ingin meminta hasil gambar gua dalam bentuk hardcopy, tentu saja yang sudah dibubuhi sign ‘M’ pada bagian pojok kanan bawah kertas. Setelah karya gua diterima, Ketu lantas menerima seluruh pembayaran yang sejumlah Rp1.800.000.
“Sal, udah masuk nih transferan 1.800” Ucap Ketu.
“...”
“... Kata si Koko, ada potongan pajak, jadi kita terima bersihnya segitu” Ketu menambahkan.
“Yaudah kasih gua setengahnya, lo ambil setengahnya” Ucap gua, sambil menatap layar ponsel. Memandangi browser yang menampilkan komik online 20th Century Boys, menyelesaikan volume terakhir yang entah sudah berapa kali gua baca.
“Hah, setengahnya; nggak kebanyakan?” Seru Ketu.
“Nggak…” Jawab gua tanpa memalingkan wajah dari layar ponsel. Menurut gua, dari effort dan pengorbanan yang sudah dia lakukan selama ini sepertinya pembagian seperti itu cukup adil.
“Asyik… Suwun yo, Sal..”
“Iya..”
“Kamu bikin rekening bank sih, Sal. Biar gampang…” Ketu memberi usulan.
Kayaknya enggan harus ke ATM menarik uang dan memberikannya ke gua. Iya, sepertinya sudah saatnya gua untuk membuka rekening bank, selain biar gampang ngurus duitnya, punya rekening bank kayaknya juga bakal memudahkan gua untuk urusan bayar-membayar, dimana sekarang segala sesuatunya bisa dilakukan dengan transaksi non tunai.
Gua bangkit, duduk dan beralih ke Ketu. “Besok malem anterin gua deh, Tu. Bikin rekening bank…”
“Malem mana ada yang buka” Keluhnya.
“Terus kapan?”
“Nanti aja pas kamu libur, dateng sendiri ke bank. Emang nggak berani?” Tanyanya, yang lantas gua respon dengan gelengan kepala.
Entah kemana keberanian yang selama ini gua miliki hilang. Dulu, sewaktu jaman SMA, gua punya kepercayaan diri setinggi langit. Gua suka bergaul, gua suka berhubungan dan berbincang dengan orang lain. Gua juga suka membuat orang tertawa, suka membuat kebahagiaan buat yang lain.
Kini, entah kemana keberanian itu hilang. Sekarang, gua cenderung merasa lebih nyaman dalam situasi yang sepi. Atau gua bisa saja berada di keramaian asal nggak ada yang mengajak gua berinteraksi apalagi menjadi pusat perhatian.
“Kalo nunggu kita libur bareng masih lama, Sal..” Ucapnya.
Gua yang lebih memilih menunggu ketimbang harus datang sendirian ke bank tentu saja langsung menjawab; “Yaudah gapapa”
“Terus ini berarti duit kamu gimana?”
“Hmmm, gimana ya? Gini aja deh, Tu. Besok kalo lo libur gua minta tolong lu beliin meja gambar, drawing mate, sketchbook sama isi pensil deh…”
“Hah, meja gambar bukannya mahal?”
“Yang kecil aja Tu, yang kayak biasa dipake anak-anak buat ngaji itu lho…” Gua menjelaskan, memberi contoh meja lipat kecil yang biasa digunakan anak-anak kecil untuk belajar di rumah atau mengaji.
“Oh iya tau… Yaudah”
Sementara, uang jatah gua dihabiskan untuk membeli peralatan. Uang Jatah Ketu sengaja ia tabung. Iya, selama ini ia selalu menyisihkan uang gajinya untuk ditabung. Rencananya ia ingin melanjutkan sekolahnya yang hanya sampai SMP; mengejar paket C. Dan jika tabungannya berlebih, ia ingin sekali membeli sepeda motor. “Biar kayak orang-orang” katanya.
Beberapa hari berselang, sepulangnya gua bekerja di proyek bangunan, terlihat sebuah plastik besar yang tergeletak di ruang tamu kontrakan. ‘Ah, ini pasti barang-barang yang gua minta belikan tempo hari’ batin gua dalam hati. Kemudian langsung membuka plastik berukuran besar tersebut.
Namun, isinya begitu membuat gua terkejut; bagai tersambar petir di siang bolong gua membelalakan mata seraya menarik keluar meja lipat kecil berwarna biru dengan motif Tayo the little bus pada bagian atasnya.
Gua meraih ponsel dan mencoba menghubungi Ketu. Nada sambung terdengar beberapa kali, lalu suaranya menyapa gua; “Halo, opo Sal?”
“Tu, gua emang bilang meja yang kayak dipake anak-anak. Tapi, nggak yang gambar Tayo juga kali…” Seru gua.
“Lah terus sing gambar opo? Spongebob?” Tanyanya dengan nada suara datar.
“Hah, emang nggak ada motif selain itu?”
“Ada, tapi kamu pasti nggak suka barbie atau little mermaid..” Jelasnya.
Gua nggak menjawab, dan langsung mengakhiri panggilan. Kemudian dengan menggunakan cutter, gua melepas plastik yang membungkus permukaan meja lipat dan melepas stiker bermotif Tayo tersebut.
Setelah proyek menggambar pertama dengan bayaran masing-masing 900rb, hampir nggak ada lagi kabar dari Koko melalui Ketu. Kami berdua pun sudah mulai melupakan janji dari Koko kalau bakal ada proyek lainnya. Gua dan Ketu, kembali ke rutinitas sebelumnya, rutinitas sehari-hari sebagai pekerja proyek bangunan. Tapi, setiap malam gua masih sering menggambar. Sementara, Ketu masih tetap menyibukkan diri dengan media sosial yang berisi karya-karya gua.
Untuk urusan biaya hidup, kami berdua terbilang nggak terlalu boros. Biasanya setiap habis gajian, kami patungan dengan jumlah yang sama untuk belanja bulanan. Daftar belanjaannya pun sudah terlebih dahulu di list oleh Ketu. Demi berhemat, kami sengaja hanya makan satu kali sehari, itupun gua yang memasak di rumah yang nantinya dibuat bekal ke tempat kerja. Sementara, untuk menghilangkan rasa lapar di malam hari kami hanya minum air sebanyak-banyaknya. Jika, masih tidak bisa menghilangkan rasa lapar; tidur adalah solusi yang tepat.
Lalu datang berita yang cukup mengejutkan dari Ketu. Rupanya, ia mendapat pesan singkat dari ibunya di kampung yang memberi kabar kalau bapaknya kini tengah sakit. Nggak pikir lama, Ketu langsung bersiap untuk mentransfer seluruh uang tabungannya yang selama ini ia sisihkan untuk biaya operasi usus buntu sang ayah.
“Cukup nggak, Tu?” Tanya gua ke Ketu yang masih terlihat duduk di teras, termenung sambil menatap ke layar ponselnya.
“Masih kurang, Sal” Jawabnya lirih.
“Kurang berapa?” Tanya gua lagi.
Ketu lalu mengangkat empat jarinya ke atas.
“Empat juta?” Tanya gua, memastikan.
Ketu lalu mengangguk.
Gua masuk ke dalam, merogoh tas ransel dan mengeluarkan amplop putih yang berisi uang hasil gaji selama ini yang sengaja gua sisihkan. Gua sendiri sebelumnya nggak punya motivasi apapun untuk menabung. Namun, setelah mendengar kalau Ketu punya niat untuk melanjutkan pendidikan dengan mengejar Paket C, gua pun muncul niat yang sama; ingin menabung agar bisa ikut kejar Paket C.
Dulu sebelum gua terkena kasus, gua sudah menyelesaikan ujian nasional, bahkan sudah dinyatakan lulus. Namun, hingga gua terjerat kasus, ijazah gua belum juga terbit. Usut punya usut, ijazah SMA gua memang sengaja nggak diterbitkan karena gua berada di dalam penjara.
Gua kembali ke teras dan memberikan amplop berisi uang tabungan gua. Ketu mendongak, menatap ke arah gua, kemudian dengan ragu-ragu ia meraihnya.
“Kayaknya nggak sampe dua juta, tapi paling nggak lumayan buat nambah-nambahin…” Ucap gua.
“Tapi gapapa Sal? Ini kan duit tabunganmu…”
“Gapapa, duit mah gampang nanti di cari lagi…” Jawab gua sambil tersenyum.
Ketu lalu berdiri dan berlari ke salah satu tetangga kontrakan. Meminjam sepeda motor untuk langsung menuju ke ATM Setor tunai terdekat.
Awalnya, Ketu berencana untuk pulang kampung, menemani operasi Bapaknya sekaligus mencari pinjaman uang guna melunasi sisa biaya pengobatan yang masih kurang. Namun, setelah dipikir-pikir, jika Ketu pulang kampung, maka akan ada cost tambahan yang malah nambah pengeluaran. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap tinggal disini, sambil terus bertukar pesan dengan ibunya yang berada di kampung.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Ponsel Ketu berdering, layarnya menampilkan nama Koko. Ketu buru-buru menjawabnya sambil berdiri dan berjalan ke dalam, mencari tempat yang lebih tenang. Beberapa menit berselang, ia kembali ke luar, ke teras. Kini wajahnya terlihat berbeda; ia tersenyum.
“Proyek baru, Sal..” Ucapnya.
Mendengar kabar tersebut tentu saja gua ikutan senang. Itu artinya, kami bakal dapat uang tambahan yang mudah-mudahan bisa melunasi biaya operasi dan pengobatan bapaknya Ketu.
“Mantab. Bikin apaan?” Tanya gua.
“Belum tau, besok baru mau ngajak ketemuan” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
“Ok, lo aja yang ketemuan sama Koko ya? Gua males…”
“Koko yang mau dateng kesini kok”
“Hah, serius?”
“Iya…”
Besoknya, selepas Maghrib, sepulangnya kami bekerja, Koko sudah terlihat tengah duduk di teras kontrakan kami. Sementara, sebuah sepeda motor mewah terparkir tepat di depannya. Begitu melihat kami, Koko mengangkat tangannya, memberi sapaan yang lalu dibalas oleh Ketu dengan hal sama.
Sementara, Ketu kembali ke warung untuk memesan kopi, gua terpaksa duduk menemani Koko. Walaupun sudah pernah bekerja sama sebelumnya, namun kami belum pernah ngobrol secara langsung. Obrolan kami sebelumnya pasti lewat Ketu.
“Marshall kan?” Tanyanya, membuka topik obrolan.
Gua mengangguk.
“... Jadi, gini Sal. Kita lagi butuh artwork untuk buku bergambar anak” Tambahnya.
“Ntar dulu, tunggu si Ketu..” Gua sengaja menyelanya. Ingin ia memberi penjelasan yang detail saat ada Ketu, agar ia nggak mengulanginya.
Beberapa menit berikutnya, Ketu datang dengan membawa dua gelas plastik berisi kopi hitam instan dan sebatang rokok yang langsung ia berikan ke gua. Sementara, rokok miliknya terlihat terselip di telinga.
Begitu, Ketu hadir, Koko kembali bicara.
“Jadi gini guys. Proyek yang kemarin itu kan proyek pribadi dari temen gua. Nah, kalo yang ini proyek dari tempat gua kerja…” Koko bicara.
“Proyek apa?” Tanya Ketu nggak sabar.
“Nah, kita lagi butuh artwork buat di buku bergambar anak. Kira-kira 20 halaman yang berarti 20 artwork.”
“...”
“... Tapi, kita butuh outputnya digital…” Tambahnya.
“Ada gambar karakternya?” Gua mengajukan pertanyaan, memastikan.
“Ada dong, karakternya binatang, kan buat buku anak…” Jawab Koko.
“Tapi, gua nggak gambar karakter..” Jawab gua, kemudian melirik ke arah Ketu yang langsung terlihat lemas.
“Yah, gimana dong…” Ucap Koko.
Jujur, di momen ini gua sungguh nggak tega jika menolak proyek ini. Karena, Ketu sangat butuh uang buat biaya berobat dan operasi bapaknya. Tapi, gua sungguh nggak terbiasa menggambar sosok orang atau karakter. Selama ini gua hanya menggambar bangunan karena merasa bangunan nggak pernah berubah dan nggak pernah berbohong. Berbeda dengan manusia yang bisa berubah dengan cepat, bisa berbohong bahkan berlaku jahat. Dan sosok pertama yang gua gambar adalah Tata.
Sosok berikutnya yang gua gambar adalah para penjahat di dalam penjara dan keluarganya. Iya, dulu sewaktu di penjara, gua sering menggambar orang, karena saat itu gua merasa nyawa gua terancam, dengan menggambar sosok mereka, gua bisa mendapat jaminan keamanan. Dalam kondisi terpaksa, gua akhirnya menggambar apa yang gua nggak suka. Dan kali ini, demi membantu Ketu, gua akan mengulanginya.
“Yaudah deh, gapapa, gua kerjain…” Ucap gua, yang langsung disambut senyum sumringah Ketu.
“Nah, gitu dong. Mantab” Seru Koko.
“Ada satu masalah lagi nih…”
“Apa?” Tanya Koko.
“Gua nggak bisa bikin artwork digital, paling nanti gua buat manual di kertas. Kalian yang digitalin sendiri…” Gua menjelaskan.
“Wah, susah kalo gitu Sal. Soalnya artwork lo nanti pasti ‘rusak’ kalo digitalin sama orang yang beda”
“...”
“... Gini aja deh, kalo lo nggak ada toolsnya, lo bisa pake tools punya kantor. Nanti gua bawain kesini…” Tambah Koko.
Gua yang seumur hidup hanya menggambar dengan menggunakan kertas dan pensil mekanik, jujur nggak tau cara menggambar dengan tools lain. Jadi, kembali muncul keraguan di dalam hati untuk menerima proyek ini. Tapi, lagi-lagi gua teringat akan kondisi Ketu yang begitu butuh uang.
“Deadline-nya berapa lama?” Tanya gua.
“Hmm.. kira-kira dua mingguan lah” Jawab Koko.
“Bisa dimundurin lagi?” Tanya gua, karena merasa deadline yang diajukan terlalu mepet, apalagi gua masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan tools baru.
“Mmm… tiga minggu deh. Itu udah mepet banget tapi” Jawabnya.
Gua menggaruk kepala, berusaha menimbang-nimbang dan mulai menghitung; 20 artwork. Seandainya, gua butuh waktu satu minggu untuk menyesuaikan diri dengan tools baru, berarti tersisa waktu dua minggu. Artinya, dalam seminggu gua harus menyelesaikan 10 artwork.
“Gini deh.. Lo kasih ke gua brief-nya. Nanti gua buat samplenya dulu secara manual. Kalo dari kalian udah ‘Ok’ dengan style-nya, baru kita lanjut…” Gua mengajukan usul.
“Sounds good” Gumam Koko.
“Dan, deadlinenya dihitung setelah style-nya OK?” Gua menambahkan syarat.
“Yap, gapapa, Ok” Jawab Koko, sambil menjulurkan tangannya. Gua lalu menjawab tangannya. Sementara, di sisi lain, terlihat kelegaan yang luar biasa di wajah Ketu.
Setelah urusan perkara pekerjaan beres, Kami bertiga lalu ngobrol tentang hal lainnya. Begitu kopi miliknya habis, Koko lalu pamit dan bersiap untuk pergi. Sebelum ia benar-benar pergi, gua kembali mengajukan pertanyaan; “Ko, bisa nggak gua minta DP dulu?”
“Oh Bisa. Tenang aja. Nanti kalo style udah OK gua transfer DP nya” Jawabnya.
“Bisa nggak lo kirim brief secepatnya. Soalnya gua butuh DP-nya sekarang” Ucap gua.
Koko yang sebelumnya sudah bersiap di atas sepeda motornya, kembali turun begitu mendengar permintaan gua barusan.
“Emang lo lagi butuh duit banget?” Tanyanya.
“Iya” Jawab gua, sambil mengangguk.
“Berapa?” Tanyanya lagi.
“Dua juta” Gua menjawab sambil mengangkat dua jari tangan.
Tanpa banyak pertanyaan lagi, Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mulai menekan-nekan bagian layar. Menit berselang ia menunjukkan layar ponsel yang berisi bukti transfer dengan nominal 2 juta ke rekening milik Ketu yang sebelumnya digunakan untuk mentransfer uang proyek buku.
“Nih, udah gua transfer. Ini gua talangin pake duit gua dulu, Nanti kalo DP nya turun, langsung gua potong” Ucapnya.
“Thanks ya”
Begitu Koko pulang, Ketu langsung bersujud di lantai, sambil mengucap syukur. Setelahnya, ia langsung mengirim semua uang yang barusan di dapat ke ibunya di kampung.
“Makasih ya, Sal” Ucapnya.
“Nggak usah makasih, nanti bikinin gua kopi aja kalo gua lagi gambar”
“Siap!”
Malamnya, Koko langsung mengirim brief berisi detail ilustrasi yang diinginkan melalui pesan singkat ke Ketu. Gua membaca dengan hati-hati brief tersebut, kemudian langsung mengerjakan sesuai dengan brief tersebut.
Gua sengaja membuat beberapa alternatif style karakter sesuai dengan brief agar pihak Koko bisa memilih mana yang terbaik. Jam dinding menunjukkan pukul 4 dini hari saat gua berhasil menyelesaikan alternatif terakhir. Gua mengumpulkan lembaran kertas berisi gambar karakter, menumpuknya, memasukkannya ke dalam amplop besar berwarna coklat dan menulis catatan untuk Ketu, agar langsung mengirimkan gambar tersebut ke Koko pagi hari nanti.
Setelahnya, gua beristirahat sejenak sambil menyandarkan tubuh ke dinding dan menyulut sebatang rokok. Sementara, ponsel milik Ketu terlihat berbunyi memunculkan notifikasi yang tak henti-hentinya. Penasaran, gua meraih ponsel miliknya dan melihat deretan notifikasi pada layarnya.
Hampir semua notifikasi berisi pesan melalui aplikasi media sosial yang biasa digunakannya. Salah satu notifikasi pesan menarik perhatian gua, notifikasi berisi nama pengirim; Tata19 yang isinya; ‘I Miss you so much’
Gua lantas berusaha menekan notifikasi tersebut dengan ujung jari, namun muncul titik-titik lockscreen yang mengharuskan gua membuka pola tersebut untuk dapat melihat isi dari pesan. Gua masuk ke dalam, menepuk-nepuk pipi Ketu yang sudah terlelap sambil memanggilnya; "Tu, Tu.."
"Hmm.." Gumamnya tanpa membuka mata.
"Pola HP lo apaan?" Tanya gua lagi, sambil terus menggoyangkan tubuhnya.
"Hmm..."
Gua lantas menarik lengannya, membuatnya terduduk lalu menamparnya perlahan. Terkejut begitu mendapat tamparan, Ketu lantas membuka mata, namun sepertinya kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Dengan cepat gua menyodorkan ponselnya; "Buka nih"
Ketu meraih ponsel, membuka pola lockscreen kemudian menjatuhkan dirinya; kembali tidur.
Dengan kondisi ponsel sudah tak terkunci, gua kembali ke depan dan membuka aplikasi media sosial, masuk ke menu pesan dan mencari nama 'Tata19' yang tadi sempat gua lihat.
Ternyata, selama ini Ketu sudah beberapa kali berkirim pesan ke sosok bernama Tata19, terlihat dari riwayat perpesanan disana. Gua menscroll ke atas, ke bagian paling awal dan mendapati kalau selama ini Ketu berpura-pura menjadi gua; menjadi Marshall.
---
![](https://img.youtube.com/vi/wtAnoI1t0MY/0.jpg)
/rif - Bunga
Bunga di taman seindah redup bulan
Kumbang pun berbaris ingin sentuh tubuhnya
Bergoyang ditiup angin, menari liukkan tubuhnya
Semilir angin iringi wangi mungil wajahnya
Bunga di taman sambut mentari pagi
Terangi hidupku, bawaku bersamamu
Yeah, ku terbang melayang tinggi di awan
Yeah, tinggalkan semua kebisingan
Kelak 'kan terbayang, bersamamu terbangkanku
Kusimpan semua kenangan di hatiku
Yeah, ku terbang melayang tinggi di awan
Yeah, tinggalkan semua kebisingan
Tebar sayap gaunmu
Sibakkan rambutku, pujaan terus melayang
Ikuti burungku bermimpi
Ku terbang melayang dan terjatuh di pelukannya, oh, yeah
![mmuji1575](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/10/16/avatar10724019_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
![ym15](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/12/29/avatar10054844_20.gif)
ym15 dan 51 lainnya memberi reputasi
52
Kutip
Balas
Tutup