- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
maniacok99 dan 154 lainnya memberi reputasi
155
247.3K
Kutip
3.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.7KThread•43.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#553
Part 25 - Kesempatan Ketiga
Spoiler for Part 25 - Kesempatan Ketiga:
“Sal, nih liat…” Ucap Ketu sambil memperlihatkan layar ponselnya ke gua.
Menampilkan deretan gambar-gambar milik gua yang sudah melalui proses scan dan kini berada di beranda media sosial.
“Akun siapa?” Tanya gua, merujuk ke akun media sosial yang ia gunakan untuk mengunggah gambar-gambar tersebut.
“Akun baru, baru bikin” Jawabnya. Kemudian menunjukkan nama profil pengguna yang berada pada ujung layar halaman media sosial. Terlihat tertulis nama; ‘M2150_bisa’
“Kayak nama minuman energi…” Gua menggumam pelan, lalu meraih ponselnya dan me-scroll ke bawah, berusaha mencari apakah gambar sosok Poppy ikut diunggahnya.
“Kenapa? Nyari gambar ini?” Tanya Ketu, seakan tau apa yang ada di pikiran gua, sambil menunjukkan gambar Poppy yang berada di sketchbook.
“...”
“... Tenang nggak gua upload kok, soalnya agak aneh kalo di antara gambar bangunan tau-tau ada gambar orang” Ungkapnya, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
Gua meraih sketchbook yang masih berada di tangannya dan menyimpannya di dalam tas ransel.
—
Kini, sudah memasuki bulan ke empat gua bekerja di proyek ruko di Cisauk. Sudah empat bulan juga gua harus hidup bersama dengan pria madiun berperawakan kecil namun punya tampang tua.
Gua duduk di teras, bersandar pada dinding depan kontrakan, sambil menatap ke layar ponsel yang menampilkan foto Poppy. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali Poppy mencoba menghubungi gua dan nggak pernah sekalipun gua jawab. Begitu pula dengan pesan singkat darinya; nggak ada satupun yang gua baca.
Sejatinya, gua ingin sekali mendengar suaranya, dan bahkan melihat wajahnya secara langsung; rindu setengah mati. Seakan terhipnotis, Gua membuka kunci layar ponsel, masuk ke menu kontak dan mencari nama Poppy, bersiap untuk menghubunginya seakan nggak terjadi apa-apa. Namun, gua segera tersadar; menghubunginya sekarang pasti bakal menambah runyam masalah.
Saat ini pilihannya hanya satu; melupakannya. Walaupun gua tau kalau kedepannya rasa rindu ini bakal menyiksa gua sampai mati.
Biarlah.
Hari berganti hari, kehidupan baru gua yang tanpa Poppy terus berjalan. Adaptasi di lingkungan dan orang-orang yang sama sekali baru berjalan hampir tanpa kendala.
Pagi hari gua bekerja di proyek ruko, sementara malamnya gua habiskan untuk menggambar, sambil sesekali ngobrol ngalor-ngidul perkara kehidupan dengan Ketu. Pada akhirnya, Ketu tau tentang latar belakang gua yang bekas napi dan tujuan gua kesini adalah ‘kabur’.
Begitu selesai mendengar cerita gua, ketu langsung beringsut, menggeser tubuhnya sedikit menjauh, seakan takut dengan masa lalu gua. Ya tentu saja itu cuma candaannya.
“Kalo membela diri kan harusnya nggak kena pasal itu, sal?” Tanyanya.
Merespon cerita tentang pasal pembunuhan berencana yang dikenakan pada kasus gua.
“Iya. Tapi hakim kayaknya punya penilaian lain. Menurut mereka kalau membela diri harusnya hanya sebatas satu tusukan…” Jawab gua.
“Lah emang ada berapa tusukan?” Tanya Ketu penasaran.
“Enam…” gua menjawab singkat.
Lagi, ketu menggeser tubuhnya lebih jauh.
“Psikopat…” gumamnya lirih.
“Hahaha, bercanda tu…” ucap gua sambil tertawa.
“Hah! Serius sih. Berapa?” Tanyanya lagi.
Gua lantas menatapnya tajam, menyeringai dan bicara dengan nada datar; “Tujuh…”
“Jangkrik, Asu…” teriaknya kemudian keluar dari rumah.
Nggak berselang lama, ia kembali dengan plastik kecil berisi beberapa batang rokok. Dengan santai, ia meraih sebatang dan melemparkan sisanya ke arah gua. Sambil menyulut rokok, Ketu kembali bicara; “Berarti cuma aku tok disini yang ngerti kasus mu ini?”
Gua mengangguk; “Dan gua berharap terus begitu. Kalo bisa jangan sampe yang lain tau juga” ucap gua, takut kejadian sebelumnya terulang lagi. Seandainya itu sampai terjadi, entah kemana lagi gua harus pergi.
“Ok tenang. Rahasiamu aman di tanganku, Sal” jawab Ketu kemudian melemparkan pemantik ke arah gua.
Ketu lalu kembali tenggelam dalam ponselnya, sementara gua lanjut menggambar.
Beberapa saat berikutnya, ia berteriak dan berdiri. “Sal…”
Gua menoleh ke arahnya, mengira ada suatu hal penting yang ia lupakan, seperti membeli token listrik atau menekan tombol ‘cook’ pada rice cooker.
“Sal…” ucapnya lagi, kemudian mendekat ke arah gua dan menunjukkan layar ponselnya.
Terlihat salah satu postingan media sosial yang berisi hasil karya gua.
Gua mengernyitkan dahi. Merasa nggak ada yang aneh dengan postingan tersebut.
“… ini lho, Sal” tambahnya sambil menunjuk ke arah bagian bawah postingan.
“Apa?” Tanya gua, masih belum mengerti. Ya, maklum selama ini media sosial terakhir yang gua kenal hanya myspace. Itupun hanya sekedar tau, dan sama sekali nggak punya keinginan untuk ‘masuk’ ke dalamnya.
“Ini Sal, like-nya sampe ribuan…” Jawab Ketu sambil menunjuk angka-angka di bagian bawah postingan.
“Terus?” Tanya gua, mencoba mencari korelasi antara jumlah ‘likes’ yang banyak dengan postingan tersebut.
“Ya berarti gambar kamu banyak yang suka sal. Liat nih jumlah pengikutnya juga nambah banyak…”
“Iya, gua ngerti. Maksud gua, terus kita dapet apa kalo jumlah likenya banyak?” Tanya gua.
Mendapat pertanyaan dari gua barusan, Ketu langsung pasang ekspresi bingung.
“Mmm. Apa ya? Kepuasan batin?” Tanyanya.
“Ah gua nggak ngerasa puas kok”
Ketu lalu menggaruk kepalanya dan kembali ke posisi sebelumnya. Nggak lama ia kembali mendekat; “Sal, terus apa yang bikin kamu seneng?”
“Ya kalo hasil karyanya diapresiasi secara real, nyata. Di media sosial mah, ngasih ‘like’ belum tentu beneran suka, bisa aja kepencet atau ikut-ikutan…”
“Lah di dunia nyata juga orang bisa ngasih apresiasi palsu”
“Emang bisa. Tapi, paling nggak kita kan bisa liat ekspresinya, denger suaranya, yang bakal keliatan seberapa puas dia dengan karya kita” gua menjelaskan.
“Masuk kadal sih” gumamnya.
“…”
“… ini tapi gapapa kan kalo aku terus posting gambarmu di sosial media?” Tanyanya seraya mengangkat ponselnya.
“Iya gapapa. Asal jangan yang di sana” jawab gua, kemudian menunjuk ke arah salah satu sketchbook yang menyembul dari dalam tas ransel.
“Oke!” Serunya.
Sejak saat itu, hampir semua hasil karya gua di unggah oleh Ketu ke media sosial. Ia bahkan dengan sukarela mengeluarkan uang dari koceknya sendiri untuk biaya scan-nya. Gua yang awalnya bingung dengan sikapnya itu, kini mulai sedikit paham: Ketu hanya ingin mendapat pengakuan. Pengakuan yang nggak peduli didapatnya dari mana.
Kadang ia kedapatan senyum-senyum sendiri sambil menatap ke latar ponselnya. Rupanya tengah membalas satu persatu komentar berisi pujian yang nggak seharusnya ditujukan kepadanya. Tapi, gua maklum kok, mungkin ini jadi salah satu hiburan baginya, sementara hiburan gua sudah cukup dengan menggambar.
“Sal, Hari ini kamu nggak bikin gambar?” Tanya Ketu sambil mengecek lembaran terakhir di sketchbook milik gua.
“Belum” Jawab gua.
“Yah, berarti hari ini nggak posting dong”
“Emang harus posting setiap hari?” Tanya gua, seraya mengenakan sepatu, bersiap berangkat ke proyek. Sementara, Ketu kebetulan hari ini sedang dapat jadwal libur. Iya, di proyek bangunan tempat kami bekerja menerapkan sistem 6-1, dimana kami bekerja 6 hari dengan 1 hari libur. Jatah liburnya pun berbeda-beda antara pekerja satu dengan pekerja lainnya. Contohnya gua dan Ketu yang punya jatah libur berbeda, namun adakalanya kami bakal mendapat libur di hari yang sama.
“Nggak, biasanya aku posting 3 hari sekali. Tapi, kan udah beberapa hari ini kamu nggak bikin gambar sama sekali…” Protesnya.
“Wah, lo mulai kecanduan gambar gua ya, Tu?” Tanya gua bercanda.
“Iya nih…” Jawabnya seraya memperagakan gerakan orang sakau narkoba.
Gua tertawa melihat tingkahnya, kemudian berangkat bekerja.
Ternyata, saking ‘Sakau’-nya Ketu untuk memposting gambar gua di media sosial, ia memposting gambar yang sebelumnya sudah gua larang; salah satu gambar Poppy yang berada di sketchbook di dalam ransel.
Gua mengetahui hal ini, karena melihat posisi sketchbook di dalam ransel yang berubah. Menyadari hal itu, gua lantas meraih ponsel dan menghubungi Ketu.
“Tu, lo dimana?” Tanya gua.
“Di tukang fotocopy” Jawabnya.
“Ngapain?” Tanya gua lagi seraya memakai sandal, bersiap menyusulnya ke depan, ke tukang fotocopy yang dimaksud oleh Ketu.
“Scan gambarmu” Jawabnya lagi tanpa ada rasa bersalah di suaranya.
“Gambar yang mana?” Tanya gua lagi, kini sudah hampir setengah jalan menuju ke tukang fotocopy.
“...” Ketu nggak menjawab.
“... Bukan gambar yang lo ambil dari sketchbook di dalem tas kan?” Gua menambahkan.
“Iya, hehe, abisnya…” Belum selesai Ketu bicara, gua mengakhiri panggilan dan mulai berlari menyusulnya.
Setibanya di tukang fotocopy, terlihat Ketu tengah berbincang dengan dua orang. Satu orang sepertinya si tukang fotocopy, karena posisinya yang berada di balik etalase, di dalam toko. Sementara, satu orang lainnya berdiri bersebelahan dengan Ketu yang terlihat tengah menggenggam gulungan kertas yang gua yakini sebagai salah satu gambar Poppy yang pernah gua buat.
“Tu, Ketu…” Teriak gua sambil terus mendekat.
“Nah ini dia orangnya” Ucap Ketu sambil menunjuk ke arah gua, sementara pria yang berdiri di sebelahnya langsung menoleh ke arah gua.
“Sal, Kenalin nih…” Ucap Ketu seraya menunjuk ke arah pria di hadapannya. Gua nggak menggubrisnya, lalu merebut gulungan kertas dari genggamannya dan melipatnya.
“Lo udah posting belum?” Tanya gua seraya mengangkat kertas yang sudah terlipat.
“Boro-boro, di scan juga belom…” Jawabnya.
Gua langsung menghela nafas begitu mendengar jawaban dari Ketu. Ia lalu mendekat ke arah gua dan bicara sambil berbisik. “Sal, si mas ini mau minta di gambarin”
“Di gamparin?” Tanya gua, kurang mendengar suaranya yang amat lirih.
“Di gambarin” Ketu mengulang ucapannya, kini dengan volume suara sedikit lebih keras. Suara yang pada akhirnya terdengar oleh pria yang berdiri di depan kami. Pria itu lalu menjulurkan tangannya ke arah gua, kemudian menyebutkan namanya; “Koko…”
Ragu-ragu, gua menyambut dan menjabat tangannya, sambil menyebut nama; “Marshall”
“Gini Mas, Gua panggil Mas gapapa kan?” Tanya Koko.
“Marshall aja…” Jawab gua, karena merasa sepertinya kami berdua sepantaran.
“Oh Oke, jadi gini, Sal.. Gua lagi nyari, bukan, bukan, bukan gua, tapi temen gua lagi nyari orang buat ngisi ilustrasi di bukunya dia. Nah, kebetulan, gua udah ngeliat gambar-gambar lo tadi…” Ucapnya, sambil menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan media sosial ‘milik’ Ketu.
“Duh, Sorry ya, gua nggak bisa deh kayaknya…” Ucap gua laliu berbalik dan bersiap untuk pergi. Sementara, Ketu malah berusaha menarik lengan, mencegah gua untuk pergi. Tapi, gua bergeming dan memutuskan untuk tetap pergi.
Bukan, bukannya gua nggak mau menerima tawaran darinya. Selain masih wacana, gua juga nggak yakin bisa memenuhi ekspektasi orang dalam menggambar. Karena, selama ini gua hanya menggambar saat gua ingin, gua hanya menggambar objek yang gua mau.
Sementara, gua pulang kembali ke kontrakan. Ketu, tetap bertahan di sana. Sepertinya mencoba melanjutkan obrolan.
Setengah jam berikutnya, terlihat Ketu berjalan cepat, melompati pagar dengan tubuh mungilnya yang lincah dan mendekat ke arah gua yang tengah duduk di teras sambil ngopi dan merokok.
“Sal… Kabar baik” Ucapnya, lalu duduk di sebelah gua, masih dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Kabar baik buat gua apa buat lo?” Tanya gua, kemudian menyeruput kopi.
“Buat kita lah…” Jawabnya.
“Apa?” Tanya gua.
“Si Koko, cowok yang tadi, serius mau kamu bikinin ilustrasi buat buku temannya…”
“Ntar, ntar, ntar dulu… Lo kok bisa ketemu sama si Koko ini?” Tanya gua penasaran.
“Jadi, si Koko ini udah beberapa kali ngirim pesan di media sosial. Terus ngajak ketemuan. Yaudah kita janjian di tukang fotocopy depan…”
“Oh..”
“Jadi kepiye? Si Koko serius nih mau kamu bikinin ilustrasi buat buku temannya…"
“Ah, Males gua…”
“Lah kenapa males, duit ini cuk…” Ujarnya penuh semangat.
Gua terdiam, nggak langsung menjawab, hanya menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke arah wajahnya. Setelahnya, barulah gua menjelaskan alasan kenapa gua enggan menggambar buat orang lain; “Males gua, Tu… Selama ini kan gua menggambar kalo lagi mood aja, kalo lagi pengen. Gua juga ambar objek yang gua mau doang. Apa menariknya buat orang lain. Terus seandainya pihak dia minta gua menggambar hal yang gua nggak suka, hal yang aneh, gimana? Seandainya hasil gambar gua jelek dan nggak sesuai ekspektasi mereka gimana?”
Mendengar penjelasan gua, Ketu bukannya terlihat kecewa, ia justru tambah bersemangat. Ia meraih sebatang rokok dari bungkus plastik transparan milik gua, menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam. Sambil terus bicara, ia menghembuskan asapnya ke arah gua; “Nah itu dia poin pentingnya…”
“Apa?” Tanya gua.
“Jadi, sebenernya temennya Koko ini, mau pake gambar yang udah pernah aku posting di media sosial kita”
“...”
“... Tapi, menurut mereka bakal nggak keren kalau ilustrasi yang ada di buku ternyata pernah di posting di media sosial.”
“...”
“... Jadi, mereka cuma mau kamu gambar aja. Gambarnya terserah kamu. Nanti mereka bakal pake buat ilustrasi di bukunya, yang penting gambar bangunan…” Ketu menambahkan, sambil sejak tadi nggak berhenti tersenyum.
“Jadi, bebas gua mau gambar apa aja?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“Iya. Kayaknya…” Ketu menjawab, kini malah terdengar kurang yakin.
“...”
“... Kalo kamu minat, mereka mau ngajakin ngobrol. Ngomongin teknisnya selanjutnya…” Tambahnya.
Begitu mendengar penjelasan lanjutan dari Ketu, gua mulai goyah dan berpikir kalau ini mungkin bisa jadi salah satu sumber penghasilan lain, selain dari bekerja di proyek. Gua menegakkan tubuh dan mulai menggaruk kepala, membayangkan betapa nggak menyenangkannya harus bertemu dan ngobrol bareng orang asing yang kayaknya punya level jauh di atas gua.
“Oke, kalo abis ngobrol ternyata, gua merasa nggak sreg. Boleh mundur nggak?” Tanya gua ke Ketu. Yang tentu saja direspon oleh Ketu dengan mengangkat bahunya ke atas.
“Yaudah kita coba aja dulu…” Ketu mengajukan usul.
Gua berdiri, dan masuk ke dalam. Kemudian kembali keluar untuk mengambil gelas kopi, sembari bicara ke Ketu; “Yaudah deh, ketemunya pas kita libur atau malem aja”
“Tenan iki Sal?” Tanya Ketu memastikan.
“Iya, yang penting ketemuannya harus berdua sama elo ya…” Gua menjawab.
Hingga akhirnya waktu yang dinanti Ketu akhirnya tiba. Setelah berhari-hari Ketu kesulitan tidur gara-gara sibuk mempersiapkan dan merangkai kata untuk bertemu dengan Koko dan rekannya nanti. Adakalanya ia bicara sendiri di cermin, mencoba meninggalkan logat Jawa Timurnya yang kental, namun sepertinya selalu gagal.
Sementara, gua juga mengalami hal yang sama; gugup. Hanya saja penyebabnya berbeda. Jika, ketu gugup karena merasa harus terlihat keren. Sementara, gua gugup karena harus bertemu dengan orang baru yang notabene punya level di atas gua di semua lini.
Koko memberi kabar lewat Ketu kalau kami akan bertemu di sebuah kedai kopi terkenal di daerah BSD.
Saat tiba disana, kegugupan gua bertambah besar, bergejolak, membuat keringat dingin mengalir membasahi kening dan telapak tangan mulai basah. Sementara, Ketu yang sepertinya mulai bisa mengatasi rasa gugupnya, dengan penuh percaya diri berjalan di depan gua. Begitu tiba tepat di depan kedai kopi berlogo putri duyung berwarna hijau, gua menghentikan langkah, berbalik dan bersiap pergi. Menyadari hal tersebut, Ketu langsung menyusul gua.
“Heh, mau kemana Sal?” Tanyanya.
“Gua kayaknya nggak bisa nih, Tu… Grogi, gua balik aja deh…” Ucap gua.
“Lah, terus kepiye? Nggak enah lho sama Koko, udah janjian…”
“Ck.. gimana ya. Gini aja deh, lo aja yang ketemuan sama mereka. Gua nunggu hasilnya aja di rumah…”
Ketu terdiam sesaat, seperti tengah berpikir, kemudian ia mengangguk; setuju. “Yowis lah, daripada batal”
Setelahnya, gua langsung kembali ke kontrakan dengan menggunakan ojek online. Tentu saja, gua sudah bisa melakukan order dengan ponsel, setelah diajari oleh Ketu beberapa waktu yang lalu.
Gua menunggu di kontrakan sambil berbaring tengkurap menghadap ke arah sketchbook. Menggambar bentuk bangunan kedai kopi terkenal yang tadi sempat gua datangi. Belum juga gua menyelesaikan gambar tersebut, pintu kontrakan terbuka. Ketu terlihat berdiri di ambang pintu dengan gelas kopi plastik berukuran besar di tangan kanan dan sebuah amplop coklat di tangan lainnya.
Ia tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun.
Ketu masuk, menyerahkan gelas kopi ke gua lalu duduk tanpa sempat melepaskan sepatunya.
“Gimana?” Tanya gua.
“Mantap Cuk!” Jawabnya, kemudian membuka amplop coklat, mengeluarkan isinya yang berupa lembaran kertas dan menyerahkannya ke gua.
“Apaan?” Tanya gua lagi, seraya menerima lembaran kertas tersebut.
“Draft kontrak” Jawab Ketu, tentu saja sambil terus tersenyum.
Gua mulai membaca isi dari lembaran surat tersebut yang isinya kurang lebih tentang kewajiban yang harus diselesaikan dan hak yang bakalan gua terima. Dengan hati-hati gua mengecek satu persatu poin kewajiban, memastikan tidak ada tuntutan deadline yang memberatkan dan yang terpenting; membebaskan gua untuk membuat karya sesuai dengan yang gua mau. Mata gua lalu turun ke bagian bawah, ke bagian Hak yang bakalan gua terima, dimana pada bagian itu menampilkan deretan angka yang nominalnya cukup besar. Cukup besar buat kami berdua tentunya, karena bagi orang lain yang mungkin angka segitu terbilang kecil; Rp200.000/Gambar.
“Emang mereka butuh berapa gambar?” Tanya gua ke Ketu.
“Belum pasti, tapi kira-kira 10-12 gambar” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
‘2juta berarti’ gua membatin dalam hati.
“Emang mereka mau buat buku apaan sih?” Tanya gua lagi.
“Duh, judulnya lali aku, Sal. Pokoknya buku tentang bangunan yang bukan tempat tinggal. Kayaknya buku tentang bisnis deh…”
“Tadi disana ada penulisnya juga?”
“Ada. Mereka berdua, si Koko sama penulisnya; Cowok, tatoan…”
“Oh jadi bertiga…”
“Berempat. Penulisnya bawa anak, masih kecil…” Jawab Ketu sambil mengangkat tangannya, seperti mengukur ketinggian bocah kecil.
“Oh… Jadi ini Berarti gua harus gambar ruko, warung, gitu?” Gua memastikan.
“Kayaknya iya deh… Pokoknya, kalo poin-poin di surat itu lo udah setuju, nanti mereka bakal bikinin versi resminya yang lebih detail, termasuk judul bukunya dan jumlah gambar yang harus kita kirim…”
“Oh oke deh…” Gua menjawab dan kembali mengecek isi surat tersebut, kemudian mulai mencoret, menambahkan dan merevisi beberapa poin yang ada di sana. Setelah selesai, gua langsung mengembalikannya ke Ketu.
Besoknya, pagi-pagi sekali, sebelum berangkat bekerja ke proyek. Ketu menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah Koko yang tinggal di daerah Pasar Lama, Tangerang untuk mengembalikan surat tersebut.
Beberapa hari berikutnya, gua dan Ketu kembali disibukkan dengan pekerjaan proyek ruko. Kami bahkan hampir melupakan tentang urusan gambar untuk buku tersebut. Hingga akhirnya, suatu sore, saat kami baru saja pulang bekerja, terlihat seorang pengendara ojek online yang duduk di atas sepeda motornya sambil celingak-celinguk. Setelah bertanya ke salah satu teman kami, pengendara itu turun dari sepeda motor dan menghampiri kami; “Mas Suyono?” Tanyanya, sambil menatap ke arah gua dan Ketu secara bergantian.
“Iya saya…” Ketu menjawab dan mengangkat tangan.
Pengendara ojek online itu lalu membuka jaket hijaunya, mengeluarkan amplop coklat yang sebelumnya disimpan di balik jaketnya itu kemudian menyerahkannya ke Ketu.
Nggak menunggu sampai dirumah, Ketu langsung membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya; draft kontrak yang mirip seperti sebelumnya. Namun, kali ini beberapa poin dan kalimat terlihat sudah direvisi berdasarkan coretan-coretan gua sebelumnya. Ditambah beberapa informasi lain seperti judul buku dan jumlah gambar yang harus gua buat; 10.
—
Menampilkan deretan gambar-gambar milik gua yang sudah melalui proses scan dan kini berada di beranda media sosial.
“Akun siapa?” Tanya gua, merujuk ke akun media sosial yang ia gunakan untuk mengunggah gambar-gambar tersebut.
“Akun baru, baru bikin” Jawabnya. Kemudian menunjukkan nama profil pengguna yang berada pada ujung layar halaman media sosial. Terlihat tertulis nama; ‘M2150_bisa’
“Kayak nama minuman energi…” Gua menggumam pelan, lalu meraih ponselnya dan me-scroll ke bawah, berusaha mencari apakah gambar sosok Poppy ikut diunggahnya.
“Kenapa? Nyari gambar ini?” Tanya Ketu, seakan tau apa yang ada di pikiran gua, sambil menunjukkan gambar Poppy yang berada di sketchbook.
“...”
“... Tenang nggak gua upload kok, soalnya agak aneh kalo di antara gambar bangunan tau-tau ada gambar orang” Ungkapnya, yang lalu gua respon dengan anggukan kepala.
Gua meraih sketchbook yang masih berada di tangannya dan menyimpannya di dalam tas ransel.
—
Kini, sudah memasuki bulan ke empat gua bekerja di proyek ruko di Cisauk. Sudah empat bulan juga gua harus hidup bersama dengan pria madiun berperawakan kecil namun punya tampang tua.
Gua duduk di teras, bersandar pada dinding depan kontrakan, sambil menatap ke layar ponsel yang menampilkan foto Poppy. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali Poppy mencoba menghubungi gua dan nggak pernah sekalipun gua jawab. Begitu pula dengan pesan singkat darinya; nggak ada satupun yang gua baca.
Sejatinya, gua ingin sekali mendengar suaranya, dan bahkan melihat wajahnya secara langsung; rindu setengah mati. Seakan terhipnotis, Gua membuka kunci layar ponsel, masuk ke menu kontak dan mencari nama Poppy, bersiap untuk menghubunginya seakan nggak terjadi apa-apa. Namun, gua segera tersadar; menghubunginya sekarang pasti bakal menambah runyam masalah.
Saat ini pilihannya hanya satu; melupakannya. Walaupun gua tau kalau kedepannya rasa rindu ini bakal menyiksa gua sampai mati.
Biarlah.
Hari berganti hari, kehidupan baru gua yang tanpa Poppy terus berjalan. Adaptasi di lingkungan dan orang-orang yang sama sekali baru berjalan hampir tanpa kendala.
Pagi hari gua bekerja di proyek ruko, sementara malamnya gua habiskan untuk menggambar, sambil sesekali ngobrol ngalor-ngidul perkara kehidupan dengan Ketu. Pada akhirnya, Ketu tau tentang latar belakang gua yang bekas napi dan tujuan gua kesini adalah ‘kabur’.
Begitu selesai mendengar cerita gua, ketu langsung beringsut, menggeser tubuhnya sedikit menjauh, seakan takut dengan masa lalu gua. Ya tentu saja itu cuma candaannya.
“Kalo membela diri kan harusnya nggak kena pasal itu, sal?” Tanyanya.
Merespon cerita tentang pasal pembunuhan berencana yang dikenakan pada kasus gua.
“Iya. Tapi hakim kayaknya punya penilaian lain. Menurut mereka kalau membela diri harusnya hanya sebatas satu tusukan…” Jawab gua.
“Lah emang ada berapa tusukan?” Tanya Ketu penasaran.
“Enam…” gua menjawab singkat.
Lagi, ketu menggeser tubuhnya lebih jauh.
“Psikopat…” gumamnya lirih.
“Hahaha, bercanda tu…” ucap gua sambil tertawa.
“Hah! Serius sih. Berapa?” Tanyanya lagi.
Gua lantas menatapnya tajam, menyeringai dan bicara dengan nada datar; “Tujuh…”
“Jangkrik, Asu…” teriaknya kemudian keluar dari rumah.
Nggak berselang lama, ia kembali dengan plastik kecil berisi beberapa batang rokok. Dengan santai, ia meraih sebatang dan melemparkan sisanya ke arah gua. Sambil menyulut rokok, Ketu kembali bicara; “Berarti cuma aku tok disini yang ngerti kasus mu ini?”
Gua mengangguk; “Dan gua berharap terus begitu. Kalo bisa jangan sampe yang lain tau juga” ucap gua, takut kejadian sebelumnya terulang lagi. Seandainya itu sampai terjadi, entah kemana lagi gua harus pergi.
“Ok tenang. Rahasiamu aman di tanganku, Sal” jawab Ketu kemudian melemparkan pemantik ke arah gua.
Ketu lalu kembali tenggelam dalam ponselnya, sementara gua lanjut menggambar.
Beberapa saat berikutnya, ia berteriak dan berdiri. “Sal…”
Gua menoleh ke arahnya, mengira ada suatu hal penting yang ia lupakan, seperti membeli token listrik atau menekan tombol ‘cook’ pada rice cooker.
“Sal…” ucapnya lagi, kemudian mendekat ke arah gua dan menunjukkan layar ponselnya.
Terlihat salah satu postingan media sosial yang berisi hasil karya gua.
Gua mengernyitkan dahi. Merasa nggak ada yang aneh dengan postingan tersebut.
“… ini lho, Sal” tambahnya sambil menunjuk ke arah bagian bawah postingan.
“Apa?” Tanya gua, masih belum mengerti. Ya, maklum selama ini media sosial terakhir yang gua kenal hanya myspace. Itupun hanya sekedar tau, dan sama sekali nggak punya keinginan untuk ‘masuk’ ke dalamnya.
“Ini Sal, like-nya sampe ribuan…” Jawab Ketu sambil menunjuk angka-angka di bagian bawah postingan.
“Terus?” Tanya gua, mencoba mencari korelasi antara jumlah ‘likes’ yang banyak dengan postingan tersebut.
“Ya berarti gambar kamu banyak yang suka sal. Liat nih jumlah pengikutnya juga nambah banyak…”
“Iya, gua ngerti. Maksud gua, terus kita dapet apa kalo jumlah likenya banyak?” Tanya gua.
Mendapat pertanyaan dari gua barusan, Ketu langsung pasang ekspresi bingung.
“Mmm. Apa ya? Kepuasan batin?” Tanyanya.
“Ah gua nggak ngerasa puas kok”
Ketu lalu menggaruk kepalanya dan kembali ke posisi sebelumnya. Nggak lama ia kembali mendekat; “Sal, terus apa yang bikin kamu seneng?”
“Ya kalo hasil karyanya diapresiasi secara real, nyata. Di media sosial mah, ngasih ‘like’ belum tentu beneran suka, bisa aja kepencet atau ikut-ikutan…”
“Lah di dunia nyata juga orang bisa ngasih apresiasi palsu”
“Emang bisa. Tapi, paling nggak kita kan bisa liat ekspresinya, denger suaranya, yang bakal keliatan seberapa puas dia dengan karya kita” gua menjelaskan.
“Masuk kadal sih” gumamnya.
“…”
“… ini tapi gapapa kan kalo aku terus posting gambarmu di sosial media?” Tanyanya seraya mengangkat ponselnya.
“Iya gapapa. Asal jangan yang di sana” jawab gua, kemudian menunjuk ke arah salah satu sketchbook yang menyembul dari dalam tas ransel.
“Oke!” Serunya.
Sejak saat itu, hampir semua hasil karya gua di unggah oleh Ketu ke media sosial. Ia bahkan dengan sukarela mengeluarkan uang dari koceknya sendiri untuk biaya scan-nya. Gua yang awalnya bingung dengan sikapnya itu, kini mulai sedikit paham: Ketu hanya ingin mendapat pengakuan. Pengakuan yang nggak peduli didapatnya dari mana.
Kadang ia kedapatan senyum-senyum sendiri sambil menatap ke latar ponselnya. Rupanya tengah membalas satu persatu komentar berisi pujian yang nggak seharusnya ditujukan kepadanya. Tapi, gua maklum kok, mungkin ini jadi salah satu hiburan baginya, sementara hiburan gua sudah cukup dengan menggambar.
“Sal, Hari ini kamu nggak bikin gambar?” Tanya Ketu sambil mengecek lembaran terakhir di sketchbook milik gua.
“Belum” Jawab gua.
“Yah, berarti hari ini nggak posting dong”
“Emang harus posting setiap hari?” Tanya gua, seraya mengenakan sepatu, bersiap berangkat ke proyek. Sementara, Ketu kebetulan hari ini sedang dapat jadwal libur. Iya, di proyek bangunan tempat kami bekerja menerapkan sistem 6-1, dimana kami bekerja 6 hari dengan 1 hari libur. Jatah liburnya pun berbeda-beda antara pekerja satu dengan pekerja lainnya. Contohnya gua dan Ketu yang punya jatah libur berbeda, namun adakalanya kami bakal mendapat libur di hari yang sama.
“Nggak, biasanya aku posting 3 hari sekali. Tapi, kan udah beberapa hari ini kamu nggak bikin gambar sama sekali…” Protesnya.
“Wah, lo mulai kecanduan gambar gua ya, Tu?” Tanya gua bercanda.
“Iya nih…” Jawabnya seraya memperagakan gerakan orang sakau narkoba.
Gua tertawa melihat tingkahnya, kemudian berangkat bekerja.
Ternyata, saking ‘Sakau’-nya Ketu untuk memposting gambar gua di media sosial, ia memposting gambar yang sebelumnya sudah gua larang; salah satu gambar Poppy yang berada di sketchbook di dalam ransel.
Gua mengetahui hal ini, karena melihat posisi sketchbook di dalam ransel yang berubah. Menyadari hal itu, gua lantas meraih ponsel dan menghubungi Ketu.
“Tu, lo dimana?” Tanya gua.
“Di tukang fotocopy” Jawabnya.
“Ngapain?” Tanya gua lagi seraya memakai sandal, bersiap menyusulnya ke depan, ke tukang fotocopy yang dimaksud oleh Ketu.
“Scan gambarmu” Jawabnya lagi tanpa ada rasa bersalah di suaranya.
“Gambar yang mana?” Tanya gua lagi, kini sudah hampir setengah jalan menuju ke tukang fotocopy.
“...” Ketu nggak menjawab.
“... Bukan gambar yang lo ambil dari sketchbook di dalem tas kan?” Gua menambahkan.
“Iya, hehe, abisnya…” Belum selesai Ketu bicara, gua mengakhiri panggilan dan mulai berlari menyusulnya.
Setibanya di tukang fotocopy, terlihat Ketu tengah berbincang dengan dua orang. Satu orang sepertinya si tukang fotocopy, karena posisinya yang berada di balik etalase, di dalam toko. Sementara, satu orang lainnya berdiri bersebelahan dengan Ketu yang terlihat tengah menggenggam gulungan kertas yang gua yakini sebagai salah satu gambar Poppy yang pernah gua buat.
“Tu, Ketu…” Teriak gua sambil terus mendekat.
“Nah ini dia orangnya” Ucap Ketu sambil menunjuk ke arah gua, sementara pria yang berdiri di sebelahnya langsung menoleh ke arah gua.
“Sal, Kenalin nih…” Ucap Ketu seraya menunjuk ke arah pria di hadapannya. Gua nggak menggubrisnya, lalu merebut gulungan kertas dari genggamannya dan melipatnya.
“Lo udah posting belum?” Tanya gua seraya mengangkat kertas yang sudah terlipat.
“Boro-boro, di scan juga belom…” Jawabnya.
Gua langsung menghela nafas begitu mendengar jawaban dari Ketu. Ia lalu mendekat ke arah gua dan bicara sambil berbisik. “Sal, si mas ini mau minta di gambarin”
“Di gamparin?” Tanya gua, kurang mendengar suaranya yang amat lirih.
“Di gambarin” Ketu mengulang ucapannya, kini dengan volume suara sedikit lebih keras. Suara yang pada akhirnya terdengar oleh pria yang berdiri di depan kami. Pria itu lalu menjulurkan tangannya ke arah gua, kemudian menyebutkan namanya; “Koko…”
Ragu-ragu, gua menyambut dan menjabat tangannya, sambil menyebut nama; “Marshall”
“Gini Mas, Gua panggil Mas gapapa kan?” Tanya Koko.
“Marshall aja…” Jawab gua, karena merasa sepertinya kami berdua sepantaran.
“Oh Oke, jadi gini, Sal.. Gua lagi nyari, bukan, bukan, bukan gua, tapi temen gua lagi nyari orang buat ngisi ilustrasi di bukunya dia. Nah, kebetulan, gua udah ngeliat gambar-gambar lo tadi…” Ucapnya, sambil menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan media sosial ‘milik’ Ketu.
“Duh, Sorry ya, gua nggak bisa deh kayaknya…” Ucap gua laliu berbalik dan bersiap untuk pergi. Sementara, Ketu malah berusaha menarik lengan, mencegah gua untuk pergi. Tapi, gua bergeming dan memutuskan untuk tetap pergi.
Bukan, bukannya gua nggak mau menerima tawaran darinya. Selain masih wacana, gua juga nggak yakin bisa memenuhi ekspektasi orang dalam menggambar. Karena, selama ini gua hanya menggambar saat gua ingin, gua hanya menggambar objek yang gua mau.
Sementara, gua pulang kembali ke kontrakan. Ketu, tetap bertahan di sana. Sepertinya mencoba melanjutkan obrolan.
Setengah jam berikutnya, terlihat Ketu berjalan cepat, melompati pagar dengan tubuh mungilnya yang lincah dan mendekat ke arah gua yang tengah duduk di teras sambil ngopi dan merokok.
“Sal… Kabar baik” Ucapnya, lalu duduk di sebelah gua, masih dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Kabar baik buat gua apa buat lo?” Tanya gua, kemudian menyeruput kopi.
“Buat kita lah…” Jawabnya.
“Apa?” Tanya gua.
“Si Koko, cowok yang tadi, serius mau kamu bikinin ilustrasi buat buku temannya…”
“Ntar, ntar, ntar dulu… Lo kok bisa ketemu sama si Koko ini?” Tanya gua penasaran.
“Jadi, si Koko ini udah beberapa kali ngirim pesan di media sosial. Terus ngajak ketemuan. Yaudah kita janjian di tukang fotocopy depan…”
“Oh..”
“Jadi kepiye? Si Koko serius nih mau kamu bikinin ilustrasi buat buku temannya…"
“Ah, Males gua…”
“Lah kenapa males, duit ini cuk…” Ujarnya penuh semangat.
Gua terdiam, nggak langsung menjawab, hanya menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke arah wajahnya. Setelahnya, barulah gua menjelaskan alasan kenapa gua enggan menggambar buat orang lain; “Males gua, Tu… Selama ini kan gua menggambar kalo lagi mood aja, kalo lagi pengen. Gua juga ambar objek yang gua mau doang. Apa menariknya buat orang lain. Terus seandainya pihak dia minta gua menggambar hal yang gua nggak suka, hal yang aneh, gimana? Seandainya hasil gambar gua jelek dan nggak sesuai ekspektasi mereka gimana?”
Mendengar penjelasan gua, Ketu bukannya terlihat kecewa, ia justru tambah bersemangat. Ia meraih sebatang rokok dari bungkus plastik transparan milik gua, menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam. Sambil terus bicara, ia menghembuskan asapnya ke arah gua; “Nah itu dia poin pentingnya…”
“Apa?” Tanya gua.
“Jadi, sebenernya temennya Koko ini, mau pake gambar yang udah pernah aku posting di media sosial kita”
“...”
“... Tapi, menurut mereka bakal nggak keren kalau ilustrasi yang ada di buku ternyata pernah di posting di media sosial.”
“...”
“... Jadi, mereka cuma mau kamu gambar aja. Gambarnya terserah kamu. Nanti mereka bakal pake buat ilustrasi di bukunya, yang penting gambar bangunan…” Ketu menambahkan, sambil sejak tadi nggak berhenti tersenyum.
“Jadi, bebas gua mau gambar apa aja?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“Iya. Kayaknya…” Ketu menjawab, kini malah terdengar kurang yakin.
“...”
“... Kalo kamu minat, mereka mau ngajakin ngobrol. Ngomongin teknisnya selanjutnya…” Tambahnya.
Begitu mendengar penjelasan lanjutan dari Ketu, gua mulai goyah dan berpikir kalau ini mungkin bisa jadi salah satu sumber penghasilan lain, selain dari bekerja di proyek. Gua menegakkan tubuh dan mulai menggaruk kepala, membayangkan betapa nggak menyenangkannya harus bertemu dan ngobrol bareng orang asing yang kayaknya punya level jauh di atas gua.
“Oke, kalo abis ngobrol ternyata, gua merasa nggak sreg. Boleh mundur nggak?” Tanya gua ke Ketu. Yang tentu saja direspon oleh Ketu dengan mengangkat bahunya ke atas.
“Yaudah kita coba aja dulu…” Ketu mengajukan usul.
Gua berdiri, dan masuk ke dalam. Kemudian kembali keluar untuk mengambil gelas kopi, sembari bicara ke Ketu; “Yaudah deh, ketemunya pas kita libur atau malem aja”
“Tenan iki Sal?” Tanya Ketu memastikan.
“Iya, yang penting ketemuannya harus berdua sama elo ya…” Gua menjawab.
Hingga akhirnya waktu yang dinanti Ketu akhirnya tiba. Setelah berhari-hari Ketu kesulitan tidur gara-gara sibuk mempersiapkan dan merangkai kata untuk bertemu dengan Koko dan rekannya nanti. Adakalanya ia bicara sendiri di cermin, mencoba meninggalkan logat Jawa Timurnya yang kental, namun sepertinya selalu gagal.
Sementara, gua juga mengalami hal yang sama; gugup. Hanya saja penyebabnya berbeda. Jika, ketu gugup karena merasa harus terlihat keren. Sementara, gua gugup karena harus bertemu dengan orang baru yang notabene punya level di atas gua di semua lini.
Koko memberi kabar lewat Ketu kalau kami akan bertemu di sebuah kedai kopi terkenal di daerah BSD.
Saat tiba disana, kegugupan gua bertambah besar, bergejolak, membuat keringat dingin mengalir membasahi kening dan telapak tangan mulai basah. Sementara, Ketu yang sepertinya mulai bisa mengatasi rasa gugupnya, dengan penuh percaya diri berjalan di depan gua. Begitu tiba tepat di depan kedai kopi berlogo putri duyung berwarna hijau, gua menghentikan langkah, berbalik dan bersiap pergi. Menyadari hal tersebut, Ketu langsung menyusul gua.
“Heh, mau kemana Sal?” Tanyanya.
“Gua kayaknya nggak bisa nih, Tu… Grogi, gua balik aja deh…” Ucap gua.
“Lah, terus kepiye? Nggak enah lho sama Koko, udah janjian…”
“Ck.. gimana ya. Gini aja deh, lo aja yang ketemuan sama mereka. Gua nunggu hasilnya aja di rumah…”
Ketu terdiam sesaat, seperti tengah berpikir, kemudian ia mengangguk; setuju. “Yowis lah, daripada batal”
Setelahnya, gua langsung kembali ke kontrakan dengan menggunakan ojek online. Tentu saja, gua sudah bisa melakukan order dengan ponsel, setelah diajari oleh Ketu beberapa waktu yang lalu.
Gua menunggu di kontrakan sambil berbaring tengkurap menghadap ke arah sketchbook. Menggambar bentuk bangunan kedai kopi terkenal yang tadi sempat gua datangi. Belum juga gua menyelesaikan gambar tersebut, pintu kontrakan terbuka. Ketu terlihat berdiri di ambang pintu dengan gelas kopi plastik berukuran besar di tangan kanan dan sebuah amplop coklat di tangan lainnya.
Ia tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun.
Ketu masuk, menyerahkan gelas kopi ke gua lalu duduk tanpa sempat melepaskan sepatunya.
“Gimana?” Tanya gua.
“Mantap Cuk!” Jawabnya, kemudian membuka amplop coklat, mengeluarkan isinya yang berupa lembaran kertas dan menyerahkannya ke gua.
“Apaan?” Tanya gua lagi, seraya menerima lembaran kertas tersebut.
“Draft kontrak” Jawab Ketu, tentu saja sambil terus tersenyum.
Gua mulai membaca isi dari lembaran surat tersebut yang isinya kurang lebih tentang kewajiban yang harus diselesaikan dan hak yang bakalan gua terima. Dengan hati-hati gua mengecek satu persatu poin kewajiban, memastikan tidak ada tuntutan deadline yang memberatkan dan yang terpenting; membebaskan gua untuk membuat karya sesuai dengan yang gua mau. Mata gua lalu turun ke bagian bawah, ke bagian Hak yang bakalan gua terima, dimana pada bagian itu menampilkan deretan angka yang nominalnya cukup besar. Cukup besar buat kami berdua tentunya, karena bagi orang lain yang mungkin angka segitu terbilang kecil; Rp200.000/Gambar.
“Emang mereka butuh berapa gambar?” Tanya gua ke Ketu.
“Belum pasti, tapi kira-kira 10-12 gambar” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
‘2juta berarti’ gua membatin dalam hati.
“Emang mereka mau buat buku apaan sih?” Tanya gua lagi.
“Duh, judulnya lali aku, Sal. Pokoknya buku tentang bangunan yang bukan tempat tinggal. Kayaknya buku tentang bisnis deh…”
“Tadi disana ada penulisnya juga?”
“Ada. Mereka berdua, si Koko sama penulisnya; Cowok, tatoan…”
“Oh jadi bertiga…”
“Berempat. Penulisnya bawa anak, masih kecil…” Jawab Ketu sambil mengangkat tangannya, seperti mengukur ketinggian bocah kecil.
“Oh… Jadi ini Berarti gua harus gambar ruko, warung, gitu?” Gua memastikan.
“Kayaknya iya deh… Pokoknya, kalo poin-poin di surat itu lo udah setuju, nanti mereka bakal bikinin versi resminya yang lebih detail, termasuk judul bukunya dan jumlah gambar yang harus kita kirim…”
“Oh oke deh…” Gua menjawab dan kembali mengecek isi surat tersebut, kemudian mulai mencoret, menambahkan dan merevisi beberapa poin yang ada di sana. Setelah selesai, gua langsung mengembalikannya ke Ketu.
Besoknya, pagi-pagi sekali, sebelum berangkat bekerja ke proyek. Ketu menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah Koko yang tinggal di daerah Pasar Lama, Tangerang untuk mengembalikan surat tersebut.
Beberapa hari berikutnya, gua dan Ketu kembali disibukkan dengan pekerjaan proyek ruko. Kami bahkan hampir melupakan tentang urusan gambar untuk buku tersebut. Hingga akhirnya, suatu sore, saat kami baru saja pulang bekerja, terlihat seorang pengendara ojek online yang duduk di atas sepeda motornya sambil celingak-celinguk. Setelah bertanya ke salah satu teman kami, pengendara itu turun dari sepeda motor dan menghampiri kami; “Mas Suyono?” Tanyanya, sambil menatap ke arah gua dan Ketu secara bergantian.
“Iya saya…” Ketu menjawab dan mengangkat tangan.
Pengendara ojek online itu lalu membuka jaket hijaunya, mengeluarkan amplop coklat yang sebelumnya disimpan di balik jaketnya itu kemudian menyerahkannya ke Ketu.
Nggak menunggu sampai dirumah, Ketu langsung membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya; draft kontrak yang mirip seperti sebelumnya. Namun, kali ini beberapa poin dan kalimat terlihat sudah direvisi berdasarkan coretan-coretan gua sebelumnya. Ditambah beberapa informasi lain seperti judul buku dan jumlah gambar yang harus gua buat; 10.
—
Red Jumpsuit Apparatus - Your Guardian Angel
mmuji1575 dan 41 lainnya memberi reputasi
42
Kutip
Balas
Tutup