- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#522
Part 24 - Awal yang Baru
Spoiler for Part 24 - Awal yang Baru:
“Sal, dipanggil Mas Imran” Ucap salah satu rekan di proyek ruko tempat gua bekerja.
Gua menyerahkan alat bor yang sebelumnya gua pakai melubangi dinding untuk jalur kelistrikan yang tiba-tiba berubah ke salah satu rekan yang berada disana. Kemudian bergegas turun menuju ke lantai dasar.
“Kenapa, Mas?” Tanya gua sambil mendekat ke Mas Imran yang tengah duduk sambil menghitung tumpukan semen.
“Tadi, Bapaknya Poppy kesini” Ucapnya.
“Hah? Ngapain? Nyari gua?” Tanya gua penasaran.
“Nggak secara spesifik nyari kamu sih” Jawabnya.
“Terus?”
“Nanya-nanya tentang kamu…”
“Nanya apa?”
“Kamu itu orangnya gimana, sikapnya, tabiatnya, macem-macem lah pokoke” Ucapnya.
“...”
“... Emang kamu pacaran sama Poppy ya?” Tanyanya.
Belum sempat gua memberi jawaban, Mas Imran lalu pergi.
Baru beberapa langkah, ia menoleh dan memanggil. Meminta gua untuk mengikutinya. Kami lalu berakhir di sebuah bangunan semi permanen yang terbuat dari kaso dan papan, beratap asbes; kami biasa menyebut tempat ini sebagai bedeng. Tempat yang biasa digunakan para pekerja untuk beristirahat atau bahkan ada juga yang tidur disini di saat malam.
Mas Imran duduk di atas tumpukan bata, ia meletakkan walkie talkie yang sejak tadi di genggamnya lalu menunjuk tumpukan bata lain di sebelahnya; menyuruh gua untuk duduk.
“Sal…”
“...”
“... Emang bener kamu baru keluar dari penjara?” Tanya Mas Imran.
Gua mengangguk; “Nggak baru sih mas, udah beberapa bulan”
“Oh… Kenapa nggak cerita?” Tanyanya lagi.
“Takut. Takut nggak dibolehin kerja” Gua menjawab jujur.
“Terus waktu itu, katanya kamu abis dipukulin gara-gara kasus pelecehan?”
Gua kembali mengangguk. “Iya”
“Jadi bener kamu ngelecehin orang?”
Kali ini gua langsung menggeleng. “Nggak Mas, nggak bener…”
“Terus kenapa dipukulin?” Tanyanya lagi.
“Ya, gua bisa apa mas. Udah dikeroyok orang-orang, gua juga nggak bisa kesempatan ngomong. Tau-tau dipukulin…”
Mendengar penjelasan gua, Mas Imran mengangguk beberapa kali sambil mengelus dagunya. Ia lalu menoleh ke arah gua dan kembali bicara; “Yang bener kerjanya ya, Sal. Tadi, aku udah ceritain hal yang baik-baik ke bapaknya Poppy…”
“Iya Mas”
“Kamu tau kan kalo Poppy itu keponakan Mas?”
“Tau Mas”
“Poppy itu, dari kecil anaknya periang, ceria, nggak pernah marah, nggak pernah ngambek. Dia juga supel, mau kerja keras dan sayang banget sama keluarganya. Bahkan cita-citanya aja pengen kerja dengan gaji yang gede supaya bapak ibunya nggak perlu hidup bersusah-susahan lagi…”
“...”
“... Terus coba kamu bayangin Sal, bocah kayak gitu mau kerja buat bayar kuliahnya sendiri karena bapaknya nggak mampu…”
“...”
“... Mas sih cuma minta satu hal dari kamu, Sal. Kalo kamu serius sama Poppy, tolong jagain Poppy. Tolong jangan ambil cita-citanya…”
“Iya Mas…” Gua menjawab lirih.
“Yaudah, sana kerja lagi…” Ucapnya sambil menepuk bahu gua.
Gua berdiri dan bersiap untuk kembali melanjutkan pekerjaan. Namun, belum jauh gua melangkah, Mas Imran kembali memanggil nama gua; “Sal…”
“Ya Mas…”
“Nanti kalo proyek ini kelar, kamu mau ikut Mas lagi nggak?” Tanyanya sambil tersenyum.
Gua menggeleng.
“Lho kenapa?” Tanyanya, kemudian berdiri dan mendekat ke arah gua.
“Nggak tau Mas, gua pengen pergi aja yang jauh. Ke tempat baru lagi…”
“Mau ngapain?”
Gua mengangkat bahu.
“Terus Poppy, gimana?” Tanyanya.
Gua terdiam, nggak menjawab.
Buat gua yang seorang mantan narapidana, yang nggak punya pekerjaan mapan, rasa-rasanya terlalu berani kalau gua bilang bisa memberi kebahagiaan buat Poppy.
Orang-orang mungkin bakal bilang gua terlalu naif. Tapi, menurut gua, Naif dan berpikir logis berada di ambang pertemuan yang tipis. Pola pikirnya Mas Angga, bos gua di kedai yang memberhentikan gua, Bokapnya Poppy yang seakan nggak menyukai gua, dan perilaku orang-orang terhadap gua yang mantan napi adalah gambaran nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Setiap orang pasti ingin yang terbaik. Karyawan terbaik untuk usahanya, pria terbaik untuk teman anaknya, dan individu terbaik dalam masyarakat. Terbaik disini tentu saja yang terlihat dari kulitnya, siapa yang peduli dengan kualitas pribadi mereka? Cih! Nggak ada! Nggak bakal ada!
Gua sendiri, seandainya punya putri yang kebetulan menjalin hubungan dengan seorang pria yang notabene mantan narapidana, apalagi kasus pembunuhan berencana. Tentu nggak bakal mikir 2 kali buat mencegah agar hubungan mereka kandas.
Ada yang nggak setuju?
“Kalo kamu emang mau pergi, ya gapap. Mending pergi lebih cepat biar Poppy-nya juga nggak terlalu sedih…”
“Iya Mas”
“Tapi udah tau mau pergi kemana?” Tanya Mas Imran.
Gua menggeleng.
Ia lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, sambil menekan layar ponsel ia menatap gua dan kembali bertanya; “Cisauk udah cukup jauh belum buat kamu?”
“Hah, Cisauk? Dimana tuh Mas?” Gua balik bertanya.
“Nah, kalo nggak tau berarti udah jauh itu…” Ucap Mas Imran. Ia lalu menekan salah satu tombol pada layar ponselnya.
“...”
“... Tuh, barusan Mas kirim alamat proyek punya temen Mas ke nomormu. Nanti kalo udah kelar dari sini, Kamu langsung kesana aja. Disana, sama-sama lagi garap proyek ruko kayak gini…”
“Tapi, Mas?”
“Apa? Urusan Poppy? Gampang itu. Nanti mas bakal diem kok” Ucapnya.
Beberapa hari berselang, proyek pengerjaan ruko hampir saja selesai. Kini kami hanya tinggal mengerjakan beberapa hal yang terbilang minor. Seperti mengecat, menambal dinding terlihat nggak rata, membersihkan sisa semen pada lantai, hingga membereskan sisa-sisa bahan yang tercecer di area proyek. Hari ini bahkan hampir setengah pekerja disini sudah ‘dipulangkan’ oleh Mas Imran, yang nantinya bakal dipanggil kembali untuk proyek setelahnya.
Sementara, beberapa subkontraktor lain mulai berdatangan. Dari mulai tukang instalasi listrik, furniture hingga AC bergantian masuk ke area proyek untuk memulai tugas mereka.
Dan gua mendapat tugas untuk menyelesaikan proses pengecatan pada dinding luar lantai tiga. Karena proses cat sebelumnya dirasa kurang sempurna.
Menjelang sore, gua mengoles kuas hanya untuk menghabiskan sisa cat di ember. Karena, hampir semua permukaan sudah tertutup dengan sempurna. Lalu terdengar suara ‘bip’ singkat, sebuah tanda kalau bakal ada ‘panggilan’ melalui walkie talkie yang gua bawa.
“Marshall, copy… Srtt..” Terdengar suara Mas Imran melalui walkie talkie.
Gua meraih walkie talkie dan merespon; “Masuk Mas…”
“Muduno, Sal…” Ucapnya.
“Ok mas”
Gua lalu mengumpulkan peralatan, menuruni steger tempat gua berpijak dan masuk ke area dalam ruko melalui jendela yang terbuka kemudian melepas harnes pengaman. Sebelum turun, gua menyempatkan diri untuk membersihkan peralatan, agar nanti bisa langsung pulang tanpa harus repot-repot mencucinya.
Begitu selesai dengan peralatan cat, gua lalu bergegas menemui Mas Imran yang saat sore hari, menjelang jam pulang, pasti tengah duduk di pos penjagaan sambil mengawasi para pekerjanya.
Dari kejauhan, gua melihat ada sosok perempuan yang tengah duduk bersama Mas Imran di atas kursi kayu di depan pos jaga. Gua memicingkan mata, berusaha menatap ke arah sosok tersebut yang ternyata adalah Poppy.
“Lho, ngapain?” Tanya gua.
“Main aja…” Poppy menjawab sambil tersenyum.
Setelah beres-beres, mengembalikan helm serta rompi kerja, gua bergegas menyusul Poppy yang sudah menunggu di depan gerbang. Kami lalu berjalan, berdua, pulang.
Selama perjalanan, gua terus mencari waktu yang tepat untuk ‘berpamitan’ ke Poppy. Gua nggak mau menunggu terlalu lama; Takut. Takut perasaan gua semakin besar dan sulit untuk melepasnya. Gua yakin, begitu pula dengannya.
Semakin lama kami bersama. Bakal semakin sulit baginya untuk melepas gua.
“Lo tunggu sini apa mau ikut? Gua mau mandi dulu sebentar” Ucap gua saat kami tiba di gang kecil yang mengarah ke tempat kost gua.
“Emang kita mau kemana?” Poppy balik bertanya.
“Ke kedai kopi” Gua menjawab. Sejatinya, bisa saja gua mengajaknya untuk ke kost untuk ngobrol. Tapi, gua tau kalau ia pasti menolaknya. Sampai saat ini, Poppy masih berusaha mencoba merahasiakan pertemuannya dengan gua agar Bokapnya nggak tau. Padahal, tanpa sepengetahuan Poppy, bokapnya diam-diam sudah tau semuanya, ia bahkan beberapa kali mendapati kami berdua berbincang di tukang nasi goreng.
Saat itu, gua tanpa sengaja melihat Bokapnya Poppy duduk di atas sepeda motornya yang terparkir di seberang tukang nasi goreng sambil diam-diam menatap ke arah kami berdua. Gua tentu saja, berlagak nggak tau dan mencoba biasa saja. Dan hal itu nggak hanya terjadi satu kali, tapi berulang kali.
“Hah, ngapain?”
“Ngobrol”
“Tumben… Yaudah gua tunggu sini aja deh…”
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, gua kembali ke tempat Poppy menunggu dan mengajaknya ke kedai kopi.
Sampai di kedai kopi, gua langsung disambut Novi dan Dahlan yang tengah ‘bertugas’. “Oi, apa kabar?” Tanya mereka bergantian.
Sementara, gua ngobrol dengan Dahlan dan Novi, Poppy langsung menuju ke area balkon dan duduk di salah satu meja yang kosong.
“Eh, Lan. Ada nggak?” Tanya gua ke Dahlan merujuk ke sebuah barang miliknya yang ingin gua pinjam. Atau mungkin lebih tepatnya; ‘Ingin gua minta’.
“Ada, tuh…” Jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah tas ransel yang tergeletak di sudut kedai.
“...”
“... Buat apaan sih, Sal?” Tanyanya.
“Haha, tempat baju”
“Beli lemari dong…”
Sambil terus berbincang, gua memesan dua gelas cafe latte; “Yang satu bikin manis, Lan” ucap gua ke Dahlan yang lalu di responnya dengan anggukan kepala.
“Ini manis kan, Sal?” Tanya Poppy saat gua menyerahkan gelas cafe latte miliknya.
“Manis…”
Gua lalu duduk, mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyulutnya sambil mencoba merangkai kata yang tepat untuk Poppy.
“Pop…”
“Ya…”
“Kita ini apa sih sebenernya?” Tanya gua, merujuk ke arah hubungan kita ini.
Gua tau kalau hubungan kita sekarang ini sudah lebih dari sebuah persahabatan. Bahkan mungkin bisa dibilang kami adalah pasangan kekasih nggak resmi. Mengingat, sudah banyak hal-hal yang kami lakukan layaknya pasangan kekasih beneran.
Begitu mendapat pertanyaan dari gua, Poppy langsung membetulkan rambutnya, dan berpaling ke arah lain.
“Mmm.. apa ya? Orang?” Poppy memberi jawaban tanpa menatap gua.
“Bukan, bukan gitu maksudnya…”
Ia lalu menggeser duduknya dan berpaling menatap ke arah gua; “Iya gua ngerti maksud lo, Sal. Tapi, gua lagi bingung cara jawabnya gimana…”
“Oh…”
“Lagian pertanyaan lo juga aneh sih…” Tambahnya.
“Mau gua ganti pertanyaannya?”
“Nggak usah, udah terlanjur…”
“...”
“... Kalo ditanya kita ini apa? Gua juga nggak punya jawabannya, Sal. Tapi, gua tau apa yang gua mau…”
“Apa?” Tanya gua.
“Gua mau kita lebih dari ini…” Poppy menjawab, Kini ekspresi dan nada bicaranya terdengar serius.
Melihat sikap dan mendengar jawabannya barusan tentu saja membuat hati ini sedikit goyah. Tapi, gua harus menguatkan tekad, nggak mau tenggelam dalam sikapnya.
“Ya, tapi kan lo tau Pop. Kalo hubungan ini nggak bakal berhasil” Gua bicara.
“Tau dari mana?” Tanyanya
Gua lalu menyebutkan satu persatu alasan, kenapa kita berdua nggak bisa melanjutkan hubungan ini; “Pertama, gua mantan napi yang nggak punya masa depan. Kedua, bokap dan keluarga lo kayaknya nggak nerima gua…”
Poppy sedikit memundurkan tubuhnya dan mengernyitkan dahi, begitu mendengar jawaban gua barusan.
“Jadi, sebenernya lo merasa hubungan kita nggak bakal berhasil tuh karena apa? Karena lo yang mantan napi atau karena bokap gua nggak setuju?” Tanya Poppy, kini nada bicaranya mulai terdengar sedikit meninggi.
“Dua-duanya…” Gua menjawab.
“Tapi, kan kita bisa…”
“Nggak bisa, Pop…” Ucap gua, memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Bisa, Sal…” Poppy berteriak sambil berdiri dan menggebrak meja, membuat gelas di atasnya bergoyang dan sedikit tumpah. Sementara, pengunjung lain langsung menoleh ke arah kami berdua.
Seakan nggak peduli dengan pandangan para pengunjung lain, Poppy kembali bicara,. Masih dengan posisi berdiri dan menatap ke arah gua; “Oke, terus gimana?”
“...” Gua terdiam, nggak ingin memberi jawaban karena jawaban gua pasti bakal menyulut emosinya lebih dalam.
“... Lo nggak mikirin perasaan gua ya Sal? Lo cuma mikirin diri lo sendiri kan?” Tanyanya lagi.
“...”
“... Oke gini gini, kalo lo yang mantan napi emang kita nggak bisa berbuat apa-apa kan. Tapi, seandainya bokap gua setuju dan nerima lo apa adanya, gimana?”
“...”
“... Gimana, Sal?’ Poppy kembali mengajukan pertanyaan. Kini wajahnya terlihat memerah dan kedua matanya mulai berlinang. Di momen ini, gua jelas nggak punya kekuatan untuk memandangnya, gua hanya terdiam sambil menundukkan kepala dan berkali-kali mengucapkan maaf di dalam hati.
Kesal karena gua hanya diam dan nggak memberi jawaban, Poppy lalu berdiri, meraih tasnya dan pergi. Baru beberapa langkah, ia berpaling, kami sama-sama saling menatap dalam diam. “Sorry pop” Ucap gua lirih.
—
Di tempat kost, gua membereskan pakaian yang nggak seberapa dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Sementara, lemari pakaian plastik yang usianya baru beberapa bulan sudah sepakat akan dibeli oleh Bu Marni.
Malam itu, gua duduk bersandar pada dinding kamar, memeluk tas ransel, menunggu pagi sambil menatap foto Poppy pada layar ponsel gua.
Pagi-pagi sekali, saat kondisi masih lengang gua menyusuri jalan yang sepi menuju ke arah stasiun Palmerah.
Berbeda dengan jalan yang sebelumnya gua lalui, di jalan utama, di pasar Palmerah kondisinya jauh berbeda. Trotoarnya ramai dengan orang yang berjualan, bahkan hingga ke jalan. Membuat kendaraan yang melintas sedikit terganggu.
Kondisi yang nggak jauh berbeda terasa hingga gua tiba di stasiun Palmerah. Hiruk pikuk klakson kendaraan dan lalu lalang orang yang menyebrang jalan menuju ke stasiun mungkin bakal membuat orang mengira kalau ini bukanlah pagi hari.
Setelah bertanya ke petugas keamanan yang berjaga di pintu stasiun, gua lantas membeli tiket sekali jalan menuju ke stasiun Cisauk. 15 menit berikutnya, gua sudah duduk di salah satu kursi di dalam gerbong kereta yang membawa gua menjauh dari stasiun Palmerah, menjauh dari Poppy dan kehidupannya.
Jam 6 lewat 15 menit, gua sudah tiba di stasiun Cisauk. Mirip seperti perantau yang baru saja tiba di kota besar, gua berdiri, celingak-celinguk tepat di luar pintu stasiun; nggak tau harus kemana. Berbekal alamat yang diberikan Mas Imran melalui pesan singkat, gua lalu bertanya ke salah satu pengendara ojek online yang tengah berkumpul di sisi trotoar jalan.
“Mau kesini?” Tanya salah satu pengendara ojek online yang gua ajak bicara.
“Iya…”
“Ayok saya anterin” Ucapnya.
“Tapi, gua nggak punya aplikasinya” Jawab gua.
“Yaudah gapapa, manual aja” Responnya.
“Berapa?” Tanya gua.
“Dua lima” Jawabnya; merujuk nominal 25 ribu.
Gua yang sama sekali nggak memiliki benchmark tentang tarif ojek dan jarak yang harus ditempuh akhirnya setuju dengan angka yang diajukannya.
Menit berikutnya, gua sudah duduk di boncengan sepeda motor yang membawa gua masuk ke dalam gang di sebelah area parkir sepeda motor stasiun, berbelok melintasi rel tanpa penjagaan dan kembali masuk ke area perkampungan. Setelahnya melalui area perkampungan, kami kembali di jalan raya, berbelok ke kiri dan nggak lama si pengendara ojek melambatkan laju sepeda motornya kemudian menepi.
“Hah, udah sampe?” Tanya gua.
“Itu, tempatnya” Jawab si pengendara ojek sambil menunjuk ke arah salah satu bangunan.
“Lah deket banget, masa 25 sih bang?” Gua turun dari boncengan sambil mencoba melakukan negosiasi ulang.
“Ya situ kan tadi udah deal segitu” Jawabnya santai.
Akhirnya, mau nggak mau, gua membayar sejumlah yang sudah kami sepakati sebelumnya. Ya, walaupun hanya sebatas ucapan; tapi perjanjian tetap sebuah perjanjian.
Gua berdiri di depan bangunan dengan pagar besi setinggi dada orang dewasa. Bangunan di depan gua ini terlihat seperti rumah kontrakan kecil yang berjejer dan saling berhadapan. Mungkin jumlahnya lebih dari 12 rumah; 6 rumah di sisi kiri, sementara 6 rumah di sisi kanan. Sementara di bagian tengah, diantara rumah-rumah kecil yang berdempetan itu terdapat sebuah halaman beralas conblock cukup luas dengan beberapa jemuran besi di tengahnya dan deretan sepeda motor berada di depan masing-masing rumah.
“Nyari siapa mas?” Tanya salah seorang pria yang baru saja membuka pagar. Sepertinya bersiap untuk berangkat kerja.
Gua lantas mengeluarkan ponsel, dan menunjukkan pesan dari Mas Imran. “Anu mas, mau nyari Bang Juhdi..”
“Oh, Juhdi… Masnya masuk aja, itu rumahnya yang paling ujung sebelah kanan. Yang ada banyak kandang burungnya” Jawab pria itu sambil menunjuk ke salah satu rumah.
“Ok, Makasih ya..”
Gua melintasi halaman dan langsung menuju ke salah satu rumah yang ditunjukkan sebelumnya.
Terlihat pintu rumah sudah dalam kondisi terbuka, sementara terdengar riuh rendah suara obrolan dari arah dalam rumah. Ragu-ragu, gua bersiap mengetuk pintu. Namun, sebelum gua melakukannya, seorang pria bersarung dengan kaos singlet putih keluar dari dalam rumah sambil membawa botol semprotan putih; sepertinya tengah bersiap memandikan burung.
“Cari siapa?” Tanyanya begitu melihat gua yang celingukan.
“Cari Mas Juhdi” Jawab gua.
“Oh, itu gua…” Ucapnya sambil cengengesan.
“Anu mas, Gua dapat info dari Mas Imran…” Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, pria bernama Juhdi itu langsung memotongnya.
“Yang mau kerja disini kan?”
Gua lalu mengangguk. Kemudian menyodorkan tangan, mengajaknya bersalaman. Ia memindahkan botol semprotan ke tangan kiri dan menjabat tangan gua.
“Marshall” Gua mengucapkan nama.
“Wuih, cakep amat nama kamu” Gumamnya.
Setelah berkenalan, ia mengajak gua masuk ke dalam rumah tersebut dan memperkenalkan gua ke orang-orang yang berada disana. Rupanya, rumah kontrakan ini merupakan tempat tinggal para pekerja yang bekerja di proyek ruko dimana Mas Juhdi menjadi mandor-nya. Dan nggak hanya rumah kontrakan ini saja, rumah kontrakan sebelahnya hingga ke ujung merupakan tempat tinggal para pekerja di proyek yang sama.
“Nah, kita pada tinggal disini. Satu rumah biasanya berdua. Ada juga sih yang bertiga. Nanti bayar sewanya patungan. Tergantung deal-deal-an-nya aja, semakin banyak orangnya, semakin murah patungannya..”
Mas Juhdi lalu mengajak gua duduk di teras. Kemudian mulai menjelaskan pekerjaan yang bakal gua lakukan di proyek nanti. Umumnya pekerja proyek bangungan, nggak ada yang berbeda dari yang gua lakukan di proyek sebelumnya. Hanya saja, di proyek kali ini yang dipimpin oleh Mas Juhdi, sepertinya lebih profesional. Terlihat dari surat perjanjian kerja yang ia sodorkan ke gua, karena sebelumnya, saat bersama Mas Imran, gua sama sekali nggak harus menandatangani dokumen apapun. Ya kerja langsung kerja aja.
Setelah mengisi data diri dan membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian kontrak kerja. Mas Juhdi membawa gua berkeliling rumah kontrakan.
“Belum ada tempat tinggal kan?” Tanynya.
Gua lelu menggeleng.
“Kalo mau kamu nanti tinggal di sini aja…” Ucap Mas Juhdi sambil menunjuk ke arah rumah kontrakan yang berada di tengah.
“...”
Mas Juhdi lalu mengetuk pintu rumah kontrakan yang dimaksud sambil berteriak; “Tu.. Bangun Tu…”
Gua menyerahkan alat bor yang sebelumnya gua pakai melubangi dinding untuk jalur kelistrikan yang tiba-tiba berubah ke salah satu rekan yang berada disana. Kemudian bergegas turun menuju ke lantai dasar.
“Kenapa, Mas?” Tanya gua sambil mendekat ke Mas Imran yang tengah duduk sambil menghitung tumpukan semen.
“Tadi, Bapaknya Poppy kesini” Ucapnya.
“Hah? Ngapain? Nyari gua?” Tanya gua penasaran.
“Nggak secara spesifik nyari kamu sih” Jawabnya.
“Terus?”
“Nanya-nanya tentang kamu…”
“Nanya apa?”
“Kamu itu orangnya gimana, sikapnya, tabiatnya, macem-macem lah pokoke” Ucapnya.
“...”
“... Emang kamu pacaran sama Poppy ya?” Tanyanya.
Belum sempat gua memberi jawaban, Mas Imran lalu pergi.
Baru beberapa langkah, ia menoleh dan memanggil. Meminta gua untuk mengikutinya. Kami lalu berakhir di sebuah bangunan semi permanen yang terbuat dari kaso dan papan, beratap asbes; kami biasa menyebut tempat ini sebagai bedeng. Tempat yang biasa digunakan para pekerja untuk beristirahat atau bahkan ada juga yang tidur disini di saat malam.
Mas Imran duduk di atas tumpukan bata, ia meletakkan walkie talkie yang sejak tadi di genggamnya lalu menunjuk tumpukan bata lain di sebelahnya; menyuruh gua untuk duduk.
“Sal…”
“...”
“... Emang bener kamu baru keluar dari penjara?” Tanya Mas Imran.
Gua mengangguk; “Nggak baru sih mas, udah beberapa bulan”
“Oh… Kenapa nggak cerita?” Tanyanya lagi.
“Takut. Takut nggak dibolehin kerja” Gua menjawab jujur.
“Terus waktu itu, katanya kamu abis dipukulin gara-gara kasus pelecehan?”
Gua kembali mengangguk. “Iya”
“Jadi bener kamu ngelecehin orang?”
Kali ini gua langsung menggeleng. “Nggak Mas, nggak bener…”
“Terus kenapa dipukulin?” Tanyanya lagi.
“Ya, gua bisa apa mas. Udah dikeroyok orang-orang, gua juga nggak bisa kesempatan ngomong. Tau-tau dipukulin…”
Mendengar penjelasan gua, Mas Imran mengangguk beberapa kali sambil mengelus dagunya. Ia lalu menoleh ke arah gua dan kembali bicara; “Yang bener kerjanya ya, Sal. Tadi, aku udah ceritain hal yang baik-baik ke bapaknya Poppy…”
“Iya Mas”
“Kamu tau kan kalo Poppy itu keponakan Mas?”
“Tau Mas”
“Poppy itu, dari kecil anaknya periang, ceria, nggak pernah marah, nggak pernah ngambek. Dia juga supel, mau kerja keras dan sayang banget sama keluarganya. Bahkan cita-citanya aja pengen kerja dengan gaji yang gede supaya bapak ibunya nggak perlu hidup bersusah-susahan lagi…”
“...”
“... Terus coba kamu bayangin Sal, bocah kayak gitu mau kerja buat bayar kuliahnya sendiri karena bapaknya nggak mampu…”
“...”
“... Mas sih cuma minta satu hal dari kamu, Sal. Kalo kamu serius sama Poppy, tolong jagain Poppy. Tolong jangan ambil cita-citanya…”
“Iya Mas…” Gua menjawab lirih.
“Yaudah, sana kerja lagi…” Ucapnya sambil menepuk bahu gua.
Gua berdiri dan bersiap untuk kembali melanjutkan pekerjaan. Namun, belum jauh gua melangkah, Mas Imran kembali memanggil nama gua; “Sal…”
“Ya Mas…”
“Nanti kalo proyek ini kelar, kamu mau ikut Mas lagi nggak?” Tanyanya sambil tersenyum.
Gua menggeleng.
“Lho kenapa?” Tanyanya, kemudian berdiri dan mendekat ke arah gua.
“Nggak tau Mas, gua pengen pergi aja yang jauh. Ke tempat baru lagi…”
“Mau ngapain?”
Gua mengangkat bahu.
“Terus Poppy, gimana?” Tanyanya.
Gua terdiam, nggak menjawab.
Buat gua yang seorang mantan narapidana, yang nggak punya pekerjaan mapan, rasa-rasanya terlalu berani kalau gua bilang bisa memberi kebahagiaan buat Poppy.
Orang-orang mungkin bakal bilang gua terlalu naif. Tapi, menurut gua, Naif dan berpikir logis berada di ambang pertemuan yang tipis. Pola pikirnya Mas Angga, bos gua di kedai yang memberhentikan gua, Bokapnya Poppy yang seakan nggak menyukai gua, dan perilaku orang-orang terhadap gua yang mantan napi adalah gambaran nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Setiap orang pasti ingin yang terbaik. Karyawan terbaik untuk usahanya, pria terbaik untuk teman anaknya, dan individu terbaik dalam masyarakat. Terbaik disini tentu saja yang terlihat dari kulitnya, siapa yang peduli dengan kualitas pribadi mereka? Cih! Nggak ada! Nggak bakal ada!
Gua sendiri, seandainya punya putri yang kebetulan menjalin hubungan dengan seorang pria yang notabene mantan narapidana, apalagi kasus pembunuhan berencana. Tentu nggak bakal mikir 2 kali buat mencegah agar hubungan mereka kandas.
Ada yang nggak setuju?
“Kalo kamu emang mau pergi, ya gapap. Mending pergi lebih cepat biar Poppy-nya juga nggak terlalu sedih…”
“Iya Mas”
“Tapi udah tau mau pergi kemana?” Tanya Mas Imran.
Gua menggeleng.
Ia lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya, sambil menekan layar ponsel ia menatap gua dan kembali bertanya; “Cisauk udah cukup jauh belum buat kamu?”
“Hah, Cisauk? Dimana tuh Mas?” Gua balik bertanya.
“Nah, kalo nggak tau berarti udah jauh itu…” Ucap Mas Imran. Ia lalu menekan salah satu tombol pada layar ponselnya.
“...”
“... Tuh, barusan Mas kirim alamat proyek punya temen Mas ke nomormu. Nanti kalo udah kelar dari sini, Kamu langsung kesana aja. Disana, sama-sama lagi garap proyek ruko kayak gini…”
“Tapi, Mas?”
“Apa? Urusan Poppy? Gampang itu. Nanti mas bakal diem kok” Ucapnya.
Beberapa hari berselang, proyek pengerjaan ruko hampir saja selesai. Kini kami hanya tinggal mengerjakan beberapa hal yang terbilang minor. Seperti mengecat, menambal dinding terlihat nggak rata, membersihkan sisa semen pada lantai, hingga membereskan sisa-sisa bahan yang tercecer di area proyek. Hari ini bahkan hampir setengah pekerja disini sudah ‘dipulangkan’ oleh Mas Imran, yang nantinya bakal dipanggil kembali untuk proyek setelahnya.
Sementara, beberapa subkontraktor lain mulai berdatangan. Dari mulai tukang instalasi listrik, furniture hingga AC bergantian masuk ke area proyek untuk memulai tugas mereka.
Dan gua mendapat tugas untuk menyelesaikan proses pengecatan pada dinding luar lantai tiga. Karena proses cat sebelumnya dirasa kurang sempurna.
Menjelang sore, gua mengoles kuas hanya untuk menghabiskan sisa cat di ember. Karena, hampir semua permukaan sudah tertutup dengan sempurna. Lalu terdengar suara ‘bip’ singkat, sebuah tanda kalau bakal ada ‘panggilan’ melalui walkie talkie yang gua bawa.
“Marshall, copy… Srtt..” Terdengar suara Mas Imran melalui walkie talkie.
Gua meraih walkie talkie dan merespon; “Masuk Mas…”
“Muduno, Sal…” Ucapnya.
“Ok mas”
Gua lalu mengumpulkan peralatan, menuruni steger tempat gua berpijak dan masuk ke area dalam ruko melalui jendela yang terbuka kemudian melepas harnes pengaman. Sebelum turun, gua menyempatkan diri untuk membersihkan peralatan, agar nanti bisa langsung pulang tanpa harus repot-repot mencucinya.
Begitu selesai dengan peralatan cat, gua lalu bergegas menemui Mas Imran yang saat sore hari, menjelang jam pulang, pasti tengah duduk di pos penjagaan sambil mengawasi para pekerjanya.
Dari kejauhan, gua melihat ada sosok perempuan yang tengah duduk bersama Mas Imran di atas kursi kayu di depan pos jaga. Gua memicingkan mata, berusaha menatap ke arah sosok tersebut yang ternyata adalah Poppy.
“Lho, ngapain?” Tanya gua.
“Main aja…” Poppy menjawab sambil tersenyum.
Setelah beres-beres, mengembalikan helm serta rompi kerja, gua bergegas menyusul Poppy yang sudah menunggu di depan gerbang. Kami lalu berjalan, berdua, pulang.
Selama perjalanan, gua terus mencari waktu yang tepat untuk ‘berpamitan’ ke Poppy. Gua nggak mau menunggu terlalu lama; Takut. Takut perasaan gua semakin besar dan sulit untuk melepasnya. Gua yakin, begitu pula dengannya.
Semakin lama kami bersama. Bakal semakin sulit baginya untuk melepas gua.
“Lo tunggu sini apa mau ikut? Gua mau mandi dulu sebentar” Ucap gua saat kami tiba di gang kecil yang mengarah ke tempat kost gua.
“Emang kita mau kemana?” Poppy balik bertanya.
“Ke kedai kopi” Gua menjawab. Sejatinya, bisa saja gua mengajaknya untuk ke kost untuk ngobrol. Tapi, gua tau kalau ia pasti menolaknya. Sampai saat ini, Poppy masih berusaha mencoba merahasiakan pertemuannya dengan gua agar Bokapnya nggak tau. Padahal, tanpa sepengetahuan Poppy, bokapnya diam-diam sudah tau semuanya, ia bahkan beberapa kali mendapati kami berdua berbincang di tukang nasi goreng.
Saat itu, gua tanpa sengaja melihat Bokapnya Poppy duduk di atas sepeda motornya yang terparkir di seberang tukang nasi goreng sambil diam-diam menatap ke arah kami berdua. Gua tentu saja, berlagak nggak tau dan mencoba biasa saja. Dan hal itu nggak hanya terjadi satu kali, tapi berulang kali.
“Hah, ngapain?”
“Ngobrol”
“Tumben… Yaudah gua tunggu sini aja deh…”
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, gua kembali ke tempat Poppy menunggu dan mengajaknya ke kedai kopi.
Sampai di kedai kopi, gua langsung disambut Novi dan Dahlan yang tengah ‘bertugas’. “Oi, apa kabar?” Tanya mereka bergantian.
Sementara, gua ngobrol dengan Dahlan dan Novi, Poppy langsung menuju ke area balkon dan duduk di salah satu meja yang kosong.
“Eh, Lan. Ada nggak?” Tanya gua ke Dahlan merujuk ke sebuah barang miliknya yang ingin gua pinjam. Atau mungkin lebih tepatnya; ‘Ingin gua minta’.
“Ada, tuh…” Jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah tas ransel yang tergeletak di sudut kedai.
“...”
“... Buat apaan sih, Sal?” Tanyanya.
“Haha, tempat baju”
“Beli lemari dong…”
Sambil terus berbincang, gua memesan dua gelas cafe latte; “Yang satu bikin manis, Lan” ucap gua ke Dahlan yang lalu di responnya dengan anggukan kepala.
“Ini manis kan, Sal?” Tanya Poppy saat gua menyerahkan gelas cafe latte miliknya.
“Manis…”
Gua lalu duduk, mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyulutnya sambil mencoba merangkai kata yang tepat untuk Poppy.
“Pop…”
“Ya…”
“Kita ini apa sih sebenernya?” Tanya gua, merujuk ke arah hubungan kita ini.
Gua tau kalau hubungan kita sekarang ini sudah lebih dari sebuah persahabatan. Bahkan mungkin bisa dibilang kami adalah pasangan kekasih nggak resmi. Mengingat, sudah banyak hal-hal yang kami lakukan layaknya pasangan kekasih beneran.
Begitu mendapat pertanyaan dari gua, Poppy langsung membetulkan rambutnya, dan berpaling ke arah lain.
“Mmm.. apa ya? Orang?” Poppy memberi jawaban tanpa menatap gua.
“Bukan, bukan gitu maksudnya…”
Ia lalu menggeser duduknya dan berpaling menatap ke arah gua; “Iya gua ngerti maksud lo, Sal. Tapi, gua lagi bingung cara jawabnya gimana…”
“Oh…”
“Lagian pertanyaan lo juga aneh sih…” Tambahnya.
“Mau gua ganti pertanyaannya?”
“Nggak usah, udah terlanjur…”
“...”
“... Kalo ditanya kita ini apa? Gua juga nggak punya jawabannya, Sal. Tapi, gua tau apa yang gua mau…”
“Apa?” Tanya gua.
“Gua mau kita lebih dari ini…” Poppy menjawab, Kini ekspresi dan nada bicaranya terdengar serius.
Melihat sikap dan mendengar jawabannya barusan tentu saja membuat hati ini sedikit goyah. Tapi, gua harus menguatkan tekad, nggak mau tenggelam dalam sikapnya.
“Ya, tapi kan lo tau Pop. Kalo hubungan ini nggak bakal berhasil” Gua bicara.
“Tau dari mana?” Tanyanya
Gua lalu menyebutkan satu persatu alasan, kenapa kita berdua nggak bisa melanjutkan hubungan ini; “Pertama, gua mantan napi yang nggak punya masa depan. Kedua, bokap dan keluarga lo kayaknya nggak nerima gua…”
Poppy sedikit memundurkan tubuhnya dan mengernyitkan dahi, begitu mendengar jawaban gua barusan.
“Jadi, sebenernya lo merasa hubungan kita nggak bakal berhasil tuh karena apa? Karena lo yang mantan napi atau karena bokap gua nggak setuju?” Tanya Poppy, kini nada bicaranya mulai terdengar sedikit meninggi.
“Dua-duanya…” Gua menjawab.
“Tapi, kan kita bisa…”
“Nggak bisa, Pop…” Ucap gua, memotong kalimatnya yang belum selesai.
“Bisa, Sal…” Poppy berteriak sambil berdiri dan menggebrak meja, membuat gelas di atasnya bergoyang dan sedikit tumpah. Sementara, pengunjung lain langsung menoleh ke arah kami berdua.
Seakan nggak peduli dengan pandangan para pengunjung lain, Poppy kembali bicara,. Masih dengan posisi berdiri dan menatap ke arah gua; “Oke, terus gimana?”
“...” Gua terdiam, nggak ingin memberi jawaban karena jawaban gua pasti bakal menyulut emosinya lebih dalam.
“... Lo nggak mikirin perasaan gua ya Sal? Lo cuma mikirin diri lo sendiri kan?” Tanyanya lagi.
“...”
“... Oke gini gini, kalo lo yang mantan napi emang kita nggak bisa berbuat apa-apa kan. Tapi, seandainya bokap gua setuju dan nerima lo apa adanya, gimana?”
“...”
“... Gimana, Sal?’ Poppy kembali mengajukan pertanyaan. Kini wajahnya terlihat memerah dan kedua matanya mulai berlinang. Di momen ini, gua jelas nggak punya kekuatan untuk memandangnya, gua hanya terdiam sambil menundukkan kepala dan berkali-kali mengucapkan maaf di dalam hati.
Kesal karena gua hanya diam dan nggak memberi jawaban, Poppy lalu berdiri, meraih tasnya dan pergi. Baru beberapa langkah, ia berpaling, kami sama-sama saling menatap dalam diam. “Sorry pop” Ucap gua lirih.
—
Di tempat kost, gua membereskan pakaian yang nggak seberapa dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Sementara, lemari pakaian plastik yang usianya baru beberapa bulan sudah sepakat akan dibeli oleh Bu Marni.
Malam itu, gua duduk bersandar pada dinding kamar, memeluk tas ransel, menunggu pagi sambil menatap foto Poppy pada layar ponsel gua.
Pagi-pagi sekali, saat kondisi masih lengang gua menyusuri jalan yang sepi menuju ke arah stasiun Palmerah.
Berbeda dengan jalan yang sebelumnya gua lalui, di jalan utama, di pasar Palmerah kondisinya jauh berbeda. Trotoarnya ramai dengan orang yang berjualan, bahkan hingga ke jalan. Membuat kendaraan yang melintas sedikit terganggu.
Kondisi yang nggak jauh berbeda terasa hingga gua tiba di stasiun Palmerah. Hiruk pikuk klakson kendaraan dan lalu lalang orang yang menyebrang jalan menuju ke stasiun mungkin bakal membuat orang mengira kalau ini bukanlah pagi hari.
Setelah bertanya ke petugas keamanan yang berjaga di pintu stasiun, gua lantas membeli tiket sekali jalan menuju ke stasiun Cisauk. 15 menit berikutnya, gua sudah duduk di salah satu kursi di dalam gerbong kereta yang membawa gua menjauh dari stasiun Palmerah, menjauh dari Poppy dan kehidupannya.
Jam 6 lewat 15 menit, gua sudah tiba di stasiun Cisauk. Mirip seperti perantau yang baru saja tiba di kota besar, gua berdiri, celingak-celinguk tepat di luar pintu stasiun; nggak tau harus kemana. Berbekal alamat yang diberikan Mas Imran melalui pesan singkat, gua lalu bertanya ke salah satu pengendara ojek online yang tengah berkumpul di sisi trotoar jalan.
“Mau kesini?” Tanya salah satu pengendara ojek online yang gua ajak bicara.
“Iya…”
“Ayok saya anterin” Ucapnya.
“Tapi, gua nggak punya aplikasinya” Jawab gua.
“Yaudah gapapa, manual aja” Responnya.
“Berapa?” Tanya gua.
“Dua lima” Jawabnya; merujuk nominal 25 ribu.
Gua yang sama sekali nggak memiliki benchmark tentang tarif ojek dan jarak yang harus ditempuh akhirnya setuju dengan angka yang diajukannya.
Menit berikutnya, gua sudah duduk di boncengan sepeda motor yang membawa gua masuk ke dalam gang di sebelah area parkir sepeda motor stasiun, berbelok melintasi rel tanpa penjagaan dan kembali masuk ke area perkampungan. Setelahnya melalui area perkampungan, kami kembali di jalan raya, berbelok ke kiri dan nggak lama si pengendara ojek melambatkan laju sepeda motornya kemudian menepi.
“Hah, udah sampe?” Tanya gua.
“Itu, tempatnya” Jawab si pengendara ojek sambil menunjuk ke arah salah satu bangunan.
“Lah deket banget, masa 25 sih bang?” Gua turun dari boncengan sambil mencoba melakukan negosiasi ulang.
“Ya situ kan tadi udah deal segitu” Jawabnya santai.
Akhirnya, mau nggak mau, gua membayar sejumlah yang sudah kami sepakati sebelumnya. Ya, walaupun hanya sebatas ucapan; tapi perjanjian tetap sebuah perjanjian.
Gua berdiri di depan bangunan dengan pagar besi setinggi dada orang dewasa. Bangunan di depan gua ini terlihat seperti rumah kontrakan kecil yang berjejer dan saling berhadapan. Mungkin jumlahnya lebih dari 12 rumah; 6 rumah di sisi kiri, sementara 6 rumah di sisi kanan. Sementara di bagian tengah, diantara rumah-rumah kecil yang berdempetan itu terdapat sebuah halaman beralas conblock cukup luas dengan beberapa jemuran besi di tengahnya dan deretan sepeda motor berada di depan masing-masing rumah.
“Nyari siapa mas?” Tanya salah seorang pria yang baru saja membuka pagar. Sepertinya bersiap untuk berangkat kerja.
Gua lantas mengeluarkan ponsel, dan menunjukkan pesan dari Mas Imran. “Anu mas, mau nyari Bang Juhdi..”
“Oh, Juhdi… Masnya masuk aja, itu rumahnya yang paling ujung sebelah kanan. Yang ada banyak kandang burungnya” Jawab pria itu sambil menunjuk ke salah satu rumah.
“Ok, Makasih ya..”
Gua melintasi halaman dan langsung menuju ke salah satu rumah yang ditunjukkan sebelumnya.
Terlihat pintu rumah sudah dalam kondisi terbuka, sementara terdengar riuh rendah suara obrolan dari arah dalam rumah. Ragu-ragu, gua bersiap mengetuk pintu. Namun, sebelum gua melakukannya, seorang pria bersarung dengan kaos singlet putih keluar dari dalam rumah sambil membawa botol semprotan putih; sepertinya tengah bersiap memandikan burung.
“Cari siapa?” Tanyanya begitu melihat gua yang celingukan.
“Cari Mas Juhdi” Jawab gua.
“Oh, itu gua…” Ucapnya sambil cengengesan.
“Anu mas, Gua dapat info dari Mas Imran…” Belum sempat gua menyelesaikan kalimat, pria bernama Juhdi itu langsung memotongnya.
“Yang mau kerja disini kan?”
Gua lalu mengangguk. Kemudian menyodorkan tangan, mengajaknya bersalaman. Ia memindahkan botol semprotan ke tangan kiri dan menjabat tangan gua.
“Marshall” Gua mengucapkan nama.
“Wuih, cakep amat nama kamu” Gumamnya.
Setelah berkenalan, ia mengajak gua masuk ke dalam rumah tersebut dan memperkenalkan gua ke orang-orang yang berada disana. Rupanya, rumah kontrakan ini merupakan tempat tinggal para pekerja yang bekerja di proyek ruko dimana Mas Juhdi menjadi mandor-nya. Dan nggak hanya rumah kontrakan ini saja, rumah kontrakan sebelahnya hingga ke ujung merupakan tempat tinggal para pekerja di proyek yang sama.
“Nah, kita pada tinggal disini. Satu rumah biasanya berdua. Ada juga sih yang bertiga. Nanti bayar sewanya patungan. Tergantung deal-deal-an-nya aja, semakin banyak orangnya, semakin murah patungannya..”
Mas Juhdi lalu mengajak gua duduk di teras. Kemudian mulai menjelaskan pekerjaan yang bakal gua lakukan di proyek nanti. Umumnya pekerja proyek bangungan, nggak ada yang berbeda dari yang gua lakukan di proyek sebelumnya. Hanya saja, di proyek kali ini yang dipimpin oleh Mas Juhdi, sepertinya lebih profesional. Terlihat dari surat perjanjian kerja yang ia sodorkan ke gua, karena sebelumnya, saat bersama Mas Imran, gua sama sekali nggak harus menandatangani dokumen apapun. Ya kerja langsung kerja aja.
Setelah mengisi data diri dan membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian kontrak kerja. Mas Juhdi membawa gua berkeliling rumah kontrakan.
“Belum ada tempat tinggal kan?” Tanynya.
Gua lelu menggeleng.
“Kalo mau kamu nanti tinggal di sini aja…” Ucap Mas Juhdi sambil menunjuk ke arah rumah kontrakan yang berada di tengah.
“...”
Mas Juhdi lalu mengetuk pintu rumah kontrakan yang dimaksud sambil berteriak; “Tu.. Bangun Tu…”
Lanjut ke bawah(Nggak muat)
Diubah oleh robotpintar 03-04-2024 23:45
yanagi92055 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
Kutip
Balas
Tutup