- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#491
Part 23 - Egocentrism
Spoiler for Part 23 - Egocentrism:
Gua kembali ke rumah. Dari kejauhan terlihat bokap tengah duduk di teras rumah sambil merokok; rupanya ia sudah kembali ke kebiasaan sebelumnya.
“Pak, Bapak kenapa sih?” Tanya gua begitu tiba sambil berdiri di hadapannya.
Bokap mendongak, menatap gua sebentar, kemudian menepuk-nepuk lantai berundak di sebelahnya; memberi instruksi agar gua duduk di sebelahnya. Gua menghela nafas sebelum akhirnya mengikuti instruksinya barusan; duduk di sebelahnya. Bokap, meraih gelas kopi, menyeruputnya kemudian menghisap dalam-dalam rokok di jarinya.
Ia lalu menoleh ke arah gua dan mulai bicara; “Pop, Cowok yang tadi, itu cowok yang sama dengan yang sering Bapak lihat pas jemput kamu kerja di Minimarket kan?”
Gua menatap ke atas, mengingat kalau dulu Bokap sering mendapati gua dan Marshall duduk berbincang di depan Minimarket sambil menunggu ia datang menjemput. “Iya…” Jawab gua.
Bokap terdiam sebentar. Dalam diamnya, ia kembali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.
“Kemarin Bapak ketemu sama Samid…” Ucapnya.
Belum selesai bapak menyelesaikan kalimatnya, gua langsung mengetahui asbab kenapa Bokap memperlakukan Marshall dengan mengabaikannya. Bokap, pasti sudah mengetahui tentang latar belakang Marshall dari Pak Samid, dari orang-orang yang sempat memberi tuduhan palsu padanya. Bokap, sudah mendapat informasi yang salah.
“... Katanya, beberapa minggu kemarin ada kasus pelecehan. Orangnya di pukulin sampe babak belur, dan ternyata setelah di telusuri orang itu adalah mantan napi yang kerja di kedai kopi di depan sana…”
“Pak…” Gua berusaha untuk menghentikan cerita bokap dan ingin segera memberitahu hal yang sebenarnya. Namun, Bokap terus melanjutkan kalimatnya.
“Bapak sempet bilang ke Samid; ‘Wah gawat juga ya mid, bisa-bisa lingkungan kita jadi nggak aman’. Terus kamu tau nggak apa jawaban Samid? Samid bilang gini; ‘Lah, anakmu si Poppy yang nolongin orang itu’...”
“...”
“... Bapak kan kaget”
“Iya pak, Poppy ngerti. Tapi, Marshall itu baik pak, dia emang punya masa lalu yang gelap. Tapi, setiap orang kan punya kesempatan kedua pak…” Gua mencoba memberi pengertian ke Bokap.
“Kalau gagal gimana? Kalau kesempatan kedua buatnya nggak berhasil gimana?” Tanya bokap, sambil menoleh dan memandang ke arah gua dengan tatapan matanya yang penuh kekhawatiran.
“Ya terus, siapa yang mau ngasih kesempatan buat orang-orang kayak dia?” Gua balik bertanya.
“Ya siapa kek. Yang penting bukan kamu…” Bokap menjawab singkat.
Gua lantas berdiri dan bicara; “Ya kalo gitu Poppy juga bisa bilang; Kenapa harus orang lain kalo bisa aku” Kemudian bersiap untuk masuk ke dalam.
Namun, Bokap dengan cepat menarik lengan gua.
“Pop, Bapak khawatir, takut. Takut kalo kamu kenapa-kenapa, takut nanti kamu di apa-apain sama dia…”
Mendengar ucapan bokap barusan, gua langsung tertegun. Entah kenapa, hal ini langsung mengingatkan gua akan kalimat-kalimat dari Marshall yang berhubungan dengan rumah besar dan indah di seberang jalan sana.
Gua lalu berlari masuk ke dalam rumah, naik ke atas, menuju ke kamar. Di dalam kamar, gua langsung menghubungi Marshall.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suara Marshall terdengar menyapa gua; “Halo, Pop”
“Sal, Gua tau Sal..” Ucap gua melalui ponsel.
Marshall nggak menjawab, terdengar ia hanya terkekeh pelan.
“... Gua tau kenapa pagarnya tinggi. Bukan, bukan biar orang lain nggak tau kalo rumahnya bagus. Tapi, buat menjaga rumahnya…”
Sebuah analogi yang sengaja ia gunakan. Analogi yang menggambarkan kalau rumah bagus itu adalah gua, sementara pagar yang menjaganya adalah Bokap.
“Jangan marah ya sama bokap lo, Pop. Semua orang tua pasti bakal melakukan hal yang sama kok. Sama halnya kayak pagar tinggi yang melindungi rumah bagus di seberang jalan tadi..” Ucap Marshall.
“...”
“... Atau jangan-jangan, lo udah terlanjur ribut sama bokap lo?” Tanyanya.
“...” Lagi, gua nggak menjawab, hanya terdiam.
“... Pop?” Marshall memanggil ketika menyadari sejak tadi gua nggak memberi jawaban.
“Ya…” Ucap gua pelan, hanya sekedar ingin memberi tahunya kalau gua masih mendengarkannya.
“Udah sana ngobrol lagi sama bokap lo. Kalo emang bokap atau nyokap lo nggak sreg sama gua, gua gapapa kok. Keluarga kan lebih penting…” Ucapnya.
“...”
“... Iya kan?” Tanyanya.
Tanpa sadar gua mengangguk, padahal Marshall jelas-jelas nggak bisa melihat gua.
“... Pop?”
“Iya, Sal…”
Saat kami berdua masih sibuk dalam panggilan ponsel, terlihat dari celah pintu kamar yang nggak tertutup rapat; Bokap tengah berdiri sambil menatap ke arah gua. Gua lalu pamit ke Marshall dan mengakhiri panggilan.
Bokap membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar, ia berdiri, memandang sekeliling, lalu mendekat ke arah meja belajar, dimana disana tergeletak sketchbook milik Marshall yang baru saja ia berikan. Bokap, membuka halaman sketchbook tersebut satu persatu seraya sesekali menganggukkan kepala.
“Bapak nggak tau kalo kamu sekarang suka gambar ginian?” Tanya Bokap, sementara tangannya masih sibuk membolak-balik halaman sketchbook di atas meja.
“...”
“... Bukannya kamu sukanya gambar-gambar cemen?” Tambahnya. Iya, bokap memang kerap menggunakan istilah ‘gambar cemen’ untuk sesuatu yang bukan foto atau gambar manusia asli.
“Itu bukan aku yang buat” Jawab gua.
“Lho, terus siapa?” Tanyanya.
“Marshall” Gua menjawab singkat.
Begitu mendengar jawaban gua, Bokap seketika berhenti membalik lembaran sketchbook, menutup dan membawanya keluar dari kamar. Samar terdengar suara bokap; “Masa iya sih, di kolong langit ini nggak ada cowok lain?” Ucapnya.
Sementara, gua hanya bisa duduk terdiam dan sambil menatap punggungnya yang perlahan menghilang. Tanpa terasa, air mata gua mulai mengalir membasahi kedua pipi. Bukan, gua bukan menangisi perilaku bokap, gua justru menangis saat teringat akan Marshall; ‘Siapa lagi yang akan memberikan ‘kesempatan’ kedua untuknya’.
Malam itu, gua menghabiskan waktu untuk berbaring sambil mendengarkan musik keras-keras melalui headset. Gua nggak lagi mempedulikan panggilan nyokap untuk makan atau ketukan di pintu kamar gua yang terkunci.
Besoknya pagi-pagi sekali, sebelum berangkat kuliah, gua menyempatkan diri bergerilya di semua tempat sampah yang berada di rumah; mencoba mencari sketchbook milik Marshall yang sepertinya dibuang oleh bokap. Namun, seberapa keras pun gua mencari, gua nggak berhasil menemukannya.
Gua lantas kembali ke atas, ke kamar Dinar.
“Nar, Nar, bangun..” Panggil gua sambil menggoyangkan tubuhnya yang masih terlelap dengan menggunakan kaki.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Dinar membuka matanya. Ia menatap ke arah gua sebentar kemudian kembali menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
“Nar… Bangun nggak, gua siram nih” Gua mengancam sambil menarik selimutnya.
“Apa sih?” Tanyanya, kesal.
“Lo liat sketchbook nggak?” Tanya gua.
“Hah? Apa?” Ia balik bertanya, seakan nggak mengerti dengan ucapan gua barusan.
“Sketchbook, segini nih ukurannya” Ucap gua seraya memberi petunjuk dimensi dengan tangan.
Dinar terdiam sesaat kemudian bicara; “Oh yang kayak buku gambar?” Tanyanya.
“Iya, bener” Jawab gua antusias.
“Kemarin kayaknya gua liat di bawa bapak, keluar” Jawabnya.
“Kemana?” Tanya gua.
“Nggak tau, pas gua tanya katanya bapak abis dari bakar sampah…” Ia memberi jawaban terakhir lalu kembali menarik selimutnya.
‘Jangan-jangan di bakar?’ batin gua dalam hati.
Kemudian bergegas keluar dari rumah, menuju ke tempat pembakaran sampah yang lokasinya nggak begitu jauh dari rumah.
Iya, di lingkungan kami ini sampah diolah dengan cara di bakar. Jadi, di masing-masing RT biasanya terdapat beberapa tempat pembakaran sampah untuk para warga membakar limbah rumah tangga miliknya. Bentuk tempat pembakaran sampah ini mirip seperti cerobong asap milik rumah-rumah di luar negeri sana. Bedanya, cerobong pembakaran sampah disini dibuat setinggi mungkin, agar asapnya nggak kembali lagi ke bawah.
Ide pembakaran sampah ini sudah ada sejak gua kecil, semenjak lingkungan semakin pada dan membuat truk pengangkut sampah nggak lagi bisa menjangkau ke sudut-sudut lingkungan. Adanya pembakaran sampah juga membuat lingkungan jadi lebih bersih, karena sudah nggak ada lagi, tumpukan-tumpukan sampah di pinggir jalan yang menunggu untuk diangkut oleh petugas kebersihan.
Gua berjongkok, mencoba mengais-ngais sisa pembakaran dari lubang kecil berpintu besi dengan menggunakan bambu. ‘Ah, seandainya memang benar dibakar, ya tentu saja sudah nggak ada gunanya gua mengais-ngais macam pemulung kayak gini’ Batin gua dalam hati, kemudian pergi, langsung menuju ke stasiun kereta.
—
Sejak kejadian itu, gua dan Marshall tetap masih bertemu. Namun, tentu saja dengan sembunyi-sembunyi. Tentu saja, gua nggak bisa main ke tempat kostnya, karena Bu Marni yang notabene mengenal dekat Bokap dan Nyokap pasti akan lapor. Jadi, gua dan Marshall biasanya bertemu di tukang nasi goreng langganan kami. Ya walaupun, kadang kami hanya memesan satu porsi yang dimakan berdua atau pernah beberapa kali kami sama sekali nggak memesan; hanya numpang duduk sambil ngobrol.
“Masih belum ada kabar dari kedai kopi, Sal?” Tanya gua ke Marshall, yang kala itu tengah menghabiskan nasi goreng yang nggak mampu gua selesaikan.
“Belum” Jawabnya.
“Udah berapa lama? Sebulan kah?”
“Iya kayaknya…”
“Lo nggak niat nanya ke bos lo di kedai?” Tanya gua lagi.
“Nggak ah, nggak enak” Jawabnya sambil terus makan.
“Lah, terus lo mau lanjut terus di proyek bangunan?”
“Ya kalo emang harus gitu, mau gimana lagi” Jawabnya.
“...”
“... Kerja bangunan sama jadi barista sama aja Pop. Sama-sama kerja” Tambahnya.
“Iya, gua ngerti. Tapi kan, seandainya lo nggak balik lagi dapet kerjaan lo di kedai kopi, seakan-akan menjustifikasi kalau ‘orang kayak lo’ tuh kayak nggak bisa lagi di terima di society…”
Marshall lalu berhenti makan. Ia meletakkan sendoknya dan menatap gua.
“Pop…”
“...”
“... Sekarang ini, kita ini siapa sih Pop? Kita nggak bisa ngapa-ngapain. Kalo seandainya ‘orang kayak gua’ nggak lagi diterima di tempat ini, gua bakal cari tempat lain yang mungkin masih mau nerima gua”
“Kalo di dunia ini nggak ada tempat lagi yang mau nerima orang kayak lo, gimana?”
“Well, ya berarti kayaknya gua harus keluar angkasa…” Jawabnya santai sambil terkekeh.
Penolakan bokap terhadap dirinya seperti jelas nggak membuatnya berubah. Mungkin, ia sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu hingga rasa sakit akibat ‘penolakan’ sudah menjadi hal biasa. Tapi, buat gua hal kayak gitu jelas nggak bisa gitu aja diterima. Kita harus pelan-pelan merubah stereotype dan mindset orang-orang yang masih menganggap mantan narapidana sama sekali nggak punya kesempatan untuk kembali ke masyarakat.
But again, ucapan Marshall sebelumnya ada benarnya; ‘Kita ini siapa? Sampe bisa merubah mindset orang-orang’
Di kemudian hari, hubungan kami berdua berlangsung seperti itu. Bertemu diam-diam di tukang nasi goreng sambil ngobrol ngalor ngidul, saling bertukar pesan untuk memberi kabar, mengisi malam dengan sleep call dan hal lain yang menurut gua lebih dari kata ‘romantis’. Tentu saja tanpa adanya status yang jelas tentang hubungan ini. Gua yang nggak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan kepadanya, karena takut akan masa depan yang menanti kami. Sementara, Marshall juga sama; ia sama sekali nggak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, walaupun dari perlakuannya gua tau kalau ia memiliki perasaan yang sama dengan gua.
Suatu sore, sepulangnya gua berkuliah, saat libur bekerja, gua menyempatkan diri untuk mampir ke proyek bangunan tempatnya bekerja.
“Wuih, ono opo nduk?” Tanya Lik Imran begitu melihat gua celingak-celinguk di depan gerbang proyek.
“Gapapa lik, pengen main aja…” Jawab gua, berkelit.
“Halah, nggak bapak, nggak anak podo wae” Ucapnya.
“Hah?”
Lik Imran lalu mengajak gua masuk ke lingkungan proyek, kami duduk di kursi panjang di depan pos penjagaan.
“Waktu itu, bapakmu juga dateng kesini” Ucap Lik Imran.
“Hah, ngapain lik?” Tanya gua.
“Tuh, nanya-nanya tentang dia” Jawab Lik Imran sambil menunjuk sosok pria yang berada di atas; Marshall. Gua mendongak dan mendapati Marshall tengah mengecat salah satu pilar bagian luar dengan berdiri di atas sebuah steger yang tersusun tinggi.
“Nanya apa lik?” Tanya gua lagi penasaran.
“Ya banyak…”
“Terus, terus, Lik Imran bilang gimana?”
“Ya bilang apa adanya”
“Apa?”
“Ya Marshall baik, cepet belajar, walau anak baru tapi koncone saiki akeh, rajin pula…” Jelas Lik Imran, mencoba merangkum apa yang sebelumnya ia ceritakan ke Bokap.
Mendengar hal tersebut, gua langsung senyum-senyum sendiri. Bisa jadi, gara-gara testimoni dari Lik Imran, pandangan bokap ke Marshall bakal berubah.
Melihat perilaku gua yang mungkin menurutnya aneh, Lik Imran langsung menepuk bahu gua; “Nduk, nyebut nduk.. nyebut”
Nggak lama berselang, salah satu anak buah Lik Imran datang sambil membawa dua botol minuman ringan dingin dan meletakkannya di atas kursi kayu panjang di antara kami. Lik Imran lalu mempersilahkan gua untuk minum, sementara ia meraih walkie talkie dan mulai bicara; “Marshall, copy… Srtt..”
Lalu, walkie talkie kembali berbunyi, terdengar suara Marshall yang putus-putus; “Masuk Mas…”
“Muduno, Sal…”
“Ok mas”
“Eh, Lik, kenapa disuruh turun. Kan masih belum kelar jam kerjanya?” Tanya gua. Merasa Marshall pasti bakal misuh-misuh kalau tau ia disuruh berhenti bekerja oleh Lik Imran gara-gara gua.
“Ya emang udah jamnya pulang” Jawab Lik Imran. Lalu terlihat sebagian besar pekerja berkumpul untuk bersih-bersih di kran terdekat sembari mengumpulkan peralatan kerja mereka.
Beberapa menit berikutnya, Marshall terlihat berjalan mendekat. Masih dengan rompi berwarna kuning menyala dan helm dengan warna senada. Ia memicingkan mata, menatap ke arah gua.
“Lho, ngapain?” Tanyanya begitu melihat kehadiran gua.
“Main aja…” Jawab gua sambil tersenyum.
“Udah sana bersih-bersih, terus pulang” Ucap Lik Imran seraya berdiri dan menepuk bahu Marshall dan pergi dari sana. Sebelum benar-benar pergi, Lik Imran berbalik dan berteriak ke gua; “Ati-ati pulangnya Pop, sekalian salam buat bapak-ibu ya..”
Gua mengangguk dan mengangkat ibu jari ke arahnya.
Setelah menunggu Marshall bersih-bersih dan mengembalikan peralatan kerjanya, kami berdua pulang dengan berjalan kaki. Ingin rasanya gua menceritakan obrolan tadi antara gua dan Lik Imran tentang Bokap yang datang ke proyek. Tapi, gua sengaja menundanya, ingin mengkonfirmasi terlebih dahulu ke bokap.
“Kayaknya bentar lagi kelar ya, Sal?” Tanya gua, merujuk ke proyek ruko yang baru saja kami tinggalkan.
“Iya…” Jawabnya.
“Nggak terasa ya, udah mau 4 bulan aja…” Ucap gua.
Marshall lalu menghentikan langkahnya dan menyentil dahi gua; “Ya bukan lo yang kerja disana jadi nggak terasa. Gua sih kerasa; badan pada pegel. Haha…”
“Haha, iya sih… Terus kalo proyek ini kelar, lo masih mau ikut Lik Imran?” Tanya gua, seraya mengusap dahi.
“Hmmm.. Nggak deh kayaknya”
“Nah terus mau kemana?” Tanya gua lagi.
Marshall mengangkat kedua bahunya. Mungkin ia belum punya jawaban.
Ia lalu berbelok, membawa gua ke arah yang nggak seharusnya. Biasanya, kami nggak melewati jalan ini untuk ke arah tukang nasi goreng, tempat gua dan dia menghabiskan waktu. Kami lalu tiba di depan gang kecil yang mengarah ke tempat kostnya.
“Lo tunggu sini apa mau ikut? Gua mau mandi dulu sebentar” Ucapnya.
“Emang kita mau kemana?” Gua balik bertanya.
“Ke kedai kopi” Jawabnya.
“Hah, ngapain?”
“Ngobrol”
“Tumben… Yaudah gua tunggu sini aja deh…” Ucap gua, enggan ikut ke tempat kostnya. Takut ketahuan sama Bu Marni yang nanti malah ngadu ke bokap.
Sambil menunggu Marshall, gua hanya berdiri sambil bersandar pada tiang listrik, membayangkan apa yang bakal kita obrolin nanti. ‘Jangan-jangan dia mau nembak gua?’ Batin gua dalam hati seraya senyum-senyum sendiri.
---
“Pak, Bapak kenapa sih?” Tanya gua begitu tiba sambil berdiri di hadapannya.
Bokap mendongak, menatap gua sebentar, kemudian menepuk-nepuk lantai berundak di sebelahnya; memberi instruksi agar gua duduk di sebelahnya. Gua menghela nafas sebelum akhirnya mengikuti instruksinya barusan; duduk di sebelahnya. Bokap, meraih gelas kopi, menyeruputnya kemudian menghisap dalam-dalam rokok di jarinya.
Ia lalu menoleh ke arah gua dan mulai bicara; “Pop, Cowok yang tadi, itu cowok yang sama dengan yang sering Bapak lihat pas jemput kamu kerja di Minimarket kan?”
Gua menatap ke atas, mengingat kalau dulu Bokap sering mendapati gua dan Marshall duduk berbincang di depan Minimarket sambil menunggu ia datang menjemput. “Iya…” Jawab gua.
Bokap terdiam sebentar. Dalam diamnya, ia kembali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.
“Kemarin Bapak ketemu sama Samid…” Ucapnya.
Belum selesai bapak menyelesaikan kalimatnya, gua langsung mengetahui asbab kenapa Bokap memperlakukan Marshall dengan mengabaikannya. Bokap, pasti sudah mengetahui tentang latar belakang Marshall dari Pak Samid, dari orang-orang yang sempat memberi tuduhan palsu padanya. Bokap, sudah mendapat informasi yang salah.
“... Katanya, beberapa minggu kemarin ada kasus pelecehan. Orangnya di pukulin sampe babak belur, dan ternyata setelah di telusuri orang itu adalah mantan napi yang kerja di kedai kopi di depan sana…”
“Pak…” Gua berusaha untuk menghentikan cerita bokap dan ingin segera memberitahu hal yang sebenarnya. Namun, Bokap terus melanjutkan kalimatnya.
“Bapak sempet bilang ke Samid; ‘Wah gawat juga ya mid, bisa-bisa lingkungan kita jadi nggak aman’. Terus kamu tau nggak apa jawaban Samid? Samid bilang gini; ‘Lah, anakmu si Poppy yang nolongin orang itu’...”
“...”
“... Bapak kan kaget”
“Iya pak, Poppy ngerti. Tapi, Marshall itu baik pak, dia emang punya masa lalu yang gelap. Tapi, setiap orang kan punya kesempatan kedua pak…” Gua mencoba memberi pengertian ke Bokap.
“Kalau gagal gimana? Kalau kesempatan kedua buatnya nggak berhasil gimana?” Tanya bokap, sambil menoleh dan memandang ke arah gua dengan tatapan matanya yang penuh kekhawatiran.
“Ya terus, siapa yang mau ngasih kesempatan buat orang-orang kayak dia?” Gua balik bertanya.
“Ya siapa kek. Yang penting bukan kamu…” Bokap menjawab singkat.
Gua lantas berdiri dan bicara; “Ya kalo gitu Poppy juga bisa bilang; Kenapa harus orang lain kalo bisa aku” Kemudian bersiap untuk masuk ke dalam.
Namun, Bokap dengan cepat menarik lengan gua.
“Pop, Bapak khawatir, takut. Takut kalo kamu kenapa-kenapa, takut nanti kamu di apa-apain sama dia…”
Mendengar ucapan bokap barusan, gua langsung tertegun. Entah kenapa, hal ini langsung mengingatkan gua akan kalimat-kalimat dari Marshall yang berhubungan dengan rumah besar dan indah di seberang jalan sana.
Gua lalu berlari masuk ke dalam rumah, naik ke atas, menuju ke kamar. Di dalam kamar, gua langsung menghubungi Marshall.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suara Marshall terdengar menyapa gua; “Halo, Pop”
“Sal, Gua tau Sal..” Ucap gua melalui ponsel.
Marshall nggak menjawab, terdengar ia hanya terkekeh pelan.
“... Gua tau kenapa pagarnya tinggi. Bukan, bukan biar orang lain nggak tau kalo rumahnya bagus. Tapi, buat menjaga rumahnya…”
Sebuah analogi yang sengaja ia gunakan. Analogi yang menggambarkan kalau rumah bagus itu adalah gua, sementara pagar yang menjaganya adalah Bokap.
“Jangan marah ya sama bokap lo, Pop. Semua orang tua pasti bakal melakukan hal yang sama kok. Sama halnya kayak pagar tinggi yang melindungi rumah bagus di seberang jalan tadi..” Ucap Marshall.
“...”
“... Atau jangan-jangan, lo udah terlanjur ribut sama bokap lo?” Tanyanya.
“...” Lagi, gua nggak menjawab, hanya terdiam.
“... Pop?” Marshall memanggil ketika menyadari sejak tadi gua nggak memberi jawaban.
“Ya…” Ucap gua pelan, hanya sekedar ingin memberi tahunya kalau gua masih mendengarkannya.
“Udah sana ngobrol lagi sama bokap lo. Kalo emang bokap atau nyokap lo nggak sreg sama gua, gua gapapa kok. Keluarga kan lebih penting…” Ucapnya.
“...”
“... Iya kan?” Tanyanya.
Tanpa sadar gua mengangguk, padahal Marshall jelas-jelas nggak bisa melihat gua.
“... Pop?”
“Iya, Sal…”
Saat kami berdua masih sibuk dalam panggilan ponsel, terlihat dari celah pintu kamar yang nggak tertutup rapat; Bokap tengah berdiri sambil menatap ke arah gua. Gua lalu pamit ke Marshall dan mengakhiri panggilan.
Bokap membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar, ia berdiri, memandang sekeliling, lalu mendekat ke arah meja belajar, dimana disana tergeletak sketchbook milik Marshall yang baru saja ia berikan. Bokap, membuka halaman sketchbook tersebut satu persatu seraya sesekali menganggukkan kepala.
“Bapak nggak tau kalo kamu sekarang suka gambar ginian?” Tanya Bokap, sementara tangannya masih sibuk membolak-balik halaman sketchbook di atas meja.
“...”
“... Bukannya kamu sukanya gambar-gambar cemen?” Tambahnya. Iya, bokap memang kerap menggunakan istilah ‘gambar cemen’ untuk sesuatu yang bukan foto atau gambar manusia asli.
“Itu bukan aku yang buat” Jawab gua.
“Lho, terus siapa?” Tanyanya.
“Marshall” Gua menjawab singkat.
Begitu mendengar jawaban gua, Bokap seketika berhenti membalik lembaran sketchbook, menutup dan membawanya keluar dari kamar. Samar terdengar suara bokap; “Masa iya sih, di kolong langit ini nggak ada cowok lain?” Ucapnya.
Sementara, gua hanya bisa duduk terdiam dan sambil menatap punggungnya yang perlahan menghilang. Tanpa terasa, air mata gua mulai mengalir membasahi kedua pipi. Bukan, gua bukan menangisi perilaku bokap, gua justru menangis saat teringat akan Marshall; ‘Siapa lagi yang akan memberikan ‘kesempatan’ kedua untuknya’.
Malam itu, gua menghabiskan waktu untuk berbaring sambil mendengarkan musik keras-keras melalui headset. Gua nggak lagi mempedulikan panggilan nyokap untuk makan atau ketukan di pintu kamar gua yang terkunci.
Besoknya pagi-pagi sekali, sebelum berangkat kuliah, gua menyempatkan diri bergerilya di semua tempat sampah yang berada di rumah; mencoba mencari sketchbook milik Marshall yang sepertinya dibuang oleh bokap. Namun, seberapa keras pun gua mencari, gua nggak berhasil menemukannya.
Gua lantas kembali ke atas, ke kamar Dinar.
“Nar, Nar, bangun..” Panggil gua sambil menggoyangkan tubuhnya yang masih terlelap dengan menggunakan kaki.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Dinar membuka matanya. Ia menatap ke arah gua sebentar kemudian kembali menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
“Nar… Bangun nggak, gua siram nih” Gua mengancam sambil menarik selimutnya.
“Apa sih?” Tanyanya, kesal.
“Lo liat sketchbook nggak?” Tanya gua.
“Hah? Apa?” Ia balik bertanya, seakan nggak mengerti dengan ucapan gua barusan.
“Sketchbook, segini nih ukurannya” Ucap gua seraya memberi petunjuk dimensi dengan tangan.
Dinar terdiam sesaat kemudian bicara; “Oh yang kayak buku gambar?” Tanyanya.
“Iya, bener” Jawab gua antusias.
“Kemarin kayaknya gua liat di bawa bapak, keluar” Jawabnya.
“Kemana?” Tanya gua.
“Nggak tau, pas gua tanya katanya bapak abis dari bakar sampah…” Ia memberi jawaban terakhir lalu kembali menarik selimutnya.
‘Jangan-jangan di bakar?’ batin gua dalam hati.
Kemudian bergegas keluar dari rumah, menuju ke tempat pembakaran sampah yang lokasinya nggak begitu jauh dari rumah.
Iya, di lingkungan kami ini sampah diolah dengan cara di bakar. Jadi, di masing-masing RT biasanya terdapat beberapa tempat pembakaran sampah untuk para warga membakar limbah rumah tangga miliknya. Bentuk tempat pembakaran sampah ini mirip seperti cerobong asap milik rumah-rumah di luar negeri sana. Bedanya, cerobong pembakaran sampah disini dibuat setinggi mungkin, agar asapnya nggak kembali lagi ke bawah.
Ide pembakaran sampah ini sudah ada sejak gua kecil, semenjak lingkungan semakin pada dan membuat truk pengangkut sampah nggak lagi bisa menjangkau ke sudut-sudut lingkungan. Adanya pembakaran sampah juga membuat lingkungan jadi lebih bersih, karena sudah nggak ada lagi, tumpukan-tumpukan sampah di pinggir jalan yang menunggu untuk diangkut oleh petugas kebersihan.
Gua berjongkok, mencoba mengais-ngais sisa pembakaran dari lubang kecil berpintu besi dengan menggunakan bambu. ‘Ah, seandainya memang benar dibakar, ya tentu saja sudah nggak ada gunanya gua mengais-ngais macam pemulung kayak gini’ Batin gua dalam hati, kemudian pergi, langsung menuju ke stasiun kereta.
—
Sejak kejadian itu, gua dan Marshall tetap masih bertemu. Namun, tentu saja dengan sembunyi-sembunyi. Tentu saja, gua nggak bisa main ke tempat kostnya, karena Bu Marni yang notabene mengenal dekat Bokap dan Nyokap pasti akan lapor. Jadi, gua dan Marshall biasanya bertemu di tukang nasi goreng langganan kami. Ya walaupun, kadang kami hanya memesan satu porsi yang dimakan berdua atau pernah beberapa kali kami sama sekali nggak memesan; hanya numpang duduk sambil ngobrol.
“Masih belum ada kabar dari kedai kopi, Sal?” Tanya gua ke Marshall, yang kala itu tengah menghabiskan nasi goreng yang nggak mampu gua selesaikan.
“Belum” Jawabnya.
“Udah berapa lama? Sebulan kah?”
“Iya kayaknya…”
“Lo nggak niat nanya ke bos lo di kedai?” Tanya gua lagi.
“Nggak ah, nggak enak” Jawabnya sambil terus makan.
“Lah, terus lo mau lanjut terus di proyek bangunan?”
“Ya kalo emang harus gitu, mau gimana lagi” Jawabnya.
“...”
“... Kerja bangunan sama jadi barista sama aja Pop. Sama-sama kerja” Tambahnya.
“Iya, gua ngerti. Tapi kan, seandainya lo nggak balik lagi dapet kerjaan lo di kedai kopi, seakan-akan menjustifikasi kalau ‘orang kayak lo’ tuh kayak nggak bisa lagi di terima di society…”
Marshall lalu berhenti makan. Ia meletakkan sendoknya dan menatap gua.
“Pop…”
“...”
“... Sekarang ini, kita ini siapa sih Pop? Kita nggak bisa ngapa-ngapain. Kalo seandainya ‘orang kayak gua’ nggak lagi diterima di tempat ini, gua bakal cari tempat lain yang mungkin masih mau nerima gua”
“Kalo di dunia ini nggak ada tempat lagi yang mau nerima orang kayak lo, gimana?”
“Well, ya berarti kayaknya gua harus keluar angkasa…” Jawabnya santai sambil terkekeh.
Penolakan bokap terhadap dirinya seperti jelas nggak membuatnya berubah. Mungkin, ia sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu hingga rasa sakit akibat ‘penolakan’ sudah menjadi hal biasa. Tapi, buat gua hal kayak gitu jelas nggak bisa gitu aja diterima. Kita harus pelan-pelan merubah stereotype dan mindset orang-orang yang masih menganggap mantan narapidana sama sekali nggak punya kesempatan untuk kembali ke masyarakat.
But again, ucapan Marshall sebelumnya ada benarnya; ‘Kita ini siapa? Sampe bisa merubah mindset orang-orang’
Di kemudian hari, hubungan kami berdua berlangsung seperti itu. Bertemu diam-diam di tukang nasi goreng sambil ngobrol ngalor ngidul, saling bertukar pesan untuk memberi kabar, mengisi malam dengan sleep call dan hal lain yang menurut gua lebih dari kata ‘romantis’. Tentu saja tanpa adanya status yang jelas tentang hubungan ini. Gua yang nggak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan kepadanya, karena takut akan masa depan yang menanti kami. Sementara, Marshall juga sama; ia sama sekali nggak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, walaupun dari perlakuannya gua tau kalau ia memiliki perasaan yang sama dengan gua.
Suatu sore, sepulangnya gua berkuliah, saat libur bekerja, gua menyempatkan diri untuk mampir ke proyek bangunan tempatnya bekerja.
“Wuih, ono opo nduk?” Tanya Lik Imran begitu melihat gua celingak-celinguk di depan gerbang proyek.
“Gapapa lik, pengen main aja…” Jawab gua, berkelit.
“Halah, nggak bapak, nggak anak podo wae” Ucapnya.
“Hah?”
Lik Imran lalu mengajak gua masuk ke lingkungan proyek, kami duduk di kursi panjang di depan pos penjagaan.
“Waktu itu, bapakmu juga dateng kesini” Ucap Lik Imran.
“Hah, ngapain lik?” Tanya gua.
“Tuh, nanya-nanya tentang dia” Jawab Lik Imran sambil menunjuk sosok pria yang berada di atas; Marshall. Gua mendongak dan mendapati Marshall tengah mengecat salah satu pilar bagian luar dengan berdiri di atas sebuah steger yang tersusun tinggi.
“Nanya apa lik?” Tanya gua lagi penasaran.
“Ya banyak…”
“Terus, terus, Lik Imran bilang gimana?”
“Ya bilang apa adanya”
“Apa?”
“Ya Marshall baik, cepet belajar, walau anak baru tapi koncone saiki akeh, rajin pula…” Jelas Lik Imran, mencoba merangkum apa yang sebelumnya ia ceritakan ke Bokap.
Mendengar hal tersebut, gua langsung senyum-senyum sendiri. Bisa jadi, gara-gara testimoni dari Lik Imran, pandangan bokap ke Marshall bakal berubah.
Melihat perilaku gua yang mungkin menurutnya aneh, Lik Imran langsung menepuk bahu gua; “Nduk, nyebut nduk.. nyebut”
Nggak lama berselang, salah satu anak buah Lik Imran datang sambil membawa dua botol minuman ringan dingin dan meletakkannya di atas kursi kayu panjang di antara kami. Lik Imran lalu mempersilahkan gua untuk minum, sementara ia meraih walkie talkie dan mulai bicara; “Marshall, copy… Srtt..”
Lalu, walkie talkie kembali berbunyi, terdengar suara Marshall yang putus-putus; “Masuk Mas…”
“Muduno, Sal…”
“Ok mas”
“Eh, Lik, kenapa disuruh turun. Kan masih belum kelar jam kerjanya?” Tanya gua. Merasa Marshall pasti bakal misuh-misuh kalau tau ia disuruh berhenti bekerja oleh Lik Imran gara-gara gua.
“Ya emang udah jamnya pulang” Jawab Lik Imran. Lalu terlihat sebagian besar pekerja berkumpul untuk bersih-bersih di kran terdekat sembari mengumpulkan peralatan kerja mereka.
Beberapa menit berikutnya, Marshall terlihat berjalan mendekat. Masih dengan rompi berwarna kuning menyala dan helm dengan warna senada. Ia memicingkan mata, menatap ke arah gua.
“Lho, ngapain?” Tanyanya begitu melihat kehadiran gua.
“Main aja…” Jawab gua sambil tersenyum.
“Udah sana bersih-bersih, terus pulang” Ucap Lik Imran seraya berdiri dan menepuk bahu Marshall dan pergi dari sana. Sebelum benar-benar pergi, Lik Imran berbalik dan berteriak ke gua; “Ati-ati pulangnya Pop, sekalian salam buat bapak-ibu ya..”
Gua mengangguk dan mengangkat ibu jari ke arahnya.
Setelah menunggu Marshall bersih-bersih dan mengembalikan peralatan kerjanya, kami berdua pulang dengan berjalan kaki. Ingin rasanya gua menceritakan obrolan tadi antara gua dan Lik Imran tentang Bokap yang datang ke proyek. Tapi, gua sengaja menundanya, ingin mengkonfirmasi terlebih dahulu ke bokap.
“Kayaknya bentar lagi kelar ya, Sal?” Tanya gua, merujuk ke proyek ruko yang baru saja kami tinggalkan.
“Iya…” Jawabnya.
“Nggak terasa ya, udah mau 4 bulan aja…” Ucap gua.
Marshall lalu menghentikan langkahnya dan menyentil dahi gua; “Ya bukan lo yang kerja disana jadi nggak terasa. Gua sih kerasa; badan pada pegel. Haha…”
“Haha, iya sih… Terus kalo proyek ini kelar, lo masih mau ikut Lik Imran?” Tanya gua, seraya mengusap dahi.
“Hmmm.. Nggak deh kayaknya”
“Nah terus mau kemana?” Tanya gua lagi.
Marshall mengangkat kedua bahunya. Mungkin ia belum punya jawaban.
Ia lalu berbelok, membawa gua ke arah yang nggak seharusnya. Biasanya, kami nggak melewati jalan ini untuk ke arah tukang nasi goreng, tempat gua dan dia menghabiskan waktu. Kami lalu tiba di depan gang kecil yang mengarah ke tempat kostnya.
“Lo tunggu sini apa mau ikut? Gua mau mandi dulu sebentar” Ucapnya.
“Emang kita mau kemana?” Gua balik bertanya.
“Ke kedai kopi” Jawabnya.
“Hah, ngapain?”
“Ngobrol”
“Tumben… Yaudah gua tunggu sini aja deh…” Ucap gua, enggan ikut ke tempat kostnya. Takut ketahuan sama Bu Marni yang nanti malah ngadu ke bokap.
Sambil menunggu Marshall, gua hanya berdiri sambil bersandar pada tiang listrik, membayangkan apa yang bakal kita obrolin nanti. ‘Jangan-jangan dia mau nembak gua?’ Batin gua dalam hati seraya senyum-senyum sendiri.
---
Lanjut Di bawah(Nggak muat)
Diubah oleh robotpintar 02-04-2024 22:41
yanagi92055 dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Kutip
Balas