- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
medina12 dan 182 lainnya memberi reputasi
183
308.4K
Kutip
4.5K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•44.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#468
Part 22 - Dia yang Tak Pernah Terluka
Spoiler for Part 22 - Dia yang Tak Pernah Terluka:
Kini sudah hampir satu minggu lebih sejak Marshall bekerja di Proyek bangungan bareng Lik Imran. Tak pernah sekalipun keluar keluhan dari bibirnya, walau kini telapak tangannya mulai lecet dan kapalan, dan bekas luka jahitan di tubuhnya yang tak kunjung mengering karena selalu terkena air saat ia mandi.
“Makanya dibilangin jangan sampe kena air dulu, bandel!” Seru gua saat tengah mengolesi antiseptik pada bekas luka jahitan di punggungnya.
“Ya masa nggak mandi” Ujarnya, tanpa memalingkan pandangan dari sketchbook di depannya. Sementara, tangannya terlihat tengah memberi arsiran pada bayangan yang jatuh tepat di depan sebuah bangungan yang tengah di gambarnya.
Gua melongok dari balik punggungnya, melihat gambarnya secara keseluruhan. Sebuah sketsa dari bangunan ruko yang belum selesai. Bukan, yang belum selesai bukan gambarnya, melainkan memang proses pembangunan ruko yang di gambar oleh Marshall belum selesai.
“Itu, Ruko tempat lo kerja kan?” Tanya gua.
“Iya” Jawabnya singkat.
Marshall menurunkan kaosnya setelah gua selesai dengan perban di luka terakhir. Ia lalu memutar tubuhnya dan duduk menghadap ke arah gua. Ia lalu menyerahkan sketchbook yang sejak tadi berada di tangannya ke gua.
Gua mengernyitkan dahi; “Buat gua? Apa suru ngasih nilai?” Tanya gua, nggak langsung meraih sketchbook itu.
“Buat lo” Jawabnya sambil tersenyum.
Gua meraih nya, dan mulai membalik satu persatu halaman. Dari halaman pertama, hingga halaman terakhir, dan semuanya sudah terisi dengan gambar-gambar. Kebanyakan gambar yang dibuat oleh Marshall adalah bangunan, dan sesekali ia membuat barang-barang yang ada di sekitarnya seperti Rice Cooker, Lemari dan bahkan gayung serta alat mandinya.
Tak ada kata lain yang bisa menggantikan kata; ‘Mengesankan’ begitu melihat semua gambar-gambarnya.
“Makasih ya, Sal” Ucap gua sambil terus memandangi gambar-gambar di tiap halamannya.
“Makasih buat apa? Gua cuma balikin apa yang udah lo kasih”
Ucapannya barusan tentu saja merujuk ke sketchbook yang merupakan pemberian gua waktu itu. Kini rasa senang karena pemberian darinya berubah menjadi kesedihan. Sedih karena tahu, ia nggak lagi punya media untuk menggambar.
“Nanti gua beliin lagi ya sketchbook nya…” Ucap gua, ingin ia tetap terus menggambar.
“Nggak usah” Jawabnya.
Ia lalu berdiri, membuka lemari plastik dan mengeluarkan sebuah bungkusan plastik merah. Di dalam plastik terdapat tumpukan kertas HVS berukuran A4 yang sepertinya dibelinya di tukang fotokopi terdekat.
“Emang enak, gambar di kertas gini?” Tanya gua. Karena kertas A4 yang dibelinya hanya memiliki gramasi 60 gram. Dengan kondisi nggak punya drawing matte, menggambar tanpa alas dengan menggunakan kertas dengan gramasi rendah, tentu ia bakal sulit menerapkan pressure pada arsirannya nanti. Berbeda dengan sketchbook yang kini berada di tangan gua, yang punya gramasi 190 gram.
Seakan tahu akan apa yang gua pikirkan, Marshall lalu mengambil selembar kertas dan melipatnya menjadi dua bagian, membuat tingkat ketebalan kertas menjadi bertambah. Ya tentu saja dengan mengorbankan area kerja yang hilang setengahnya akibat lipatan.
“Tapi, area gambarnya jadi kecil kan?”
“Gapapa, masih bisa kok…” Jawabnya santai. Teringat akan gambar-gambar Marshall yang dulu ia buat di balik kumpulan struk belanjaan. Menggambar di area sekecil itu, di atas kertas murahan seperti itu saja ia bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Jadi, sepertinya dengan kertas A4 60 gram ia bisa menghasilkan karya yang sama baiknya dengan sketchbook yang kini masih berada di tangan gua.
Seakan ingin memberi bukti, ia lalu mulai menggoreskan pensil mekanik di atas kertas A4 yang sudah dilipat dua dengan telapak tangan kirinya ia jadikan sebagai alasnya. Gua berpindah posisi, ke sebelahnya, ingin melihatnya menggambar.
“Ajarin gua dong, Sal. Gambar building kayak gitu” Ucap gua. Sementara, tangannya masih menari di atas kertas, membuat garis yang terlihat asal-asalan, namun kemudian mulai membentuk kotak berdimensi.
Ia menoleh ke arah gua, tersenyum sebentar kemudian melanjutkan gambar.
“Ajarin? Lo bahkan lebih jago dari gua” Jawabnya.
“Jago dari hongkong! Gua kalo gambar bangunan pasti mleyat-mleyot, nggak simetris dan kadang proporsinya jadi janggal”
Sambil terus menggambar, Marshall lalu memberi tips dan trik dalam menggambar bangunan. “Gambar bangunan atau landscape itu yang paling penting ini..” Ucapnya seraya membuat garis horizontal tipis yang berada di tengah kertas.
“...Namanya Horizon Line” Tambahnya.
Gua mengangguk.
Marshall lalu membuat titik kecil di tengah horizon line yang sebelumnya ia buat; “... terus ini juga penting; namanya Vanishing Point”
“Hah buat apaan tuh?” Tanya gua.
Ia lalu membalik kertas, kemudian mulai membuat ulang garis horizontal.
“Mmm… Jadi kalo lo udah punya vanishing point. Lo bisa tarik garis diagonal dari titik itu kemanapun ke area gambar. Nanti, garis diagonal itu bakal jadi guide biar perspektifnya proporsional…” Marshall menerangkan sambil memberi contoh.
“Tapi, kok tadi gua perhatiin lo nggak pake bikin garis-garis panduan itu?” Tanya gua penasaran.
“Ya buat awal-awal, emang harus bikin garisnya dulu. Nanti lama kelamaan, mata lo udah bisa bikin garis imajiner sendiri kok..”
“Ooh… I See”
Gua lalu merebut kertas dan pensil mekanik dari tangannya dan langsung mencoba mempraktekkan apa yang tadi di ajarkan Marshall. Nyatanya, menggambar memang butuh mood yang tepat. Kini, rasa-rasanya, gua sedang nggak mood untuk menggambar. Gua menghela nafas dan mengembalikan pensil mekanik kepadanya.
“Makan yuk, Sal…”
“Yuk, mau makan apa, gua traktir” Ajaknya sambil cengengesan.
“Emang udah gajian, baru juga kerja semingguan?” Tanya gua, sambil menatap ke layar ponsel, membaca email tentang tagihan uang kuliah yang masih kurang.
“Udah. Gua kan gajiannya mingguan…” Jawabnya.
“Serius?”
“Iya. Lo mau apa, Sate apa Tongseng?” Tanyanya lagi.
“Ih yang murah aja sih, sayang duit lo. Bakso aja yuk” Ajak gua, mencari alternatif makanan yang nggak kelewat mahal.
“Yaudah, yuk…” Ia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya.
Di tengah perjalanan menuju ke tukang bakso, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan kami, sepeda motor yang dinaiki oleh dua orang, seorang pria di balik kemudi dan seorang perempuan berjilbab duduk di boncengannya.
Sepeda motor yang sangat gua kenali, karena gua kerap duduk di boncengannya; Bokap dan Nyokap.
Tanpa turun dan mematikan mesin sepeda motor. Bokap menaikkan kaca helmnya dan menoleh ke arah kami berdua.
“Mau kemana Pop?” Tanyanya. Pandangannya lalu teralih ke sosok Marshall yang berdiri di sebelah gua.
“Makan Bakso” Gua menjawab singkat sambil menunjuk ke arah tukang bakso yang jaraknya sudah nggak begitu jauh.
Kini gantian Nyokap yang menatap ke arah gua, lalu beralih ke Marshall. Berbeda dari Bokap, Nyokap lebih lama dan lebih detail menatap Marshall, seperti robot tengah melakukan scanning tentang ancaman apa yang bakal diterima dari sosok asing di depannya.
Nyokap yang masih memeluk plastik berisi belanjaan lalu tersenyum dan bicara; “Pagi-pagi masak makan bakso. Pulang aja yuk, makan dirumah…”
“...”
“... Itu diajak aja, temennya..” Nyokap menambahkan.
Gua lalu menoleh ke arah Marshall yang masih pasang tampang bingung, kemudian kembali beralih ke Nyokap dan menjawab dengan anggukan kepala.
Mereka berdua lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Sementara, gua dan Marshall masih terdiam saling menatap.
“Siapa, Pop?” Tanyanya.
“Bokap sama Nyokap gua…” Gua menjawab santai.
“Hah!?” Marshall berseru, kayaknya terkejut.
“Ngapain kaget sih, lebay amat” Seru gua.
“Kenapa nggak bilang? Tadi kan harusnya gua menyapa atau paling nggak cium tangan” Ucap Marshall dengan wajah terlihat kecewa.
“Yaudah nanti juga bisa kalo cuma mau nyapa sama cium tangan mah…” Jawab gua, kemudian melanjutkan langkah.
“Berarti kita nggak jadi makan bakso, Pop?” Tanyanya lagi sesaat setelah berhasil menyusul gua.
“Nggak deh”
“Eh terus Pop, ini gapapa gua ngikut?” Tanyanya.
“Ya tadi kan lo denger sendiri. Lagian, bukannya cita-cita lo mau numpang makan di rumah gua?”
Mendengar kalimat gua barusan, Marshall terdiam sesaat lalu menggaruk kepalanya.
“Pop… Beli sesuatu dulu nggak? Masa gua nggak bawa apa-apa ke rumah lo” Tanya Marshall lagi, kini nadanya terdengar cukup khawatir.
Gua berhenti dan mendongak, menatapnya. “Yaudah, lo mau beli apa? Ayo kita beli dulu…” Ucap gua.
Setelah sedikit berdebat, akhirnya kami berdua memutuskan untuk membeli buah. Sampai di tukang buah pun, perdebatan kami masih berlangsung, perkara buah apa yang akan kami beli. Gua keukeuh ingin membeli semangka atau melon sementara Marshall malah memilih ingin membeli Jeruk.
“Katanya nyokap lo suka jeruk? Kenapa malah milih semangka?” Tanyanya.
“Ya lo mau beliin gua apa nyokap?” Gua balik bertanya. Karena gua lebih suka semangka ketimbang jeruk.
Si abang penjual buah hanya berdiri sambil memegang kantong plastik kosong, bersiap seandainya kami akhirnya memutuskan pilihan.
“Ehem.. Sorry nih neng, bang, ini saya tinggal dulu ngelayanin pembeli yang lain dulu boleh?” Tanya si penjual, penuh keraguan.
“Eh, sorry bang… Udah ini aja jeruknya dua kilo” Sebut Marshall.
“Woy, banyak amat, mau hajatan? Sekilo aja bang” Sanggah gua.
Saat Marshall melakukan pembayaran, gua berdiri sambil menatapnya. Menyadari perubahan sikapnya yang kentara. Dulu, waktu pertama kali gua bertemu dengannya, Marshall adalah sosok pendiam dan gloomy. Kini, ia menjelma menjadi sosok yang periang dan ceria. Perubahannya yang drastis terjadi tepat setelah ia ngobrol berdua dengan cewek beraroma karbol waktu itu, gua jadi penasaran akan isi obrolan mereka berdua.
Tapi, gua selalu mencoba menahan diri ingin bertanya tentang pembicaraan mereka waktu itu. Takut, kalau hal itu malah bikin suasana hatinya jadi rusak dan ia kembali jadi sosok yang pendiam.
‘Gini aja, udah gini aja, tetaplah jadi Marshall yang seperti ini. Yang ceria dan periang’ Ucap gua dalam hati.
Marshall memperlambat langkahnya begitu kami sudah dekat dari rumah. Gua menoleh dan menatapnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Ini gapapa kan Pop, gua dateng pake baju begini?” Marshall balik bertanya, seraya menunduk melihat ke arah kaos yang ia kenakan.
“Ya terus mau gimana? Mau balik, ganti baju? Lha wong baju lo yang bagus juga cuma itu” Jawab gua seraya menunjuk ke arah kaos yang kini ia kenakan. Kaos yang sempat ia beli di pasar malam beberapa waktu yang lalu, satu-satunya kaos yang paling bagus yang ia punya.
“...”
“... Udah gapapa, santai aja, Yuk…” Gua sedikit memaksa dan menarik tangannya.
Begitu masuk ke dalam rumah, bukan Nyokap maupun Bokap yang menyambut kami berdua; melainkan Dinar. Ia berdiri, bersandar pada pintu sambil memegang ponsel dan mengarahkannya kameranya kepada kami berdua; seperti tengah merekam video.
“Ngapain Lo?” Tanya gua seraya mencoba merebut ponselnya. Namun, gerakan tangannya lebih cepat. Ia menurunkan ponselnya dan langsung pasang senyum sok manis yang dibuat-buat.
“Kenalin sih..” Gumamnya pelan.
Gua lantas menoleh ke arah Marshall.
“Sal, ini adek gua; Dinar…” Ucap gua ke Marshall sambil menunjuk ke arah Dinar yang masih berdiri di sisi pintu sambil tersipu.
“Halo, Aku Dinar…” Ucap Dinar dengan nada sok manis, seraya menjulurkan tangannya.
“Marshall” Marshall menyebut nama dan menjabat tangan Dinar.
Seakan tahu kalau Dinar akan dengan sengaja berlama-lama menggenggam tangan Marshall, gua lantas menepuknya; membuat jabat mereka berdua terlepas.
Dinar nggak biasa-biasanya berlaku seperti ini. Bukan, ia bukan benar-benar suka ke Marshall, ia hanya ingin menggoda gua yang nggak pernah sekalipun membawa cowok ke rumah. Berbeda dengannya yang hampir tiap malam minggu diantar-jemput oleh pacarnya, yang setiap tahun selalu membawa dua pria yang berbeda.
“Duduk, Sal…” Gua bicara ke Marshall seraya menunjuk ke arah kursi tamu kami yang sudah cukup reot.
Masih terlihat canggung, Ia lalu menuruti apa kata gua dan duduk di salah satu kursi.
Nggak lama berselang, tirai yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga tersibak; Bokap. Ia menatap ke arah gua, lalu berpaling ke Marshall. Melihat kehadiran Bokap, Marshall langsung berdiri, dan berinisiatif menyalami Bokap lebih dulu.
Namun, Bokap buru-buru mundur beberapa langkah, lalu beralasan; Kalau tangannya bau, karena habis membersihkan ikan di belakang.
Gua jelas nggak percaya dengan kata-katanya barusan. Seumur hidup, gua nggak pernah melihat bokap membantu nyokap membersihkan atau mengolah ikan, ayam atau daging-dagingan lain karena ia tipikal orang yang jijik dengan hal seperti itu.
Masih sambil tersenyum, Marshall kembali mundur, tapi tetap berdiri.
Sementara, bokap lalu beralih ke Dinar; “Nar, bantu Ibu dulu sana..” Ucapnya.
Tanpa menunggu, Dinar langsung masuk ke dalam yang lalu disusul oleh Bokap. Begitu Bokap pergi barulah Marshall kembali duduk di kursinya. Sementara, gua buru-buru menyusul mereka berdua, berniat bertanya ke bokap tentang alasan sebenarnya ia nggak mau menerima salam dari Marshall.
“Pak, Bapak…” Panggilku seraya berbisik.
Bukannya berhenti, Bokap meneruskan langkahnya menuju ke wastafel dan buru-buru membasuh kedua tangannya. Sikapnya barusan tentu saja semakin menambah kecurigaanku kalau ia sengaja ingin ‘menghindari’ Marshall.
“Bapak kenapa sih?” Tanya gua.
“Kenapa apanya?” Bokap balik bertanya, masih sibuk membasuh kedua tangannya.
“Kenapa nggak mau diajak salaman sama Marshall?” Tanya gua lagi.
“Tangan Bapak kotor…” Jawabnya.
Gua menghela nafas sambil menghentakkan satu kaki ke lantai, kemudian beralih ke Ibu dan mengadukan sikap Bokap barusan. Ibu yang sedang sibuk memasak hanya menoleh sebentar sambil tersenyum, ia bahkan nggak berkata apa-apa.
Nggak puas dengan sikap keduanya, gua kembali ke depan, ke ruang tamu dan langsung duduk di sebelah Marshall.
Marshall hanya terdiam, sambil memandang sekeliling ruangan. Sesekali ia menunjuk ke salah satu fram foto yang berisi gambar gua kecil sedang menari di acara 17-an. “Itu elo?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
“Kalo itu?” Tanyanya sambil menunjuk ke frame foto di sebelahnya. Dimana terlihat Dinar kecil tengah berdiri sambil memegang mik.
“Dinar…” Jawab gua singkat.
“Nyanyi?”
“Nggak, baca puisi…”
“Ooh…”
Setelah menunggu beberapa saat dan puas bertanya tentang satu persatu tentang frame foto yang berada di ruangan. Dinar keluar sambil membawa nampan berisi lauk pauk, disusul Nyokap yang keluar dengan membawa bakul berisi nasi.
Selesai meletakkan bakul berisi nasi di atas meja ruang tamu, Nyokap menyeka tangannya dengan celemek yang masih ia kenakan dan langsung menyapa Marshall.
Marshall yang sejak tadi berdiri karena kehadiran nyokap lantas menjabat tangan nyokap dan menciumnya, kemudian ia menyebutkan namanya; “Marshall”
“Oh, ini yang namanya Marshall..” Gumam ibu pelan.
Terakhir, Bokap keluar sambil membawa tumpukan piring dan sendok lalu meletakkannya di atas meja ruang tamu. Iya, diatas meja ruang tamu. Nggak seperti di rumah orang-orang ‘berada’, kami nggak punya meja makan. Jadi, saat harus makan bersama, maka kami akan menyulap meja ruang tamu menjadi meja makan.
Dan momen makan bersama pun sejatinya bukan budaya keluarga kami. Biasanya, kami makan sendiri-sendiri; Bokap makan di dapur, Nyokap dan gua biasanya makan di depan tivi, sementara Dinar punya kebiasaan membawa makan dan minumnya ke atas; ke kamarnya.
“Monggo dek Marshall, di makan…” Ucap nyokap, mempersilahkan Marshall untuk lebih dulu mengambil makanan. Namun, Marshall bergeming, sepertinya ia nggak mau ‘melangkahi’ tuan rumah untuk mengambil makan duluan. Nyokap lalu berpaling ke bokap, memberinya kode agar lebih dulu mengambil makan.
Saat makan, kami saling berbincang, Nyokap lebih banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke Marshall, seperti; ‘Tinggal dimana?’, ‘Aslinya orang mana?’ dan tentu saja tanpa malu-malu menceritakan keburukan masa kecil gua kepadanya. Sedangkan Bokap? Ia hanya makan dalam diam. Setelah selesai makan pun, Bokap langsung masuk ke dalam dan mencuci piring, ia bahkan nggak merokok. Hal yang selama ini nggak pernah terjadi.
Semakin jelas dimata gua kalau bokap memang sengaja menghindari Marshall.
Sampai di titik ini, gua nggak akan mengkonfrontasi hal ini langsung ke Bokap. Nanti, nanti gua akan bertanya kepadanya.
“Eh buru-buru banget dek…” Ucap Nyokap saat mendengar Marshall ingin berpamitan.
“Iya bu… Mau nyuci dulu soalnya” Jawab Marshall sambil tersenyum dan menyalami Nyokap.
“...”
“... Bapak mana bu?” Tanyanya, ingin berpamitan ke bokap juga.
Nyokap lalu memanggil bokap yang sejak tadi di dapur. “Pak, Pak, Ini Marshall mau pamit…”
“Iya, yaudah ati-ati, aku lagi benerin kompor” Jawab Bokap; klise. ‘Perasaan kompor tadi masih baik-baik aja’ Batin gua dalam hati. Mendengar jawaban Bokap, nyokap lalu berdiri dan menyusul Bokap ke dapur. Beberapa saat berikutnya, Bokap keluar dengan di dorong oleh nyokap. Dengan cepat, Marshall lalu meraih tangan bokap dan mencoba menciumnya namun dengan cepat bokap menarik tangannya.
“Pamit pulang dulu pak” Ucap Marshall.
“Ya” Jawab bokap, lalu kembali masuk ke dalam.
Walaupun terlihat dari luar kalau Marshall biasa-biasa saja menghadapi perlakuan bokap. Namun, jauh di dalam hati ini gua bisa merasakan betapa sakit hatinya mendapat perlakuan seperti itu.
Setelah selesai berpamitan, gua mengantar Marshall hingga ke pintu depan. “Mau ngapain?” Tanyanya saat melihat gua bersiap memakai sweater.
“Nganter lo sampe depan sana” Ucap gua sambil menunjuk ke arah gang depan.
“Nggak usah, kayak anak kecil aja dianterin” Respon Marshall sambil tersenyum.
“Udah gapapa…” Jawab gua. Belum kering bibir ini bicara, terdengar Bokap memanggil nama gua; “Pop, Sini!”.
Mendengar panggilan Bokap ke Gua, Marshall lalu tertawa dan bicara; “Udah sana, gua balik sendiri aja” Ucapnya kemudian berbalik dan pergi. Sementara, gua langsung berlari ke belakang, ke dapur menemui Bokap.
Menyadari kehadiran gua, bokap langsung bicara; “Duduk sini, bapak mau ngomong” Ucapnya seraya menunjuk ke kursi plastik tempat biasa ia duduk di dapur.
“Iya, Poppy juga mau ngomong sama Bapak. Tapi, nanti…” Jawab gua, kemudian kembali berbalik, menuju ke depan, dan berlari menyusul Marshall.
Gua menyusuri gang sempit di depan rumah sambil mencari-cari keberadaan Marshall. Setelah nggak berhasil menemukan Marshall di sekitar Gang, gua terus berlari hingga ke jalan raya, berbelok ke kiri dan berjalan di atas trotoar. Setelah beberapa meter berjalan, barulah terlihat sosok Marshall tengah berdiri mematung sambil menatap ke arah sebuah rumah di seberang jalan.
“Ngapain, bengong aja?” Tanya gua begitu sudah berada di sebelahnya.
Tanpa menoleh ke arah gua, masih menatap ke seberang jalan, ia lalu bicara; “Rumah di depan bentuknya bagus, nanti gua pengen gambar rumah ini”
“...”
“... Tapi, kenapa rumah sebagus itu, dipasang pagar yang super tinggi?” Tambahnya, masih sambil menatap ke rumah besar di seberang kami.
“Ya mungkin takut ketahuan kalo rumahnya bagus kali?” Gua menjawab asal.
“Kalo gitu buat apa bikin rumah bagus kalo nggak ada yang liat?” Ia balik bertanya.
“Ya buat dinikmati sendiri kali” Lagi, gua menjawab asal.
Marshall terdiam, nggak lagi merespon hanya menatap kosong ke arah rumah besar yang berdiri angkuh di seberang kami.
“Sal…” Gua menyebut namanya. Ia lalu menoleh ke arah gua dan tersenyum.
“Lo sakit hati nggak sama perlakuan bokap gua yang tadi nyuekin lo?” Tanya gua, ingin tahu apa pendapatnya.
Marshall menepuk kepala gua dengan perlahan dan barulah ia memberi jawaban; “Sakit hati, nggak lah…”
Ia lalu berbalik dan bersiap pergi, meninggalkan gua berdiri sendiri disini, tertegun begitu mengetahui kebesaran hatinya.
Nggak seberapa lama, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Marshall. Gua menatapnya dari kejauhan, ia tengah menempelkan ponselnya di telinga.
“Halo…”
“Pop, nanti jangan ribut sama bokap lo ya” Ucapnya lirih.
“Makanya dibilangin jangan sampe kena air dulu, bandel!” Seru gua saat tengah mengolesi antiseptik pada bekas luka jahitan di punggungnya.
“Ya masa nggak mandi” Ujarnya, tanpa memalingkan pandangan dari sketchbook di depannya. Sementara, tangannya terlihat tengah memberi arsiran pada bayangan yang jatuh tepat di depan sebuah bangungan yang tengah di gambarnya.
Gua melongok dari balik punggungnya, melihat gambarnya secara keseluruhan. Sebuah sketsa dari bangunan ruko yang belum selesai. Bukan, yang belum selesai bukan gambarnya, melainkan memang proses pembangunan ruko yang di gambar oleh Marshall belum selesai.
“Itu, Ruko tempat lo kerja kan?” Tanya gua.
“Iya” Jawabnya singkat.
Marshall menurunkan kaosnya setelah gua selesai dengan perban di luka terakhir. Ia lalu memutar tubuhnya dan duduk menghadap ke arah gua. Ia lalu menyerahkan sketchbook yang sejak tadi berada di tangannya ke gua.
Gua mengernyitkan dahi; “Buat gua? Apa suru ngasih nilai?” Tanya gua, nggak langsung meraih sketchbook itu.
“Buat lo” Jawabnya sambil tersenyum.
Gua meraih nya, dan mulai membalik satu persatu halaman. Dari halaman pertama, hingga halaman terakhir, dan semuanya sudah terisi dengan gambar-gambar. Kebanyakan gambar yang dibuat oleh Marshall adalah bangunan, dan sesekali ia membuat barang-barang yang ada di sekitarnya seperti Rice Cooker, Lemari dan bahkan gayung serta alat mandinya.
Tak ada kata lain yang bisa menggantikan kata; ‘Mengesankan’ begitu melihat semua gambar-gambarnya.
“Makasih ya, Sal” Ucap gua sambil terus memandangi gambar-gambar di tiap halamannya.
“Makasih buat apa? Gua cuma balikin apa yang udah lo kasih”
Ucapannya barusan tentu saja merujuk ke sketchbook yang merupakan pemberian gua waktu itu. Kini rasa senang karena pemberian darinya berubah menjadi kesedihan. Sedih karena tahu, ia nggak lagi punya media untuk menggambar.
“Nanti gua beliin lagi ya sketchbook nya…” Ucap gua, ingin ia tetap terus menggambar.
“Nggak usah” Jawabnya.
Ia lalu berdiri, membuka lemari plastik dan mengeluarkan sebuah bungkusan plastik merah. Di dalam plastik terdapat tumpukan kertas HVS berukuran A4 yang sepertinya dibelinya di tukang fotokopi terdekat.
“Emang enak, gambar di kertas gini?” Tanya gua. Karena kertas A4 yang dibelinya hanya memiliki gramasi 60 gram. Dengan kondisi nggak punya drawing matte, menggambar tanpa alas dengan menggunakan kertas dengan gramasi rendah, tentu ia bakal sulit menerapkan pressure pada arsirannya nanti. Berbeda dengan sketchbook yang kini berada di tangan gua, yang punya gramasi 190 gram.
Seakan tahu akan apa yang gua pikirkan, Marshall lalu mengambil selembar kertas dan melipatnya menjadi dua bagian, membuat tingkat ketebalan kertas menjadi bertambah. Ya tentu saja dengan mengorbankan area kerja yang hilang setengahnya akibat lipatan.
“Tapi, area gambarnya jadi kecil kan?”
“Gapapa, masih bisa kok…” Jawabnya santai. Teringat akan gambar-gambar Marshall yang dulu ia buat di balik kumpulan struk belanjaan. Menggambar di area sekecil itu, di atas kertas murahan seperti itu saja ia bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Jadi, sepertinya dengan kertas A4 60 gram ia bisa menghasilkan karya yang sama baiknya dengan sketchbook yang kini masih berada di tangan gua.
Seakan ingin memberi bukti, ia lalu mulai menggoreskan pensil mekanik di atas kertas A4 yang sudah dilipat dua dengan telapak tangan kirinya ia jadikan sebagai alasnya. Gua berpindah posisi, ke sebelahnya, ingin melihatnya menggambar.
“Ajarin gua dong, Sal. Gambar building kayak gitu” Ucap gua. Sementara, tangannya masih menari di atas kertas, membuat garis yang terlihat asal-asalan, namun kemudian mulai membentuk kotak berdimensi.
Ia menoleh ke arah gua, tersenyum sebentar kemudian melanjutkan gambar.
“Ajarin? Lo bahkan lebih jago dari gua” Jawabnya.
“Jago dari hongkong! Gua kalo gambar bangunan pasti mleyat-mleyot, nggak simetris dan kadang proporsinya jadi janggal”
Sambil terus menggambar, Marshall lalu memberi tips dan trik dalam menggambar bangunan. “Gambar bangunan atau landscape itu yang paling penting ini..” Ucapnya seraya membuat garis horizontal tipis yang berada di tengah kertas.
“...Namanya Horizon Line” Tambahnya.
Gua mengangguk.
Marshall lalu membuat titik kecil di tengah horizon line yang sebelumnya ia buat; “... terus ini juga penting; namanya Vanishing Point”
“Hah buat apaan tuh?” Tanya gua.
Ia lalu membalik kertas, kemudian mulai membuat ulang garis horizontal.
“Mmm… Jadi kalo lo udah punya vanishing point. Lo bisa tarik garis diagonal dari titik itu kemanapun ke area gambar. Nanti, garis diagonal itu bakal jadi guide biar perspektifnya proporsional…” Marshall menerangkan sambil memberi contoh.
“Tapi, kok tadi gua perhatiin lo nggak pake bikin garis-garis panduan itu?” Tanya gua penasaran.
“Ya buat awal-awal, emang harus bikin garisnya dulu. Nanti lama kelamaan, mata lo udah bisa bikin garis imajiner sendiri kok..”
“Ooh… I See”
Gua lalu merebut kertas dan pensil mekanik dari tangannya dan langsung mencoba mempraktekkan apa yang tadi di ajarkan Marshall. Nyatanya, menggambar memang butuh mood yang tepat. Kini, rasa-rasanya, gua sedang nggak mood untuk menggambar. Gua menghela nafas dan mengembalikan pensil mekanik kepadanya.
“Makan yuk, Sal…”
“Yuk, mau makan apa, gua traktir” Ajaknya sambil cengengesan.
“Emang udah gajian, baru juga kerja semingguan?” Tanya gua, sambil menatap ke layar ponsel, membaca email tentang tagihan uang kuliah yang masih kurang.
“Udah. Gua kan gajiannya mingguan…” Jawabnya.
“Serius?”
“Iya. Lo mau apa, Sate apa Tongseng?” Tanyanya lagi.
“Ih yang murah aja sih, sayang duit lo. Bakso aja yuk” Ajak gua, mencari alternatif makanan yang nggak kelewat mahal.
“Yaudah, yuk…” Ia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya.
Di tengah perjalanan menuju ke tukang bakso, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan kami, sepeda motor yang dinaiki oleh dua orang, seorang pria di balik kemudi dan seorang perempuan berjilbab duduk di boncengannya.
Sepeda motor yang sangat gua kenali, karena gua kerap duduk di boncengannya; Bokap dan Nyokap.
Tanpa turun dan mematikan mesin sepeda motor. Bokap menaikkan kaca helmnya dan menoleh ke arah kami berdua.
“Mau kemana Pop?” Tanyanya. Pandangannya lalu teralih ke sosok Marshall yang berdiri di sebelah gua.
“Makan Bakso” Gua menjawab singkat sambil menunjuk ke arah tukang bakso yang jaraknya sudah nggak begitu jauh.
Kini gantian Nyokap yang menatap ke arah gua, lalu beralih ke Marshall. Berbeda dari Bokap, Nyokap lebih lama dan lebih detail menatap Marshall, seperti robot tengah melakukan scanning tentang ancaman apa yang bakal diterima dari sosok asing di depannya.
Nyokap yang masih memeluk plastik berisi belanjaan lalu tersenyum dan bicara; “Pagi-pagi masak makan bakso. Pulang aja yuk, makan dirumah…”
“...”
“... Itu diajak aja, temennya..” Nyokap menambahkan.
Gua lalu menoleh ke arah Marshall yang masih pasang tampang bingung, kemudian kembali beralih ke Nyokap dan menjawab dengan anggukan kepala.
Mereka berdua lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Sementara, gua dan Marshall masih terdiam saling menatap.
“Siapa, Pop?” Tanyanya.
“Bokap sama Nyokap gua…” Gua menjawab santai.
“Hah!?” Marshall berseru, kayaknya terkejut.
“Ngapain kaget sih, lebay amat” Seru gua.
“Kenapa nggak bilang? Tadi kan harusnya gua menyapa atau paling nggak cium tangan” Ucap Marshall dengan wajah terlihat kecewa.
“Yaudah nanti juga bisa kalo cuma mau nyapa sama cium tangan mah…” Jawab gua, kemudian melanjutkan langkah.
“Berarti kita nggak jadi makan bakso, Pop?” Tanyanya lagi sesaat setelah berhasil menyusul gua.
“Nggak deh”
“Eh terus Pop, ini gapapa gua ngikut?” Tanyanya.
“Ya tadi kan lo denger sendiri. Lagian, bukannya cita-cita lo mau numpang makan di rumah gua?”
Mendengar kalimat gua barusan, Marshall terdiam sesaat lalu menggaruk kepalanya.
“Pop… Beli sesuatu dulu nggak? Masa gua nggak bawa apa-apa ke rumah lo” Tanya Marshall lagi, kini nadanya terdengar cukup khawatir.
Gua berhenti dan mendongak, menatapnya. “Yaudah, lo mau beli apa? Ayo kita beli dulu…” Ucap gua.
Setelah sedikit berdebat, akhirnya kami berdua memutuskan untuk membeli buah. Sampai di tukang buah pun, perdebatan kami masih berlangsung, perkara buah apa yang akan kami beli. Gua keukeuh ingin membeli semangka atau melon sementara Marshall malah memilih ingin membeli Jeruk.
“Katanya nyokap lo suka jeruk? Kenapa malah milih semangka?” Tanyanya.
“Ya lo mau beliin gua apa nyokap?” Gua balik bertanya. Karena gua lebih suka semangka ketimbang jeruk.
Si abang penjual buah hanya berdiri sambil memegang kantong plastik kosong, bersiap seandainya kami akhirnya memutuskan pilihan.
“Ehem.. Sorry nih neng, bang, ini saya tinggal dulu ngelayanin pembeli yang lain dulu boleh?” Tanya si penjual, penuh keraguan.
“Eh, sorry bang… Udah ini aja jeruknya dua kilo” Sebut Marshall.
“Woy, banyak amat, mau hajatan? Sekilo aja bang” Sanggah gua.
Saat Marshall melakukan pembayaran, gua berdiri sambil menatapnya. Menyadari perubahan sikapnya yang kentara. Dulu, waktu pertama kali gua bertemu dengannya, Marshall adalah sosok pendiam dan gloomy. Kini, ia menjelma menjadi sosok yang periang dan ceria. Perubahannya yang drastis terjadi tepat setelah ia ngobrol berdua dengan cewek beraroma karbol waktu itu, gua jadi penasaran akan isi obrolan mereka berdua.
Tapi, gua selalu mencoba menahan diri ingin bertanya tentang pembicaraan mereka waktu itu. Takut, kalau hal itu malah bikin suasana hatinya jadi rusak dan ia kembali jadi sosok yang pendiam.
‘Gini aja, udah gini aja, tetaplah jadi Marshall yang seperti ini. Yang ceria dan periang’ Ucap gua dalam hati.
Marshall memperlambat langkahnya begitu kami sudah dekat dari rumah. Gua menoleh dan menatapnya.
“Kenapa?” Tanya gua.
“Ini gapapa kan Pop, gua dateng pake baju begini?” Marshall balik bertanya, seraya menunduk melihat ke arah kaos yang ia kenakan.
“Ya terus mau gimana? Mau balik, ganti baju? Lha wong baju lo yang bagus juga cuma itu” Jawab gua seraya menunjuk ke arah kaos yang kini ia kenakan. Kaos yang sempat ia beli di pasar malam beberapa waktu yang lalu, satu-satunya kaos yang paling bagus yang ia punya.
“...”
“... Udah gapapa, santai aja, Yuk…” Gua sedikit memaksa dan menarik tangannya.
Begitu masuk ke dalam rumah, bukan Nyokap maupun Bokap yang menyambut kami berdua; melainkan Dinar. Ia berdiri, bersandar pada pintu sambil memegang ponsel dan mengarahkannya kameranya kepada kami berdua; seperti tengah merekam video.
“Ngapain Lo?” Tanya gua seraya mencoba merebut ponselnya. Namun, gerakan tangannya lebih cepat. Ia menurunkan ponselnya dan langsung pasang senyum sok manis yang dibuat-buat.
“Kenalin sih..” Gumamnya pelan.
Gua lantas menoleh ke arah Marshall.
“Sal, ini adek gua; Dinar…” Ucap gua ke Marshall sambil menunjuk ke arah Dinar yang masih berdiri di sisi pintu sambil tersipu.
“Halo, Aku Dinar…” Ucap Dinar dengan nada sok manis, seraya menjulurkan tangannya.
“Marshall” Marshall menyebut nama dan menjabat tangan Dinar.
Seakan tahu kalau Dinar akan dengan sengaja berlama-lama menggenggam tangan Marshall, gua lantas menepuknya; membuat jabat mereka berdua terlepas.
Dinar nggak biasa-biasanya berlaku seperti ini. Bukan, ia bukan benar-benar suka ke Marshall, ia hanya ingin menggoda gua yang nggak pernah sekalipun membawa cowok ke rumah. Berbeda dengannya yang hampir tiap malam minggu diantar-jemput oleh pacarnya, yang setiap tahun selalu membawa dua pria yang berbeda.
“Duduk, Sal…” Gua bicara ke Marshall seraya menunjuk ke arah kursi tamu kami yang sudah cukup reot.
Masih terlihat canggung, Ia lalu menuruti apa kata gua dan duduk di salah satu kursi.
Nggak lama berselang, tirai yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga tersibak; Bokap. Ia menatap ke arah gua, lalu berpaling ke Marshall. Melihat kehadiran Bokap, Marshall langsung berdiri, dan berinisiatif menyalami Bokap lebih dulu.
Namun, Bokap buru-buru mundur beberapa langkah, lalu beralasan; Kalau tangannya bau, karena habis membersihkan ikan di belakang.
Gua jelas nggak percaya dengan kata-katanya barusan. Seumur hidup, gua nggak pernah melihat bokap membantu nyokap membersihkan atau mengolah ikan, ayam atau daging-dagingan lain karena ia tipikal orang yang jijik dengan hal seperti itu.
Masih sambil tersenyum, Marshall kembali mundur, tapi tetap berdiri.
Sementara, bokap lalu beralih ke Dinar; “Nar, bantu Ibu dulu sana..” Ucapnya.
Tanpa menunggu, Dinar langsung masuk ke dalam yang lalu disusul oleh Bokap. Begitu Bokap pergi barulah Marshall kembali duduk di kursinya. Sementara, gua buru-buru menyusul mereka berdua, berniat bertanya ke bokap tentang alasan sebenarnya ia nggak mau menerima salam dari Marshall.
“Pak, Bapak…” Panggilku seraya berbisik.
Bukannya berhenti, Bokap meneruskan langkahnya menuju ke wastafel dan buru-buru membasuh kedua tangannya. Sikapnya barusan tentu saja semakin menambah kecurigaanku kalau ia sengaja ingin ‘menghindari’ Marshall.
“Bapak kenapa sih?” Tanya gua.
“Kenapa apanya?” Bokap balik bertanya, masih sibuk membasuh kedua tangannya.
“Kenapa nggak mau diajak salaman sama Marshall?” Tanya gua lagi.
“Tangan Bapak kotor…” Jawabnya.
Gua menghela nafas sambil menghentakkan satu kaki ke lantai, kemudian beralih ke Ibu dan mengadukan sikap Bokap barusan. Ibu yang sedang sibuk memasak hanya menoleh sebentar sambil tersenyum, ia bahkan nggak berkata apa-apa.
Nggak puas dengan sikap keduanya, gua kembali ke depan, ke ruang tamu dan langsung duduk di sebelah Marshall.
Marshall hanya terdiam, sambil memandang sekeliling ruangan. Sesekali ia menunjuk ke salah satu fram foto yang berisi gambar gua kecil sedang menari di acara 17-an. “Itu elo?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
“Kalo itu?” Tanyanya sambil menunjuk ke frame foto di sebelahnya. Dimana terlihat Dinar kecil tengah berdiri sambil memegang mik.
“Dinar…” Jawab gua singkat.
“Nyanyi?”
“Nggak, baca puisi…”
“Ooh…”
Setelah menunggu beberapa saat dan puas bertanya tentang satu persatu tentang frame foto yang berada di ruangan. Dinar keluar sambil membawa nampan berisi lauk pauk, disusul Nyokap yang keluar dengan membawa bakul berisi nasi.
Selesai meletakkan bakul berisi nasi di atas meja ruang tamu, Nyokap menyeka tangannya dengan celemek yang masih ia kenakan dan langsung menyapa Marshall.
Marshall yang sejak tadi berdiri karena kehadiran nyokap lantas menjabat tangan nyokap dan menciumnya, kemudian ia menyebutkan namanya; “Marshall”
“Oh, ini yang namanya Marshall..” Gumam ibu pelan.
Terakhir, Bokap keluar sambil membawa tumpukan piring dan sendok lalu meletakkannya di atas meja ruang tamu. Iya, diatas meja ruang tamu. Nggak seperti di rumah orang-orang ‘berada’, kami nggak punya meja makan. Jadi, saat harus makan bersama, maka kami akan menyulap meja ruang tamu menjadi meja makan.
Dan momen makan bersama pun sejatinya bukan budaya keluarga kami. Biasanya, kami makan sendiri-sendiri; Bokap makan di dapur, Nyokap dan gua biasanya makan di depan tivi, sementara Dinar punya kebiasaan membawa makan dan minumnya ke atas; ke kamarnya.
“Monggo dek Marshall, di makan…” Ucap nyokap, mempersilahkan Marshall untuk lebih dulu mengambil makanan. Namun, Marshall bergeming, sepertinya ia nggak mau ‘melangkahi’ tuan rumah untuk mengambil makan duluan. Nyokap lalu berpaling ke bokap, memberinya kode agar lebih dulu mengambil makan.
Saat makan, kami saling berbincang, Nyokap lebih banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke Marshall, seperti; ‘Tinggal dimana?’, ‘Aslinya orang mana?’ dan tentu saja tanpa malu-malu menceritakan keburukan masa kecil gua kepadanya. Sedangkan Bokap? Ia hanya makan dalam diam. Setelah selesai makan pun, Bokap langsung masuk ke dalam dan mencuci piring, ia bahkan nggak merokok. Hal yang selama ini nggak pernah terjadi.
Semakin jelas dimata gua kalau bokap memang sengaja menghindari Marshall.
Sampai di titik ini, gua nggak akan mengkonfrontasi hal ini langsung ke Bokap. Nanti, nanti gua akan bertanya kepadanya.
“Eh buru-buru banget dek…” Ucap Nyokap saat mendengar Marshall ingin berpamitan.
“Iya bu… Mau nyuci dulu soalnya” Jawab Marshall sambil tersenyum dan menyalami Nyokap.
“...”
“... Bapak mana bu?” Tanyanya, ingin berpamitan ke bokap juga.
Nyokap lalu memanggil bokap yang sejak tadi di dapur. “Pak, Pak, Ini Marshall mau pamit…”
“Iya, yaudah ati-ati, aku lagi benerin kompor” Jawab Bokap; klise. ‘Perasaan kompor tadi masih baik-baik aja’ Batin gua dalam hati. Mendengar jawaban Bokap, nyokap lalu berdiri dan menyusul Bokap ke dapur. Beberapa saat berikutnya, Bokap keluar dengan di dorong oleh nyokap. Dengan cepat, Marshall lalu meraih tangan bokap dan mencoba menciumnya namun dengan cepat bokap menarik tangannya.
“Pamit pulang dulu pak” Ucap Marshall.
“Ya” Jawab bokap, lalu kembali masuk ke dalam.
Walaupun terlihat dari luar kalau Marshall biasa-biasa saja menghadapi perlakuan bokap. Namun, jauh di dalam hati ini gua bisa merasakan betapa sakit hatinya mendapat perlakuan seperti itu.
Setelah selesai berpamitan, gua mengantar Marshall hingga ke pintu depan. “Mau ngapain?” Tanyanya saat melihat gua bersiap memakai sweater.
“Nganter lo sampe depan sana” Ucap gua sambil menunjuk ke arah gang depan.
“Nggak usah, kayak anak kecil aja dianterin” Respon Marshall sambil tersenyum.
“Udah gapapa…” Jawab gua. Belum kering bibir ini bicara, terdengar Bokap memanggil nama gua; “Pop, Sini!”.
Mendengar panggilan Bokap ke Gua, Marshall lalu tertawa dan bicara; “Udah sana, gua balik sendiri aja” Ucapnya kemudian berbalik dan pergi. Sementara, gua langsung berlari ke belakang, ke dapur menemui Bokap.
Menyadari kehadiran gua, bokap langsung bicara; “Duduk sini, bapak mau ngomong” Ucapnya seraya menunjuk ke kursi plastik tempat biasa ia duduk di dapur.
“Iya, Poppy juga mau ngomong sama Bapak. Tapi, nanti…” Jawab gua, kemudian kembali berbalik, menuju ke depan, dan berlari menyusul Marshall.
Gua menyusuri gang sempit di depan rumah sambil mencari-cari keberadaan Marshall. Setelah nggak berhasil menemukan Marshall di sekitar Gang, gua terus berlari hingga ke jalan raya, berbelok ke kiri dan berjalan di atas trotoar. Setelah beberapa meter berjalan, barulah terlihat sosok Marshall tengah berdiri mematung sambil menatap ke arah sebuah rumah di seberang jalan.
“Ngapain, bengong aja?” Tanya gua begitu sudah berada di sebelahnya.
Tanpa menoleh ke arah gua, masih menatap ke seberang jalan, ia lalu bicara; “Rumah di depan bentuknya bagus, nanti gua pengen gambar rumah ini”
“...”
“... Tapi, kenapa rumah sebagus itu, dipasang pagar yang super tinggi?” Tambahnya, masih sambil menatap ke rumah besar di seberang kami.
“Ya mungkin takut ketahuan kalo rumahnya bagus kali?” Gua menjawab asal.
“Kalo gitu buat apa bikin rumah bagus kalo nggak ada yang liat?” Ia balik bertanya.
“Ya buat dinikmati sendiri kali” Lagi, gua menjawab asal.
Marshall terdiam, nggak lagi merespon hanya menatap kosong ke arah rumah besar yang berdiri angkuh di seberang kami.
“Sal…” Gua menyebut namanya. Ia lalu menoleh ke arah gua dan tersenyum.
“Lo sakit hati nggak sama perlakuan bokap gua yang tadi nyuekin lo?” Tanya gua, ingin tahu apa pendapatnya.
Marshall menepuk kepala gua dengan perlahan dan barulah ia memberi jawaban; “Sakit hati, nggak lah…”
Ia lalu berbalik dan bersiap pergi, meninggalkan gua berdiri sendiri disini, tertegun begitu mengetahui kebesaran hatinya.
Nggak seberapa lama, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Marshall. Gua menatapnya dari kejauhan, ia tengah menempelkan ponselnya di telinga.
“Halo…”
“Pop, nanti jangan ribut sama bokap lo ya” Ucapnya lirih.
cotel79 dan 56 lainnya memberi reputasi
57
Kutip
Balas
Tutup