- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
buljaw dan 152 lainnya memberi reputasi
153
225.1K
Kutip
3.5K
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#440
Part 21 - Dunia dan Isinya
Spoiler for Part 21 - Dunia dan Isinya:
Saat tiba di rumah, terlihat sepeda motor yang nggak gua kenali terparkir di depan. ‘Siapa yang bertamu malam-malam gini?’ batin gua dalam hati.
Rupanya Lik Imran dan istrinya; Lik Sur tengah berkunjung. Lik Sur adalah adik kandung Nyokap yang kini tinggal di daerah Pasar Minggu. Dahulu, saat pertama merantau ke Jakarta, Lik Sur sempat ikut tinggal bersama dengan kami dan bekerja serabutan sebagai kuli cuci dan setrika di komplek perumahan dekat dengan tempat tinggal gua. Sementara, Lik Imran dulu nya teman kerja Bokap, dimana mereka tumbuh dan besar di kampung halaman yang sama.
Kini Lik Imran sudah nggak bekerja bersama bokap. Ia sekarang sudah punya usaha sendiri; sebagai mandor proyek, atau bahasa kerennya ‘kontraktor’.
Gua masuk dan langsung memberi salam dengan mencium tangan keduanya.
“Wuih, Poppy. Baru pulang toh Pop?” Tanya Lik Imran.
“Iya, Lik.. Sehat Lik?” Ucap gua seraya menatap keduanya bergantian. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
Setelah berbasa-basi sebentar, gua masuk dan bersiap untuk naik ke kamar. Baru saja saat gua menginjak anak tangga pertama menuju ke atas, tanpa sengaja gua mendengar obrolan antara Bokap dengan Lik Imran. Rupanya, Lik Imran tengah mencari ‘karyawan’ untuk membantunya bekerja di proyek.
Gua lalu kembali turun dan menuju ke ruang tamu tempat bokap dan Lik Imran ngobrol.
“Lik, temenku ada tuh yang mau kerja” Ucap gua yang langsung nimbrung ke dalam obrolan.
“Sopo?” Tanya Lik Imran.
“Ada temenku”
“Rajin po ora?”
“Rajin banget” Gua menjawab.
“Emang ada anak sekarang yang mau kerja jadi kuli?” Tanya Bokap.
“Ada pak. Temen Poppy”
“Siapa namanya?” Tanya Bapak.
“Marshall…”
“Ah, namanya aja ketoke nama anak orang kaya. Iso kerja po ora?” Lik Marshall mencoba memastikan.
“Gini aja lik, Lik Imran coba aja dulu, kalo nggak puas nanti di stop aja, gimana?” Gua mencoba bernegosiasi mewakili Marshall. Padahal belum tentu juga Marshall bersedia bekerja jadi kuli bangunan.
“Yowis, besok lusa suru langsung dateng ke proyek aja, Pop…” Ucap Lik Imran, kemudian menyebutkan lokasi ruko tempat proyeknya berlangsung.
“Sip. Makasih ya lik” Ucap gua.
Begitu di kamar, gua langsung meraih ponsel dan mencoba menghubungi Marshall. Nada sambung terdengar beberapa kali, yang lalu dijawab olehnya; “Halo”
“Sal, lo mau kerja nggak?” Tanya gua tanpa basa-basi.
“Hah, ya mau lah. Kerja apa?”
“Kuli bangunan” Gua menjawab, langsung to the point. Jadi, seandainya ia menolak, gua bisa kembali ke bawah dan bilang ke Lik Imran.
“Mau” Ia menjawab singkat.
Jawaban yang nggak gua sangka. Bukan, bukan ragu kalau Marshall mau kerja model beginian. Gua hanya ragu kalau Marshall mau langsung menerima tanpa berpikir dua-tiga kali.
“Bener?” Tanya gua lagi memastikan.
“Iya”
“Kuli bangunan itu kerjaan berta lho, Sal. Harus ngangkat…” Belum selesai gua bicara, Marshall memotong kalimat gua.
“Gua tau Pop, gua tau kerjaan kuli itu kaya apa…” Ucapnya.
“Serius nih?”
“Iya Poppy” Jawabnya yakin.
“Tapi, badan lo kan masih kayak gitu, lo yakin…”
“Ah, besok juga udah sehat” Jawabnya lagi.
Selesai telepon, gua langsung mengirimkannya alamat lokasi proyek melalui pesan singkat. Yang lalu dibalas Marshall dengan emoji acungan jempol. Nggak lama berselang, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Marshall.
“Halo, kenapa berubah pikiran?” Tanya gua tanpa menyapa.
“Nggak. Nanti disana gua harus nyari siapa?” Tanyanya.
“Oh, cari yang namanya Lik Imran” Gua memberitahu nama Lik Imran kepadanya.
“Okay”
“Udah gitu doang?” Tanya gua lagi.
“Udah” Jawabnya lalu mengakhiri panggilan.
Lusa siang, sepulangnya dari kuliah dan bersiap untuk bekerja, gua menyempatkan diri untuk menghubungi Lik Imran. Ingin mencari tahu tentang kabar Marshall dan bagaimana pekerjaannya.
“Opo, Pop?” Tanya Lik Imran begitu terhubung. Suaranya terdengar kurang jelas, karena latar berisik di belakangnya.
“Marshall gimana Lik?” Tanya gua.
“Hah, Marshall?”
“Iya, Marshall, gimana kerjanya?”
“Oh, Bagus kok, Apik Pop. Bocahe gesit, pinter” Lik Imran memberi testimoni.
“Sip, mantep kan referensi aku”
“Iya. Uwis yo, Lik masih kerja lho ini. Eh kamu mau ngomong sama Marshall?” Tanyanya.
“Nggak Lik, nggak usah..”
Selesai menghubungi Lik Imran, gua lantas mengirim pesan ke Marshall. Pesan penyemangat yang kurang lebih isinya; ‘Semangat ya Sal, kerja jadi kuli-nya’ Tanpa menunggu balasan pesan darinya.
Sambil bertopang dagu di meja kasir dan menatap kosong ke depan, terbayang di benak gua; betapa keras hidup si Marshall. Setelah kehilangan masa remajanya gara-gara di penjara karena seorang cewek bernama Tata. Dan setelah bebas, hidupnya luntang-lantung, begitu akhirnya bisa mendapat uang dan kerjaan malah harus kehilangan pekerjaan itu gara-gara orang yang sama. Sekarang, dengan bekas luka yang gua yakin belum sembuh 100%, dia masih harus bekerja jadi tukang bangunan. Bukannya merendahkan profesi tukang bangunan, tapi, buat orang yang punya banyak bekas luka di tubuhnya, gua merasa pekerjaan tersebut terlalu berat buatnya.
Tapi, sepertinya nggak begitu buat Marshall. Ia tegar, dan seperti enggan mengeluh tentang hidupnya.
Sebelum shift gua berakhir, gua meraih obat antiseptik dan perban dari rak dekat meja kasir dan memproses pembayarannya. Berniat untuk segera ke tempat kost Marshall setelah bekerja. Ada kekhawatiran, takut kalau luka jahitannya terbuka.
Begitu tiba di tempat kost, terlihat Marshall berada di depan gua, tengah menaiki tangga sambil membawa ember dan gagang pel. Gua bersiul, memberi kode, memanggilnya. Dari atas, ia menoleh, menunduk dan menatap gua, lalu tersenyum.
“Pulang kerja?” Tanyanya, sambil kemudian meneruskan langkah, naik ke atas.
“Iya.. Lo juga baru balik?” Tanya gua, menyusulnya.
“Iya…”
“Hah, hari pertama kerja kok pulang malem banget, lembur?” Tanya gua lagi. Kali ini sambil berdiri di sebelah pintu kamar kostnya dan berusaha melepas sepatu.
“Iya.. Soalnya kan proyeknya di ruko. Jadi nggak ada batas waktu kerja. Kata Mas Imran, kalo mau dilanjut gapapa, yaudah gua lanjut aja…”
“Sendiri?”
“Nggak, sama yang lain juga”
“Nggak capek emang?” Tanya gua penasaran.
“Haha, capek.. Dikit” Jawabnya.
Gua lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar, kemudian berusaha mengangkat ujung kaos yang ia kenakan.
“Eh, ngapain lo Pop. Ngawur…” Ucapnya sambil mencoba menghindar dari gua.
“Apaan sih, gua mau ngecek, jahitan lo ada yang lepas apa nggak kok” Ucap gua, mencoba memperbaiki persepsinya yang salah kaprah barusan.
“Oh… Tenang, nggak ada kok…” Jawabnya.
“Bener?”
“Iya, bener…”
“Yaudah nih, nanti kalo ada yang lukanya kebuka, langsung kasih ini ya…” Ucap gua seraya berjinjit dan meletakkan plastik berisi botol obat antiseptik dan perban di atas lemari plastik di dalam kamarnya.
Gua lalu berpaling ke Marshall yang tengah sibuk dengan ember dan alat pel; “Itu lo mau ngapain, ngepel?”
“Iya…”
“Udah besok aja sih, capek-capek bukannya istirahat…” Ucap gua seraya melepaskan genggaman tangannya dari gagang pel.
“...”
“... Mana belom mandi lagi…” Gua menambahkan seraya menepuk bahunya kemudian menutup hidung dengan tangan.
“Ya namanya juga baru pulang. Emang bau ya?” Tanyanya sambil terkekeh, kemudian mengendus pakaiannya sendiri.
Sadar akan bau nggak sedap dari tubuhnya, ia langsung meraih handuk dan bersiap turun, ke kamar mandi yang terletak di lantai paling bawah. “Gua mandi dulu deh” Ucapnya kemudian pergi.
“Dasar…”
Gua lalu duduk di atas ranjang seraya menatap sekeliling kamarnya. Di sudut ruangan terlihat tumpukan pakaian compang-camping dan penuh bekas darah yang dipakainya beberapa hari yang lalu. Gua lantas berinisiatif untuk membereskannya. Berbekal kantong plastik sampah bekas, gua lantas mulai memasukkan pakaian tersebut dan membuangnya nanti sekalian pulang.
Saat tengah beres-beres, gua merasakan ada sosok bayangan berdiri di ambang pintu. Awalnya gua pikir Marshall, tapi kalau Marshall kenapa bayangan tersebut bergeming, diam di sana, kenapa nggak masuk. Gua lantas menoleh dan mendapati sosok seorang cewek berdiri di sana; di ambang pintu yang terbuka.
Sambil mencoba mengingat, gua berdiri dan berjalan mendekat; siapa tau salah satu rekan kerja Marshall sewaktu di kedai. Tapi, ternyata tebakan gua salah, teman wanitanya di kedai nggak punya aura dan kecantikan seperti sosok yang sekarang berdiri tepat di depan gua. Tapi, entah kenapa, gua rasa-rasanya pernah melihat sosoknya yang entah dimana.
Cewek yang berdiri tepat di depan gua saat ini, punya wajah yang natural dengan rambut hitam, panjang dan dibiarkan tergerai. Walaupun mengenakan kacamata hitam, namun gua mampu merasakan ada kesan ‘mata yang indah’ dibaliknya.
Dan cewek itu nggak sendiri, di belakangnya menyusul satu orang cewek lain yang rasa-rasanya wajahnya nggak begitu asing.
“Marshall-nya kemana?” Tanya cewek berkacamata hitam yang berdiri tepat di depan gua.
“Lo siapa?” gua balik bertanya.
Pikiran gua lalu mulai melayang, membuat asumsi-asumsi. ‘Jangan-jangan, cewek ini yang namanya Tata’.
“Kamu siapa?” Ia balas bertanya.
Seketika, teman cewek yang tadi menyusulnya, mendekat dan menyebut namanya; “Ada Ta, Marshall-nya?”
Deg! ‘Bener, ini cewek yang namanya Tata’ Gua membatin dalam hati.
Lantas, sambil pasang ekspresi kesal. Gua mencoba meyakinkan diri ini dengan kembali bertanya; “Elo Tata?”.
“Iya” Jawabnya dengan gaya sok angkuh.
‘Nah, pas banget’ Batin gua dalam hati, kemudian menunduk, meraih ember di lantai, memindahkan gagang pel, mengangkatnya dan menuangkannya tepat diatas kepalanya.
‘Byur!’
Seketika, tubuh cewek itu dari ujung kepala hingga sebagian tubuhnya basah. Disusul suara teriakan dari teman di belakangnya; “Woy, gila lo ya?”
Sementara ada rasa aneh luar biasa yang gua rasakan. Aneh karena, gua merasa cewek yang namanya Tata ini seharusnya bisa dengan mudah menghindar atau mencegah gua menyiram air ke tubuhnya. Tapi, entah kenapa ia hanya terdiam dan mematung.
Bahkan setelah disiram dan tubuhnya basah. Ia masih berada dalam kendali, masih terlihat tenang.
Cewek bernama Tata itu lantas dengan perlahan melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Lalu, menyeka kedua matanya.
Dari tempat gua berdiri, terlihat seperti ada lingkaran hitam dibawah matanya yang indah. Sebuah tanda kalau, ia kurang tidur. Saat ia melepas kacamata dan menyeka wajahnya, juga terlihat bekas luka bakar ringan pada buku jari-jarinya, luka yang mirip seperti terkena bara rokok.
Detik berikutnya, seakan tanpa rasa bersalah, ia menyodorkan tangannya ke arah gua; mengajak berkenalan.
“Namaku Tata…” Ucapnya dengan ekspresi datar.
Gua menyebut nama, tanpa menggubris uluran tangannya; “Poppy”
“Marshall-nya kemana Pop?” Tanya Tata, tetap terlihat tenang.
Baru saja gua akan memberi jawaban. Terdengar suara langkah kaki menaiki tangga besi; Marshall muncul di mulut tangga. Ia menatap ke arah kami bertiga, bertelanjang dada, membuat semua bekas lukanya terlihat jelas. Sementara sebuah handuk melingkar di bahunya dan tangan kanannya menenteng gayung berisi peralatan mandi.
Marshall lalu menghela nafas panjang dan berjalan pelan menuju ke arah kami.
Begitu melihat sosok Marshall, Tata seperti kehilangan ketenangannya. Ekspresi wajahnya berubah dan histeris.
“Sal, kamu gapapa kan?” Tanyanya seraya mendekat ke arah Marshall.
Sementara, Marshall hanya terdiam dan terus berjalan, masuk ke dalam kamar. Layaknya nggak terjadi apa-apa, Marshall masuk, kemudian menuju ke lemari plastik, meraih satu-satunya kaos yang tersisa dan memakainya. Ia lalu berbalik dan menuju ke pintu kamar, memakai sandalnya.
Saat tepat berada di depan Tata, ia menyerahkan handuk yang sebelumnya ia gunakan. Kemudian bicara; “Lo parkir dimana?” Tanya Marshall ke Tata.
“Di kedai kopi” Jawab Tata sambil menunjuk ke arah kedai kopi.
“Ayo gua anter ke mobil” Ucap Marshall dan bersiap menuruni tangga. Sebelum pergi, Marshall sempat menoleh ke gua.
“Lo tunggu sini dulu, ntar gua anterin balik” Ucapnya lirih.
Gua lalu mengangguk.
Setelah mereka bertiga pergi, gua lantas membereskan sisa air yang menggenang dan tentu saja bergegas menyusul mereka. ‘Mana bisa gua diam menunggu di sini, sementara Marshall harus pergi bersama salah satu orang yang bikin dia babak belur kemarin’.
Terlihat Marshall dan Tata berjalan bersisian berdua menuju ke arah Kedai. Sementara, Cewek yang satu lagi sengaja memperlambat langkah, berjalan di belakangnya. Gua mempercepat langkah, melewati cewek di belakang, bersiap menyusul Marshall dan Tata, namun cewek itu dengan cepat meraih tangan gua dan menahannya.
“Jangan, biarin aja…” Ucapnya.
“Ngapain sih Lo” Hardik gua.
Bukannya melepas, cewek itu malah semakin mengencangkan genggamannya. Ia lalu kembali bicara; “Paling nggak kasih lah kesempatan mereka bicara berdua”
Gua menghela nafas, kali ini sudah tak ingin lagi menyusul Marshall. Malah rasa-rasanya ingin sekali gua menggurui cewek di sebelah gua ini.
“Lo tau nggak, terakhir mereka ngobrol berdua, Marshall hampir mati” Ucap gua.
“Iya, gua tau tapi, kali ini please biarin” Ucapnya.
Gua mengangguk, dan memberi mereka kesempatan.
Kami lalu berjalan berdua di belakang Marshall dan Tata. Cewek di sebelah gua ini lalu kembali buka suara.
“Lo inget sama gua nggak?” Tanyanya.
Mendengar pertanyaannya barusan tentu saja bikin gua mengernyitkan dahi; “Emang lo siapa, sampe perlu banget gua inget?”
“Gua pernah ke minimarket tempat lo kerja…”
“Ya banyak kali yang pernah ke minimarket tempat gua kerja”
“Gua yang pernah protes gara-gara snack yang salah harga…” Ucapnya.
Gua menatap ke atas, mencoba mengingat-ingat kejadian yang barusan ia ceritakan.
“Oh… kalian trio macan yang bikin gaduh waktu itu kan?” Ucap gua ketika berhasil mengingatnya.
“Enak aja, itu kan gara-gara elo”
“Woy, itu gara-gara ada orang yang nggak sengaja mindahin produknya” Gua berkelit.
“Ya terus, kita yang salah? Ya kalian lah. Jelas-jelas ada tulisan disana ‘Jika terjadi selisih harga, maka yang dipakai adalah harga termurah’” Ia nggak mau kalah.
“Woy, itu kalo selisih harga dari produk yang sama. Pas kasus elo kan, beda produk, ya harganya juga beda”
“Heh.. waktu itu bukan beda produk ya, cuma beda varian…” Ia terus bicara, kini nadanya semakin meninggi.
“Woy, beda varian juga beda harga… Ngeyel lo” Balas gua seraya memukul pelan kepalanya.
Ia yang nggak terima lantas berusaha balik memukul gua. Namun, gua berhasil menghindar. Akibatnya, perselisihan kami itu membuat obrolan antara Marshall dengan Tata jadi terganggu. Mereka lalu berhenti dan berpaling menatap kami berdua yang masih berusaha saling serang.
Marshall berbalik ke arah gua. Ia lalu memposisikan dirinya di antara kami berdua dan dengan hati-hati menarik gua mundur kebelakang. “Kan gua suru tunggu di kost tadi” Bisiknya ke gua sambil tersenyum.
“Ya abisnya, gua kan khawatir. Ntar kalo lo kenapa-kenapa lagi, gimana?” Tanya gua, juga sambil berbisik.
“Yaudah tunggu sini, diem. Jangan ribut..” Ucapnya, kemudian kembali ke arah Tata yang masih berdiri menunggunya.
Gua lalu duduk di tepi trotoar, bertumpu pada kedua tangan sambil menatap ke arah Marshall dan Tata yang sepertinya masih terlibat obrolan serius. Cewek yang tadi, kemudian duduk di sebelah gua. Tiba-tiba ia menjulurkan tangannya; “Nama gua Ocha” Ucapnya pelan.
“Poppy” Balas gua tanpa berpaling.
Kami berdua lalu duduk bersebelahan sambil menatap ke arah Marshall dan Tata dalam diam.
Setelah hampir kurang lebih 5 menit berikutnya, Marshall sepertinya selesai bicara. Ia berbalik dan pergi menjauh dari Tata. Sementara, Tata hanya mampu terdiam dan memberi tatapan nanar ke Marshall, seperti nggak ikhlas ditinggalkan olehnya.
Marshall berjalan, melewati gua yang masih duduk di tepi trotoar sambil bicara pelan; “Ayo Pop”
Gua lantas berdiri, berpaling sebentar ke Ocha yang juga masih terduduk lalu menyusulnya.
“Gua perlu minta maaf ke cewek itu nggak?” Tanya gua ke Marshall, membuka obrolan.
“Maaf atas apa?” Marshall balik bertanya.
“Karena gua udah nyiram dia” Jawab gua, merujuk ke kejadian dimana tadi gua menyiram Tata dengan air pel.
“Oh, nggak usah…” Marshall menjawab santai.
“Yaudah…”
“Lo laper nggak?” Tanya Marshall begitu gua sudah berada di dekatnya.
“Banget” Gua menjawab sambil mengelus perut.
“Makan nasi sama kecap mau? Nanti gua masak dulu di kostan” Jawabnya sambil tertawa.
“Idih, ogah ah…”
“Gua adanya itu” Jawabnya.
“Mau nasi goreng, Sal” Gua memohon, tentu saja bercanda. Namun, sepertinya tidak buat Marshall. Ia lalu menyuruh gua kembali lebih dulu ke kost, sementara ia membeli nasi goreng.
Yang baru gua sadari setelah tiba di tempat kostnya; ‘Apa iya dia punya uang buat bayar nasi goreng?’
Beberapa waktu berselang, Marshall kembali ke kost. Terlihat ia menenteng sebuah plastik berisi bungkusan nasi goreng; hanya satu bungkus. Nggak menunggu lama, ia lalu duduk di depan gua dan mulai membuka bungkusannya.
“Satu doang? Buat Lo Mana?” Tanya gua, berlagak nggak tau.
Marshall nggak langsung menjawab, ia meraih sendok dan menyerahkannya ke gua.
“Buat lo mana?” Tanya gua lagi.
“Gua udah makan disana tadi…” Jawabnya sambil tersenyum.
Mendengar ucapannya barusan, membuat mata gua perlahan mulai basah. Enggan, Marshall melihat gua menangis, gua memintanya keluar. “Yaudah lo sana di luar, gua mau makan dulu…”
Marshall lalu meraih sisa puntung rokok di asbak, menyulutnya dan keluar kamar. Gua tau kalau ia belum makan, dan saat ini ia pasti kelaparan. Tapi, gua juga nggak mau menguak kebohongannya yang dibuat untuk gua.
Perlahan gua menyendok nasi goreng ke mulut yang kini terasa asin, sangat asin karena bercampur dengan air mata.
Mungkin karena mendengar isak tangis gua yang nggak tertahan, Marshall yang sejak tadi bersandar pada dinding luar kamar menoleh. Melihat gua makan sambil menangis, ia langsung kembali masuk ke dalam.
“Kenapa? Pedes? Gua tadi padahal pesen nggak pedes lho?” Tanyanya, sambil berjongkok di sebelah gua.
Gua menggeleng, kemudian menghentikan makan dan menoleh ke arahnya.
Masih dengan ekspresi wajahnya yang kebingungan, Marshall mengernyitkan dahi, sambil memberi tatapan heran yang entah kenapa masih berhasil mempesona diri ini. Gua meletakkan sendok dan memukul bahunya beberapa kali, menjatuhkan kepala dalam dekapannya, kemudian mulai melepas tangisan yang sejak tadi tertahan.
Walaupun Marshall sepertinya masih bingung dengan sikap gua, ia tetap berusaha menghibur dengan memeluk dan memberi tepukan di bahu.
Gua lalu mendongak, menatap wajahnya.
“Gua tau lo belum makan kan?” Tanya gua, masih sambil sesenggukan.
Marshall nggak menjawab, ia hanya tersenyum. Kemudian menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi.
“Kenapa lo bela-belain beliin gua makan, padahal lo belum makan?” Tanya gua.
“...”
“... Kalo lo emang nggak punya uang, kenapa lo beli ini? Kenapa nggak beli mie instan aja?” Tanya gua lagi.
“Kan lo maunya nasi goreng…” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kalo gua minta lo beliin gua dunia dan isinya, gimana?” Tanya gua lagi.
“Ya walaupun kayaknya mustahil, tapi nanti gua coba… Sementara ini, nasi goreng aja dulu” Jawabnya santai.
---
Rupanya Lik Imran dan istrinya; Lik Sur tengah berkunjung. Lik Sur adalah adik kandung Nyokap yang kini tinggal di daerah Pasar Minggu. Dahulu, saat pertama merantau ke Jakarta, Lik Sur sempat ikut tinggal bersama dengan kami dan bekerja serabutan sebagai kuli cuci dan setrika di komplek perumahan dekat dengan tempat tinggal gua. Sementara, Lik Imran dulu nya teman kerja Bokap, dimana mereka tumbuh dan besar di kampung halaman yang sama.
Kini Lik Imran sudah nggak bekerja bersama bokap. Ia sekarang sudah punya usaha sendiri; sebagai mandor proyek, atau bahasa kerennya ‘kontraktor’.
Gua masuk dan langsung memberi salam dengan mencium tangan keduanya.
“Wuih, Poppy. Baru pulang toh Pop?” Tanya Lik Imran.
“Iya, Lik.. Sehat Lik?” Ucap gua seraya menatap keduanya bergantian. Yang lalu dijawabnya dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
Setelah berbasa-basi sebentar, gua masuk dan bersiap untuk naik ke kamar. Baru saja saat gua menginjak anak tangga pertama menuju ke atas, tanpa sengaja gua mendengar obrolan antara Bokap dengan Lik Imran. Rupanya, Lik Imran tengah mencari ‘karyawan’ untuk membantunya bekerja di proyek.
Gua lalu kembali turun dan menuju ke ruang tamu tempat bokap dan Lik Imran ngobrol.
“Lik, temenku ada tuh yang mau kerja” Ucap gua yang langsung nimbrung ke dalam obrolan.
“Sopo?” Tanya Lik Imran.
“Ada temenku”
“Rajin po ora?”
“Rajin banget” Gua menjawab.
“Emang ada anak sekarang yang mau kerja jadi kuli?” Tanya Bokap.
“Ada pak. Temen Poppy”
“Siapa namanya?” Tanya Bapak.
“Marshall…”
“Ah, namanya aja ketoke nama anak orang kaya. Iso kerja po ora?” Lik Marshall mencoba memastikan.
“Gini aja lik, Lik Imran coba aja dulu, kalo nggak puas nanti di stop aja, gimana?” Gua mencoba bernegosiasi mewakili Marshall. Padahal belum tentu juga Marshall bersedia bekerja jadi kuli bangunan.
“Yowis, besok lusa suru langsung dateng ke proyek aja, Pop…” Ucap Lik Imran, kemudian menyebutkan lokasi ruko tempat proyeknya berlangsung.
“Sip. Makasih ya lik” Ucap gua.
Begitu di kamar, gua langsung meraih ponsel dan mencoba menghubungi Marshall. Nada sambung terdengar beberapa kali, yang lalu dijawab olehnya; “Halo”
“Sal, lo mau kerja nggak?” Tanya gua tanpa basa-basi.
“Hah, ya mau lah. Kerja apa?”
“Kuli bangunan” Gua menjawab, langsung to the point. Jadi, seandainya ia menolak, gua bisa kembali ke bawah dan bilang ke Lik Imran.
“Mau” Ia menjawab singkat.
Jawaban yang nggak gua sangka. Bukan, bukan ragu kalau Marshall mau kerja model beginian. Gua hanya ragu kalau Marshall mau langsung menerima tanpa berpikir dua-tiga kali.
“Bener?” Tanya gua lagi memastikan.
“Iya”
“Kuli bangunan itu kerjaan berta lho, Sal. Harus ngangkat…” Belum selesai gua bicara, Marshall memotong kalimat gua.
“Gua tau Pop, gua tau kerjaan kuli itu kaya apa…” Ucapnya.
“Serius nih?”
“Iya Poppy” Jawabnya yakin.
“Tapi, badan lo kan masih kayak gitu, lo yakin…”
“Ah, besok juga udah sehat” Jawabnya lagi.
Selesai telepon, gua langsung mengirimkannya alamat lokasi proyek melalui pesan singkat. Yang lalu dibalas Marshall dengan emoji acungan jempol. Nggak lama berselang, ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama Marshall.
“Halo, kenapa berubah pikiran?” Tanya gua tanpa menyapa.
“Nggak. Nanti disana gua harus nyari siapa?” Tanyanya.
“Oh, cari yang namanya Lik Imran” Gua memberitahu nama Lik Imran kepadanya.
“Okay”
“Udah gitu doang?” Tanya gua lagi.
“Udah” Jawabnya lalu mengakhiri panggilan.
Lusa siang, sepulangnya dari kuliah dan bersiap untuk bekerja, gua menyempatkan diri untuk menghubungi Lik Imran. Ingin mencari tahu tentang kabar Marshall dan bagaimana pekerjaannya.
“Opo, Pop?” Tanya Lik Imran begitu terhubung. Suaranya terdengar kurang jelas, karena latar berisik di belakangnya.
“Marshall gimana Lik?” Tanya gua.
“Hah, Marshall?”
“Iya, Marshall, gimana kerjanya?”
“Oh, Bagus kok, Apik Pop. Bocahe gesit, pinter” Lik Imran memberi testimoni.
“Sip, mantep kan referensi aku”
“Iya. Uwis yo, Lik masih kerja lho ini. Eh kamu mau ngomong sama Marshall?” Tanyanya.
“Nggak Lik, nggak usah..”
Selesai menghubungi Lik Imran, gua lantas mengirim pesan ke Marshall. Pesan penyemangat yang kurang lebih isinya; ‘Semangat ya Sal, kerja jadi kuli-nya’ Tanpa menunggu balasan pesan darinya.
Sambil bertopang dagu di meja kasir dan menatap kosong ke depan, terbayang di benak gua; betapa keras hidup si Marshall. Setelah kehilangan masa remajanya gara-gara di penjara karena seorang cewek bernama Tata. Dan setelah bebas, hidupnya luntang-lantung, begitu akhirnya bisa mendapat uang dan kerjaan malah harus kehilangan pekerjaan itu gara-gara orang yang sama. Sekarang, dengan bekas luka yang gua yakin belum sembuh 100%, dia masih harus bekerja jadi tukang bangunan. Bukannya merendahkan profesi tukang bangunan, tapi, buat orang yang punya banyak bekas luka di tubuhnya, gua merasa pekerjaan tersebut terlalu berat buatnya.
Tapi, sepertinya nggak begitu buat Marshall. Ia tegar, dan seperti enggan mengeluh tentang hidupnya.
Sebelum shift gua berakhir, gua meraih obat antiseptik dan perban dari rak dekat meja kasir dan memproses pembayarannya. Berniat untuk segera ke tempat kost Marshall setelah bekerja. Ada kekhawatiran, takut kalau luka jahitannya terbuka.
Begitu tiba di tempat kost, terlihat Marshall berada di depan gua, tengah menaiki tangga sambil membawa ember dan gagang pel. Gua bersiul, memberi kode, memanggilnya. Dari atas, ia menoleh, menunduk dan menatap gua, lalu tersenyum.
“Pulang kerja?” Tanyanya, sambil kemudian meneruskan langkah, naik ke atas.
“Iya.. Lo juga baru balik?” Tanya gua, menyusulnya.
“Iya…”
“Hah, hari pertama kerja kok pulang malem banget, lembur?” Tanya gua lagi. Kali ini sambil berdiri di sebelah pintu kamar kostnya dan berusaha melepas sepatu.
“Iya.. Soalnya kan proyeknya di ruko. Jadi nggak ada batas waktu kerja. Kata Mas Imran, kalo mau dilanjut gapapa, yaudah gua lanjut aja…”
“Sendiri?”
“Nggak, sama yang lain juga”
“Nggak capek emang?” Tanya gua penasaran.
“Haha, capek.. Dikit” Jawabnya.
Gua lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar, kemudian berusaha mengangkat ujung kaos yang ia kenakan.
“Eh, ngapain lo Pop. Ngawur…” Ucapnya sambil mencoba menghindar dari gua.
“Apaan sih, gua mau ngecek, jahitan lo ada yang lepas apa nggak kok” Ucap gua, mencoba memperbaiki persepsinya yang salah kaprah barusan.
“Oh… Tenang, nggak ada kok…” Jawabnya.
“Bener?”
“Iya, bener…”
“Yaudah nih, nanti kalo ada yang lukanya kebuka, langsung kasih ini ya…” Ucap gua seraya berjinjit dan meletakkan plastik berisi botol obat antiseptik dan perban di atas lemari plastik di dalam kamarnya.
Gua lalu berpaling ke Marshall yang tengah sibuk dengan ember dan alat pel; “Itu lo mau ngapain, ngepel?”
“Iya…”
“Udah besok aja sih, capek-capek bukannya istirahat…” Ucap gua seraya melepaskan genggaman tangannya dari gagang pel.
“...”
“... Mana belom mandi lagi…” Gua menambahkan seraya menepuk bahunya kemudian menutup hidung dengan tangan.
“Ya namanya juga baru pulang. Emang bau ya?” Tanyanya sambil terkekeh, kemudian mengendus pakaiannya sendiri.
Sadar akan bau nggak sedap dari tubuhnya, ia langsung meraih handuk dan bersiap turun, ke kamar mandi yang terletak di lantai paling bawah. “Gua mandi dulu deh” Ucapnya kemudian pergi.
“Dasar…”
Gua lalu duduk di atas ranjang seraya menatap sekeliling kamarnya. Di sudut ruangan terlihat tumpukan pakaian compang-camping dan penuh bekas darah yang dipakainya beberapa hari yang lalu. Gua lantas berinisiatif untuk membereskannya. Berbekal kantong plastik sampah bekas, gua lantas mulai memasukkan pakaian tersebut dan membuangnya nanti sekalian pulang.
Saat tengah beres-beres, gua merasakan ada sosok bayangan berdiri di ambang pintu. Awalnya gua pikir Marshall, tapi kalau Marshall kenapa bayangan tersebut bergeming, diam di sana, kenapa nggak masuk. Gua lantas menoleh dan mendapati sosok seorang cewek berdiri di sana; di ambang pintu yang terbuka.
Sambil mencoba mengingat, gua berdiri dan berjalan mendekat; siapa tau salah satu rekan kerja Marshall sewaktu di kedai. Tapi, ternyata tebakan gua salah, teman wanitanya di kedai nggak punya aura dan kecantikan seperti sosok yang sekarang berdiri tepat di depan gua. Tapi, entah kenapa, gua rasa-rasanya pernah melihat sosoknya yang entah dimana.
Cewek yang berdiri tepat di depan gua saat ini, punya wajah yang natural dengan rambut hitam, panjang dan dibiarkan tergerai. Walaupun mengenakan kacamata hitam, namun gua mampu merasakan ada kesan ‘mata yang indah’ dibaliknya.
Dan cewek itu nggak sendiri, di belakangnya menyusul satu orang cewek lain yang rasa-rasanya wajahnya nggak begitu asing.
“Marshall-nya kemana?” Tanya cewek berkacamata hitam yang berdiri tepat di depan gua.
“Lo siapa?” gua balik bertanya.
Pikiran gua lalu mulai melayang, membuat asumsi-asumsi. ‘Jangan-jangan, cewek ini yang namanya Tata’.
“Kamu siapa?” Ia balas bertanya.
Seketika, teman cewek yang tadi menyusulnya, mendekat dan menyebut namanya; “Ada Ta, Marshall-nya?”
Deg! ‘Bener, ini cewek yang namanya Tata’ Gua membatin dalam hati.
Lantas, sambil pasang ekspresi kesal. Gua mencoba meyakinkan diri ini dengan kembali bertanya; “Elo Tata?”.
“Iya” Jawabnya dengan gaya sok angkuh.
‘Nah, pas banget’ Batin gua dalam hati, kemudian menunduk, meraih ember di lantai, memindahkan gagang pel, mengangkatnya dan menuangkannya tepat diatas kepalanya.
‘Byur!’
Seketika, tubuh cewek itu dari ujung kepala hingga sebagian tubuhnya basah. Disusul suara teriakan dari teman di belakangnya; “Woy, gila lo ya?”
Sementara ada rasa aneh luar biasa yang gua rasakan. Aneh karena, gua merasa cewek yang namanya Tata ini seharusnya bisa dengan mudah menghindar atau mencegah gua menyiram air ke tubuhnya. Tapi, entah kenapa ia hanya terdiam dan mematung.
Bahkan setelah disiram dan tubuhnya basah. Ia masih berada dalam kendali, masih terlihat tenang.
Cewek bernama Tata itu lantas dengan perlahan melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Lalu, menyeka kedua matanya.
Dari tempat gua berdiri, terlihat seperti ada lingkaran hitam dibawah matanya yang indah. Sebuah tanda kalau, ia kurang tidur. Saat ia melepas kacamata dan menyeka wajahnya, juga terlihat bekas luka bakar ringan pada buku jari-jarinya, luka yang mirip seperti terkena bara rokok.
Detik berikutnya, seakan tanpa rasa bersalah, ia menyodorkan tangannya ke arah gua; mengajak berkenalan.
“Namaku Tata…” Ucapnya dengan ekspresi datar.
Gua menyebut nama, tanpa menggubris uluran tangannya; “Poppy”
“Marshall-nya kemana Pop?” Tanya Tata, tetap terlihat tenang.
Baru saja gua akan memberi jawaban. Terdengar suara langkah kaki menaiki tangga besi; Marshall muncul di mulut tangga. Ia menatap ke arah kami bertiga, bertelanjang dada, membuat semua bekas lukanya terlihat jelas. Sementara sebuah handuk melingkar di bahunya dan tangan kanannya menenteng gayung berisi peralatan mandi.
Marshall lalu menghela nafas panjang dan berjalan pelan menuju ke arah kami.
Begitu melihat sosok Marshall, Tata seperti kehilangan ketenangannya. Ekspresi wajahnya berubah dan histeris.
“Sal, kamu gapapa kan?” Tanyanya seraya mendekat ke arah Marshall.
Sementara, Marshall hanya terdiam dan terus berjalan, masuk ke dalam kamar. Layaknya nggak terjadi apa-apa, Marshall masuk, kemudian menuju ke lemari plastik, meraih satu-satunya kaos yang tersisa dan memakainya. Ia lalu berbalik dan menuju ke pintu kamar, memakai sandalnya.
Saat tepat berada di depan Tata, ia menyerahkan handuk yang sebelumnya ia gunakan. Kemudian bicara; “Lo parkir dimana?” Tanya Marshall ke Tata.
“Di kedai kopi” Jawab Tata sambil menunjuk ke arah kedai kopi.
“Ayo gua anter ke mobil” Ucap Marshall dan bersiap menuruni tangga. Sebelum pergi, Marshall sempat menoleh ke gua.
“Lo tunggu sini dulu, ntar gua anterin balik” Ucapnya lirih.
Gua lalu mengangguk.
Setelah mereka bertiga pergi, gua lantas membereskan sisa air yang menggenang dan tentu saja bergegas menyusul mereka. ‘Mana bisa gua diam menunggu di sini, sementara Marshall harus pergi bersama salah satu orang yang bikin dia babak belur kemarin’.
Terlihat Marshall dan Tata berjalan bersisian berdua menuju ke arah Kedai. Sementara, Cewek yang satu lagi sengaja memperlambat langkah, berjalan di belakangnya. Gua mempercepat langkah, melewati cewek di belakang, bersiap menyusul Marshall dan Tata, namun cewek itu dengan cepat meraih tangan gua dan menahannya.
“Jangan, biarin aja…” Ucapnya.
“Ngapain sih Lo” Hardik gua.
Bukannya melepas, cewek itu malah semakin mengencangkan genggamannya. Ia lalu kembali bicara; “Paling nggak kasih lah kesempatan mereka bicara berdua”
Gua menghela nafas, kali ini sudah tak ingin lagi menyusul Marshall. Malah rasa-rasanya ingin sekali gua menggurui cewek di sebelah gua ini.
“Lo tau nggak, terakhir mereka ngobrol berdua, Marshall hampir mati” Ucap gua.
“Iya, gua tau tapi, kali ini please biarin” Ucapnya.
Gua mengangguk, dan memberi mereka kesempatan.
Kami lalu berjalan berdua di belakang Marshall dan Tata. Cewek di sebelah gua ini lalu kembali buka suara.
“Lo inget sama gua nggak?” Tanyanya.
Mendengar pertanyaannya barusan tentu saja bikin gua mengernyitkan dahi; “Emang lo siapa, sampe perlu banget gua inget?”
“Gua pernah ke minimarket tempat lo kerja…”
“Ya banyak kali yang pernah ke minimarket tempat gua kerja”
“Gua yang pernah protes gara-gara snack yang salah harga…” Ucapnya.
Gua menatap ke atas, mencoba mengingat-ingat kejadian yang barusan ia ceritakan.
“Oh… kalian trio macan yang bikin gaduh waktu itu kan?” Ucap gua ketika berhasil mengingatnya.
“Enak aja, itu kan gara-gara elo”
“Woy, itu gara-gara ada orang yang nggak sengaja mindahin produknya” Gua berkelit.
“Ya terus, kita yang salah? Ya kalian lah. Jelas-jelas ada tulisan disana ‘Jika terjadi selisih harga, maka yang dipakai adalah harga termurah’” Ia nggak mau kalah.
“Woy, itu kalo selisih harga dari produk yang sama. Pas kasus elo kan, beda produk, ya harganya juga beda”
“Heh.. waktu itu bukan beda produk ya, cuma beda varian…” Ia terus bicara, kini nadanya semakin meninggi.
“Woy, beda varian juga beda harga… Ngeyel lo” Balas gua seraya memukul pelan kepalanya.
Ia yang nggak terima lantas berusaha balik memukul gua. Namun, gua berhasil menghindar. Akibatnya, perselisihan kami itu membuat obrolan antara Marshall dengan Tata jadi terganggu. Mereka lalu berhenti dan berpaling menatap kami berdua yang masih berusaha saling serang.
Marshall berbalik ke arah gua. Ia lalu memposisikan dirinya di antara kami berdua dan dengan hati-hati menarik gua mundur kebelakang. “Kan gua suru tunggu di kost tadi” Bisiknya ke gua sambil tersenyum.
“Ya abisnya, gua kan khawatir. Ntar kalo lo kenapa-kenapa lagi, gimana?” Tanya gua, juga sambil berbisik.
“Yaudah tunggu sini, diem. Jangan ribut..” Ucapnya, kemudian kembali ke arah Tata yang masih berdiri menunggunya.
Gua lalu duduk di tepi trotoar, bertumpu pada kedua tangan sambil menatap ke arah Marshall dan Tata yang sepertinya masih terlibat obrolan serius. Cewek yang tadi, kemudian duduk di sebelah gua. Tiba-tiba ia menjulurkan tangannya; “Nama gua Ocha” Ucapnya pelan.
“Poppy” Balas gua tanpa berpaling.
Kami berdua lalu duduk bersebelahan sambil menatap ke arah Marshall dan Tata dalam diam.
Setelah hampir kurang lebih 5 menit berikutnya, Marshall sepertinya selesai bicara. Ia berbalik dan pergi menjauh dari Tata. Sementara, Tata hanya mampu terdiam dan memberi tatapan nanar ke Marshall, seperti nggak ikhlas ditinggalkan olehnya.
Marshall berjalan, melewati gua yang masih duduk di tepi trotoar sambil bicara pelan; “Ayo Pop”
Gua lantas berdiri, berpaling sebentar ke Ocha yang juga masih terduduk lalu menyusulnya.
“Gua perlu minta maaf ke cewek itu nggak?” Tanya gua ke Marshall, membuka obrolan.
“Maaf atas apa?” Marshall balik bertanya.
“Karena gua udah nyiram dia” Jawab gua, merujuk ke kejadian dimana tadi gua menyiram Tata dengan air pel.
“Oh, nggak usah…” Marshall menjawab santai.
“Yaudah…”
“Lo laper nggak?” Tanya Marshall begitu gua sudah berada di dekatnya.
“Banget” Gua menjawab sambil mengelus perut.
“Makan nasi sama kecap mau? Nanti gua masak dulu di kostan” Jawabnya sambil tertawa.
“Idih, ogah ah…”
“Gua adanya itu” Jawabnya.
“Mau nasi goreng, Sal” Gua memohon, tentu saja bercanda. Namun, sepertinya tidak buat Marshall. Ia lalu menyuruh gua kembali lebih dulu ke kost, sementara ia membeli nasi goreng.
Yang baru gua sadari setelah tiba di tempat kostnya; ‘Apa iya dia punya uang buat bayar nasi goreng?’
Beberapa waktu berselang, Marshall kembali ke kost. Terlihat ia menenteng sebuah plastik berisi bungkusan nasi goreng; hanya satu bungkus. Nggak menunggu lama, ia lalu duduk di depan gua dan mulai membuka bungkusannya.
“Satu doang? Buat Lo Mana?” Tanya gua, berlagak nggak tau.
Marshall nggak langsung menjawab, ia meraih sendok dan menyerahkannya ke gua.
“Buat lo mana?” Tanya gua lagi.
“Gua udah makan disana tadi…” Jawabnya sambil tersenyum.
Mendengar ucapannya barusan, membuat mata gua perlahan mulai basah. Enggan, Marshall melihat gua menangis, gua memintanya keluar. “Yaudah lo sana di luar, gua mau makan dulu…”
Marshall lalu meraih sisa puntung rokok di asbak, menyulutnya dan keluar kamar. Gua tau kalau ia belum makan, dan saat ini ia pasti kelaparan. Tapi, gua juga nggak mau menguak kebohongannya yang dibuat untuk gua.
Perlahan gua menyendok nasi goreng ke mulut yang kini terasa asin, sangat asin karena bercampur dengan air mata.
Mungkin karena mendengar isak tangis gua yang nggak tertahan, Marshall yang sejak tadi bersandar pada dinding luar kamar menoleh. Melihat gua makan sambil menangis, ia langsung kembali masuk ke dalam.
“Kenapa? Pedes? Gua tadi padahal pesen nggak pedes lho?” Tanyanya, sambil berjongkok di sebelah gua.
Gua menggeleng, kemudian menghentikan makan dan menoleh ke arahnya.
Masih dengan ekspresi wajahnya yang kebingungan, Marshall mengernyitkan dahi, sambil memberi tatapan heran yang entah kenapa masih berhasil mempesona diri ini. Gua meletakkan sendok dan memukul bahunya beberapa kali, menjatuhkan kepala dalam dekapannya, kemudian mulai melepas tangisan yang sejak tadi tertahan.
Walaupun Marshall sepertinya masih bingung dengan sikap gua, ia tetap berusaha menghibur dengan memeluk dan memberi tepukan di bahu.
Gua lalu mendongak, menatap wajahnya.
“Gua tau lo belum makan kan?” Tanya gua, masih sambil sesenggukan.
Marshall nggak menjawab, ia hanya tersenyum. Kemudian menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi.
“Kenapa lo bela-belain beliin gua makan, padahal lo belum makan?” Tanya gua.
“...”
“... Kalo lo emang nggak punya uang, kenapa lo beli ini? Kenapa nggak beli mie instan aja?” Tanya gua lagi.
“Kan lo maunya nasi goreng…” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kalo gua minta lo beliin gua dunia dan isinya, gimana?” Tanya gua lagi.
“Ya walaupun kayaknya mustahil, tapi nanti gua coba… Sementara ini, nasi goreng aja dulu” Jawabnya santai.
---
t.A.T.u. - All About Us
They say
They don't trust
You, me, we, us
So we'll fall
If we must
Cause it's you, me
And it's all about
It's all about
It's all about us (all about us)
It's all about
All about us (all about us)
There's a thing that they can't touch
'Cause ya know (ah ah)
It's all about us (all about us)
It's all about
All about us
all about us
We'll run away if we must
'Cause ya know
It's all about us (It's all about us)
It's all about love (It's all about us)
In you I can trust (It's all about us)
It's all about us
If they hurt you
They hurt me too
So we'll rise up
Won't stop
And it's all about
It's all about
It's all about us
ym15 dan 54 lainnya memberi reputasi
55
Kutip
Balas
Tutup