- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
mmmsemangat2858 dan 153 lainnya memberi reputasi
154
242.8K
Kutip
3.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#421
Part 20 - Gelisah
Spoiler for Part 20 - Gelisah:
“Ada apaan tuh, Zal?” Tanya gua ke Rizal, salah satu rekan karyawan tempat gua bekerja di mini market, seraya mengintip melalui jendela di sebelah mesin kasir.
Terlihat gerombolan orang tengah melintasi jalan sambil berteriak. Namun, dari posisi gua saat ini dan melalui jendela yang penuh dengan tempelan poster promosi, gua nggak bisa dengan jelas melihat. Rizal, yang sebelumnya tengah menata barang di rak, kemudian berdiri dan mengintip melalui pintu kaca.
“Tau dah, paling maling ketangkep kali…” Ucapnya, masih dengan posisi mengintip melalui pintu kaca.
“...”
“... Ada orang digelandang, berdarah-darah…” Tambahnya.
“Ya elah, Lagian masih sore udah maling aja” Gumam gua pelan.
Setelah selesai bekerja, gua meraih ponsel dari dalam loker dan mulai menyalakannya. Terlihat puluhan notifikasi panggilan tak terjawab dari Marshall dan beberapa nomor lain yang nggak gua kenal.
Sambil bersiap untuk pulang, gua mencoba menghubungi Marshall.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suaranya menyapa gua.
“Halo, Pop…”
“Oi, kenapa sal?” Tanya gua penasaran.
“Lo bisa kesini nggak?” Ia balik bertanya. Dari suaranya terdengar kalau ia tengah tidak baik-baik saja. ‘Apa mungkin ia sakit?’ gua membatin.
“Ke tempat kost lo?”
“Bukan, ke rumah Pak RT” Jawab Marshall.
“Hah, Pak RT? Pak RT mana?” Tanya gua, semakin penasaran.
“Pak RT 13…” Jawabnya.
“Ada apaan sih?”
“Nanti gua jelasin disini”
Mendengar dari nada bicara yang nggak seperti biasanya, membuat gua merasa khawatir. Ada apa dengannya, hingga bisa tiba-tiba di rumah Pak RT. Gua langsung bergegas ke rumah Pak RT 13, sesuai dengan permintaan Marshall.
Walau masih berada di lingkungan yang sama, gua jelas nggak tau semua rumah dan alamat para ketua RT disini, ya kecuali RT di tempat gua tinggal. Oleh karenanya, gua langsung menghubungi bokap. Selain untuk meminta nggak di jemput, gua juga sekalian bertanya tentang alamat rumah Pak RT 13.
“Pak, rumah Pak RT 13 dimana sih?” Tanya gua ke Bokap melalui panggilan telepon.
“Hah, Pak Samid?” Bokap balik bertanya.
“Iya kali, tau nggak?” Tanga gua lagi.
“Tau…” Jawab Bokap, kemudian memberi penjelasan melalui patokan-patokan yang sama-sama ketahui.
“Eh, Pop.. Mau ngapain ke rumah Pak Samid?” Tanya Bapak penasaran.
“Nggak tau, Temen Poppy lagi ada di sana…” Gua memberi jawaban.
“Oh.. Yaudah, nanti sekalian salam ya buat Pak Samid”
“Iya…”
Berbekal informasi patokan-patokan yang diberitahukan oleh Bokap, gua langsung menuju ke rumah Pak Samid, si ketua RT 13.
Dari kejauhan terlihat, beberapa orang berkumpul di depan rumah yang gua tebak merupakan rumah Pak RT. Dua orang diantaranya terlihat berpakaian seragam kepolisian, yang tentu saja membuat gua semakin khawatir. Bagaimana tidak, jika ditarik garis lurus, dari suara Marshall yang berbeda saat di telepon tadi, Posisinya yang kini di rumah Pak RT, Marshall yang mantan Napi, dan adanya aparat, membuat gua memunculkan asumsi. Asumsi yang tentu nggak mengenakan.
Gua mempercepat langkah, menyeruak kerumunan di depan rumah dan masuk ke dalam. Terlihat Marshall duduk di salah satu kursi ruang tamu, sambil menengadah ke atas, bagian hitam bola matanya nyaris tak terlihat, sepertinya sebentar lagi ia bakal kehilangan kesadaran.
Tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu, mengabaikan adanya para perangkat warga, tetua dan aparat, gua menerobos, mendekat dan duduk di lantai tepat di sebelah Marshall.
“Sal.. Sal.. Bangun, Sal, ini gua Poppy” Ucap gua sambil menggoyang-goyangkan lengan Marshall yang penuh luka dan darah.
Marshall sadar sesaat, ia tengah berusaha untuk bicara. Namun, terlihat ia sedikit kesulitan. Seperti ada sesuatu yang menghambat di area hidung dan tenggorokannya. Gua berpaling, ke arah para bapak-bapak yang duduk di seberang kami.
“Ini kenapa pak?” Tanya gua.
“Lah, mbak siapa?” Salah satu pria disana balik bertanya.
Sempat terbesit pikiran untuk bilang kalau Marshall adalah saudara gua. Tapi, karena Bokap kenal dengan ketua RT 13; Pak Samid, dan takut nanti dilakukan kroscek, gua akhirnya menjawab kalau Marshall adalah ‘pacar’ gua.
Salah satu pria yang sejak tadi berdiri di ambang pintu maju selangkah, lalu mulai menceritakan kronologis kejadian yang menimpa Marshall.
“Jadi gini mbak, tadi si Mas ini melecehkan perempuan di depan kedai kopi di depan sana. Ya, warga kan jadi marah, jadi emosi, jadilah si mas nya di keroyok…”
Gua berdiri dan menatap tajam ke arah pria tadi.
“Mas ikut mukulin juga?” Tanya gua sambil mengarahkan telunjuk ke arahnya.
Ia terdiam, menunduk dan nggak mampu memberi jawaban.
“... Terus, mana korbannya? Mana korban yang katanya di lecehkan?” Tanya gua lagi, sambil menatap sekeliling.
Mendapat pertanyaan dari gua, semua orang yang berada di dalam ruangan lalu saling memandang, saling tatap satu sama lainnya.
“... Terus, saksi yang ngeliat dia ngelecehin mana? Ada? Buktinya ada?” Tanya gua lagi, masih sambil menatap satu persatu orang yang berada di dalam ruangan.
Si pria yang berdiri dekat dengan pintu lalu kembali angkat bicara, kini nadanya terdengar penuh semangat dan percaya diri. “Tadi ada cowok yang ngaku pacarnya si korban, yang bilang kalo pacarnya di lecehkan sama mas ini…”
“Terus mana orangnya? Mana??” Tanya gua sambil berteriak.
Pria itu kembali terdiam dan menundukkan kepala.
“... Heh, gua juga kemaren negliat lo maling di minimarket tempat gua kerja” Gua bicara, membuat tuduhan palsu kepada pria itu. Ingin membalas perlakuannya.
“Hah, enak aja lu nuduh gua. Nggak, nggak bohong. Lo jangan sembarang nuduh dong. Mana buktinya?” Sanggah si pria itu sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Nah, itu lo minta bukti” Jawab gua singkat. Kemudian kembali ke Marshall, mencoba memeriksa kondisinya. Terlihat banyak luka terbuka akibat goresan benda tajam di sekujur tubuhnya; mulai dari kedua lengan, dada, punggung hingga wajahnya. Nggak hanya itu aja, terlihat beberapa bekas terbakar akibat sundutan rokok di beberapa tempat.
Sementara, kondisi wajahnya juga sudah nggak karuan. Bibirnya pecah di beberapa bagian, bagian atas pelipis mata kirinya bengkak dan membiru, sementara masih ada darah segar yang mengalir melalui dahinya. Terlihat, luka menganga tepat di bagian atas kepalanya, bagian luka yang terus menerus mengeluarkan darah.
Gua meraih baju ganti dari dalam tas dan mengikatnya tepat di bagian luka di kepalanya.
Sambil menahan emosi dan amarah yang hampir meledak gua kembali mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang entah gua tujukan ke siapa.
“... Terus ini, mau di diemin sampe kapan?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah Marshall.
“... Korbannya nggak ada, saksinya nggak ada, buktinya nggak ada, orangnya udah dipukulin sampe kayak gini. Udah gitu malah pada diem aja disini, kalo Marshall kenapa-kenapa, siapa yang mau tanggung jawab?” Tanya gua lagi.
Gua lalu berpaling ke seorang Bapak yang duduk paling dekat dengan kami. Lalu menunjuk ke arahnya dan bertanya; “... Bapak yang mau tanggung jawab?”
Bapak itu hanya terdiam, nggak menjawab.
Gua lalu beralih ke Bapak dengan peci putih dan sorban yang duduk di sebelahnya; “... Bapak yang mau tanggung jawab?”
Sama, bapak itu pun hanya terdiam dan nggak menjawab.
Gua lalu kembali beralih ke dua orang aparat kepolisian yang berdiri di sudut ruangan, dekat dengan pintu dan mengajukan pertanyaan yang sama; “... Bapak yang mau tanggung jawab?”
Kedua bapak aparat itu lalu saling pandang dan menggelengkan kepala, barulah memberi respon; “Lah kok saya?”
“Nah, nggak ada yang mau tanggung jawab kan…”
Gua lantas, kembali lagi ke Marshall, dengan hati-hati menggoyangkan lengannya; “Sal, Sal, Bangun sebentar…”
Susah payah, gua mencoba membantu Marshall berdiri dan mulai memapahnya. Walaupun kurus, tentu saja bukan hal mudah untuk memapah Marshall yang punya perawakan tinggi. Mungkin iba atau hanya sekedar ingin membantu, dua orang aparat kepolisian yang sejak tadi berdiri di sisi ruangan mulai mendekat ke arahku dan mengambil alih untuk memapah Marshall.
Sebelum pergi dan keluar dari ruangan, gua berbalik; “Yang pak RT siapa?” Tanya gua.
Seorang pria yang duduk di ujung ruangan, di sebelah pria bersorban mengangkat tangannya. “Pak, Nama gua Poppy, gua yang bakal tanggung jawab si Marshall” Ucap gua, kemudian menyerahkan fotokopi KTP kepadanya, nggak ketinggalan gua juga menyerahkan salah satu fotokopi KTP milik Marshall yang dulu sempat ia berikan untuk syarat tinggal di kost Bu Marni.
Kedua aparat polisi berjalan di depan gua, sambil memapah Marshall, melewati gang kecil kemudian keluar di jalan raya. Saat tepat berada di sisi mobil patroli, salah seorang aparat menoleh ke arah gua dan bertanya; “Ini mau dibawa ke rumah sakit kan, neng?”
“Klinik 24jam aja pak” Jawab gua sambil mengangguk.
Gua dan Marshall duduk di kursi belakang mobil patroli yang kemudian membawa kami ke Klink 24 jam terdekat. Nggak terasa, mata gua berlinang melihat Marshall dalam kondisi kepayahan seperti ini. Dengan hati-hati, gua kembali menyeka bekas luka di lengannya, Marshall terlihat meringis, memberi tanda kalau ia sudah sepenuhnya sadar.
Marshall menoleh ke arah gua, walaupun sambil menahan perih di bibir dan area wajahnya, ia tersenyum.
“Pop…” Panggilnya Lirih, sangat lirih.
Gua menggeser duduk, agar lebih dekat, kemudian mendekatkan kepala dengan wajahnya, agar ia bisa bicara tanpa harus kesulitan.
“... Kalo laron suka cahaya kenapa mereka nggak keluar pas siang aja?” Tanyanya, seraya mencoba menahan tawa.
Mendengar pertanyaannya barusan, gua sontak memberinya tepukan, lupa kalau kondisinya saat ini sedang penuh dengan luka. Marshall meringis dan berteriak, yang tentu saja membuat dua aparat polisi yang duduk di bangku depan mobil kompak menoleh ke belakang.
Ya walaupun sehari-hari Marshall kerap mengajukan pertanyaan-pertanyaan absurd nan nggak penting, tapi kok rasa-rasanya kesal ya mendengar pertanyaannya di momen seperti ini.
Nggak seberapa lama, kami akhirnya tiba di klinik 24 jam yang masih berada di lingkungan yang sama. Marshall langsung mendapat penanganan di ruang UGD sementara gua langsung menuju ke administrasi untuk mengurus deposit pembayaran.
Gua membayar deposit untuk tindakan perawatan Marshall dengan uang tabungan yang seharusnya untuk membayar uang kuliah. Namun, saat ini, urusan Marshall lebih penting ketimbang bayar kuliah. ‘Ah, duit bisa dicari lagi nanti’ gua membatin dalam hati seraya menyerahkan kartu ATM ke petugas administrasi klinik.
“Ini deposit 1 juta dulu ya kak” Ucap si petugas administrasi.
Gua mengangguk.
Setelah selesai dengan urusan administrasi, gua langsung menyusul Marshall ke ruang UGD, dimana ia tengah mendapat treatment mengeluarkan gumpalan darah di dalam saluran nafasnya dengan menggunakan selang. Kemudian, si Dokter beralih ke luka-luka terbuka di tubuhnya yang membutuhkan jahitan. Terlihat hanya beberapa luka saja yang mendapat treatment jahitan dari si dokter jaga.
“Kok yang ini nggak dijahit dok?” Tanya gua sambil menunjuk ke salah satu luka di bagian lengannya.
Saat dokter ingin memberikan jawaban, Marshall sudah lebih dulu angkat bicara; “Nggak usah, yang gede-gede aja” Ucapnya.
“Ih, nggak, nggak, jahit semua dok” Gua menyanggah ucapan Marshall.
“Nggak usah dok”
“Jahit dok”
Sementara, si dokter dan salah satu perawat yang mendampingi terlihat saling menatap; kebingungan.
Marshall menarik lengan gua, membuat kode agar gua mendekatkan kepala ke wajahnya, sepertinya ingin membisikkan sesuatu.
“Nanti mahal, Pop” Bisiknya.
Gua menghela nafas, kemudian pasang tampang jutek ke Marshall. Dan kembali bicara ke dokter; “Jahit semua dok!” ucap gua.
Setelah selesai dengan urusan jahit menjahit dan pengobatan luka luar lainnya. Si Dokter langsung mengusulkan agar Marshall melakukan CT Scan untuk mengetahui apakah ada luka dalam yang nggak bisa di cek dengan mata telanjang. Sayangnya, di klinik ini fasilitas CT Scan belum tersedia, jadi si Dokter membuat rujukan untuk melakukan pemindaian di tempat atau rumah sakit lain.
Gua dan Marshall duduk di ruang tunggu setelah menyelesaikan semuanya, termasuk urusan administrasi. Kini ia sudah terlihat sedikit lebih baik setelah menerima perawatan, hanya luka lebam membiru yang kini tersisa. Membuatnya mirip seperti petarung MMA yang selesai bertanding dan kalah.
Saat tengah duduk, Marshall lalu merebut kertas berisi bukti pembayaran yang baru saja gua dapatkan dari administrasi. Ia membaca angka-angka di atas lembaran kertas tersebut dan mulai mengernyitkan dahi.
“Mahal amat pop? Pake duit siapa?” Tanyanya.
Gua nggak memberi jawaban, hanya merebut kembali kertas bukti pembayaran dari tangan Marshall dan memasukkannya ke dalam tas.
“Pake duit lo?” Tanyanya lagi.
Gua nggak menjawab.
“Nanti gua ganti ya” Ucapnya.
“Nggak usah” Gua menjawab.
“Mana bisa gitu, duit itu buat bayar kuliah lo kan?” Tanyanya.
“Nggak usah, gapapa, duit bisa di cari lagi nanti, gampang”
Kami lalu berdebat sambil terus lempar-lemparan perkara apakah dia harus mengganti uang gua yang tadi terpakai. Dengan hati-hati, dan sedikit kesulitan Marshall berdiri, mengangkat tangan kanannya dan memberi tepukan lembut tepat di kepala gua. Ia kemudian melangkah tertatih-tatih menuju ke pintu keluar.
Gua berdiri dan mencoba menyusulnya.
Cukup lama kami berdua berjalan menuju ke tempat kost Marshall. Selain karena jalan yang masih ramai, kondisi Marshall juga membuat kami terpaksa harus berjalan secara perlahan. Sambil berjalan Gua terus memaksa Marshall untuk bercerita tentang kejadian yang menyebabkannya jadi seperti sekarang.
Awalnya Marshall menolak untuk bercerita, tetapi setelah menerima tekanan dari gua, ia akhirnya mulai bercerita. Tentang awal mula cewek bernama Tata itu menelponnya mengajak bertemu di kedai, hingga datangnya seorang cowok yang mungkin adalah pacarnya.
“Lagian ngapain lo jawab sih telepon dari dia?” Tanya gua.
Marshall nggak memberi jawaban, hanya melanjutkan ceritanya; “Pas, gua mau balik tau-tau cowok itu nyamperin gua. Nanya-nanya tentang kapan gua bebas dari penjara…”
“Hah, berarti tuh cowok tau dong kalo lo di penjara. Jangan-jangan si Tata itu yang ngasih tau” Gua berasumsi.
Marshall mengangkat kedua bahunya. Kemudian kembali melanjutkan cerita; “Terus gua di donder terus sama cowok itu, dan nggak tau kapan, tiba-tiba udah rame, banyak orang. Cowok itu terus bilang kalo gua ngelecehin pacarnya, dan ya beginilah hasilnya…”
Gua menggeram sambil mengepalkan tangan begitu mendengar cerita darinya.
“Sialan juga tuh orang, awas aja ntar kalo ketemu” Gua menggumam pelan.
Setibanya di kamar kos, Marshall langsung membuka lemari plastik tempatnya menyimpan pakaian. Dari tumpukan pakaiannya yang cuma sedikit, ia mengambil sebuah amplop berwarna putih, kemudian mengeluarkan semua isinya; lembaran uang dengan pecahan beragam dan menyerahkannya ke gua.
“Apa nih?” Tanya gua sambil menatap ke arah Marshall yang memaksa menerima uang itu darinya.
“Please, Pop” Ucapnya sambil pasang tampang memohon.
Mau nggak mau, gua menerimanya. Kemudian duduk dan mulai menghitung uang tersebut; 800 ribu. Gua tau, sangat tau, kalau uang ini merupakan uang gaji Marshall yang sengaja ia sisihkan untuk memperbaiki kondisi ekonominya, untuk membiayai hidupnya. Mana mungkin gua tega mengambil semuanya.
“Sal, ini kan duit tabungan lo…” Ucap gua seraya bersiap mengembalikan setengah uangnya.
“Iya, besok gua cariin sisanya. Sementara, pegang aja dulu”
“Nggak ah, ntar lo nggak megang duit sama sekali” Ucap gua, kemudian mengembalikan 400 ribu kepadanya.
Marshall menolak dan mengembalikannya ke gua; “Ambil Pop”
Akhirnya, terpaksa menerima uang tersebut; “Tapi, ntar kalo lo butuh apa-apa, bilang gua ya”
Marshall menggelengkan kepalanya, kemudian menatap gua dalam-dalam dan bicara lirih; “Gua nggak butuh duit Pop. Ada lo disini aja, ada lo hadir setiap gua sendirian, tiap gua kesulitan aja, buat gua udah cukup”
“Ah Gombal” Balasku seraya menepuk tangannya yang masih terbalut perban.
“Aw..” Marshall meringis.
Besoknya, setelah selesai bekerja, gua menyempatkan diri mampir ke tempat kost Marshall dan mendapati seorang pria necis baru saja keluar dari kamarnya.
“Siapa?” Tanya gua, sambil melepas sepatu dan masuk ke dalam kamarnya.
“Bos gua” Jawab Marshall.
“Oh, Ngapain? Jenguk?” Tanya gua lagi.
Marshall mengangguk pelan. Namun, terlihat ada sesuatu yang ia sembunyikan. Menyadari hal tersebut, gua bertanya lagi; “Jenguk doang? Nggak ada yang lain?”
Marshall menatap gua dan tersenyum.
“Ada..” Jawabnya.
“Apa?”
“Gua disuruh berhenti kerja” Marshall bicara.
“Hah? Kok bisa” Tanya gua lagi.
Marshall lalu menjelaskan alasan kenapa Bosnya memberhentikannya bekerja. Rupanya, kejadian kemarin cukup memberi dampak ke kedai tempatnya bekerja. Nggak mau, kedai dan karyawan yang bekerja disana ikut kena dampaknya, mau nggak mau si Bos memberhentikan Marshall sementara. Paling nggak sampai, kasus ini mereda dan nantinya Marshall bakal ditempatkan di cabang lainnya.
Mendengar ceritanya, emosi gua langsung memuncak. Bukan, bukan karena si Bos kedai yang tiba-tiba memberhentikannya. Tapi marah ke si Cewek bernama Tata dan pacarnya yang menyebabkan semua ini. ‘Apa nggak puas dia udah pernah menghancurkan hidupnya sekali?’ gua membatin di dalam hati.
“Berarti kayaknya, gua bakal butuh waktu sedikit lebih lama buat ganti kekurangan duit lo, Pop” Ucap Marshall sambil tersenyum.
‘Hah, kok bisa-bisanya dia tersenyum di tengah kondisinya yang seperti sekarang ini. Tubuh penuh luka, nggak punya uang dan pekerjaan’ Batin gua.
“Terus gimana, Sal?” Tanya gua lagi, merujuk ke hidupnya ke depan.
“Halah, gampang ntar.. Yang penting nyari buat ganti duit lo dulu” Ucapnya.
“Ah, elo mah, ngapain masih mikirin itu sih”
—
Terlihat gerombolan orang tengah melintasi jalan sambil berteriak. Namun, dari posisi gua saat ini dan melalui jendela yang penuh dengan tempelan poster promosi, gua nggak bisa dengan jelas melihat. Rizal, yang sebelumnya tengah menata barang di rak, kemudian berdiri dan mengintip melalui pintu kaca.
“Tau dah, paling maling ketangkep kali…” Ucapnya, masih dengan posisi mengintip melalui pintu kaca.
“...”
“... Ada orang digelandang, berdarah-darah…” Tambahnya.
“Ya elah, Lagian masih sore udah maling aja” Gumam gua pelan.
Setelah selesai bekerja, gua meraih ponsel dari dalam loker dan mulai menyalakannya. Terlihat puluhan notifikasi panggilan tak terjawab dari Marshall dan beberapa nomor lain yang nggak gua kenal.
Sambil bersiap untuk pulang, gua mencoba menghubungi Marshall.
Nada sambung terdengar beberapa kali, hingga akhirnya suaranya menyapa gua.
“Halo, Pop…”
“Oi, kenapa sal?” Tanya gua penasaran.
“Lo bisa kesini nggak?” Ia balik bertanya. Dari suaranya terdengar kalau ia tengah tidak baik-baik saja. ‘Apa mungkin ia sakit?’ gua membatin.
“Ke tempat kost lo?”
“Bukan, ke rumah Pak RT” Jawab Marshall.
“Hah, Pak RT? Pak RT mana?” Tanya gua, semakin penasaran.
“Pak RT 13…” Jawabnya.
“Ada apaan sih?”
“Nanti gua jelasin disini”
Mendengar dari nada bicara yang nggak seperti biasanya, membuat gua merasa khawatir. Ada apa dengannya, hingga bisa tiba-tiba di rumah Pak RT. Gua langsung bergegas ke rumah Pak RT 13, sesuai dengan permintaan Marshall.
Walau masih berada di lingkungan yang sama, gua jelas nggak tau semua rumah dan alamat para ketua RT disini, ya kecuali RT di tempat gua tinggal. Oleh karenanya, gua langsung menghubungi bokap. Selain untuk meminta nggak di jemput, gua juga sekalian bertanya tentang alamat rumah Pak RT 13.
“Pak, rumah Pak RT 13 dimana sih?” Tanya gua ke Bokap melalui panggilan telepon.
“Hah, Pak Samid?” Bokap balik bertanya.
“Iya kali, tau nggak?” Tanga gua lagi.
“Tau…” Jawab Bokap, kemudian memberi penjelasan melalui patokan-patokan yang sama-sama ketahui.
“Eh, Pop.. Mau ngapain ke rumah Pak Samid?” Tanya Bapak penasaran.
“Nggak tau, Temen Poppy lagi ada di sana…” Gua memberi jawaban.
“Oh.. Yaudah, nanti sekalian salam ya buat Pak Samid”
“Iya…”
Berbekal informasi patokan-patokan yang diberitahukan oleh Bokap, gua langsung menuju ke rumah Pak Samid, si ketua RT 13.
Dari kejauhan terlihat, beberapa orang berkumpul di depan rumah yang gua tebak merupakan rumah Pak RT. Dua orang diantaranya terlihat berpakaian seragam kepolisian, yang tentu saja membuat gua semakin khawatir. Bagaimana tidak, jika ditarik garis lurus, dari suara Marshall yang berbeda saat di telepon tadi, Posisinya yang kini di rumah Pak RT, Marshall yang mantan Napi, dan adanya aparat, membuat gua memunculkan asumsi. Asumsi yang tentu nggak mengenakan.
Gua mempercepat langkah, menyeruak kerumunan di depan rumah dan masuk ke dalam. Terlihat Marshall duduk di salah satu kursi ruang tamu, sambil menengadah ke atas, bagian hitam bola matanya nyaris tak terlihat, sepertinya sebentar lagi ia bakal kehilangan kesadaran.
Tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu, mengabaikan adanya para perangkat warga, tetua dan aparat, gua menerobos, mendekat dan duduk di lantai tepat di sebelah Marshall.
“Sal.. Sal.. Bangun, Sal, ini gua Poppy” Ucap gua sambil menggoyang-goyangkan lengan Marshall yang penuh luka dan darah.
Marshall sadar sesaat, ia tengah berusaha untuk bicara. Namun, terlihat ia sedikit kesulitan. Seperti ada sesuatu yang menghambat di area hidung dan tenggorokannya. Gua berpaling, ke arah para bapak-bapak yang duduk di seberang kami.
“Ini kenapa pak?” Tanya gua.
“Lah, mbak siapa?” Salah satu pria disana balik bertanya.
Sempat terbesit pikiran untuk bilang kalau Marshall adalah saudara gua. Tapi, karena Bokap kenal dengan ketua RT 13; Pak Samid, dan takut nanti dilakukan kroscek, gua akhirnya menjawab kalau Marshall adalah ‘pacar’ gua.
Salah satu pria yang sejak tadi berdiri di ambang pintu maju selangkah, lalu mulai menceritakan kronologis kejadian yang menimpa Marshall.
“Jadi gini mbak, tadi si Mas ini melecehkan perempuan di depan kedai kopi di depan sana. Ya, warga kan jadi marah, jadi emosi, jadilah si mas nya di keroyok…”
Gua berdiri dan menatap tajam ke arah pria tadi.
“Mas ikut mukulin juga?” Tanya gua sambil mengarahkan telunjuk ke arahnya.
Ia terdiam, menunduk dan nggak mampu memberi jawaban.
“... Terus, mana korbannya? Mana korban yang katanya di lecehkan?” Tanya gua lagi, sambil menatap sekeliling.
Mendapat pertanyaan dari gua, semua orang yang berada di dalam ruangan lalu saling memandang, saling tatap satu sama lainnya.
“... Terus, saksi yang ngeliat dia ngelecehin mana? Ada? Buktinya ada?” Tanya gua lagi, masih sambil menatap satu persatu orang yang berada di dalam ruangan.
Si pria yang berdiri dekat dengan pintu lalu kembali angkat bicara, kini nadanya terdengar penuh semangat dan percaya diri. “Tadi ada cowok yang ngaku pacarnya si korban, yang bilang kalo pacarnya di lecehkan sama mas ini…”
“Terus mana orangnya? Mana??” Tanya gua sambil berteriak.
Pria itu kembali terdiam dan menundukkan kepala.
“... Heh, gua juga kemaren negliat lo maling di minimarket tempat gua kerja” Gua bicara, membuat tuduhan palsu kepada pria itu. Ingin membalas perlakuannya.
“Hah, enak aja lu nuduh gua. Nggak, nggak bohong. Lo jangan sembarang nuduh dong. Mana buktinya?” Sanggah si pria itu sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Nah, itu lo minta bukti” Jawab gua singkat. Kemudian kembali ke Marshall, mencoba memeriksa kondisinya. Terlihat banyak luka terbuka akibat goresan benda tajam di sekujur tubuhnya; mulai dari kedua lengan, dada, punggung hingga wajahnya. Nggak hanya itu aja, terlihat beberapa bekas terbakar akibat sundutan rokok di beberapa tempat.
Sementara, kondisi wajahnya juga sudah nggak karuan. Bibirnya pecah di beberapa bagian, bagian atas pelipis mata kirinya bengkak dan membiru, sementara masih ada darah segar yang mengalir melalui dahinya. Terlihat, luka menganga tepat di bagian atas kepalanya, bagian luka yang terus menerus mengeluarkan darah.
Gua meraih baju ganti dari dalam tas dan mengikatnya tepat di bagian luka di kepalanya.
Sambil menahan emosi dan amarah yang hampir meledak gua kembali mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang entah gua tujukan ke siapa.
“... Terus ini, mau di diemin sampe kapan?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah Marshall.
“... Korbannya nggak ada, saksinya nggak ada, buktinya nggak ada, orangnya udah dipukulin sampe kayak gini. Udah gitu malah pada diem aja disini, kalo Marshall kenapa-kenapa, siapa yang mau tanggung jawab?” Tanya gua lagi.
Gua lalu berpaling ke seorang Bapak yang duduk paling dekat dengan kami. Lalu menunjuk ke arahnya dan bertanya; “... Bapak yang mau tanggung jawab?”
Bapak itu hanya terdiam, nggak menjawab.
Gua lalu beralih ke Bapak dengan peci putih dan sorban yang duduk di sebelahnya; “... Bapak yang mau tanggung jawab?”
Sama, bapak itu pun hanya terdiam dan nggak menjawab.
Gua lalu kembali beralih ke dua orang aparat kepolisian yang berdiri di sudut ruangan, dekat dengan pintu dan mengajukan pertanyaan yang sama; “... Bapak yang mau tanggung jawab?”
Kedua bapak aparat itu lalu saling pandang dan menggelengkan kepala, barulah memberi respon; “Lah kok saya?”
“Nah, nggak ada yang mau tanggung jawab kan…”
Gua lantas, kembali lagi ke Marshall, dengan hati-hati menggoyangkan lengannya; “Sal, Sal, Bangun sebentar…”
Susah payah, gua mencoba membantu Marshall berdiri dan mulai memapahnya. Walaupun kurus, tentu saja bukan hal mudah untuk memapah Marshall yang punya perawakan tinggi. Mungkin iba atau hanya sekedar ingin membantu, dua orang aparat kepolisian yang sejak tadi berdiri di sisi ruangan mulai mendekat ke arahku dan mengambil alih untuk memapah Marshall.
Sebelum pergi dan keluar dari ruangan, gua berbalik; “Yang pak RT siapa?” Tanya gua.
Seorang pria yang duduk di ujung ruangan, di sebelah pria bersorban mengangkat tangannya. “Pak, Nama gua Poppy, gua yang bakal tanggung jawab si Marshall” Ucap gua, kemudian menyerahkan fotokopi KTP kepadanya, nggak ketinggalan gua juga menyerahkan salah satu fotokopi KTP milik Marshall yang dulu sempat ia berikan untuk syarat tinggal di kost Bu Marni.
Kedua aparat polisi berjalan di depan gua, sambil memapah Marshall, melewati gang kecil kemudian keluar di jalan raya. Saat tepat berada di sisi mobil patroli, salah seorang aparat menoleh ke arah gua dan bertanya; “Ini mau dibawa ke rumah sakit kan, neng?”
“Klinik 24jam aja pak” Jawab gua sambil mengangguk.
Gua dan Marshall duduk di kursi belakang mobil patroli yang kemudian membawa kami ke Klink 24 jam terdekat. Nggak terasa, mata gua berlinang melihat Marshall dalam kondisi kepayahan seperti ini. Dengan hati-hati, gua kembali menyeka bekas luka di lengannya, Marshall terlihat meringis, memberi tanda kalau ia sudah sepenuhnya sadar.
Marshall menoleh ke arah gua, walaupun sambil menahan perih di bibir dan area wajahnya, ia tersenyum.
“Pop…” Panggilnya Lirih, sangat lirih.
Gua menggeser duduk, agar lebih dekat, kemudian mendekatkan kepala dengan wajahnya, agar ia bisa bicara tanpa harus kesulitan.
“... Kalo laron suka cahaya kenapa mereka nggak keluar pas siang aja?” Tanyanya, seraya mencoba menahan tawa.
Mendengar pertanyaannya barusan, gua sontak memberinya tepukan, lupa kalau kondisinya saat ini sedang penuh dengan luka. Marshall meringis dan berteriak, yang tentu saja membuat dua aparat polisi yang duduk di bangku depan mobil kompak menoleh ke belakang.
Ya walaupun sehari-hari Marshall kerap mengajukan pertanyaan-pertanyaan absurd nan nggak penting, tapi kok rasa-rasanya kesal ya mendengar pertanyaannya di momen seperti ini.
Nggak seberapa lama, kami akhirnya tiba di klinik 24 jam yang masih berada di lingkungan yang sama. Marshall langsung mendapat penanganan di ruang UGD sementara gua langsung menuju ke administrasi untuk mengurus deposit pembayaran.
Gua membayar deposit untuk tindakan perawatan Marshall dengan uang tabungan yang seharusnya untuk membayar uang kuliah. Namun, saat ini, urusan Marshall lebih penting ketimbang bayar kuliah. ‘Ah, duit bisa dicari lagi nanti’ gua membatin dalam hati seraya menyerahkan kartu ATM ke petugas administrasi klinik.
“Ini deposit 1 juta dulu ya kak” Ucap si petugas administrasi.
Gua mengangguk.
Setelah selesai dengan urusan administrasi, gua langsung menyusul Marshall ke ruang UGD, dimana ia tengah mendapat treatment mengeluarkan gumpalan darah di dalam saluran nafasnya dengan menggunakan selang. Kemudian, si Dokter beralih ke luka-luka terbuka di tubuhnya yang membutuhkan jahitan. Terlihat hanya beberapa luka saja yang mendapat treatment jahitan dari si dokter jaga.
“Kok yang ini nggak dijahit dok?” Tanya gua sambil menunjuk ke salah satu luka di bagian lengannya.
Saat dokter ingin memberikan jawaban, Marshall sudah lebih dulu angkat bicara; “Nggak usah, yang gede-gede aja” Ucapnya.
“Ih, nggak, nggak, jahit semua dok” Gua menyanggah ucapan Marshall.
“Nggak usah dok”
“Jahit dok”
Sementara, si dokter dan salah satu perawat yang mendampingi terlihat saling menatap; kebingungan.
Marshall menarik lengan gua, membuat kode agar gua mendekatkan kepala ke wajahnya, sepertinya ingin membisikkan sesuatu.
“Nanti mahal, Pop” Bisiknya.
Gua menghela nafas, kemudian pasang tampang jutek ke Marshall. Dan kembali bicara ke dokter; “Jahit semua dok!” ucap gua.
Setelah selesai dengan urusan jahit menjahit dan pengobatan luka luar lainnya. Si Dokter langsung mengusulkan agar Marshall melakukan CT Scan untuk mengetahui apakah ada luka dalam yang nggak bisa di cek dengan mata telanjang. Sayangnya, di klinik ini fasilitas CT Scan belum tersedia, jadi si Dokter membuat rujukan untuk melakukan pemindaian di tempat atau rumah sakit lain.
Gua dan Marshall duduk di ruang tunggu setelah menyelesaikan semuanya, termasuk urusan administrasi. Kini ia sudah terlihat sedikit lebih baik setelah menerima perawatan, hanya luka lebam membiru yang kini tersisa. Membuatnya mirip seperti petarung MMA yang selesai bertanding dan kalah.
Saat tengah duduk, Marshall lalu merebut kertas berisi bukti pembayaran yang baru saja gua dapatkan dari administrasi. Ia membaca angka-angka di atas lembaran kertas tersebut dan mulai mengernyitkan dahi.
“Mahal amat pop? Pake duit siapa?” Tanyanya.
Gua nggak memberi jawaban, hanya merebut kembali kertas bukti pembayaran dari tangan Marshall dan memasukkannya ke dalam tas.
“Pake duit lo?” Tanyanya lagi.
Gua nggak menjawab.
“Nanti gua ganti ya” Ucapnya.
“Nggak usah” Gua menjawab.
“Mana bisa gitu, duit itu buat bayar kuliah lo kan?” Tanyanya.
“Nggak usah, gapapa, duit bisa di cari lagi nanti, gampang”
Kami lalu berdebat sambil terus lempar-lemparan perkara apakah dia harus mengganti uang gua yang tadi terpakai. Dengan hati-hati, dan sedikit kesulitan Marshall berdiri, mengangkat tangan kanannya dan memberi tepukan lembut tepat di kepala gua. Ia kemudian melangkah tertatih-tatih menuju ke pintu keluar.
Gua berdiri dan mencoba menyusulnya.
Cukup lama kami berdua berjalan menuju ke tempat kost Marshall. Selain karena jalan yang masih ramai, kondisi Marshall juga membuat kami terpaksa harus berjalan secara perlahan. Sambil berjalan Gua terus memaksa Marshall untuk bercerita tentang kejadian yang menyebabkannya jadi seperti sekarang.
Awalnya Marshall menolak untuk bercerita, tetapi setelah menerima tekanan dari gua, ia akhirnya mulai bercerita. Tentang awal mula cewek bernama Tata itu menelponnya mengajak bertemu di kedai, hingga datangnya seorang cowok yang mungkin adalah pacarnya.
“Lagian ngapain lo jawab sih telepon dari dia?” Tanya gua.
Marshall nggak memberi jawaban, hanya melanjutkan ceritanya; “Pas, gua mau balik tau-tau cowok itu nyamperin gua. Nanya-nanya tentang kapan gua bebas dari penjara…”
“Hah, berarti tuh cowok tau dong kalo lo di penjara. Jangan-jangan si Tata itu yang ngasih tau” Gua berasumsi.
Marshall mengangkat kedua bahunya. Kemudian kembali melanjutkan cerita; “Terus gua di donder terus sama cowok itu, dan nggak tau kapan, tiba-tiba udah rame, banyak orang. Cowok itu terus bilang kalo gua ngelecehin pacarnya, dan ya beginilah hasilnya…”
Gua menggeram sambil mengepalkan tangan begitu mendengar cerita darinya.
“Sialan juga tuh orang, awas aja ntar kalo ketemu” Gua menggumam pelan.
Setibanya di kamar kos, Marshall langsung membuka lemari plastik tempatnya menyimpan pakaian. Dari tumpukan pakaiannya yang cuma sedikit, ia mengambil sebuah amplop berwarna putih, kemudian mengeluarkan semua isinya; lembaran uang dengan pecahan beragam dan menyerahkannya ke gua.
“Apa nih?” Tanya gua sambil menatap ke arah Marshall yang memaksa menerima uang itu darinya.
“Please, Pop” Ucapnya sambil pasang tampang memohon.
Mau nggak mau, gua menerimanya. Kemudian duduk dan mulai menghitung uang tersebut; 800 ribu. Gua tau, sangat tau, kalau uang ini merupakan uang gaji Marshall yang sengaja ia sisihkan untuk memperbaiki kondisi ekonominya, untuk membiayai hidupnya. Mana mungkin gua tega mengambil semuanya.
“Sal, ini kan duit tabungan lo…” Ucap gua seraya bersiap mengembalikan setengah uangnya.
“Iya, besok gua cariin sisanya. Sementara, pegang aja dulu”
“Nggak ah, ntar lo nggak megang duit sama sekali” Ucap gua, kemudian mengembalikan 400 ribu kepadanya.
Marshall menolak dan mengembalikannya ke gua; “Ambil Pop”
Akhirnya, terpaksa menerima uang tersebut; “Tapi, ntar kalo lo butuh apa-apa, bilang gua ya”
Marshall menggelengkan kepalanya, kemudian menatap gua dalam-dalam dan bicara lirih; “Gua nggak butuh duit Pop. Ada lo disini aja, ada lo hadir setiap gua sendirian, tiap gua kesulitan aja, buat gua udah cukup”
“Ah Gombal” Balasku seraya menepuk tangannya yang masih terbalut perban.
“Aw..” Marshall meringis.
Besoknya, setelah selesai bekerja, gua menyempatkan diri mampir ke tempat kost Marshall dan mendapati seorang pria necis baru saja keluar dari kamarnya.
“Siapa?” Tanya gua, sambil melepas sepatu dan masuk ke dalam kamarnya.
“Bos gua” Jawab Marshall.
“Oh, Ngapain? Jenguk?” Tanya gua lagi.
Marshall mengangguk pelan. Namun, terlihat ada sesuatu yang ia sembunyikan. Menyadari hal tersebut, gua bertanya lagi; “Jenguk doang? Nggak ada yang lain?”
Marshall menatap gua dan tersenyum.
“Ada..” Jawabnya.
“Apa?”
“Gua disuruh berhenti kerja” Marshall bicara.
“Hah? Kok bisa” Tanya gua lagi.
Marshall lalu menjelaskan alasan kenapa Bosnya memberhentikannya bekerja. Rupanya, kejadian kemarin cukup memberi dampak ke kedai tempatnya bekerja. Nggak mau, kedai dan karyawan yang bekerja disana ikut kena dampaknya, mau nggak mau si Bos memberhentikan Marshall sementara. Paling nggak sampai, kasus ini mereda dan nantinya Marshall bakal ditempatkan di cabang lainnya.
Mendengar ceritanya, emosi gua langsung memuncak. Bukan, bukan karena si Bos kedai yang tiba-tiba memberhentikannya. Tapi marah ke si Cewek bernama Tata dan pacarnya yang menyebabkan semua ini. ‘Apa nggak puas dia udah pernah menghancurkan hidupnya sekali?’ gua membatin di dalam hati.
“Berarti kayaknya, gua bakal butuh waktu sedikit lebih lama buat ganti kekurangan duit lo, Pop” Ucap Marshall sambil tersenyum.
‘Hah, kok bisa-bisanya dia tersenyum di tengah kondisinya yang seperti sekarang ini. Tubuh penuh luka, nggak punya uang dan pekerjaan’ Batin gua.
“Terus gimana, Sal?” Tanya gua lagi, merujuk ke hidupnya ke depan.
“Halah, gampang ntar.. Yang penting nyari buat ganti duit lo dulu” Ucapnya.
“Ah, elo mah, ngapain masih mikirin itu sih”
—
Penny Tai - 你要的愛 The Love You Want
ym15 dan 49 lainnya memberi reputasi
50
Kutip
Balas
Tutup