- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![mmmsemangat2858](https://s.kaskus.id/user/avatar/2024/06/23/avatar11656733_1.gif)
![maniacok99](https://s.kaskus.id/user/avatar/2022/08/07/avatar11272226_14.gif)
maniacok99 dan 154 lainnya memberi reputasi
155
247.3K
Kutip
3.8K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.7KThread•43.1KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#346
Part 17 - Sekat Hati
Spoiler for Part 17 - Sekat Hati:
Masih segar di ingatanku kala itu; hampir dua tahun setelah ‘kejadian’ di gudang olahraga.
Terdengar suara ketukan di pintu kamar yang disusul suara lembut bunda memanggil namaku; “Ta, sayang…”
“Ya…” Aku menjawab lirih, tanpa mengalihkan pandanganku dari buku yang tengah kubaca.
“Bunda masuk ya sayang?” Tanya Bunda meminta izinku untuk masuk ke dalam kamar.
“Iya…” Jawabku lagi, masih tanpa berpaling dari buku.
Bunda mendorong pintu dengan perlahan, ia mengintip, menyembulkan kepalanya sambil tersenyum dan kembali bertanya; kini sambil berbisik; “Lagi belajar ya sayang?”
Aku menoleh dan menatap ke arahnya, kemudian menggeleng.
Bunda lalu melangkah masuk, memposisikan dirinya tepat di belakang tempat ku duduk di kursi meja belajar. Kedua tangannya yang lembut diletakkan di kedua bahuku, memberikan pijatan pelan yang membuat nyaman.
“Lagi baca apa?” Tanyanya.
Aku membalik sampul buku dan memperlihatkannya ke Bunda. Sebuah buku bersampul merah dan hitam dengan gambar sebuah timbangan dan palu yang berjudul; Dasar-dasar Hukum Pidana.
Bunda tersenyum sebentar, kemudian meraih buku tersebut, menutupnya dan meletakkannya di atas meja. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya, memberiku sebuah pelukan dari belakang.
“Kamu masih mau ketemu sama orang tuanya Marshall?” Tanya Bunda, kini walaupun sambil berbisik, suaranya terdengar sangat jelas, karena saat ini wajahnya berada tepat di sebelah telingaku.
Mendengar pertanyaanya barusan, sontak aku mengangguk.
“Bunda udah dapet alamatnya” Tambah Bunda.
“...”
“... Tapi, Besok kita kesana sama-sama ya” Bunda menambahkan.
Ia perlahan melepas pelukannya, mundur beberapa langkah lalu duduk di tepi ranjang. Aku menatap bunda yang masih menyunggingkan senyum melalui pantulan cermin yang berada di hadapanku. Aku lalu berbalik dan menatapnya secara langsung.
Bunda meraih kedua tanganku dan mulai menggenggamnya.
“Tapi, ini yang terakhir ya, sayang” Tambahnya.
Aku mengangguk pelan.
Berbekal alamat yang tertulis pada sebuah lembaran kertas yang terlipat, Bunda membawaku menuju ke tempat tinggal Orang Tua Marshall. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ayah. Bunda sengaja berbohong dengan mengatakan kalau akan mengantarku berbelanja pakaian.
Setelah hampir satu jam, kami akhirnya tiba. Bunda menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah besar, bercat cream dengan pagar besi tinggi di bagian depannya.
“Yakin, kamu nggak mau ditemenin?” Tanya Bunda seraya menatap dan menyentuh pipiku dengan lembut. Sementara di matanya terlihat ada kekhawatiran yang luar biasa.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya, ingin memberi kesan kalau tak ada yang perlu di khawatirkan. Kemudian membuka pintu mobil, turun dan melangkah menuju ke pintu pagar.
Sebelum menekan tombol bel yang berada di ujung kanan atas pagar, aku menghela nafas panjang, berharap nggak bakal terjadi apa-apa. Setelah menekan bel beberapa kali, aku berdiri menunggu dan memainkan ujung jari. Sesekali, aku menoleh, menatap ke arah Bunda yang kini duduk, menunggu di dalam mobil.
Nggak seberapa lama terdengar langkah kaki mendekat, langkah yang terdengar terburu-buru. Disusul suara denting besi yang saling bertemu, pagar lalu menggeser, terbuka. Seorang perempuan muda dengan pakaian sederhana yang terbalut celemek terlihat. Ia menatapku dari atas ke bawah kemudian bertanya; “Cari siapa?”
“Bener ini rumahnya Bu Karmila?” Aku balik bertanya.
“Bener, kalo boleh tau dari mana?” Perempuan itu kembali bertanya.
“Aku Tata, kalo boleh mau ketemu sama Bu Karmila” Jawabku.
“Oh, tunggu sebentar ya” Perempuan itu, lalu berbalik, berjalan cepat kembali masuk ke dalam rumah.
Dan setelah beberapa menit menunggu, perempuan itu kembali. Ia membuka lebar pagar agar aku bisa masuk. Kemudian membimbingku melewati carport, menuju ke halaman rumput yang luas dengan batu-batu pijakan yang berakhir di sebuah serambi. Perempuan itu lalu membuka pintu dan membawaku masuk ke dalam rumah.
Ruang tamu besar dengan satu set sofa kulit dan meja kaca besar menyambutku. Sebuah lampu dari kristal tergantung di atap yang sangat tinggi dengan jendela-jendela besar mengelilingi dinding bagian atas, membuat kesan mewah yang nggak berlebihan. Sementara, hampir di setiap sudut ruangan terdapat pot-pot dengan tumbuhan yang sepertinya asli; bukan tanaman hias palsu.
“Silahkan duduk, Mbak” Perempuan itu mempersilahkan aku untuk duduk sambil menunjuk ke arah salah satu sofa kulit dengan ibu jarinya. Setelahnya, ia nggak langsung pergi melainkan menunggu hingga aku duduk lalu mengajukan pertanyaan; “Mau minum apa, Mbak?”
“Nggak usah mbak, Terima Kasih” Jawabku sambil menggeleng.
Perempuan itu lalu pergi.
Aku menatap sekeliling, melihat dinding ruangan dimana banyak terdapat foto-foto. Salah satu foto yang menarik perhatianku adalah, foto keluarga dengan frame hitam yang sepertinya terbuat dari kayu, foto yang berukuran paling besar daripada yang lain, foto yang paling menarik perhatian. Pada foto tersebut, terlihat Marshall tengah berdiri sambil tersenyum dibelakang kedua orang tuanya yang duduk di bagian depan. Di foto itu, Mereka tampak layaknya keluarga yang bahagia dengan senyum yang lepas dan natural.
Aku menunggu sambil memainkan ujung kuku, sementara kakiku sesekali bergoyang; gugup karena akan berhadapan dengan ibunya Marshall. Ibu dari orang yang kuhancurkan hidupnya.
Terdengar suara langkah kaki yang menggema, suaranya berasal dari ujung anak tangga di lantai dua. Perlahan, sosok perempuan cantik berusia setengah baya terlihat berjalan cepat menuruni anak tangga. Perempuan dengan rambut panjang yang diikat kebelakang dan kemeja bermotif garis-garis kecil dengan rok span hitam itu lalu mendekat sambil menatapku tajam. Sekilas terlihat, banyak kemiripan antara Marshall dengannya, mulai dari bentuk hidungnya, matanya hingga bibirnya.
Aku berdiri sambil menundukkan kepala, nggak berani membalas tatapannya.
“Mbak Tata” Tanyanya dengan suara yang datar dan tanpa penekanan. Sehingga, aku nggak mampu membedakan intonasinya; pertanyaan atau pernyataan.
Perlahan aku mendongak dan mulai memberanikan diri menatapnya. Kini terlihat, matanya mulai berlinang, namun tetap memberi tatapan yang ‘mengancam’. Ia lalu memberikan kode dengan tangannya; mempersilahkan aku untuk kembali duduk.
“Kenapa?” Ia langsung bertanya begitu aku duduk. Kali ini ucapan dan intonasinya terdengar tepat.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba menerka dari pertanyaannya barusan; ‘Apanya yang kenapa? Ah mungkin maksudnya adalah kenapa aku datang’ Batinku dalam hati.
“Aku kesini mau minta maaf, Tan…”
Ia lalu menggeleng.
“Saya nggak peduli sama maaf kamu, lho mbak” Balasnya.
“...”
“... Memangnya maaf kamu bisa bebasin Marshall?” Tambahnya.
Aku menggeleng.
Kami lalu sama-sama terdiam.
Nggak seberapa lama, ia berdehem sebentar, lalu mengubah posisi duduknya. Kemudian kembali bicara; “Mbak Tata…”
“...”
“... Kamu selama ini kemana aja?” Tanyanya.
“...”
“... Kenapa? Kenapa kamu nggak ngasih keterangan waktu sidang?” Tanyanya.
Aku nggak menjawab, hanya terdiam.
Ia lalu kembali bertanya; “Waktu di kantor polisi juga kamu nggak ada dan nggak ngasih keterangan apapun”
“...”
“... Sebenernya kamu kemana sih, mbak Tata?” Tanyanya.
Aku lagi-lagi terdiam, nggak mampu memberi jawaban.
Saat itu, setelah kejadian, Ayah dan keluarga besar langsung membawaku pulang, dan benar-benar ‘mengurungku’. Bahkan keterangan ke pihak kepolisian juga diwakilkan oleh Ayah dan Bunda. Bahkan hingga tahap persidangan, aku sama sekali nggak dihadirkan tentu saja dengan alasan ‘gangguan’ mental.
Ia lalu kembali mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang tentu saja nggak mampu kujawab. Pertanyaan-pertanyaan retoris yang sejatinya nggak membutuhkan jawaban, pertanyaan yang hanya dibuat untuk semakin membuatku merasa bersalah.
“Saya, Mamahnya, Papahnya, bahkan nggak bisa lho nengokin Marshall di penjara… Hebat betul keluarga kamu mbak”
“...”
“...Oh, mungkin karena keluarga kamu dan keluarga si korban saling kerjasama kali ya. Biar bisa semakin menjauhkan Marshall dari keluarganya, bikin Marshall dihukum tambah lama. Oh jangan-jangan memang niatnya buat menghancurkan hidup Marshall…”
Mendengar cecaran darinya hati ini mulai terasa semakin sesak, sementara air mata mulai menggenang, membasahi mata membuat pandanganku semakin buram dan tak jelas.
Aku menjatuhkan diri, bersimpuh dan bersujud di kakinya sambil mengepalkan tangan dan melepaskan tangisan. “Aku juga nggak mau terjadi kayak gini… Aku juga sakit ngeliat Marshall kayak gini. Makanya aku datang kesini, aku mau minta maaf. Karena aku juga nggak tau harus kemana”
Ia lalu berdiri dan bersiap untuk pergi. Setelah beberapa langkah ia berpaling dan bicara; “Kalau mau minta maaf jangan ke saya, tapi ke Marshall”
Aku keluar dari rumah Marshall dengan wajah sembab dan tangis yang belum selesai. Melihat hal itu, Bunda langsung keluar dari mobil dan menghampiriku. Ia lalu membimbingku masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, bunda langsung memberikan pelukan dan beberapa tepukan lembut di punggung.
“Sabar ya, Ta…” Ucapnya.
“Aku mau ketemu Marshall, Bun…” Pintaku, sambil terisak, tak kuasa menahan air mata.
“Ya, nanti kita cari caranya ya…” Ucap Bunda, memberikan sedikit penghiburan.
Dalam perjalanan pulang, aku hanya terdiam, bersandar pada kursi sambil menatap keluar, melalui jendela mobil. Membayangkan betapa berat hidupnya Marshall, berada di penjara karena aku, nggak mendapat keadilan yang layak, nggak bisa bertemu dengan keluarganya dan yang terparah, ia bakal kehilangan masa mudanya, kehilangan hidupnya.
Nyatanya, permintaanku tersebut nggak pernah terealisasi. Wacana, ingin bertemu dengan Marshall perlahan menguap lalu hilang.
—
Aku termenung menatap layar laptop yang menampilkan task pekerjaan yang menunggu untuk di review. Sementara, pikiran ini masih terbang, melayang memikirkan bagaimana mungkin bertemu dengan Marshall saja sudah bisa menghilangkan mimpi buruk yang selama ini ku alami.
Hari itu, aku nggak sabar ingin segera mengakhiri pekerjaan, menuju ke kedai kopi untuk menemuinya. Berkali-kali aku melirik ke arah jam tangan, membuat Elsa dan Ocha menaruh curiga.
“Ngapain sih lo dari tadi ngeliatin jam mulu?” Tanya Elsa.
“Gapapa…” Jawabku singkat.
“Bohong. Pasti lo punya rencana yang nggak mau melibatkan kita?” Tuduh Ocha.
Aku tersenyum, kemudian mencubit pipinya. “Nggak kok, aku cuma pengen pulang dan tidur. Pengen ngerasain tidur nyenyak lagi…”
Jam 6 tepat, aku langsung beres-beres, memasukkan laptop ke laci meja kerja, menyambar jaket yang terlampir di sandaran kursi kemudian bergegas pergi. “Duluan ya guys” Pamitku ke Elsa dan Ocha.
Aku berjalan secepat mungkin, bahkan mungkin dengan setengah berlari menuju ke kedai kopi tempat Marshall bekerja. Mengabaikan klakson sepeda motor yang nyaris menabrakku saat menyebrang, tak lagi memperdulikan peluh yang mengalir hingga ke dagu. Aku hanya terus melangkah.
Tiba di kedai kopi, aku memandang sekeliling mencoba mencari Marshall diantara karyawan yang sibuk dibalik meja konter dan ia nggak ada di sana. Sambil mencoba mengatur nafas, aku mendekat ke konter dan membuat pesanan.
Seorang pramusaji yang biasa melayaniku memberi sapaan ramah dan mulai mencatat pesananku di mesin kasir.
“36 ribu” Ucap pramusaji perempuan itu.
Setelah menyelesaikan pembayaran, aku berdiri dan menunggu.
Beberapa menit berikutnya, si pramusaji memanggil namaku; “Atas nama Tata”. Aku mendekat dan meraih nampan dengan cangkir berisi kopi pesananku.
“Mbak, Marshall-nya nggak masuk?” Tanyaku ke si pramusaji sambil bersiap membawa cangkir milikku.
Si Pramusaji lalu menoleh ke karyawan lain dan bertanya tentang keberadaan Marshall. Karyawan itu lalu menjawab santai; “Nggak masuk”
Seraya menuju ke salah satu meja yang berada di sudut terjauh ruangan, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mulai menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali; tak ada jawaban.
“Ck…”
Aku kembali mencoba menghubunginya. Nada sambung kembali terdengar beberapa kali, lalu suaranya menyapaku di ujung sana.
“Halo…” Sapanya.
“Halo, Sal…”
“Ya…”
“Kamu nggak masuk?” Tanyaku.
“Libur” Jawabnya singkat
“Kamu sengaja libur karena nggak mau ketemu sama aku?” Tanyaku, merasa ia ingin menghindar dariku.
“What?!”
“Aku mau ketemu dong…” Pintaku.
“...”
“... Kamu bisa kesini? Atau aku yang ketempat kamu?” Tanyaku. Berdasar dari pertemuan kami kemarin, sepertinya Marshall tinggal nggak begitu jauh dari kedai ini. Jadi, sepertinya memintanya untuk datang bukanlah hal yang sulit baginya.
“Gua kesana aja…” Marshall menjawab cepat.
“Yaudah aku tunggu di kedai ya” Ucapku kemudian mengakhiri panggilan.
Selesai melakukan panggilan dengan Marshall, ponselku kembali berdering. Layarnya menampilkan nama Aris. Aku menghela nafas sebentar dan menjawab panggilannya.
“Kamu dimana?” Tanyanya tanpa berbasa-basi.
“Di kedai kopi…” Aku menjawab, jujur.
“Sendirian lagi?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Tunggu disana, nanti aku jemput” Aris memberi penawaran.
“Nggak usah, aku cuma sebentar, abis ini langsung pulang” Jawabku.
“Yaudah tunggu deh, aku langsung jalan sekarang” Aris sedikit memaksa. Ia lalu mengakhiri panggilan.
Detik berikutnya, di layar bagian atas ponselku, berkedip sebuah icon panah berwarna biru; tanda bahwa seseorang tengah mengakses lokasi ponsel ini. Iya, Ayah memiliki akses GPS di ponselku, akses yang kemudian diberikannya ke Aris; ‘Untuk mengontrolku’ katanya. Sejatinya, aku bisa saja mematikan fitur ini dengan mudah. Tapi, begitu fitur ini nggak aktif, maka Ayah akan segera menghubungiku, memintanya untuk segera mengaktifkannya.
Aku duduk menunggu dengan cemas, berharap Marshall segera datang.
Beberapa waktu berselang, pintu kedai terbuka yang diiringi suara lonceng; Marshall. Ia memandang sekeliling dan dengan cepat menemukanku.
“Di depan aja…” Kalimat pertama yang diucapkan Marshall begitu bertemu. Suaranya terdengar lirih dan seperti tak bersemangat.
Tanpa menunggu persetujuan dariku, ia mengambil cangkir kopi milikku yang masih belum tersentuh, membawanya ke balik konter dan kembali dengan gelas plastik di tangannya. Rupanya ia memindahkan kopi milikku, dari cangkir ke gelas plastik itu. Ia lalu melangkah menuju ke pintu, keluar dari kedai. Aku buru-buru bangkit dan menyusulnya.
Aku mengerti; ia tak ingin aku mengganggunya di tempatnya bekerja. Jadi, ia mengajakku untuk bicara di luar.
Marshall duduk di tempat yang sama dengan tempat kami bicara kemarin malam. Di bawah pohon, dengan pot beton yang ia gunakkan sebagai alas duduk. Ia lalu menyerahkan kopi di gelas plastik kepadaku.
“Aku tadinya mau, balikin seragam kamu sekalian. Tapi, belum kering” Aku bicara, membuka topik obrolan dengan sebuah kebohongan. Kemeja seragam kerja miliknya masih tergeletak di atas ranjang. Kemeja yang nanti malam akan kembali menggantikan selimutku.
“Gapapa, gampang. Gua masih ada dua” Jawabnya, santai.
Kami lalu terdiam sesaat.
“Ada apa?” Marshall lalu bertanya.
“Semalem, ada yang belum sempat aku tanyain ke kamu”
“Apa?”
“Hmmm… Semalem aku lihat kamu bawa plastik yang isinya sketchbook. Kamu masih gambar?” Tanyaku, berhasil mencari topik obrolan.
“Masih… Nggak sih, baru mulai gambar lagi” Jawabnya.
“Oh… Terus itu cewek yang di HP kamu. Siapa?”
Terlihat Marshall terdiam sesaat sebelum akhirnya malah balik bertanya kepadaku; “Lo mau jawaban kayak apa?”
“Jawaban yang jujur” Pintaku.
“Dia, cewek pertama yang tau tentang masa lalu gua dan masih tetap ada ‘di samping’ gua…”
“Udah kenal berapa lama?” Tanyaku lagi.
“Mmm, nggak tau, paling baru beberapa bulan”
“Kamu suka sama dia?” Aku langsung mengajukan pertanyaan pamungkas. Nggak mau terlalu banyak berbasa-basi lagi.
“Kayaknya iya” Marshall menjawab dengan cepat, namun terpancar sedikit keraguan di wajahnya.
“Terus aku gimana?” Tanyaku.
“Apanya yang gimana?” Marshall balik bertanya.
“Kamu nggak mau nyoba sekali lagi?” Pintaku, berharap ia mau melanjutkan hubungan kita walau sepertinya hampir nggak mungkin. Tapi, apa salahnya mencoba.
Marshall nggak langsung memberi jawaban, ia hanya terdiam dan menatap kosong ke depan.
“Kayaknya nggak bisa deh, Ta. Lo tau kan kalo dua orang yang meninggalkan rasa trauma yang mendalam nggak boleh bareng-bareng lagi. Yang ada, kita berdua malah saling terus merasa bersalah” Marshall memberi jawaban yang diplomatis. Jawaban yang sepertinya sudah dipikirkan sebelumnya.
Walaupun bisa menebak jawaban darinya, akan tetapi mendengarnya langsung, sekarang, saat ini membuat hati terasa sakit. Namun, aku mencoba untuk terlihat tenang dan berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum, kemudian menganggukkan kepala.
“Lo lanjutin aja hidup lo. Sementara, gua lanjutin hidup gua. Jadi, nggak ada yang merasa terluka lagi, nggak ada yang merasa bersalah” Ia menambahkan.
“Tapi, mau kan kamu tetep jadi temen aku?” Pintaku.
Mendengar permintaanku Marshall langsung mengernyitkan dahi, Mungkin merasa permintaan dariku barusan terlalu memberatkannya. Dan, aku pun sudah siap jika memang jawaban dari Marshall tidak sesuai harapanku. Paling tidak, ini merupakan harga yang harus kubayar atas apa yang sudah dialaminya. Walaupun hati ini berat untuk menerimanya.
Namun, tak kusangka, Marshall mengangguk. Ia bersedia untuk tetap berteman denganku.
Mendapat respon seperti itu, aku yang nggak tahu diri ini kembali mencoba peruntungan; “Sal, mau nggak kamu janji?”
“Janji apa?”
“Seandainya nanti, selama kita berteman, dan ternyata diantara kita tumbuh kembali percikan cinta. Kamu jangan menghindar ya?”
Marshall nggak menjawab.
“Sal…”
Marshall merubah posisi duduknya. Kini ia menghadap ke arahku. Memaksaku memanggil ingatan tentang sosoknya di masa lalu. Marshall yang dahulu, riang, easy going, social butterfly, ramah kepada setiap orang kini berubah menjadi individu yang berkebalikan.
Marshall lalu mengangguk.
Aku langsung tersenyum begitu mendapat jawaban darinya, walaupun hanya sebuah anggukan.
Ia lalu berdiri, kemudian menunjuk ke arah seberang jalan dengan ujung dagunya. Aku menoleh ke arah yang ia tunjukkan, terlihat Aris tengah berjalan mendekat ke arah kami sambil sesekali memanggil namaku; “Ta, Tata…”
Aris berdiri di hadapanku dan menatap ke arah Marshall lekat-lekat, sementara Marshall malah sedikit menjauh, sepertinya sengaja memberi jarak. Aris mengerling, memberikan kode dengan matanya, seakan bertanya akan sosok yang berdiri di sebelahnya; Marshall.
Aku berdiri dan meraih tangannya, mengajaknya segera pergi dari sana. Sementara, Marshall masih berdiri di tempat yang sama menatap kepergian kami berdua.
Begitu kamu berdua sudah berada di dalam mobil, terlihat Marshall pergi, melangkah menjauh dari kedai. Sementara, ekspresi wajah Aris tiba-tiba berubah. Ia lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dari posisiku saat ini terlihat ia tengah membuka aplikasi gallery, menscroll cepat dengan ujung jarinya yang lalu berhenti pada sebuah foto; Foto Marshall. Foto yang sepertinya ia dapat dari ayah.
Aris lalu berpaling ke arahku dan mengangkat tangannya bersiap untuk melayangkan pukulan.
—
Terdengar suara ketukan di pintu kamar yang disusul suara lembut bunda memanggil namaku; “Ta, sayang…”
“Ya…” Aku menjawab lirih, tanpa mengalihkan pandanganku dari buku yang tengah kubaca.
“Bunda masuk ya sayang?” Tanya Bunda meminta izinku untuk masuk ke dalam kamar.
“Iya…” Jawabku lagi, masih tanpa berpaling dari buku.
Bunda mendorong pintu dengan perlahan, ia mengintip, menyembulkan kepalanya sambil tersenyum dan kembali bertanya; kini sambil berbisik; “Lagi belajar ya sayang?”
Aku menoleh dan menatap ke arahnya, kemudian menggeleng.
Bunda lalu melangkah masuk, memposisikan dirinya tepat di belakang tempat ku duduk di kursi meja belajar. Kedua tangannya yang lembut diletakkan di kedua bahuku, memberikan pijatan pelan yang membuat nyaman.
“Lagi baca apa?” Tanyanya.
Aku membalik sampul buku dan memperlihatkannya ke Bunda. Sebuah buku bersampul merah dan hitam dengan gambar sebuah timbangan dan palu yang berjudul; Dasar-dasar Hukum Pidana.
Bunda tersenyum sebentar, kemudian meraih buku tersebut, menutupnya dan meletakkannya di atas meja. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya, memberiku sebuah pelukan dari belakang.
“Kamu masih mau ketemu sama orang tuanya Marshall?” Tanya Bunda, kini walaupun sambil berbisik, suaranya terdengar sangat jelas, karena saat ini wajahnya berada tepat di sebelah telingaku.
Mendengar pertanyaanya barusan, sontak aku mengangguk.
“Bunda udah dapet alamatnya” Tambah Bunda.
“...”
“... Tapi, Besok kita kesana sama-sama ya” Bunda menambahkan.
Ia perlahan melepas pelukannya, mundur beberapa langkah lalu duduk di tepi ranjang. Aku menatap bunda yang masih menyunggingkan senyum melalui pantulan cermin yang berada di hadapanku. Aku lalu berbalik dan menatapnya secara langsung.
Bunda meraih kedua tanganku dan mulai menggenggamnya.
“Tapi, ini yang terakhir ya, sayang” Tambahnya.
Aku mengangguk pelan.
Berbekal alamat yang tertulis pada sebuah lembaran kertas yang terlipat, Bunda membawaku menuju ke tempat tinggal Orang Tua Marshall. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ayah. Bunda sengaja berbohong dengan mengatakan kalau akan mengantarku berbelanja pakaian.
Setelah hampir satu jam, kami akhirnya tiba. Bunda menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah besar, bercat cream dengan pagar besi tinggi di bagian depannya.
“Yakin, kamu nggak mau ditemenin?” Tanya Bunda seraya menatap dan menyentuh pipiku dengan lembut. Sementara di matanya terlihat ada kekhawatiran yang luar biasa.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya, ingin memberi kesan kalau tak ada yang perlu di khawatirkan. Kemudian membuka pintu mobil, turun dan melangkah menuju ke pintu pagar.
Sebelum menekan tombol bel yang berada di ujung kanan atas pagar, aku menghela nafas panjang, berharap nggak bakal terjadi apa-apa. Setelah menekan bel beberapa kali, aku berdiri menunggu dan memainkan ujung jari. Sesekali, aku menoleh, menatap ke arah Bunda yang kini duduk, menunggu di dalam mobil.
Nggak seberapa lama terdengar langkah kaki mendekat, langkah yang terdengar terburu-buru. Disusul suara denting besi yang saling bertemu, pagar lalu menggeser, terbuka. Seorang perempuan muda dengan pakaian sederhana yang terbalut celemek terlihat. Ia menatapku dari atas ke bawah kemudian bertanya; “Cari siapa?”
“Bener ini rumahnya Bu Karmila?” Aku balik bertanya.
“Bener, kalo boleh tau dari mana?” Perempuan itu kembali bertanya.
“Aku Tata, kalo boleh mau ketemu sama Bu Karmila” Jawabku.
“Oh, tunggu sebentar ya” Perempuan itu, lalu berbalik, berjalan cepat kembali masuk ke dalam rumah.
Dan setelah beberapa menit menunggu, perempuan itu kembali. Ia membuka lebar pagar agar aku bisa masuk. Kemudian membimbingku melewati carport, menuju ke halaman rumput yang luas dengan batu-batu pijakan yang berakhir di sebuah serambi. Perempuan itu lalu membuka pintu dan membawaku masuk ke dalam rumah.
Ruang tamu besar dengan satu set sofa kulit dan meja kaca besar menyambutku. Sebuah lampu dari kristal tergantung di atap yang sangat tinggi dengan jendela-jendela besar mengelilingi dinding bagian atas, membuat kesan mewah yang nggak berlebihan. Sementara, hampir di setiap sudut ruangan terdapat pot-pot dengan tumbuhan yang sepertinya asli; bukan tanaman hias palsu.
“Silahkan duduk, Mbak” Perempuan itu mempersilahkan aku untuk duduk sambil menunjuk ke arah salah satu sofa kulit dengan ibu jarinya. Setelahnya, ia nggak langsung pergi melainkan menunggu hingga aku duduk lalu mengajukan pertanyaan; “Mau minum apa, Mbak?”
“Nggak usah mbak, Terima Kasih” Jawabku sambil menggeleng.
Perempuan itu lalu pergi.
Aku menatap sekeliling, melihat dinding ruangan dimana banyak terdapat foto-foto. Salah satu foto yang menarik perhatianku adalah, foto keluarga dengan frame hitam yang sepertinya terbuat dari kayu, foto yang berukuran paling besar daripada yang lain, foto yang paling menarik perhatian. Pada foto tersebut, terlihat Marshall tengah berdiri sambil tersenyum dibelakang kedua orang tuanya yang duduk di bagian depan. Di foto itu, Mereka tampak layaknya keluarga yang bahagia dengan senyum yang lepas dan natural.
Aku menunggu sambil memainkan ujung kuku, sementara kakiku sesekali bergoyang; gugup karena akan berhadapan dengan ibunya Marshall. Ibu dari orang yang kuhancurkan hidupnya.
Terdengar suara langkah kaki yang menggema, suaranya berasal dari ujung anak tangga di lantai dua. Perlahan, sosok perempuan cantik berusia setengah baya terlihat berjalan cepat menuruni anak tangga. Perempuan dengan rambut panjang yang diikat kebelakang dan kemeja bermotif garis-garis kecil dengan rok span hitam itu lalu mendekat sambil menatapku tajam. Sekilas terlihat, banyak kemiripan antara Marshall dengannya, mulai dari bentuk hidungnya, matanya hingga bibirnya.
Aku berdiri sambil menundukkan kepala, nggak berani membalas tatapannya.
“Mbak Tata” Tanyanya dengan suara yang datar dan tanpa penekanan. Sehingga, aku nggak mampu membedakan intonasinya; pertanyaan atau pernyataan.
Perlahan aku mendongak dan mulai memberanikan diri menatapnya. Kini terlihat, matanya mulai berlinang, namun tetap memberi tatapan yang ‘mengancam’. Ia lalu memberikan kode dengan tangannya; mempersilahkan aku untuk kembali duduk.
“Kenapa?” Ia langsung bertanya begitu aku duduk. Kali ini ucapan dan intonasinya terdengar tepat.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba menerka dari pertanyaannya barusan; ‘Apanya yang kenapa? Ah mungkin maksudnya adalah kenapa aku datang’ Batinku dalam hati.
“Aku kesini mau minta maaf, Tan…”
Ia lalu menggeleng.
“Saya nggak peduli sama maaf kamu, lho mbak” Balasnya.
“...”
“... Memangnya maaf kamu bisa bebasin Marshall?” Tambahnya.
Aku menggeleng.
Kami lalu sama-sama terdiam.
Nggak seberapa lama, ia berdehem sebentar, lalu mengubah posisi duduknya. Kemudian kembali bicara; “Mbak Tata…”
“...”
“... Kamu selama ini kemana aja?” Tanyanya.
“...”
“... Kenapa? Kenapa kamu nggak ngasih keterangan waktu sidang?” Tanyanya.
Aku nggak menjawab, hanya terdiam.
Ia lalu kembali bertanya; “Waktu di kantor polisi juga kamu nggak ada dan nggak ngasih keterangan apapun”
“...”
“... Sebenernya kamu kemana sih, mbak Tata?” Tanyanya.
Aku lagi-lagi terdiam, nggak mampu memberi jawaban.
Saat itu, setelah kejadian, Ayah dan keluarga besar langsung membawaku pulang, dan benar-benar ‘mengurungku’. Bahkan keterangan ke pihak kepolisian juga diwakilkan oleh Ayah dan Bunda. Bahkan hingga tahap persidangan, aku sama sekali nggak dihadirkan tentu saja dengan alasan ‘gangguan’ mental.
Ia lalu kembali mengajukan pertanyaan, pertanyaan yang tentu saja nggak mampu kujawab. Pertanyaan-pertanyaan retoris yang sejatinya nggak membutuhkan jawaban, pertanyaan yang hanya dibuat untuk semakin membuatku merasa bersalah.
“Saya, Mamahnya, Papahnya, bahkan nggak bisa lho nengokin Marshall di penjara… Hebat betul keluarga kamu mbak”
“...”
“...Oh, mungkin karena keluarga kamu dan keluarga si korban saling kerjasama kali ya. Biar bisa semakin menjauhkan Marshall dari keluarganya, bikin Marshall dihukum tambah lama. Oh jangan-jangan memang niatnya buat menghancurkan hidup Marshall…”
Mendengar cecaran darinya hati ini mulai terasa semakin sesak, sementara air mata mulai menggenang, membasahi mata membuat pandanganku semakin buram dan tak jelas.
Aku menjatuhkan diri, bersimpuh dan bersujud di kakinya sambil mengepalkan tangan dan melepaskan tangisan. “Aku juga nggak mau terjadi kayak gini… Aku juga sakit ngeliat Marshall kayak gini. Makanya aku datang kesini, aku mau minta maaf. Karena aku juga nggak tau harus kemana”
Ia lalu berdiri dan bersiap untuk pergi. Setelah beberapa langkah ia berpaling dan bicara; “Kalau mau minta maaf jangan ke saya, tapi ke Marshall”
Aku keluar dari rumah Marshall dengan wajah sembab dan tangis yang belum selesai. Melihat hal itu, Bunda langsung keluar dari mobil dan menghampiriku. Ia lalu membimbingku masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, bunda langsung memberikan pelukan dan beberapa tepukan lembut di punggung.
“Sabar ya, Ta…” Ucapnya.
“Aku mau ketemu Marshall, Bun…” Pintaku, sambil terisak, tak kuasa menahan air mata.
“Ya, nanti kita cari caranya ya…” Ucap Bunda, memberikan sedikit penghiburan.
Dalam perjalanan pulang, aku hanya terdiam, bersandar pada kursi sambil menatap keluar, melalui jendela mobil. Membayangkan betapa berat hidupnya Marshall, berada di penjara karena aku, nggak mendapat keadilan yang layak, nggak bisa bertemu dengan keluarganya dan yang terparah, ia bakal kehilangan masa mudanya, kehilangan hidupnya.
Nyatanya, permintaanku tersebut nggak pernah terealisasi. Wacana, ingin bertemu dengan Marshall perlahan menguap lalu hilang.
—
Aku termenung menatap layar laptop yang menampilkan task pekerjaan yang menunggu untuk di review. Sementara, pikiran ini masih terbang, melayang memikirkan bagaimana mungkin bertemu dengan Marshall saja sudah bisa menghilangkan mimpi buruk yang selama ini ku alami.
Hari itu, aku nggak sabar ingin segera mengakhiri pekerjaan, menuju ke kedai kopi untuk menemuinya. Berkali-kali aku melirik ke arah jam tangan, membuat Elsa dan Ocha menaruh curiga.
“Ngapain sih lo dari tadi ngeliatin jam mulu?” Tanya Elsa.
“Gapapa…” Jawabku singkat.
“Bohong. Pasti lo punya rencana yang nggak mau melibatkan kita?” Tuduh Ocha.
Aku tersenyum, kemudian mencubit pipinya. “Nggak kok, aku cuma pengen pulang dan tidur. Pengen ngerasain tidur nyenyak lagi…”
Jam 6 tepat, aku langsung beres-beres, memasukkan laptop ke laci meja kerja, menyambar jaket yang terlampir di sandaran kursi kemudian bergegas pergi. “Duluan ya guys” Pamitku ke Elsa dan Ocha.
Aku berjalan secepat mungkin, bahkan mungkin dengan setengah berlari menuju ke kedai kopi tempat Marshall bekerja. Mengabaikan klakson sepeda motor yang nyaris menabrakku saat menyebrang, tak lagi memperdulikan peluh yang mengalir hingga ke dagu. Aku hanya terus melangkah.
Tiba di kedai kopi, aku memandang sekeliling mencoba mencari Marshall diantara karyawan yang sibuk dibalik meja konter dan ia nggak ada di sana. Sambil mencoba mengatur nafas, aku mendekat ke konter dan membuat pesanan.
Seorang pramusaji yang biasa melayaniku memberi sapaan ramah dan mulai mencatat pesananku di mesin kasir.
“36 ribu” Ucap pramusaji perempuan itu.
Setelah menyelesaikan pembayaran, aku berdiri dan menunggu.
Beberapa menit berikutnya, si pramusaji memanggil namaku; “Atas nama Tata”. Aku mendekat dan meraih nampan dengan cangkir berisi kopi pesananku.
“Mbak, Marshall-nya nggak masuk?” Tanyaku ke si pramusaji sambil bersiap membawa cangkir milikku.
Si Pramusaji lalu menoleh ke karyawan lain dan bertanya tentang keberadaan Marshall. Karyawan itu lalu menjawab santai; “Nggak masuk”
Seraya menuju ke salah satu meja yang berada di sudut terjauh ruangan, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mulai menghubunginya.
Nada sambung terdengar beberapa kali; tak ada jawaban.
“Ck…”
Aku kembali mencoba menghubunginya. Nada sambung kembali terdengar beberapa kali, lalu suaranya menyapaku di ujung sana.
“Halo…” Sapanya.
“Halo, Sal…”
“Ya…”
“Kamu nggak masuk?” Tanyaku.
“Libur” Jawabnya singkat
“Kamu sengaja libur karena nggak mau ketemu sama aku?” Tanyaku, merasa ia ingin menghindar dariku.
“What?!”
“Aku mau ketemu dong…” Pintaku.
“...”
“... Kamu bisa kesini? Atau aku yang ketempat kamu?” Tanyaku. Berdasar dari pertemuan kami kemarin, sepertinya Marshall tinggal nggak begitu jauh dari kedai ini. Jadi, sepertinya memintanya untuk datang bukanlah hal yang sulit baginya.
“Gua kesana aja…” Marshall menjawab cepat.
“Yaudah aku tunggu di kedai ya” Ucapku kemudian mengakhiri panggilan.
Selesai melakukan panggilan dengan Marshall, ponselku kembali berdering. Layarnya menampilkan nama Aris. Aku menghela nafas sebentar dan menjawab panggilannya.
“Kamu dimana?” Tanyanya tanpa berbasa-basi.
“Di kedai kopi…” Aku menjawab, jujur.
“Sendirian lagi?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Tunggu disana, nanti aku jemput” Aris memberi penawaran.
“Nggak usah, aku cuma sebentar, abis ini langsung pulang” Jawabku.
“Yaudah tunggu deh, aku langsung jalan sekarang” Aris sedikit memaksa. Ia lalu mengakhiri panggilan.
Detik berikutnya, di layar bagian atas ponselku, berkedip sebuah icon panah berwarna biru; tanda bahwa seseorang tengah mengakses lokasi ponsel ini. Iya, Ayah memiliki akses GPS di ponselku, akses yang kemudian diberikannya ke Aris; ‘Untuk mengontrolku’ katanya. Sejatinya, aku bisa saja mematikan fitur ini dengan mudah. Tapi, begitu fitur ini nggak aktif, maka Ayah akan segera menghubungiku, memintanya untuk segera mengaktifkannya.
Aku duduk menunggu dengan cemas, berharap Marshall segera datang.
Beberapa waktu berselang, pintu kedai terbuka yang diiringi suara lonceng; Marshall. Ia memandang sekeliling dan dengan cepat menemukanku.
“Di depan aja…” Kalimat pertama yang diucapkan Marshall begitu bertemu. Suaranya terdengar lirih dan seperti tak bersemangat.
Tanpa menunggu persetujuan dariku, ia mengambil cangkir kopi milikku yang masih belum tersentuh, membawanya ke balik konter dan kembali dengan gelas plastik di tangannya. Rupanya ia memindahkan kopi milikku, dari cangkir ke gelas plastik itu. Ia lalu melangkah menuju ke pintu, keluar dari kedai. Aku buru-buru bangkit dan menyusulnya.
Aku mengerti; ia tak ingin aku mengganggunya di tempatnya bekerja. Jadi, ia mengajakku untuk bicara di luar.
Marshall duduk di tempat yang sama dengan tempat kami bicara kemarin malam. Di bawah pohon, dengan pot beton yang ia gunakkan sebagai alas duduk. Ia lalu menyerahkan kopi di gelas plastik kepadaku.
“Aku tadinya mau, balikin seragam kamu sekalian. Tapi, belum kering” Aku bicara, membuka topik obrolan dengan sebuah kebohongan. Kemeja seragam kerja miliknya masih tergeletak di atas ranjang. Kemeja yang nanti malam akan kembali menggantikan selimutku.
“Gapapa, gampang. Gua masih ada dua” Jawabnya, santai.
Kami lalu terdiam sesaat.
“Ada apa?” Marshall lalu bertanya.
“Semalem, ada yang belum sempat aku tanyain ke kamu”
“Apa?”
“Hmmm… Semalem aku lihat kamu bawa plastik yang isinya sketchbook. Kamu masih gambar?” Tanyaku, berhasil mencari topik obrolan.
“Masih… Nggak sih, baru mulai gambar lagi” Jawabnya.
“Oh… Terus itu cewek yang di HP kamu. Siapa?”
Terlihat Marshall terdiam sesaat sebelum akhirnya malah balik bertanya kepadaku; “Lo mau jawaban kayak apa?”
“Jawaban yang jujur” Pintaku.
“Dia, cewek pertama yang tau tentang masa lalu gua dan masih tetap ada ‘di samping’ gua…”
“Udah kenal berapa lama?” Tanyaku lagi.
“Mmm, nggak tau, paling baru beberapa bulan”
“Kamu suka sama dia?” Aku langsung mengajukan pertanyaan pamungkas. Nggak mau terlalu banyak berbasa-basi lagi.
“Kayaknya iya” Marshall menjawab dengan cepat, namun terpancar sedikit keraguan di wajahnya.
“Terus aku gimana?” Tanyaku.
“Apanya yang gimana?” Marshall balik bertanya.
“Kamu nggak mau nyoba sekali lagi?” Pintaku, berharap ia mau melanjutkan hubungan kita walau sepertinya hampir nggak mungkin. Tapi, apa salahnya mencoba.
Marshall nggak langsung memberi jawaban, ia hanya terdiam dan menatap kosong ke depan.
“Kayaknya nggak bisa deh, Ta. Lo tau kan kalo dua orang yang meninggalkan rasa trauma yang mendalam nggak boleh bareng-bareng lagi. Yang ada, kita berdua malah saling terus merasa bersalah” Marshall memberi jawaban yang diplomatis. Jawaban yang sepertinya sudah dipikirkan sebelumnya.
Walaupun bisa menebak jawaban darinya, akan tetapi mendengarnya langsung, sekarang, saat ini membuat hati terasa sakit. Namun, aku mencoba untuk terlihat tenang dan berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum, kemudian menganggukkan kepala.
“Lo lanjutin aja hidup lo. Sementara, gua lanjutin hidup gua. Jadi, nggak ada yang merasa terluka lagi, nggak ada yang merasa bersalah” Ia menambahkan.
“Tapi, mau kan kamu tetep jadi temen aku?” Pintaku.
Mendengar permintaanku Marshall langsung mengernyitkan dahi, Mungkin merasa permintaan dariku barusan terlalu memberatkannya. Dan, aku pun sudah siap jika memang jawaban dari Marshall tidak sesuai harapanku. Paling tidak, ini merupakan harga yang harus kubayar atas apa yang sudah dialaminya. Walaupun hati ini berat untuk menerimanya.
Namun, tak kusangka, Marshall mengangguk. Ia bersedia untuk tetap berteman denganku.
Mendapat respon seperti itu, aku yang nggak tahu diri ini kembali mencoba peruntungan; “Sal, mau nggak kamu janji?”
“Janji apa?”
“Seandainya nanti, selama kita berteman, dan ternyata diantara kita tumbuh kembali percikan cinta. Kamu jangan menghindar ya?”
Marshall nggak menjawab.
“Sal…”
Marshall merubah posisi duduknya. Kini ia menghadap ke arahku. Memaksaku memanggil ingatan tentang sosoknya di masa lalu. Marshall yang dahulu, riang, easy going, social butterfly, ramah kepada setiap orang kini berubah menjadi individu yang berkebalikan.
Marshall lalu mengangguk.
Aku langsung tersenyum begitu mendapat jawaban darinya, walaupun hanya sebuah anggukan.
Ia lalu berdiri, kemudian menunjuk ke arah seberang jalan dengan ujung dagunya. Aku menoleh ke arah yang ia tunjukkan, terlihat Aris tengah berjalan mendekat ke arah kami sambil sesekali memanggil namaku; “Ta, Tata…”
Aris berdiri di hadapanku dan menatap ke arah Marshall lekat-lekat, sementara Marshall malah sedikit menjauh, sepertinya sengaja memberi jarak. Aris mengerling, memberikan kode dengan matanya, seakan bertanya akan sosok yang berdiri di sebelahnya; Marshall.
Aku berdiri dan meraih tangannya, mengajaknya segera pergi dari sana. Sementara, Marshall masih berdiri di tempat yang sama menatap kepergian kami berdua.
Begitu kamu berdua sudah berada di dalam mobil, terlihat Marshall pergi, melangkah menjauh dari kedai. Sementara, ekspresi wajah Aris tiba-tiba berubah. Ia lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dari posisiku saat ini terlihat ia tengah membuka aplikasi gallery, menscroll cepat dengan ujung jarinya yang lalu berhenti pada sebuah foto; Foto Marshall. Foto yang sepertinya ia dapat dari ayah.
Aris lalu berpaling ke arahku dan mengangkat tangannya bersiap untuk melayangkan pukulan.
—
![](https://img.youtube.com/vi/mzJj5-lubeM/0.jpg)
Red Hot Chili Peppers - Scar Tissue
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
![mmuji1575](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/10/16/avatar10724019_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
pavidean dan 51 lainnya memberi reputasi
52
Kutip
Balas
Tutup