- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![mmmsemangat2858](https://s.kaskus.id/user/avatar/2024/06/23/avatar11656733_1.gif)
mmmsemangat2858 dan 153 lainnya memberi reputasi
154
241.5K
Kutip
3.8K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#328
Part 16 - Kamu dan Ingatan yang Hilang
Spoiler for Part 16 - Kamu dan Ingatan yang Hilang:
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/03/27/6448808_20240327093809.jpg)
Saat baru saja tiba di depan bangunan kost saat terdengar suara Aris memanggil namaku.
“Ta…”
Aku menoleh. Terlihat Aris tengah berdiri di sisi mobilnya yang terparkir tepat di seberang tempat kost. Ia menoleh ke kiri dan kanan, menunggu hingga kondisi jalan agak sedikit lengang, kemudian menyeberang, menuju ke arahku.
Aku kembali berbalik dan melanjutkan langkah, bersiap masuk ke dalam.
Saat hendak membuka slot pagar kost, Aris dengan cepat menahan tanganku.
“Kamu dari mana?” Tanyanya.
“Kerja” Aku menjawab singkat.
“Dari tadi aku telepon nggak dijawab. Terus tadi, aku juga ke kantor kamu. Kata temen kamu, siapa namanya; Echa apa Icha ya, kamu udah pulang” Aris mengajukan pertanyaan.
“Ocha…” Aku mengoreksi ucapannya yang salah menyebut nama Ocha.
“Iya, siapalah itu, nggak penting” Ucapnya.
Aku menoleh dan memberi tatapan dingin kepadanya. Bagaimana mungkin nama temanku dianggapnya ‘nggak penting’.
Aris kembali meraih lenganku sesaat setelah aku berhasil membuka gerbang pintu kost. “Ta…” Serunya.
“Apa?” Aku menghentikan langkah dan bicara dengannya menggunakan nada serendah mungkin.
“Kamu belum makan kan? Makan yuk, sekalian ngobrol” Ajak Aris.
Aku terdiam sesaat, kemudian memutuskan untuk berbalik dan menerima ajakannya. Namun, aku membuat ‘janji’ untuk diri sendiri; seandainya Aris nanti membicarakan tentang pernikahan dan seluk-beluknya, aku bakal langsung pergi.
Aris meraih tanganku, bersiap membawaku menyeberangi jalan untuk menuju ke mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Aku berusaha melepas genggaman tangannya; “Mau kemana? Makan di sana aja” Ucapku seraya menunjuk ke arah deretan tenda-tenda non permanen yang berada tepat di sebelah bangunan kost.
Aku sengaja memilih tenda terdekat dari bangunan, kedai dengan tenda non permanen yang menyajikan pecel lele dan ayam. Aku duduk di salah satu kursi plastik yang menghadap ke sebuah meja kayu berlapis plastik. Sementara, Aris memesan dua porsi pecel ayam, kemudian bergegas menyusul duduk di sebelahku. Sesaat setelah duduk, ia memberi tatapan aneh begitu menyadari pakaian yang kukenakan.
“Kamu pake baju siapa?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah kemeja seragam milik Marshall yang masih kukenakan.
Aku menunduk, menatap ke arah seragam kemeja milik Marshall yang kukenakan, kemudian memberi jawaban; “Punya aku lah”
“Oh… Emang lagi model, pake baju kegedean?” Tanyanya lagi.
“Iya…” Jawabku singkat.
Sambil menunggu pesanan datang, Aris mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mirip interogasi.
“Oiya, Kamu tadi kemana?” Aris kembali mengajukan pertanyaan yang sama dengan sebelumnya. Karena tadi, ia belum mendapat jawaban.
“Ngopi dulu…” Jawabku.
“Hah, ngopi? Dimana?” Aris kembali bertanya penasaran.
“Di sana…”
“Deket kantor?” Tanyanya.
“Iya…”
“Sama siapa?”
“Sendiri” Jawabku.
Mendengar jawabanku barusan, Aris terlihat cukup terkejut. Karena nggak pernah sekalipun selama dia mengenalku, aku pergi sendirian; apalagi ke kedai kopi. Hal yang mustahil kulakukan sebelumnya.
“Hah, sendirian?” Tanyanya lagi.
Aku lalu mengangguk pelan.
Beruntung, makanan pesanan kami datang, membuat Aris sedikit terdistraksi dan sedikit melupakan tentang pertanyaannya barusan. Seandainya ia masih mengajukan pertanyaan yang sama sekalipun, aku bakal tetap memberi jawaban yang sejujurnya. Ingin mencoba terbuka terhadapnya, nggak mau berbohong yang nanti malah tambah menyakitinya.
Mungkin karena ingin lebih intim, Ia lalu berusaha mendekat, mencoba menggeser duduknya dengan mengangkat kursi plastik ke arahku. Tanpa sengaja, punggung tangannya menyentuh sisi luar celana panjang yang kukenakan, celana panjang yang kebetulan masih basah.
“Eh, kok celana kamu basah sih?” Tanyanya, seraya mencoba kembali memegang celana yang masih kukenakan. Namun, buru-buru aku menepis tangannya.
“Iya tadi kehujanan”
Aris mengernyitkan dahinya, terlihat ada sedikit kecurigaan dan keraguan di wajahnya. Namun, entah kenapa, keraguannya itu nggak disampaikannya. Sambil menikmati potongan ayam, menoleh dan balik mengajukan pertanyaan kepadanya; “Kenapa? Curiga? Kalo ada yang mau ditanya, tanyain aja. Jangan ditahan-tahan…”
Ia nggak merespon, hanya terdiam sambil melanjutkan makan.
Setelah beberapa saat, barulah Aris mencoba kembali mengangkat topik yang sama. “Kamu kenapa hujan-hujanan?” Tanyanya, kini dengan nada serendah dan sesantun mungkin.
Belum sempat gua menjawab karena masih harus mengunyah makanan, Aris mengajukan pertanyaan yang berbeda.
“Terus kamu kenapa ngopi sendirian?” Tanyanya.
Lagi, belum sempat aku memberi jawaban, Aris kembali angkat bicara.
“Besok-besok kalo mau kesana, sama aku aja. Kalo urusan kopi, kamu kan tau aku jagonya…” Tambahnya. Ia Aris memang terkenal sebagai maniak kopi. Ia merupakan penyuka kopi sejati yang hanya minum kopi pahit tanpa gula. Menurutnya gula dan esensi lainnya bisa merubah cita rasa kopi itu sendiri.
“... terus, besok aku jemput aja ya pulang kerja. Dari pada kehujanan lagi, nanti sakit…”
“Nggak usah, Ris… Aku makasih banget kalo kamu mau jemput dan nemenin aku. Tapi, Nggak usah…” Jawabku.
“Oh yaudah…”
“...”
“... tapi, yang penting kasih kabar ya, Ta” Tambahnya.
Setelah selesai makan, aku langsung berdiri dan bersiap untuk kembali ke kost. Sementara, Aris yang sepertinya masih mau ngobrol berlama-lama denganku terlihat kikuk, karena nggak tau harus berbuat apa; pergi menyusulku atau menyelesaikan pembayaran.
Sementara, ia menyelesaikan pembayaran, aku mempercepat langkah dan buru-buru masuk ke dalam bangunan kos melalui gerbang depan. Dari sini, aku bisa bersantai karena bangunan ini merupakan kost khusus putri, dimana cowok-cowok dilarang keras untuk masuk, bahkan hanya untuk melewati gerbang di depan saja, mereka harus berhadapan dengan petugas keamanan yang juga wanita.
Ponselku terus berdering hingga aku tiba di kamar. Aku duduk di kursi meja makan sambil melempar ponselku yang masih berdering ke atas ranjang; ponsel dengan nama ‘Aris’ tampil di layarnya.
Aku berdiri, melepas satu persatu kancing pada kemeja seragam milik Marshall yang masih kukenakan. Setelah berganti dengan kaos putih kesayangan yang usang namun nyaman, aku berbaring di atas ranjang, sambil memeluk kemeja miliknya. Mencium aromanya, mencoba ‘memanggil’ kenangan indah bersamanya dulu; iya, hanya kenangan indah yang ingin dan mungkin bisa benar-benar kuingat.
Setelah ponsel berhenti berdering karena panggilan dari Aris, aku meraihnya, membuka daftar kontak dan mencari nama Marshall. Sempat terpikir untuk menghubunginya sekarang, malam ini, saat ini juga. Tapi, aku urungkan karena sepertinya sudah terlalu larut dan nggak ingin mengganggunya beristirahat.
Aku menghela nafas panjang, melempar kembali ponsel ke sudut ranjang dan berusaha memejamkan mata. Tetap dengan posisi memeluk kemeja seragam miliknya.
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah ventilasi di atas jendela kamar. Sinar yang menyilaukan mata, dan membuatku terbangun. Aku langsung bangkut, terduduk di tepi ranjang dan menatap kosong ke depan; kebingungan. Karena untuk pertama kalinya sejak ‘tragedi hari itu’, aku bisa tidur dengan nyenyak, tanpa bermimpi buruk tentang dirinya.
Aku mencari-cari ponsel dan melihat jam digital pada layarnya; pukul 9.30. Dan, untuk pertama kalinya; aku kesiangan.
“Tumben kesiangan?” Sambut Ocha begitu melihatku masuk ke ruang kerja.
Aku tersenyum dan langsung duduk di kursi, mengeluarkan laptop dari dalam tas dan bersiap mulai bekerja. Elsa dan Ocha, menggeser kursi kerjanya mendekat ke arahku dan langsung memulai obrolan.
“Eh, kemarin Aris nyariin lo, Ta…” Ucap Ocha dengan suara sedikit berbisik.
“...”
“... Kalian lagi berantem ya?” Tambahnya lagi.
Belum sempat aku memberi respon untuk pertanyaan dari Ocha, Elsa ikut nimbrung dan mengajukan pertanyaan.
“Lo minum obat tidur, Ta?” Tanya Elsa, seraya meraih daguku dan memalingkan ke arahnya.
“Ih, nggak lah” Jawabku.
“Tumben kayaknya hari ini seger banget. Bisa tidur pules?” Tanyanya lagi.
“Pules banget…” Jawabku, seraya mencoba meregangkan tangan ke atas, merasa nggak pernah tubuhku sesegar seperti sekarang ini.
“Heh, pertanyaan gua belom lo jawab” Ucap Ocha, mengajukan protes karena pertanyaannya belum sempat kujawab.
“Kenapa Cha?” Tanyaku.
“Elo sama Aris lagi berantem?” Ocha mengulang pertanyaannya.
“Nggak, Cha. Tapi…” Belum selesai aku memberi jawaban, kedua sahabatku ini langsung menggeser kursinya, kini lebih dekat. Ingin mendengar cerita tentang kondisi hubunganku dengan Aris.
“... Aku tuh cuma lagi pengen sendirian aja” Aku menambahkan.
“Kenapa??” Tanya Ocha dan Elsa nyaris bersamaan dengan nada yang sedikit memaksa.
Akhirnya, aku mulai bercerita kejadian kemarin. Tentang bagaimana Aris terus ngobrolin perkara pernikahan, sementara aku sendiri merasa membicarakan hal itu masih terlalu dini untuk kami berdua.
“Bener, cuma gara-gara itu doang?” Tanya Ocha, mencoba memastikan. Sepertinya ia sedikit nggak percaya dengan alasan yang kuutarakan barusan. Mungkin merasa hal tersebut terlalu remeh untuk dijadikan alasan untuk bertengkar.
Aku mengangguk.
Tentu saja aku nggak menceritakan semuanya, apalagi tentang pertemuanku dengan barista di kedai kopi yang ternyata adalah Marshall. Iya, Elsa dan Ocha memang belum pernah kuceritakan sama sekali tentang Marshall, setidaknya nggak sekarang. Sementara, Aris justru sudah lebih banyak tahu tentang dirinya; tentang Marshall.
Aris hampir tahu segala sesuatunya tentang masa laluku. Semua yang ia ketahui tentang diriku berasal dari ayah. Ayah yang merasa Aris adalah sosok yang tepat untukku tentu saja nggak keberatan menceritakan semuanya. Tapi, hingga saat ini, tak ada yang benar-benar tahu tentang apa yang terjadi di gudang olahraga pada acara pensi 8 tahun yang lalu; bahkan diriku sendiri.
Semenjak kejadian itu, aku merasakan tekanan yang luar biasa di dalam hati; Depresi. Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya; aku kesulitan untuk tidur, jikalau bisa tertidur maka aku senantiasa mengalami mimpi buruk yang tak berkesudahan. Tak jarang juga aku mengalami serangan panik tanpa alasan. Aku bisa tiba-tiba gelisah tak menentu, menangis histeris dan tiba-tiba berteriak.
Beberapa bulan setelah ‘kejadian itu’, bunda sudah merengek meminta agar aku dibawa ke psikolog untuk mendapat perawatan. Namun, ayah berusaha mencegah bunda, merasa kalau apa yang aku alami bakal hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Bunda yang kurang sependapat dengan Ayah, lalu secara diam-diam membawaku ke psikolog. Setelah berbulan-bulan aku berkonsultasi dengan psikolog, namun kondisiku tak urung membaik, malah semakin memburuk. Perlahan, ingatan-ingatan tentang kejadian di gudang olahraga yang melibatkan aku dan Marshall terasa kabur.
Menyadari hal itu, Ayah akhirnya luluh. Dari sebelumnya hanya menjalani terapi bersama seorang psikolog, setelahnya bereskalasi; aku menjalani terapi obat dari psikiater dan tetap secara rutin berkunjung ke psikolog. Karenanya, kondisiku perlahan membaik. Namun, ingatan-ingatan tentang kejadian di gudang olahraga semakin kabur dan berganti. Berganti dengan sugesti yang sudah diberikan oleh si psikolog.
Menurut para ahli, ingatanku yang hilang dan berganti bukanlah efek dari obat-obatan yang aku konsumsi. Melainkan karena dorongan di dalam hati dan pikiran yang memaksa untuk menghilangkan ingatan tersebut dan menggantinya dengan apa yang otak dan pikiranku inginkan.
Tapi, efek samping dari hal itu tentu saja. Ingatan-ingatan yang tertinggal selalu kembali dalam bentuk mimpi yang samar dan terkadang datang secara bertumpuk. Membuat aku selalu tertekan saat menjelang tidur, karena tahu akan menghadapi sebuah mimpi yang menyakitkan.
Kini, ingatan yang kupunya mungkin saja berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun tahu kalau ingatan ini berbeda dari yang seharusnya, tapi sekuat apapun aku mencoba mengembalikannya, aku selalu gagal dan berujung dengan rasa sakit yang luar biasa di kepala bagian belakang.
Pernah di satu titik, aku merasa kalau aku sudah tak lagi waras; Gila!
Dan seandainya bukan Aris, cowok yang mencoba dekat denganku dan kemudian tahu dengan latar belakang masa laluku, mungkin akan mundur teratur. Takut dengan kondisi mentalku.
Di dalam ingatanku saat ini, ingatan yang selalu hadir dalam mimpi; Aku berada di dalam sebuah ruangan yang gelap dan lembab. Beberapa keranjang besi berisi bola-bola basket kempes dan rusak terdapat di beberapa sisi ruangan, terdapat pula tumpukan-tumpukan matras berdebu yang sengaja didirikan, tersandar pada dinding.
Terasa darah segar mengalir melalui hidung, kepalaku terasa sakit, terdengar suara mendengung dari kedua telingaku akibat pukulan dari cowok berambut merah yang berdiri di hadapanku. Samar terlihat Icha tengah berlari keluar dari ruangan, lalu disusul oleh seorang pria berbaju kebesaran.
Cowok di hadapanku mulai membuka celana dan mencoba membaringkan tubuhku yang kini tak berdaya. Lalu, terdengar suara langkah kaki mendekat; Marshall terlihat berdiri di ambang pintu ruangan.
Ia berteriak. Kemudian melangkah masuk. Dengan cepat, Marshall meraih sebuah botol yang tergeletak di lantai. Ia meraih ujung kerah baju si cowok berambut merah yang berusaha melawan. Namun, Marshall berhasil menghantamkan botol ke kepalanya, yang seketika membuat cowok itu tak berdaya. Dengan botol yang sudah pecah sebagian, Marshall berusaha untuk menikam bagian perut cowok itu.
Aku mencoba mencegahnya dengan berteriak, namun sepertinya usahaku sia-sia; karena yang keluar dari mulutku hanyalah rintihan.
Marshall menikam cowok tersebut, satu kali, dua kali, tiga kali, disusul suara erangan kesakitan dari si cowok berambut merah yang kemudian ambruk, kejang-kejang karena meregang nyawa sambil memegangi perutnya yang menyemburkan darah segar.
“Tenang, Ta… Gapapa..” Samar terdengar suara Marshall yang mendekat ke arahku. Dengan kedua tangannya yang bersimbah darah ia lalu memberi pelukan terakhirnya.
Hanya itu ingatan tidak pasti tentang ‘kejadian’ di gudang olahraga.
Sisanya, aku bisa memastikan kalau ingatanku normal. Senormal ingatan yang dimiliki orang lain tentang diriku.
Dan, sejak kejadian itu, Ayah mencoba terus menjagaku. Dari mulai memindahkan sekolah hingga ‘menambah’ perlindungan untukku. Aris adalah salah satu cara ayah untuk menjagaku.
Cara lain yang digunakan oleh ayah adalah dengan menjauhkan segala bentuk informasi tentang Marshall dariku. Boleh dibilang, dengan ‘power’ yang dimiliki oleh keluarga almarhum Kakek, ditambah dukungan dari keluarga korban; si cowok berambut merah, kasus Marshall bisa diredam dan langsung luput dari perhatian media.
Jadilah, aku sama sekali nggak bisa mengikuti perkembangan kasusnya.
Satu-satunya sumber informasi yang bisa kudapatkan adalah dari Bunda. Walaupun kadang informasi darinya nggak bisa ia ceritakan dengan lengkap dan detail, mungkin takut aku semakin khawatir, tapi, paling nggak aku bisa tetap tahu kabarnya.
Yang aku dengar dari Bunda, Marshall dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Dengan pasal 340 KUHP, seharusnya Marshall bisa dijatuhi hukuman seumur hidup atau seringan-ringannya 20 tahun penjara. Namun, karena usianya belum menginjak 20 tahun, hukumannya dikurangi setengah. Tapi, tetap ia harus menjalaninya di penjara dengan keamanan ketat.
Ingin rasanya aku membelai kepalanya, memberinya pelukan seraya meminta maaf. Tapi, jangankan bertemu, untuk sekedar menghubungi melalui telepon saja ayah nggak memberi ijin. Pernah suatu ketika, dengan bantuan Bunda, aku mencoba untuk mengunjunginya di penjara, namun ternyata, pihak penjara nggak mengizinkan Marshall untuk mendapat kunjungan dari siapapun; termasuk dari keluarganya.
Betapa sedih aku dibuatnya. Kala mengetahui kalau Marshall bakal harus mendekam disana sendirian. Tanpa bisa mendapat kunjungan, apalagi dukungan dari orang-orang terdekatnya. Hidupnya hancur gara-gara aku.
Seandainya saat itu, aku bersedia ditemani olehnya saat ingin ke toilet. Seandainya saat itu, aku mendengarkan sarannya agar nggak datang ke acara pensi itu. Mungkin semua ini nggak bakal terjadi. Mungkin aku dan dia, bakal terus bersama.
—
![](https://img.youtube.com/vi/uqdEkBF1YN4/0.jpg)
Bunga - Orang Gila
Tertawa sendirian di tengah jalan raya
Tiada punya pikiran didalam benaknya
Tiada ada tujuan di dalam kehidupannya
Hanyalah gelap didalam perjalanan...
Gelap masa depannya tiada harapan
Itulah kehidupan orang-orang gila di jalan
Orang gila di jalan, ye.e.he..
Kadang ia tertawa, kadang ia terdiam
Entah apa lagi yang akan ia kerjakan
Pandangannya pun hampa tiada pikiran
Entah apa lagi yang akan ia kerjakan
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
![mmuji1575](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/10/16/avatar10724019_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
pavidean dan 53 lainnya memberi reputasi
54
Kutip
Balas
Tutup