Begitu mendengar jawaban dari gua barusan, Poppy langsung terdiam dan membeku. Detik berikutnya ia berpaling seakan ingin menghindari kontak mata dengan gua. Lalu, terdengar gumamnya pelan; “Gua kan cuma bercanda nanyanya”
Gua tersenyum, lalu membalasnya; “Gua juga cuma bercanda”
Sejujurnya, jawaban itu bukanlah sebuah candaan. Jika, ia kembali bertanya, maka gua akan memberikan jawaban yang sama. Iya, gua memang sudah terlanjur suka kepadanya.
Tapi,
Apa gua punya hati dan nyali untuk kembali jatuh hati?
Dengan kondisi gua yang sekarang ini, sepertinya percintaan bukanlah sebuah pilihan yang bijak. Bagaimana mungkin seorang perempuan mau menerima cowok yang mantan napi dengan kondisi ekonomi terpuruk. Sebuah kombo yang nyaris nggak ada obatnya kan? Ya setidaknya menurut gua begitu.
Kalaupun ada yang mau menerima gua dengan kondisi seperti ini. Gua tentu khawatir apa kata orang? Apa keluarga si perempuan bakal setuju jika anaknya harus berpacaran dengan seorang mantan narapidana?
Jika pertanyaan seperti itu muncul dalam ujian sekolah perihal akhlak dan moral, tentu saja gua dan kebanyakan orang lainnya bakal menjawab; ‘Kenapa nggak. Semua orang punya kesempatan kedua untuk memperbaiki dirinya’
Tapi, C'mon man! Kita tinggal di negara yang sebagian besar penduduknya masih lumrah dengan stereotyping. Nggak usah terlalu jauh deh, disini, di Indonesia kita seakan melumrahkan persepsi tentang kesukuan. Misalnya; tentang kecenderungan orang Jawa yang santun dan halus, orang Padang yang dipandang sebagai sebagai orang yang ‘pelit’ nan perhitungan.
Belum lagi, stereotyping gender; di mana laki-laki seringkali dianggap lebih kuat dan selalu dijadikan tulang punggung keluarga, sementara perempuan dianggap lebih cocok untuk peran rumah tangga dan merawat anak. Padahal, menurut gua, urusan merawat anak dan rumah tangga juga merupakan tanggung jawab laki-laki.
Makanya, jika, pertanyaan seperti itu datang ke gua. Sebagai orang tua tentu saja gua bakal menolak; ‘Apa nggak ada cowok lain, nak?’
Poppy lalu kembali menoleh ke arah gua. Di wajahnya terdapat gurat-gurat kekecewaan yang nggak mampu disembunyikan. Pada momen ini, gua semakin yakin kalau Poppy juga memiliki perasaan yang sama dengan gua. Hanya saja, sepertinya masing-masing dari kami berdua punya alasan untuk nggak mengungkapkannya secara eksplisit.
Gua lalu berdiri.
“Gua mandi dulu, abis ini gua anterin pulang, udah malem” Ucap gua seraya meraih handuk.
“Pinjem HP lo dong” Ucapnya.
“Buat apa?” Tanya gua, seraya menyerahkan ponsel kepadanya.
“Buat Foto…” Jawabnya dengan ekspresi imut yang dibuat-buat.
Hujan sudah reda, menyisakan banyak genangan air di sepanjang jalan.
Sementara, malam seakan menggeliat lagi. Kendaraan-kendaraan; mobil, motor dan angkot kembali berseliweran, memenuhi jalan, membuat kami; para pejalan kaki hampir nggak punya lagi tempat yang aman dari percikan air.
Gara-gara candaan tentang rasa suka kami berdua tadi, di tempat kos. Sekarang kami berdua berjalan bersisian tanpa bicara; canggung.
Hingga tak terasa, kami sudah berada di depan rumah Poppy.
Nggak seperti biasa, saat gua mengantarkannya pulang. Biasanya, ia nggak pernah langsung masuk ke dalam, ia selalu berdiri diam sejenak, menatap ke arah gua lalu bertanya; “Mau mampir dulu nggak?” Dan setiap gua mengantarnya, selalu lewat dari jam 9 malam, yang tentu saja nggak etis kalau gua mengiyakan tawarannya.
Kali ini ia nggak melakukan hal itu. Begitu tiba, ia langsung melangkah menuju pintu rumahnya. Sementara gua masih berdiri, menatapnya. Menunggu hingga ia masuk, memastikannya selamat sampai ke dalam rumahnya, barulah gua pergi.
Baru beberapa langkah gua melangkah menjauh dari rumahnya, terdengar suara langkah kaki berlari mengejar gua.
“Sal” Panggil Poppy dengan volume suara yang sedikit tertahan.
Gua berhenti dan berpaling. Terlihat, Poppy berjalan mendekat sambil menenteng sebuah plastik putih.
“Nih…” Ucapnya seraya menyodorkan plastik putih yang dibawanya.
Alih-alih langsung menerimanya, gua melirik ke bagian dalam plastik tersebut. Sekilas terlihat sebuah sketch book dan beberapa barang lain. Gua mengernyitkan dahi dan balik menatapnya.
“Apaan nih?” Tanya gua.
Poppy meraih tangan gua, dan meletakkan ujung plastik putih tersebut dalam genggaman gua. Kini gua punya akses langsung untuk memeriksa isi dari plastik itu; Sebuah sketch book berukuran A3, satu set pensil mekanik, mistar besi 30 cm dan alat tulis lainnya.
“Buat gua?” Gua kembali bertanya ke Poppy setelah memeriksa isinya. Yang lalu langsung diresponnya dengan anggukan kepala dan sebuah senyuman.
“Dalam rangka?” Tanya gua lagi.
“Nggak ada. Cuma mau ngasih lo sesuatu yang mungkin bisa bikin lo happy lagi, bisa bikin lo balik lagi jadi elo yang dulu” Jawabnya, masih sambil tersenyum.
Jujur, gua jadi semakin bingung dengan jawaban darinya. Bagaimana mungkin ia dengan percaya dirinya ingin gua ‘kembali jadi diri gua yang dulu’. Sedangkan, ia sendiri nggak tau gimana sifat gua dulu, sebelum mengenalnya.
“Gimana lo bisa yakin kalo gua yang dulu adalah orang yang menyenangkan?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“Nggak tau. Gua yakin aja, kalo lo dulu pasti orang yang asyik, riang dan ceria” Jawabnya.
Gua tersenyum.
“Tapi, gua nggak bisa ngasih apa-apa ke elo” Ucap gua.
Poppy menggeleng; “Nggak usah… Gua udah punya semuanya” Jawabnya.
“Makasih ya Pop”
“Iya… By the way, Mau mampir nggak?” Tanya Poppy. Menggugurkan semua asumsi gua sebelumnya.
“Nggak usah, udah malem. Lain kali aja”
“Lain kali itu kapan?” Tanya Poppy.
“Ya selama nggak terlalu larut, gua mau mampir dan numpang makan” Gua memberi jawaban.
“Udah sana masuk” Gua menambahkan sambil memberi kode dengan dagu.
“Nggak, lo balik aja dulu, baru gua masuk” Poppy bicara, nggak mau kalah.
“Nggak, lo masuk dulu, baru gua balik” Ucap gua, juga masih nggak mau kalah.
Poppy menyerah, ia berbalik dan melangkah pelan menuju ke pintu rumah, baru beberapa langkah Poppy berbalik; “Udah sana” ucapnya, sambil memberi kode dengan lambaian tangan. Gua mengangguk, namun tetap bergeming, ingin menunggu dan melihatnya sampai masuk ke dalam rumah. Sementara, Poppy meneruskan langkah, membuka pintu dan masuk ke dalam.
Seperti biasa, saat sudah berada di dalam, Poppy bakal menyibak tirai jendela dan mengintip gua melalui celah tirai. Kemudian ia bicara tanpa suara, gua dengan mudah menangkap apa maksud ucapannya melalui gerakan bibir; “Udah sana pulang, hati-hati ya”. Gua berbalik dan pulang.
—
Di perjalanan kembali ke kost, ponsel gua berdering. Nama, Ahmad muncul di layarnya. Mengira ini sesuatu yang penting, yang berhubungan dengan kedai, gua langsung menjawab panggilannya.
“Kenapa, Mad?” Tanya gua.
“Ini cewek yang di kedai tadi temen lo?” Tanya Ahmad.
“Yang mana?”
“Yang basah kuyup?” Tanyanya lagi.
“Kenapa emang?”
“Ini gua udah mau pulang, dia masih nunggu lo di parkiran. Lo balik lagi apa gimana?” Ahmad memberi penjelasan.
Ternyata Tata masih belum beranjak dari kedai. ‘Mau ngapain dia disana?’ tanya gua dalam hati.
“Yaudah gua kesana deh. Lo kalo mau balik, balik aja…” Gua memberi jawaban.
“Oh ok. Lo mau masuk ke kedai nggak? Kalo mau, nanti kunci gua taro di tempat biasa” Ujar Ahmad dari ujung sana.
“Yaudah taro aja” Jawab gua singkat, kemudian mengakhiri panggilan.
Gua menatap layar ponsel yang menampilkan detail ringkasan panggilan. Layar lalu berubah ke mode lock screen; terlihat Foto Poppy tengah berpose candid, dimana ia tengah tertawa lepas sambil duduk di atas ranjang dengan sebuah bandana putih membalut rambutnya yang tergerai. Rupanya, tadi di tempat kos, ia sempat berfoto dengan ponsel gua dan menjadikannya sebagai latar pada layar.
Sempat terpikir untuk merubah kembali foto pada layar ponsel, tapi, gua nggak tau caranya. ‘Ah bodo lah’ gumam gua dalam hati dan mulai mempercepat langkah, bukan, bukan untuk pulang, tapi ke kedai. Menghampiri Tata, yang ternyata sejak tadi menunggu.
Dari kejauhan terlihat kedai dengan kondisi yang gelap gulita. Menyisakan cahaya temaram di sisi sebelah kiri kedai, tempat area parkir. Biasanya, semua lampu akan dimatikan oleh Ahmad, namun saat ini mungkin sengaja tak ia matikan karena ada Tata yang duduk disana, sendirian.
Gua mendapati Tata tengah duduk di atas sisi pot besar yang terbuat dari beton. Wajahnya yang sembab terbias pantulan cahaya layar ponsel yang tengah dipandanginya. Gua berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di hadapannya.
Menyadari kehadiran gua, ia mendongak dan tersenyum.
Alih-alih langsung duduk di sebelahnya, gua mengambil kunci kedai di bawah pot di sisi pintu dan masuk. Nggak lama gua kembali dengan kemeja coklat seragam gua yang sengaja gua tinggalkan di loker.
Gua menyerahkan kemeja seragam tersebut ke Tata dan menunjuk ke arah dalam kedai. “Ganti dulu sana, nanti masuk angin” Ucap gua.
Tata tersenyum sebentar, kemudian meraih kemeja seragam milik gua dan bergegas masuk ke dalam kedai untuk berganti pakaian. Nggak seberapa lama, Tata kembali, kini dengan seragam coklat milik gua yang kebesaran. Melihatnya seperti itu, mendatangkan kembali memori gua ke masa lalu.
Saat itu, saat kami SMA. Gua yang kala itu tengah mencoba ‘mengejar-ngejar’ Tata untuk berkenalan, tak sengaja melihatnya berlari ke arah kamar mandi perempuan. Bagian depan kemeja seragamnya, penuh dengan kotoran sisa bumbu kacang; entah mungkin dari bumbu batagor atau siomay.
Gua lantas menunggunya di depan kamar mandi. Setelah setengah jam menunggu, Tata keluar dengan sisa kotoran di seragamnya yang bukannya makin bersih malah semakin membesar. Gua tersenyum, karena ingin mengambil hatinya saat itu, gua melepas kemeja seragam milik gua dan memberikannya ke Tata. Sementara, gua hanya mengenakan baju olahraga.
Awalnya ia menolak dan sok jual mahal, namun karena mungkin nggak ada pilihan lain, akhirnya ia mengambil seragam milik gua dan kembali masuk ke kamar mandi.
Kini, ia keluar dengan ekspresi yang sama; ekspresi malu-malu karena baju yang ia kenakan kebesaran.
Tata lalu duduk di posisinya semula, di atas pot besar yang terbuat dari beton, tepat di sebelah gua yang duduk menantinya.
“Kenapa belum pulang?” Tanya gua, sambil menatap ke depan.
“Aku masih belum selesai ngomong sama kamu, sal” Jawabnya.
“Ya besok kan bisa…” Ucap gua.
“Emang kamu masih mau ketemu sama aku lagi?” Tanyanya.
“Kalo gua nggak mau ketemu lo lagi, emang lo mau terima?” Gua balik bertanya, yang lalu diresponnya dengan gelengan kepala.
“Aku punya banyak banget hal yang mau aku bilang ke kamu, Sal” Ucap Tata, lirih.
“...”
“... Kamu kapan keluar?” Tambahnya.
“Belum lama” Gua menjawab singkat.
“Kenapa nggak ngabarin aku?”
“Emang kalo gua ngasih kabar, lo mau ngapain?” Gua balik bertanya.
“... Aku mau minta maaf” Tambahnya.
“Kalo cuma minta maaf kan nggak mesti nunggu gua keluar” Jawab gua.
“Aku nggak bisa, Sal” Jawabnya.
“...”
“... Aku nggak bakal kuat, sal..”
“...”
“... Gimana mungkin aku sanggup ketemu kamu disana, sedangkan kamu di penjara gara-gara aku?” Ia menambahkan.
Gua tersenyum, ada kelegaan yang luar biasa di dalam hati begitu mendengar jawabannya barusan.
“Kalau cuma maaf, kayaknya nggak perlu, Ta… Seandainya hal kayak gitu terjadi lagi, dan lo melakukan hal yang sama. Gua juga bakal tetap ‘menerimanya’ kok…” Gua memberi jawaban.
Tata terdiam. Ia hanya memainkan kuku-kuku jarinya, hal yang dulu kerap ia lakukan saat dalam kondisi gugup atau terdesak.
Ia lalu berpaling dan menatap gua.
“Kamu masih benci sama aku?” Tanyanya lagi.
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar pertanyaannya barusan. Dari mana pula ia mendapat informasi kalau selama ini gua membencinya.
“Kapan gua pernah bilang benci sama lo?” Gua balik bertanya.
“Nebak aja..” Jawabnya singkat.
“Apa dasarnya? Nebak kan juga pasti ada dasarnya” Tanya gua lagi, masih kurang puas dengan jawaban Tata sebelumnya.
“Mmm… Nggak tau, rasanya emang kayak gitu aja. Kamu di penjara gara-gara aku, terus selama di sana aku sama sekali nggak ngunjungin kamu. Normalnya, kamu pasti benci sama aku sih…” Jawabnya.
Lagi, gua mengernyitkan dahi. ‘Pola pikir macam apa ini?’ Pertanyaannya adalah, kenapa lo nggak nengokin gua?’ gua membatin dalam hati. Nggak sanggup mengajukan pertanyaan itu secara langsung kepadanya.
“Gua nggak benci sama lo kok, Ta. Gua bahkan nggak punya hati buat membenci lo” Ucap gua.
“...”
“... Tapi, rasa sayang gua ke elo juga nggak kayak dulu lagi” Gua menambahkan.
“Tapi masih ada kan, Sal?” Tanyanya.
“...”
“... Walaupun sedikit, rasa sayang itu masih ada kan, Sal?”
“...”
“... Iya kan, Sal?”
Gua mengangkat kedua bahu ke atas, kali ini benar-benar nggak punya jawabannya.
“Seandainya ada pun, kayaknya gua bakal coba kubur dalam-dalam deh, Ta”
“Kenapa?” Tanyanya.
Enggan terus berkutat dengan urusan ‘rasa sayang’ ini, gua berdiri dan kembali bersiap pergi; “Udah malem, Ta”
Tata menyusul gua berdiri dan memposisikan dirinya tepat di hadapan gua. Ia lalu mendongak dan bicara; “Besok aku masih boleh ketemu sama kamu kan, Sal?”
Gua mengangguk.
“Nomor HP lo berapa?” tanyanya.
Gua mengeluarkan ponsel dan memberikannya ke Tata. Membiarkan ia memasukkan nomor ponselnya ke gua; melakukan hal yang sama seperti yang sebelumnya Poppy lakukan.
Tata nggak langsung memasukkan nomor ponselnya, ia malah memandangi layar ponsel gua yang menampilkan foto Poppy sebagai latarnya.
“Siapa?” Tanya Tata sambil menunjukkan layar ponsel gua.
“Temen” Gua menjawab santai.
“Temen apa yang masang foto cewek di latar HP nya?” Ia kembali bertanya.
Gua terdiam, nggak menjawab.
Tata lalu lanjut memasukkan nomor ponselnya. Kemudian melakukan panggilan singkat ke nomor ponselnya sendiri. Ponsel milik Tata berdering, layarnya berkedip. Sekilas gua melihat latar layar ponselnya menampilkan foto dirinya dengan seorang pria. Ia sepertinya menyadari hal tersebut, lalu buru-buru mengunci layarnya.
Selesai dengan urusan nomor ponsel, ia lalu mulai melakukan order ojek online dengan ponselnya. Kali ini, dilakukannya sambil membelakangi gua, mungkin enggan foto latar layar ponselnya terlihat lagi oleh gua.
Kami berdua berdiri bersisian tepat di depan halaman parkir kedai. Tata berdiri sambil sesekali membetulkan posisi kerah kemeja seragam kerja gua yang ia kenakan, sementara gua hanya bisa berdiri dalam diam sambil menatap dirinya, wajahnya yang menumbuhkan bibit kerinduan.
“Kamu sehat-sehat kan selama ini?” Tanyanya. Tentu saja merujuk ke kondisi gua selama di dalam penjara.
Gua mengangguk. Ya kalau urusan fisik sih jelas gua sehat-sehat aja, gimana nggak, di penjara kita harus bangun subuh untuk olahraga pagi, terus kerja bakti bersihin taman dan kebun. Malamnya, jam 8 kami semua sudah harus masuk ke dalam sel untuk tidur. Ditambah lagi, kami berada di dalam sel sempit berukuran 3x5 meter dengan jumlah napi 30 orang, yang artinya beberapa dari kami harus bergantian untuk tidur sambil berdiri selama beberapa hari. Kurang sehat apa coba?
“Kalo lo, sehat-sehat aja kan?” Gua balik bertanya.
Tata tersenyum sebentar, kemudian mengangguk.
Dari pancaran matanya terlihat kalau ia berbohong. Gua tau kalau selama ini, ia nggak baik-baik saja. Mungkin kami berdua memiliki kesamaan; selama ini sama-sama sehat secara fisik tapi nggak dengan mental.
“Bohong” Gua memberi tebakan.
Tata menggeleng.
“Waktu pertama aku kesini, kamu langsung tau kalau itu aku kan?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
“Terus kenapa kamu nggak nyapa aku?” Tanyanya lagi.
Gua mengangkat kedua bahu ke atas. Bukan karena nggak punya jawaban, tapi gua hanya nggak mau jujur kepadanya untuk hal ini.
Nggak seberapa lama, seorang pengemudi ojek online berhenti tepat di depan kami berdua. Tanpa turun dari sepeda motornya, ia bertanya; “Mbak, Zetta?”
Tata lalu mengangguk.
Si pengemudi ojek online lalu menyodorkan sebuah helm berwarna hijau, yang lalu segera dipakai oleh Tata. Ia lalu naik ke boncengan dan tersenyum. Sebelum pergi, ia sempat melirik ke arah plastik berisi sketch book yang sejak tadi berada di genggaman gua. Sepertinya, ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, si pengemudi ojek online sudah keburu tancap gas dan pergi.
—