Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Gua masuk kedalam kedai melalui pintu belakang, menempelkan ibu jari ke mesin absensi yang baru saja dipasang oleh salah satu anak buah Mas Angga yang lain. Jam pada mesin absen menunjukkan pukul 2 siang, dimana seharusnya gua yang kebagian shift siang masuk jam 3 sore. Ya daripada nggak ngapa-ngapain di kos, gua terbiasa datang lebih cepat.
Melalui lorong belakang yang sempit, gua menaiki tangga menuju ke dapur kotor di lantai dua. Gua membuka loker, mengenakan apron, masker dan topi, kemudian masuk ke kedai melalui pintu di balik konter.
Dahlan terlihat sibuk dengan mesin espresso. Begitu menyadari kehadiran gua, ia melirik ke arah jam tangannya dan tersenyum; “Kecepetan lagi?” Tanyanya.
“Iya” Gua menjawab singkat seraya mengencangkan tali pengikat apron.
Seakan tahu akan kebiasaan gua yang sebisa mungkin enggan berhubungan langsung dengan pelanggan; Dahlan menyingkir, membiarkan gua melanjutkan membuat kopi. Sementara ia meraih baki dari bawah konter, memindahkan dua cangkir Vanilla Latte yang baru saja selesai dan mengantarkannya ke salah satu meja.
Gua meraih struk pesanan yang tertempel pada sisi konter, membaca pesanan dan kembali melanjutkan membuat Iced Americano.
Siang ini, pelanggan cukup ramai. Novi; satu-satunya pramusaji perempuan disini terlihat sibuk menerima pesanan dari balik mesin kasir, kemudian mengantarkan kopi yang sudah selesai dibuat. Dahlan kini ikut membantunya. Seharusnya, gua dan Ahmad yang kebagian jatah masuk shift siang hari ini. Tapi, karena Ahmad sedang kebagian jatah untuk stock opname di beberapa cabang lain, Novi harus menggantikannya sementara, setidaknya sampai Ahmad kembali.
“Udah lo kalo mau balik gapapa…” Ucap gua ke Dahlan tepat saat jam menunjukkan pukul 3 kurang 10 menit.
Dahlan mengangkat ibu jarinya, kemudian melepas apron dan bersiap untuk pergi. Sebelum keluar ia menepuk bahu gua pelan dan berpesan; “Yang pesanan meja no.10 minta ekstra espresso. Si Novi lupa note di struk. Jangan lupa ya”
“Oh Ok” Respon gua. Kemudian menghentikan kegiatan, meraih pulpen dan memberi catatan pada struk pemesanan untuk meja no.10.
“Gua balik ya” Ucap Dahlan.
“Iya ati-ati” Respon gua singkat tanpa berpaling.
Gua dan Novi lalu melanjutkan bekerja. Selepas sore, pelanggan mulai berkurang. Membuat kami bisa sedikit beristirahat. Saat kondisi sepi seperti sekarang ini, biasanya kami bergantian duduk di lantai, ‘bersembunyi’ di balik meja konter sambil berusaha meluruskan kaki yang pegal akibat terlalu lama berdiri atau duduk di kursi kayu tinggi yang nggak nyaman.
Setiap 15 menit sekali, salah satu dari kami haru berdiri di balik mesin kasir, standby seandainya ada pelanggan yang datang atau ada pelanggan yang menambah pesanan. “Bray, gantian” Bisik Novi sambil menendang ujung kaki gua. Gua mengenakan masker, lantas berdiri dan menggantikannya di balik mesin kasir. Sementara, ia langsung menempati posisi gua sebelumnya; duduk bersandar di lantai sambil bermain ponsel.
Biasanya sambil menghabiskan waktu menunggu, gua membaca buku-buku yang berada di kedai. Sejak bekerja disini, entah sudah berapa buku yang sudah berhasil gua selesaikan. Mulai novel-novel romansa hingga manga One Piece yang kayaknya nggak bakalan tamat.
Selepas Maghrib, kondisi kedai kembali ramai. Saking ramainya, semua meja terisi penuh. Bahkan ada beberapa pasang pelanggan yang harus take away dan membatalkan niatnya untuk ‘nongkrong’ di sini karena penuh.
Kedai berangsur sepi setelah hampir pukul 9 malam.
“Gua kebawah bentar ya” Ujar Novi.
“Iya” Jawab gua sambil mengumpulkan sampah dari kotak dan asbak.
Setelah selesai mengumpulkan sampah, gua menuangnya ke plastik hitam berukuran besar dan mulai mengikatnya. Sementara, untuk sampah sisa ampas kopi, sengaja kami kumpulkan dalam wadah lain berupa ember kaleng yang juga berukuran besar. Nantinya, bakal ada vendor yang akan mengambil limbah ampas kopi tersebut setiap seminggu dua kali. Konon katanya, limbah ampas kopi ini bakal diolah kembali untuk menjadi kompos.
Gua membawa sampah di plastik besar, membawanya turun melalui dapur hingga ke pintu belakang kedai di lantai bawah. Biasanya, kami akan mengumpulkan sampah-sampah di belakang kedai. Nanti setelah jam kerja usai, barulah gua membuangnya, sekalian pulang. Namun, karena jumlah sampah hari ini nggak banyak, jadi gua putuskan untuk langsung membuangnya.
Saat selesai membuang sampah, di perjalanan kembali menuju kedai, sosok perempuan terlihat tengah berdiri mematung sambil menatap ke arah gua. Sosoknya terlihat mencolok karena diantara banyaknya orang yang lalu lalang, hanya ia sendiri yang berdiri mematung di sisi trotoar.
Gua menoleh dan menatap ke arahnya; Tata.
Ingin gua menghindari tatapannya, namun terlambat. Pandangannya sudah terlanjur mengarah ke gua. Kami saling menatap, waktu terasa berhenti. Hempasan angin malam seakan menarik tubuh ini dan membawanya ke masa lalu.
Nggak mau terlalu terbawa suasana, gua membuka pintu dan masuk ke dalam kedai.
Gua meraih buku dari konter dan lanjut membaca di dapur kotor, sambil berharap Novi segera kembali. Takut gua harus melayani Tata seandainya ia benar-benar ke sini.
‘Klenting, klenting’ Terdengar suara bel berbunyi, tanda ada seseorang masuk ke dalam kedai. Sambil berharap kalau yang masuk adalah Novi, gua memasang masker dan membuka pintu menuju ke balik konter.
Tata berdiri di depan pintu menatap ke arah gua.
Sesaat berikutnya, Pintu kembali terbuka, disusul Novi yang masuk sambil memberi sapaan ke satu-satunya pelanggan yang berada di sana; Tata.
Tata memilih salah satu meja yang berada tepat di tengah-tengah kedai, sebuah pilihan yang aneh. Karena biasanya saat kedai kosong, pelanggan akan memilih meja yang berada tepat di sisi jendela. Selama itu pula, pandangannya nggak pernah teralihkan, ia terus menatap ke arah gua.
Novi meraih menu dan menghampirinya, menanyakan pesanan. Sesuai prosedur di kedai ini, kalau kondisi sepi; pelanggan bisa langsung duduk tanpa melakukan pesanan langsung di konter. Nggak lama Novi kembali ke mesin kasir, menginput pesanan dan memberikan struk pesanan ke gua.
“Long black” Ucap Novi, kemudian melepas apronnya dan bersiap untuk pergi. Iya, jam sudah menunjukkan hampir jam 10, memang sudah waktunya dia pulang.
Selesai membuat kopi, gua meraih nampan, memindahkan gelas berisi kopi dan mengantarkannya ke Tata. Gua berusaha semaksimal mungkin untuk nggak ‘terganggu’ dengan kehadirannya, mencoba bersikap ‘biasa’ saja.
“Silahkan” Ucap gua pelan sambil meletakkan kopi di atas meja. Sementara Tata masih menatap ke arah gua. Saat tengah berjalan kembali ke konter, terdengar ia memanggil nama gua; pelan, sangat pelan; “Marshall”
Gua berhenti sejenak, memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali ke konter untuk membaca buku. Saat itu, di kedai hanya ada kami berdua yang duduk berjauhan dan saling terdiam.
Setelah cukup lama tenggelam dalam diam, Ahmad muncul dari balik pintu konter. Rupanya ia sudah selesai melakukan stock opname dan langsung kembali. Terlihat, baju dan wajahnya basah terkena hujan. Begitu masuk, ia langsung bertanya; “Sampah udah dibuang bray?”
“Udah” gua menjawab singkat. Kemudian melepas apron dan bersiap pergi.
“Mau kemane?” Tanya Ahmad.
“Beli rokok” Gua menjawab sambil berbisik dan bergegas pergi.
“Ujan” Seru Ahmad.
Gua menuruni tangga melalui dapur kotor, meraih payung besar yang berada di balik pintu dan berniat keluar untuk membeli rokok. Tentu saja ‘membeli rokok’ hanyalah sebuah alasan. Rokok di saku gua masih tersisa beberapa batang, gua hanya ingin ‘kabur’, mencoba menghindar dari Tata yang masih ada di dalam kedai.
Ternyata hujan turun cukup lebat, membuat gua membatalkan niat untuk keluar ‘berpura-pura’ membeli rokok. Gua hanya berdiam di lorong di balik pintu belakang kedai.
Dari tempat gua berdiri lalu terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga, seperti baru saja keluar dari kedai di lantai dua. Gua mengintip melalui kaca kecil pada pintu belakang, dan melihat Tata berada di bawah hujan. Dengan wajahnya yang kini basah dan nampak penuh tekanan, sesekali ia menyeka matanya, dan menatap berkeliling. Sesaat kemudian ia berlari, menjauh dari kedai.
Nggak kuasa saat melihatnya seperti itu; terlihat sedih, basah dan kehujanan. Gua kembali meraih payung dari balik pintu dan keluar. Sambil terus mencari, gua menyusuri jalan, kemudian mendapati Tata berdiri, kemudian ia membungkuk sebentar dengan bahunya yang naik turun seperti tengah menangis dan ambruk. Ia menjatuhkan dirinya di sisi jalan, di trotoar.
Gua mempercepat langkah dan menyusulnya.
Ia masih belum menyadari kehadiran gua saat kami sudah sedekat ini. Gua menggeser payung, agar bisa menaungi tubuhnya yang sudah terlanjur basah. Ia lalu mendongak, memicingkan matanya dan menatap ke arah gua.
“Ngapain?” Tanya gua.
Ia lalu berusaha bangkit, dan berdiri, masih sambil menatap gua.
Wajahnya sama sekali nggak berubah, kecuali model rambutnya yang sekarang dibiarkan panjang; tergerai, dan makeup juga anting-anting yang dulu nggak pernah dipakainya.
Alih-alih menjawab pertanyaan gua, tangisnya malah kembali pecah. Ia lalu membungkuk, kedua tangannya diletakkan pada lututnya. Sesaat berikutnya, ia mendongak, kembali menatap gua dan mulai berteriak, berteriak sekuat tenaganya; “Arghhh!!!!”
Gua nggak menggubris tangis atau teriakannya. Gua meraih salah satu tangan, memberikan gagang payung dalam genggamannya, berbalik dan pergi, menjauh darinya. Sementara dari sudut mata gua menyadari kalau Tata mengikuti langkah gua menuju ke kedai. Payung yang baru saja gua berikan nggak dipakainya, tetap membiarkan tubuhnya basah akibat hujan.
Di lorong sempit, di belakang kedai. Tata duduk di sebuah kursi kayu yang biasa kami gunakan untuk beristirahat sambil ‘ngopi’ dan ngerokok. Tanpa banyak bicara, gua membuka loker, mengambil handuk yang tergantung, handuk yang biasa gua pakai jika harus mandi di kedai dan menyerahkannya ke Tata. Ia nggak memberi respon, hanya menatap gua yang masih menyodorkan handuk ke arahnya.
Masih nggak mendapat respon darinya, gua membentangkan handuk dan meletakkan tepat di atas kepalanya.
Gua lalu ke atas, ke dapur kotor. Menyiapkan air panas dan untuk membuat segelas teh.
“Tumben ngeteh?” Tanya Ahmad, saat ia memasuki dapur dan mendapati gua tengah membuat segelas teh.
“Bukan buat gua” Gua menjawab.
Setelah selesai, gua membawa gelas berisi teh, turun ke bawah, melalui tangga besi dan duduk di sebelah Tata. Kemudian meletakkan gelas berisi teh hangat di atas sebuah kursi plastik yang berada tepat di hadapan kami.
Tak ada percakapan diantara kami berdua, hanya saling terdiam, dengan suara sisa aliran air di talang sisi kedai yang terdengar menemani.
Tata lalu berpaling, menatap ke arah gua. Masih tak bicara, ia hanya memberi tatapan penuh kesedihan. Sementara, gua nggak membalas tatapannya. Gua menggeser, kursi plastik dengan gelas berisi teh hangat di atasnya, lebih dekat, agar ia bisa meraihnya dengan mudah.
“Kamu apa kabar?” Tanya Tata dengan suara lirih, dan masih dengan tatapannya yang sendu.
Gua nggak memberi jawaban. Hanya mengambil bungkusan rokok dari saku kemeja yang sudah sedikit basah, meraih sebatang dan mulai menyulutnya.
“Never been better” Gua menjawab singkat lalu menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke seluruh ruangan. Kemudian berdiri dan bersiap untuk pergi. Tata lalu meraih lengan gua, mencegah gua untuk pergi, namun tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya.
“Aku kangen” Ia bicara setelah beberapa saat.
Perlahan, gua melepas genggaman tangannya di lengan gua. Kemudian melangkah menjauh; pergi. “Udah malem, ta… Pulang”
"Tapi Sal, aku boleh ketemu sama kamu lagi kan?" Tanyanya lirih.
"Sebaiknya sih jangan" Gua menjawab, kemudian benar-benar pergi.
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke kos, gua nggak henti-hentinya memikirkan Tata. Bukan, bukan gua nggak mau atau benci jika harus bertemu dengan dirinya lagi. Gua hanya nggak mau hatinya kembali terluka dan membangkitkan trauma masa lalunya jika bertemu dengan gua. That’s why, gua selalu mencoba untuk menghindarinya.
Gua menaiki anak tangga menuju ke lantai tiga. Di depan kamar kos gua, terlihat Poppy berjongkok, bersandar di dinding, menatap kosong ke depan, sementara tangannya memegang payung yang terlipat; basah.
“Ngapain Pop?” Tanya gua, begitu melihatnya di depan kamar kos.
Poppy nggak langsung menjawab, ia mendongak, menatap ke arah gua dengan mata yang berlinang.
Setelah beberapa saat berikutnya, barulah ia bicara. Suaranya terdengar lirih dan bergetar, seperti sedang menahan suhu dingin.
“Nungguin lo” Jawabnya.
“Ada apa? Malem-malem gini?” Tanya gua sambil membuka pintu kamar kos. Lalu membantunya berdiri dan membiarkan dirinya masuk. Sementara, gua langsung membuka kemeja yang basah dan menggantungnya di tali di depan kamar kos.
Sambil membuka lemari plastik, gua mengambil kaos bersih dan mengenakannya. Lemari plastik yang belum lama gua beli berdasarkan pilihan Poppy. Lemari plastik kecil berwarna coklat dengan motif bergaris-garis.
Sementara, Poppy kembali duduk di sudut ruangan sambil bersandar di dinding dan masih menatap kosong ke depan.
Gua lalu duduk tepat di sebelahnya.
“Kenapa sih Pop?” Tanya gua.
“Lo dari mana?” Ia balik bertanya.
“Dari kedai…” Gua memberi jawaban.
Ia lalu berpaling dan kembali menatap gua.
“Tadi gua mau jemput lo ke kedai. Gua liat lo sama cewek.. Siapa?” Tanyanya, merujuk ke kejadian tadi. Dan, cewek yang dimaksudnya adalah Tata.
Gua nggak langsung menjawab. Mencoba mencari cara yang tepat untuk memberi penjelasan kepadanya.
“Gimana ya mulai ceritanya?” Gua menggumam pelan.
“Ya mulai aja dari cewek itu siapa” Ujar Poppy. Bicaranya masih dengan nada bergetar, kedinginan.
Gua lalu meraih handuk yang tergantung di balik pintu dan membalut tubuhnya dengan handuk. Namun, Poppy dengan cepat meraih handuk itu dan melemparnya ke arah ranjang. Gua kembali meraih handuk tersebut dan kembali membalut tubuhnya, kali ini dia hanya diam.
“Dia siapa?” Tanyanya lagi.
Gua menghela nafas sebentar, kemudian mulai menjawab; “Namanya Tata”
“Tata Janeeta?” Tanyanya.
“Hah! Siapa tuh?” Gua balik bertanya.
“Artis, udah lupain.. Lanjut. Siapa dia?”
“Iya, namanya Tata” Gua bicara, mengulang jawaban sebelumnya.
“Gua udah tau, kalo namanya Tata!!, Tapi dia itu siapa?” Tanyanya, kini dengan nada sedikit meninggi.
Gua lalu mulai bercerita ke Poppy. Cerita tentang Tata, tentang bagaimana kami akhirnya bertemu kembali, tentang bagaimana gua sebisa mungkin mencoba menghindarinya, tentang awal pertemuan dengannya semasa SMA dan tentang ‘hubungan’ kami berdua.
Lalu tiba saat gua mulai bercerita tentang kejadian saat konser di acara pensi. Momen dimana masa-masa kelam itu bermula.
“Oh jadi di sana, di acara itu, lo nusuk orang?” Tanyanya. Padahal saat itu gua baru saja memulai cerita.
Belum sempat gua memberi jawaban, Poppy kembali mengajukan analisanya; “Pasti lo berantem, nusuk orang gara-gara dia kan? Gara-gara cewek yang namanya Tata itu”
“Dan tebakan gua; selama ini, selama 8 tahun lo dipenjara, dia sama sekali nggak nengokin lo kan?” Poppy membuat tebakan. Tebakan yang tepat.
“Kok lo tau?” Gua bertanya, bagaimana tebakannya bisa tepat.
“Dari cara lo mencoba menghindarinya…” Jawabnya.
Dan saat gua ingin melanjutkan cerita, Poppy mengangkat tangan dan jari telunjuknya ke atas. Membuat gestur dan kode agar gua diam.
“Ssttt… udah, udah sampe disitu aja cerita lo. Gua mau langsung masuk ke bagian terpentingnya; Setelah semua kejadian itu, kenapa dia sekarang nyari lo?” Tanyanya, yang kini merubah posisi duduknya di hadapan gua.
Gua mengangkat bahu. Nggak punya jawabannya.
“Nggak mungkin kebetulan dong?” Tambahnya, mencoba menerka-nerka.
Gua mencoba mengingat, saat pertama kami berjumpa kembali setelah 8 tahun. Pertemuan itu terjadi beberapa waktu yang lalu, saat gua sudah bekerja di kedai dan ia ‘kebetulan’ datang bersama dengan dua orang temannya.
“Gua rasa kebetulan. Soalnya dia sama temen-temennya pernah dateng waktu itu ke kedai” Gua menjelaskan.
“Terus kenapa waktu itu dia nggak langsung ngajak lo ngobrol? Kenapa mesti nunggu sekarang?” Tanya Poppy.
Poppy lalu berdiri, ia melangkah mondar-mandir sambil mengusap dagunya dan menatap ke arah langit-langit. Mirip seorang detektif yang tengah membuat deduksi di film-film.
Sesekali ia menggumam pelan; “Jangan-jangan, waktu pertama kali dia ketemu sama lo, dia belum yakin kalo lo itu Marshall…”
“.... Atau bisa juga, waktu pertama kali ketemu lo, dia nggak bisa ngapa-ngapain karena saat itu ada teman-temannya…”
“... Atau bisa jadi, ia sengaja milih waktu yang tepat buat ketemu lagi sama lo. Dan waktu itu adalah malam ini…”
“.. Hmmm.. Menarik, sungguh menarik” Gumamnya.
“Apaan sih lo, kayak detektif aja” Ucap gua.
Poppy tersenyum, lalu membungkuk tepat di hadapan gua. Mirip seperti seorang detektif yang tengah mengumpulkan informasi dari seorang saksi; ia lalu mengajukan pertanyaan; “Marshall.. Sekarang ini, lo masih suka sama dia nggak?” Tanyanya.
Gua terdiam sebentar, kemudian menggeleng.
“Hmmm… Pertanyaan selanjutnya; Kalo sekarang lo udah nggak suka sama dia, apakah ada cewek yang lo suka?” Tanya Poppy, masih dengan gaya yang sama; gaya detektif.
Gua mengangguk pelan.
“Apakah cewek yang lo suka itu gua?” Tanyanya.
“Iya”
—
Believe Me - Fort Minor
I guess
That this is where we've come to
If you don't want to
Then you don't have to believe me
But I won't be there when you go down
Just so you know now
You're on your own now believe me
I don't want to be the one to blame
You like fun and games
Keep playing em
I'm just saying
Think back then
You was like one of the same
On the right track
But I was on the wrong train
Just like that
Now you gotta face the pain
And the devil's got a fresh new place to play
And in your brain like a maze you can never escape the rain
Every damn day is the same shade of grey
Hey
I use to have a little bit of a plan
Use to
Have a concept of where I stand
But that concept slipped right out of my hands
Now I don't really even know who I am
Yo, what do I have to say
Maybe I should do what I have to do to break free
What ever happens to you, we'll see
But it's not gonna happen with me
I guess
That this is where we've come to
If you don't want to
Then you don't have to believe me
But I won't be there when you go down
Just so you know now
You're on your own now believe me
Back then, I thought you were just like me
Somebody who could see all the pain I see
But you proved to me unintentionally
That you would self-destruct eventually
Now I'm thinking like the mistake I made doesn't hurt
But it's not gonna work
Cause it's really much worse than I thought
I wished you were something that you were not
And now this guilt is really all that I got
You turned your back
And walked away in shame
All you got is a memory of pain
Nothing makes sense so you stare at the ground
And hear my voice in your head when no one else is around
What do I have to say
Maybe I should do what I have to do to break free
What ever happens to you, we'll see
But it's not gonna happen with me
(Not gonna happen)
I guess
That this is where we've come to
If you don't want to
Then you don't have to believe me
But I won't be there when you go down
Just so you know now
You're on your own now believe me
I guess
That this is where we've come to
If you don't want to
Then you don't have to believe me
But I won't be there when you go down
Just so you know now
You're on your own now believe me
Do what i have to do
You're on your own now believe me
What ever happens to you
You're on your own now believe me
What do I have to say
You're on your own now believe me
It's not gonna happen with me
You're on your own now believe me