Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Spoiler for Part 12 - Tentang Dirinya Yang Tak Ku Ketahui:
Kini satu persatu teka-teki mengenai dirinya mulai menjadi rangkaian. Sebuah rangkaian yang menimbulkan asumsi. Dari mulai ia yang nggak punya rekening bank, baru punya nomor ponsel, kondisinya waktu pertama kali bertemu dan yang terakhir sertifikasi barista yang kini masih berada di tangan gua.
‘Jika benar ia mantan narapidana, kejahatan apa yang sudah ia lakukan?’ Gua bertanya-tanya dalam hati.
Sementara, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamar. Nggak mau ketahuan olehnya, gua buru-buru mengembalikan sertifikat dan pakaian-pakaian miliknya ke dalam plastik berwarna merah dan meletakkannya di lantai, tepat di bawah dinding tempat ia menggantungnya.
Marshall muncul diambang pintu, tangannya menggenggam plastik putih bening berisi bungkusan yang sepertinya nasi dan dua botol air mineral ukuran besar berada di pelukan tangannya yang lain.
Ia masuk, lalu tanpa banyak bicara membuka tutup botol air mineral dan menyerahkannya ke gua.
“Makasih” Gua merespon, lalu meraih botol pemberiannya dan mulai minum.
Ia lalu duduk, mengeluarkan bungkusan dari dalam plastik dan membukanya.
Hanya dengan bungkusan yang sama yang ia gunakan sebagai alas, seporsi nasi lengkap dengan lauk pauknya ‘terhampar’ di hadapan kami berdua.
“Makan dulu nih” Ucapnya, sambil menggeser porsi nasi lebih dekat ke arah gua.
“Lo mana?” Gua bertanya.
“Gua gampang nanti aja. Lo aja makan dulu…” Ucapnya.
Gua berpaling dan menatapnya. Memandang wajahnya yang kini penuh senyum, wajah penuh keramahan. Dengan perlakuannya selama ini ke gua, yang lembut dan perhatian, apa mungkin dia seorang bekas kriminal? Jika iya, berapa persen kemungkinannya ia mengulangi kejahatannya?
Tentu saja terbesit keraguan yang besar di hati ini. Gua kan cuma manusia biasa, yang punya rasa takut, cemas dan khawatir.
“Kenapa? Udah makan” Ujarnya lagi, saat melihat gua nggak langsung makan, namun malah memandangnya.
Pandangannya lalu teralih ke plastik merah yang berisi pakaian miliknya yang kini sudah berada di lantai. Ia berdiri, meraih bungkusan plastik tersebut dan paku yang tadi sempat terlepas lalu memasangnya kembali ke dinding. Marshall berbalik dan kembali menatap ke arah gua yang masih belum juga makan.
“Kenapa?” Tanyanya lagi, kali ini ia langsung duduk tepat di sebelah gua.
Mendapat perlakuan seperti itu, gua secara spontan menggeser duduk. Hal yang tentu saja membuat Marshall langsung pasang tampang bingung.
Ia lalu berdiri dan berpindah. Kini ia duduk di sisi depan kamar, bersandar pada pintu sambil menatap keluar.
Gua ikut berdiri dan bersiap keluar dan berusaha pergi dari tempat ini. Jujur ada rasa ketakutan yang luar biasa di dalam diri. Takut akan sosoknya, yang mungkin saja punya sejak awal punya niatan jahat terhadap gua. Saat hendak keluar tiba-tiba Marshall meraih tangan gua lalu ia ikut berdiri.
“Tunggu, Pop…” Ucapnya. Kemudian perlahan melepas genggamannya.
Mengambil makan yang sudah dibuka, membungkusnya kembali dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam plastik bening dan menyerahkannya ke gua.
“Nih, bawa aja…” Tambahnya seraya menyerahkan bungkusan nasi itu ke gua.
Gua meraihnya dan meletakkannya di lantai, di depan pintu lalu dengan cepat pergi dari sana.
Sepanjang perjalan pulang pikiran gua mulai berkecamuk; gimana kalau ia benar-benar punya niat jahat? ‘Duh, mana dia udah tau rumah gua’ batin gua dalam hati. Dan yang jelas paling krusial adalah; Gua sudah kepalang jatuh hati kepadanya.
Tapi, seandainya asumsi gua yang hanya berdasarkan teki-teki dan sertifikasi barista dari penjara ternyata salah. Bagaimana gua harus kembali kepadanya? Dan yang cukup fatal adalah, gua sama sekali nggak meminta penjelasan darinya.
Gua menghentikan langkah.
Kemudian berbalik dan mulai berlari untuk kembali ke tempat Marshall. Gua menaiki tangga sempit yang curam tanpa berhati-hati sehingga sedikit terpeleset, membuat tulang kering gua terasa sedikit perih. Gua mengabaikannya dan terus naik hingga ke lantai tiga.
Marshall terlihat duduk bersandar di depan kamar kosnya, dengan sebatang rokok ditangannya, sementara mulutnya mengepulkan asap ke udara. Ia menatap gua yang baru saja datang, lalu membuang puntung rokok di tangannya dan berdiri.
Sambil terpincang-pincang, menahan sakit di tulang kering kaki kiri, gua berjalan mendekat hingga kami berdua saling berhadapan. Gua mendongak dan menatap matanya.
“Lo itu siapa sih sebenernya?” Tanya gua pelan, sambil meringis menahan rasa sakit.
Marshall nggak mersepon. Ia meraih pinggul gua dan membopong gua masuk ke dalam kamar kemudan membaringkan tubuh ini di atas ranjangnya. Dengan hati-hati ia menaikkan celana panjang yang gua kenakan dan memperhatikan luka di tulang kering.
Tanpa banyak bicara, ia berdiri dan berjalan cepat keluar dari kamar lalu disusul suara langkahnya menuruni anak tangga. Sementara, gua hanya bisa memandang ke arah atap plafon sambil menghela nafas panjang dan menutupi wajah dengan tangan.
Nggak lama berselang, Marshall kembali dengan sebuah kotak plastik berisi perlengkapan P3K yang entah didapatnya dari mana. Ia duduk di sebelah ranjang, lalu dengan hati-hati mulai membersihkan luka di tulang kering gua dengan kapas dan alkohol, yang tentu saja membuat rasa perih luar biasa.
Gua mencoba bangun dan memberi beberapa pukulan di bahunya, melampiaskan rasa sakit karena nggak bisa berteriak; takut terdengar tetangga lain. Marshall bergeming, ia tetap lanjut membersihkan luka dan kini mulai membubuhkan obat antiseptik. Selesai dengan antiseptik, dengan hati-hati ia membalut luka dengan perban yang berada di kotak P3K.
Setelah selesai dengan luka di kaki gua dan membereskan perlengkapan P3K ke dalam kotak. Ia duduk dan menatap gua sambil tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Gua duduk dan kembali bertanya kepadanya, pertanyaan yang sebelumnya nggak dijawabnya.
“Lo itu siapa sih sebenernya?” Tanya gua lagi.
“Marshall” Jawabnya.
Gua menghela nafas, dan kembali mengajukan pertanyaan. Namun, kali ini pertanyaan yang gua ajukan sedikit berbeda. “Lo punya rahasia apa, sal?”
Senyumnya hilang dari wajah. Marshall terdiam sebentar sambil menundukkan kepala, nggak memberikan jawaban.
“Sal?” Gua menyebut namanya, menagih jawaban.
“Gua punya rahasia yang nggak bisa gua ceritain. Rahasia yang bakal gua bawa sampe mati” Marshall memberi jawabannya.
Gua lalu menunjuk ke arah plastik merah berisi pakaian dan sertifikat baristanya yang kini kembali tergantung pada dinding kamar kos; "Itu rahasia yang mau lo bawa sampe mati?"
Marshall menoleh, mengikuti arah yang gua tunjukkan. Ia nggak menjawab, hanya tersenyum Kemudian berdiri, mengambil plastik merah yang gua maksud lalu menuang semua isinya tepat di depan gua.
Ia mengambil kertas sertifikat barista atas namanya yang diterbitkan oleh penjara dan menunjukkannya ke gua; “Ini? Ini sertifikat barista gua. Gua belajar bikin kopi disini” Ucapnya.
“Berarti lo pernah dipenjara kan?” Tanya gua mencoba memastikan.
“Iya” Marshall mengangguk.
Gua menghela nafas. Ternyata benar dugaan gua, ia adalah mantan napi.
“Berapa lama?” Tanya gua.
“8 Tahun” Marshall menjawab singkat.
Gua cukup terkejut begitu mendengar jawaban dari Marshall. Di penjara selama 8 tahun tentu saja bukan kaleng-kaleng. Ia pasti telah melakukan kejahatan yang serius.
“Karena apa?” Tanya gua. Ingin mengetahui alasan ia masuk ke dalam penjara.
“Nusuk orang” Jawabnya.
“Hah?!” Gua terkejut, kemudian menggeser tubuh ke belakang, berusaha kembali menjauh dari dirinya.
Marshall sedikit mencondongkan tubuh ke arah gua, sepertinya ingin membisikkan sesuatu, namun gua buru-buru mencegahnya dengan mengangkat tangan dan mendorong tubuhnya agak menjauh.
“Terus, siapa yang lo tusuk?” Tanya gua lagi.
Marshall nggak menjawab, ia hanya menggeleng sambil mengangkat bahunya ke atas.
Melihat responnya tersebut tentu saja membuat gua semakin ngeri. Bagaimana mungkin ia menusuk orang yang nggak ia kenal?
“Terus gimana orangnya?” Tanya gua lagi.
“Mati…” Marshall menjawab santai.
“Whattt!!!” Gua memberi respon dengan sedikit berteriak. Kok bisa-bisanya dia menjawab ‘Mati’ dengan gaya yang santai dan wajah tanpa ekspresi kayak gitu. Hal yang tentu saja bikin gua ketar-ketir dan ketakutan setengah mati.
“Gua ngerti kalo orang-orang bakal takut sama gua, termasuk elo. Gua juga nggak bakal kecewa atau marah kalau sekarang lo pergi dari gua. Gua maklum kok…” Marshall bicara sambil tersenyum.
Sementara, gua hanya bisa terdiam sambi menatap wajahnya.
“... Gua bisa aja cerita ke elo tentang masa lalu gua, yang bekas napi. Tapi, bos gua di kedai bilang kalau sebaiknya gua nggak ceritain hal ini ke orang lain.
Mungkin takut citra kedainya tercoreng. Jadi, gua nggak bisa cerita ke elo”
“...”
“... Dan pas pulang beli makan tadi, lo langsung berubah. Gua yakin kalo lo udah tau tentang gua dari sini” Tambahnya seraya menunjuk sertifikasi barista di tangannya.
“...”
“... Karena lo udah terlanjur tau, gua bakal happy banget kalo lo masih mau berteman dengan gua. Tapi, seandainya nggak pun ya gapapa. Lo bisa pergi dari gua kapanpun lo mau. Tapi, gua minta tolong satu hal”
“Apa?” Tanya gua.
“Jangan cerita ke siapa-siapa tentang hal ini. Ya paling nggak, selama gua masih kerja di kedai kopi” Jawabnya sambil menundukkan kepala.
Marshall nggak menunggu respon dari gua. Ia meraih kotak P3K di lantai dan berdiri, bersiap untuk keluar. Sebelum keluar, ia menoleh dan kembali bicara; “Gua mau balikin ini dulu ke Bu Marni. Kalo lo mau pulang, itu nasi bungkusnya di bawa aja…”
Baru beberapa langkah, ia lalu kembali dan bicara; “Nanti pas turun tangga hati-hati ya”
Gua terdiam dan menatap ke arah nasi bungkus yang kini tergeletak di lantai di sisi ranjang. Saat ini, gua harus memutuskan; pergi dari sini dan memutuskan hubungan dengan Marshall atau tetap disini dan terus bersamanya.
Keputusan gua sudah bulat.
Gua meraih bungkusan nasi dan keluar dari kamar. Lalu dengan hati-hati menuruni tangga besi sesuai dengan saran dari Marshall tadi. Keluar dari area kos, Marshall terlihat baru saja kembali dari rumah Bu Marni, ia sempat menatap ke arah gua sebentar kemudian menundukkan kepalanya.
Saat kami hampir bersisian, gua menghentikan langkah dan merapatkan tubuh ke dinding agar ia bisa melewati gua.
Tanpa bicara sepatah kata pun, Marshall berlalu.
Dengan cepat, gua meraih lengannya. Ia lalu berhenti tanpa menoleh.
“Ayo makan. Gua mau makan sama-sama lo. Tapi, kalo makan satu porsi berdua, gua kurang kenyang…” Ucap gua lirih.
Marshall lalu berbalik dan tersenyum.
“Gua ngunci pintu kamar dulu” Ucapnya.
“Nggak usah, lo lebih takut kehilangan baju-baju lo atau gua?” Tanya gua. Merujuk ke barang yang ia miliki di kamar kos hanya pakaian. Nggak ada barang berharga lain yang khawatir akan hilang.
Marshall tertawa. Kemudian menyusul gua.
Kami berdua lalu makan di warteg yang nggak begitu jauh dari lokasi kos. Sambil makan gua terus bertanya tentang masa lalunya, ingin tahu sebanyak-banyaknya.
Marshall bercerita, tentu saja sambil menurunkan volume suaranya agar nggak terdengar oleh orang lain yang kebetulan makan di sana. Dari ceritanya gua tau kalau, ia masuk penjara karena menusuk orang saat tengah menonton konser musik. Marshall divonis hukuman penjara selama 10 tahun. Namun, setelah mendapat remisi karena kontribusinya terhadap lapas, ia bisa keluar setelah 8 tahun masa hukuman.
“Terus, gua tadi liat, gambar-gambar di balik struk belanjaan. Itu lo yang buat?” Tanya gua seraya menghabiskan porsi ayam goreng.
Marshall mengangguk pelan.
“Serius?” Tanya gua lagi, mencoba memastikan.
“Iya” Jawabnya.
“Bagus banget lho… Lo suka gambar juga?”
“Dulu, suka” Jawabnya.
“Dulu? Sekarang?” Tanya gua.
“Hmmm… Sekarang nggak begitu,” Marshall menjawab santai.
“Kenapa?”
“Nggak tau deh, menggambar kayaknya bikin gua inget sama masa lalu” Marshall menjelaskan.
“Tapi lo tetep lakukan?” Tanya gua, berdasar dari gambar-gambar dibalik struk belanjaan.
“Iya, gua kan nggak bilang nggak bisa. Cuma, sejak saat itu, menggambar buat gua nggak lagi mengasyikkan. Nggak lagi jadi penghiburan…” Marshall menjelaskan.
“Bisa bikin sketsa gua?” Gua mengajukan permintaan.
Marshall menggeleng.
“Kalo nggak terpaksa banget, gua nggak mau menggambar sosok orang” Jawabnya.
“Lho emang kenapa?” Tanya gua lagi, semakin penasaran.
“Nggak tau, mungkin karena manusia selalu berubah. Beda sama bangunan; yang nggak pernah berubah” Marshall memberi jawaban.
Gua tertegun. Ia sungguh kebalikan dari gua. Sejak dahulu, gua selalu menghindari untuk menggambar bangunan dan lebih memilih menggambar sosok manusia; karena menurut gua sosok manusia punya banyak sisi untuk di deskripsikan, untuk dilukis, untuk digambar bahkan untuk diceritakan. Selain itu, menurut gua, menggambar bangunan rasanya sangat melelahkan karena dengan style gua saat ini, bikin gambar bangunan penuh dengan detail-detail yang harus sempurna.
“Gua malah lebih suka gambar manusia daripada gambar bangunan” Gua bicara.
“Masa?”
“Gimana kalo kapan-kapan kita gambar bareng-bareng. Lo gambar bangunannya, gua gambar orangnya?” Gua mengajukan penawaran.
Marshall nggak menjawab, ia hanya terdiam lalu tersenyum.
Diperjalanan pulang, gua kembali bertanya tentang latar belakang kehidupan masa lalunya. ‘Mumpung dia sudah ‘sedikit’ terbuka’ gua membatin.
“Orang tua lo? Masih ada kan?” Tanya gua.
Marshall nggak langsung menjawab, ia hanya terdiam sambil terus berjalan.
Kakinya yang panjang membuat langkahnya jadi lebih jauh, sehingga ia terus berada sedikit di depan gua.
Gua mempercepat langkah agar bisa menyamainya.
“Masih” jawabnya.
“Terus kenapa lo nggak pulang ke rumah orang tua lo?” Tanya gua lagi.
Marshall menggelengkan kepalanya.
“Gua takut dan malu..” Jawabnya pelan.
Seketika gua terdiam begitu mendengar jawaban darinya. Pasti berat menjadi dirinya.
Gua menepuk bahunya, mencoba memberi penghiburan. Ia lalu menoleh ke arah gua dan tersenyum.
“Masih sakit nggak kakinya?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah kaki gua yang tadi terluka.
“Udah nggak kok” Gua menjawab dan membalas senyumnya.
—
Setelah kejadian itu, hubungan kami berdua semakin terasa hangat. Walaupun saat ini status kami berdua hanyalah sebagai teman, tapi dengan semua perlakuannya gua sudah merasa sangat bahagia. Rasanya malah kayak berasa punya pacar beneran.
Ia selalu menanyakan kabar gua melalui pesan singkat. Makan nasi goreng bareng, hingga jajan di depan SD dekat kos di saat libur. Gua bahkan beberapa kali minta bokap agar nggak usah menjemput. Biar gua bisa beralasan ke Marshall agar ia mau mengantarkan gua pulang. Ya walaupun harus berjalan kaki, tapi asal dengannya rasa lelah pun terbayar dengan senyumnya.
Malam itu hujan turun cukup deras. Nggak ingin merepotkan bokap yang harus menjemput sambil hujan-hujanan, gua menelponnya, memintanya nggak perlu menjemput. ‘Ah sekalian minta anterin Marshall deh’ gumam gua dalam hati.
Selesai bekerja, dengan menggunakan payung, gua melangkah menyusuri jalan yang sepi sambil sesekali bersenandung. Di belokan depan, nanti kedai kopi dimana Marshall bekerja akan terlihat dan gua bakal segera bertemu dengannya.
Tiba-tiba, terlihat seorang cewek berlari seperti tengah mengejar sesuatu. Ia lalu kepayahan dan terduduk di tepian jalan. Dari pakaiannya yang basah kuyup gua dapat menebak kalau cewek itu merupakan seorang karyawan kantoran. Tapi, lagi ngapain cewek dengan pakaian necis itu lari sambil basah-basahan? Nggak seberapa lama, sesosok bayangan cowok mendekat, berdiri di sebelah perempuan yang terduduk seraya mencoba memayunginya. Sontak, gua langsung bersembunyi di balik salah satu mobil boks yang tengah terparkir di depan toko saat mengetahui sosok cowok itu adalah Marshall.
—
Owl City - Fireflies
You would not believe your eyes
If ten million fireflies
Lit up the world as I fell asleep
'Cause they'd fill the open air
And leave teardrops everywhere
You'd think me rude
But I would just stand and stare
I'd like to make myself believe
That planet Earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
'Cause everything is never as it seems
'Cause I'd get a thousand hugs
From ten thousand lightning bugs
As they tried to teach me how to dance
A foxtrot above my head
A sock hop beneath my bed
A disco ball is just hanging by a thread
(Thread, thread...)
I'd like to make myself believe
That planet Earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
'Cause everything is never as it seems
(When I fall asleep)
Leave my door open just a crack
(Please take me away from here)
'Cause I feel like such an insomniac
(Please take me away from here)
Why do I tire of counting sheep?
(Please take me away from here)
When I'm far too tired to fall asleep
(Ha-ha)
To ten million fireflies
I'm weird 'cause I hate goodbyes
I got misty eyes as they said farewell
(Said farewell)
But I'll know where several are
If my dreams get real bizarre
'Cause I saved a few and I keep them in a jar
(Jar, jar, jar...)
I'd like to make myself believe
That planet Earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
'Cause everything is never as it seems (when I fall asleep)
I'd like to make myself believe
That planet Earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
'Cause everything is never as it seems (when I fall asleep)
I'd like to make myself believe
That planet Earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Because my dreams are bursting at the seams