Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Gua langsung menjatuhkan diri di atas ranjang begitu tiba di kamar. Menatap layar ponsel sambil berpikir, bingung ingin memberi nama apa untuk kontaknya Marshall.
“Poppy, makan dulu” Terdengar teriakan nyokap dari lantai bawah.
“Iya” Gua menjawab, namun nggak merubah posisi sama sekali.
Nyokap kembali berteriak, kali ini disusul suara langkah kakinya menaiki tangga kayu reot menuju ke atas. Gua bangkit dari ranjang dan bersiap untuk keluar kamar kemudian turun. Namun, nyokap lebih dulu membuka pintu kamar. Ia memandang sekeliling sebentar, kemudian masuk.
Lagi, ia menatap sekeliling kamar. Lalu meraih baju-baju, termasuk sweater yang tadi baru saja gua kenakan, mengumpulkannya jadi satu kemudian memasukkannya ke dalam keranjang plastik berwarna hijau yang berada di sudut kamar; keranjang yang memang nyokap sediakan untuk pakaian kotor, namun nggak pernah gua gunakan.
Ia lalu berkeliling ranjang sambil merapikan ujung-ujung sprei di atas kasur, kemudian duduk di sebelah gua.
“Tumben kamu keluar main pas libur?” Tanya nyokap, sementara ujung tangannya masih terus menyeka permukaan sprei.
“Iya, lagi pengen aja bu” Gua menjawab dengan mata masih menatap ke layar ponsel.
“Belum makan kan? Udah sana makan dulu, Ibu masak ikan teri tuh, kesukaan kamu” Ucap Ibu.
Gua menoleh ke arah nyokap, menatap wajahnya yang penuh kehangatan lalu memeluknya. Dalam pelukannya yang nyaman, gua mendongak, kembali menatapnya dan mulai berbisik; “Bu, Poppy suka sama cowok”
Tak ada ekspresi kaget maupun terkejut yang ditunjukkan nyokap. Ia tersenyum, sambil membelai kepala gua.
“Iya, ibu udah tau” Ucapnya.
“Hah, tau dari mana?” Tanya gua sambil keluar dari pelukannya.
Nyokap lalu menatap gua dan bicara; “Ibu mana sih yang nggak tau perubahan anaknya? Anak yang tiba-tiba keluar main saat libur, anak yang nggak biasa-biasanya menghindar dari teri balado kesukaannya. Ibu mana sih yang nggak tau kalau anaknya jatuh cinta?”
Mendengar ucapannya barusan, gua tersenyum dan kembali memeluknya.
“Cowokmu itu kira-kira masih mau nggak kalo tau kondisi ekonomi kita?” Tanya nyokap.
“Bukan, eh belum jadi cowok poppy bu.. lagian emang masih jaman pacaran memandang status ekonomi?”
“Ih, masih tau pop..” Nyokap menjawab.
“Tau dari mana?” Tanya gua.
“Itu dari sinetron yang di tivi…” Jawabnya dengan nada dan ekspresi ekstra serius.
“Ih ibu mah, itu kan cuma di sinetron. Di dunia nyata mah nggak ada yang kayak gitu bu” gua mencoba menjelaskan.
“Orang yang bikin sinetron kan pasti berdasar dari kisah nyata pop. Pasti ada!” Nyokap nggak mau kalah.
Enggan melayani perdebatan dengan nyokap karena takut dosa, gua pun hanya tersenyum.
Saat makan gua kepikiran Marshall; ‘Udah makan belum ya dia’
Tanpa menghabiskan sisa makanan, gua kembali ke kamar dan bersiap mengirim pesan kepadanya. Tapi, agak sedikit aneh kalau tiba-tiba gua mengirim pesan dan bertanya ‘udah makan belum?’ Duh, malah kayak pasangan baru jadian.
Tapi baru membayangkannya saja sudah bikin gua senyum-senyum sendiri sambil guling-guling di atas ranjang. Yang tanpa sadar kelakuan gua itu tengah jadi tontonan nyokap dan Dinar yang sudah berdiri di ambang pintu.
Menyadari hal itu, sambil menahan malu, gua berdiri dan menutup pintu. Sementara, nyokap dan Dinar masih berdiri di sana sambil tangan mereka menutup mulut mencoba menahan tawa. Samar terdengar pertanyaan Dinar ke nyokap; “Bawa ke psikolog aja kali bu, daripada nanti tambah parah”
Setelah menimbang baik dan buruknya, memilih, memadu padankan kata yang tepat, gua akhirnya mengiriminya pesan; ‘Udah kelar kerja?’
Nggak sampai semenit, ia membalas pesan gua; ‘Udah. Baru aja’
‘Udah baca 20th century boys?’ Gua kembali membalas, dengan kata-kata yang sudah gua persiapkan sebelumnya.
‘Belum’ Balasnya.
‘Yaah…’
Dan tiba-tiba tak ada balasan lagi darinya. Gua mencoba mengirimkan pesan lagi: ‘Sal?’
Masih tak ada balasan.
Gua menjatuhkan diri di atas ranjang dan menatap ke langit-langit kamar sambil bergumam; ‘Ck, kemana sih?’
Masih sambil berbaring, gua meletakkan ponsel di sisi bantal. Sesekali melirik ke arah layarnya, siapa tau sudah ada balasan pesan dari Marshall. Tapi, sesering apapun gua mengeceknya nggak ada satupun pesan masuk.
Gua merubah posisi, berbalik. Kini sambil tengkurap, gua menatap layar ponsel yang semakin lama semakin meredup kemudian perlahan mati. Lelah menunggu gua akhirnya tertidur.
‘Drtt, Drrtt’ ponsel gua bergetar. Sambil menahan kantuk yang sangat, gua meraba permukaan ranjang dan meraih ponsel. Sebuah balasan pesan dari Marshall. Seketika rasa kantuk pun hilang. Gua bangun, duduk dan mulai membaca balasan pesan darinya; “Pop, 20th Century Boys keren banget. Tapi, di kedai cuma ada satu. Lo punya volume lainnya nggak?”
Gua tersenyum dan membalasnya; “Ada, nanti gua bawain”.
“Yes!!” Gua berteriak. Sementara, di ambang pintu kamar, Dinar berdiri menatap gua, dengan handuk melingkar di bahunya. Sesaat berikutnya, ia berteriak; “Bu!!...”
—
Semakin lama, hubungan gua dengan Marshall semakin intens. Namun, gua tetap mencoba menahan diri, nggak mau secara eksplisit memperlihatkan kalau gua suka kepadanya. Gua takut, saat nanti ia tahu akan perasaan ini, hubungan kami malah renggang, jadi canggung, atau malah bisa saling menjauh. Dan gua nggak mau itu terjadi.
“Lo jadi nyari tempat kost nggak, Sal?” Tanya gua begitu kami berdua dalam perjalanan pulang setelah makan di tukang nasi goreng langganan.
“Mau… Tapi dimana ya yang murah?”
“Mau gua cariin?” Gua mencoba menawarkan bantuan.
“Ya mau dong”
“Budgetnya berapa?” Tanya gua lagi.
“Hmmm… berapa ya? Emang pasarannya berapa sih?”
“Ya, kalo mau yang agak gede, kamar mandi di dalem, di daerah sini, yang agak ke dalem bisa 2-3 jutaan”
“Hah? Satu kamar?” Tanyanya seakan nggak percaya.
“Iya. Kalo yang agak kedepan malah bisa sampe 4-5 juta”
“Buset!”
“Ya kalo mau yang agak murah juga ada, yang satu kamar, kamar mandinya di luar tapi” Gua memberi penawaran, merefer ke salah satu tempat kos yang gua tau. Karena beberapa teman gua pernah tinggal disana.
“Berapa?” Tanyanya.
“1,5 jutaan”
“Oh…”
Marshall lalu terlihat mendongak ke atas, seperti tengah berpikir atau mungkin menghitung pengeluarannya jika setuju dengan kamar kost senilai 1,5 juta yang barusan gua tawarkan. Melihat sepertinya ia kurang berkenan, gua lalu memberinya opsi terakhir. Sebuah tempat yang sejatinya nggak cukup nyaman, tapi yang gua tahu, ini merupakan tempat paling murah.
“Ada yang sejuta lo mau?”
Kali ini Marshall nggak menunggu lama; Wajahnya langsung berbinar sementara kepalanya mengangguk; “Iya mau”
“Tapi tempatnya kecil, terus…” Belum sempat gua menyelesaikan kalimat. Marshall langsung memotongnya; “Sstt… udah iya gua mau. Kapan kita bisa liat tempatnya?”
“Hmmm…. Kapan ya? Nunggu gua libur kuliah dan kerja gapapa?” Gua bertanya.
“Kapan?”
“Sabtu?” Gua menyebut hari libur kuliah dan kerja
“Ok deh…” Marshall menjawab sambil mengacungkan ibu jarinya.
Kami lalu tiba di persimpangan jalan, persimpangan yang seharusnya memisahkan kita berdua. Gua bersiap untuk menyebrang jalan dan berbelok ke kiri; “Gua duluan ya”.
Tanpa disadari, Marshall mengikuti gua dari belakang. Gua menoleh dan menghentikan langkah; “Ngapain?” Tanya gua.
“Nganterin lo” Jawabnya seraya tersenyum sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.
“Nggak usah, gua berani sendiri kok” Gua mencoba menolak. Yang tentu saja palsu. Seandainya hati ini bisa bicara, mungkin sejak tadi gua sudah berteriak minta diantar.
“Gapapa, sekalian jalan-jalan” Jawabnya.
“Yaudah” Jawab gua mencoba pasang ekspresi santai, lalu berbalik dan tersenyum lebar.
Gua lalu mencoba melambatkan langkah agar Marshall bisa segera menyusul dan berada di sebelah gua. Tapi, setelah menunggu lama, ia nggak juga menyusul. Gua kembali menoleh dan mendapati Marshall masih berjalan pelan tepat dibelakang gua.
“Ya lo jalan sebelah-sebelahan sama cowok kayak gua. Nanti apa kata orang?”
“Hah?” Jujur, kali ini gua benar-benar bingung dibuatnya. Nggak habis pikir dengan cara kerja otaknya.
“Ya kalo lo nggak malu, bagus deh” Gumamnya pelan.
Gua lalu mencubit lengannya, membuatnya mengerang kesakitan.
Nggak seberapa lama kami berdua tiba di depan sebuah gang sempit yang bakal membawa gua kerumah. Kondisi lingkungan sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa orang bapak-bapak yang sedang nongkrong di muka gang, mereka menggelar kardus sambil bermain kartu.
“Permisi…” Gua bicara pelan seraya membungkuk karena harus lewat di tengah-tengah mereka. Marshall menyusul, sambil mengikuti ucapan dan gerak-gerik gua.
Gua berhenti tepat di depan rumah yang kini sudah terlihat gelap, karena lampur ruang tamu yang sudah dimatikan dan pintu depan yang tertutup rapat. Marshall berdiri di sebelah, menatap ke arah rumah ‘gubuk’ kami yang sedikit memalukan.
“Ini rumah lo?” Tanyanya. Dari wajahnya tak terlihat sedikitpun ekspresi mengecilkan atau memandang remeh seperti kebanyakan orang yang pertama kali melihat penampakan rumah gua dari luar. Justru sebaliknya, ia nampak kagum dan senang.
“Iya, kenapa jelek ya?”
Marshall nggak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala, masih sambil tersenyum.
“Mau mampir dulu?” Gua menambahkan, berbasa-basi.
“Sekarang sih nggak. Tapi, boleh nggak kapan-kapan gua numpang makan di sini?” Tanyanya, sambil memandangi rumah gua.
“Ya boleh lah” Gua memberi jawaban, jawaban dari permintaan yang nyaris nggak pernah gua dengar sebelumnya. Cowok yang gua suka, minta makan di rumah.
“Udah sana masuk” Ucapnya.
“Nggak, lo balik aja dulu, baru gua masuk”
“Nggak, lo masuk dulu, baru gua balik” Marshall sedikit memaksa.
Gua melangkah pelan menuju ke pintu rumah, baru beberapa langkah gua berbalik; “Udah sana” ucap gua ke Marshall sambil berbisik. Namun ia bergeming, tetap berdiri dan tersenyum. Gua meneruskan langkah, membuka pintu dan masuk ke dalam.
Begitu di dalam, alih-alih menutup pintu, gua melongok sebentar dan kembali memberi kode ke Marshall dengan lambaian tangan, agar dia segera pulang. Namun, ia tetap bergeming.
Gua menutup pintu dan menyibak tirai dengan perlahan, bermaksud mengintip dari sisi jendela. Dan Marshall masih berdiri disana. Rupanya ia tahu kalau gua mengintip, ia melambaikan tangannya ke arah gua kemudian berbalik dan pergi.
‘Cklek’ Terdengar suara saklar disusul ruangan yang langsung terang benderang. Gua berbalik dan mendapati nyokap tengah berdiri sementara tangan kanannya berada di tombol saklar lampu.
“Kalian ngapain, malem-malem?” Tanya nyokap.
“Hah, Kalian?” Gumam gua lalu menoleh dan terkejut saat melihat Dinar sedang duduk sambil tangannya menggenggam ujung tirai. Rupanya sejak tadi ia mengintip kami berdua.
Keburu malu, gua langsung beranjak ke lantai atas. Samar terdengar Dinar bicara ke Nyokap. “Kirain tadi mereka bakal ciuman kayak di film-film bu”
Yang lalu dibalas nyokap; “Hush, kamu ini… udah sana tidur”
—
Hari Sabtu, masih di minggu yang sama. Gua dan Marshall sudah tiba di tempat kost yang sempat gua ceritakan kepadanya beberapa hari yang lalu. Lokasinya nggak begitu jauh dari kedai tempatnya bekerja, hanya saja akses untuk menuju ke tempat kost ini cukup sempit, bahkan lebih sempit dari gang rumah gua. Saking sempitnya sepeda motor bahkan nggak bisa lalu lalang di tempat ini.
“Bawaan lo emang cuma ini doang?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah plastik merah semi transparan yang sejak tadi dibawanya. Plastik yang sepertinya hanya berisi, pakaian dan beberapa lembar kertas di dalam map plastik.
“Iya” Jawabnya.
“Sabun, dan alat mandi, nggak punya?” Tanya gua seraya mempercepat langkah, karena kami akan memasuki gang sempit yang nggak bisa dilalui secara berdampingan.
“Ada di kedai” Jawabnya.
“Yaudah nanti beli aja” Gua memberi saran.
“Iya…”
Setelah melewati beberapa gang sempit, kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang merupakan rumah si pemilik kamar kost. Seorang wanita setengah baya yang bernama Bu Marni. Gua mengenal Bu Marni, karena kebetulan ia adalah teman satu kampung nyokap; sama-sama dari salah satu desa terpencil di Wonogiri, Jawa Tengah. Bu Marni lalu membimbing kami, berjalan sedikit menjauh dari rumahnya, berbelok ke kiri, lalu naik ke atas melalui tangga besi yang sempit hingga ke lantai tiga.
Bu Marni lalu membuka salah satu kamar dengan pintu kayu yang terlihat tua. Begitu pintu terbuka, hawa panas dan pengap langsung menyambut kami, terlihat kamar berukuran 2x3 meter yang tanpa ventilasi dan tanpa jendela.
‘Duh, sumpek banget nih kamar’ Gua membatin dalam hati. Berbeda dengan gua, Marshall justru nampak senang, ia tersenyum dan langsung masuk ke dalam.
“Ada sapu bu?” Tanyanya.
“Ya deal dulu lah, enak aja mau main nyapu” Jawab Bu Marni ketus. Iya, doi emang terkenal sebagai wanita yang judes.
“Ok Deal. Nih duitnya…” Respon Marshall lalu mengeluarkan sejumlah uang dari saku celananya dan menyerahkannya ke Bu Marni.
Selesai dengan urusan kontrak sewa menyewa, gua langsung membantu Marshall bersih-bersih. Untungnya, di kamar ini tersedia kasur dan bantal. Jadi, Marshall nggak perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli alat tidur. Ya paling, ia butuh sprei dan sarung bantal sih.
Setelah dibersihkan, ternyata kamar ini nggak seburuk sebelumnya. Jika, pintu kamar dibuka lebar-lebar, udara tetap mengalir sepoi-sepoi. Apalagi kamar ini berada di lantai tiga, membuat angin yang bertiup semakin terasa kencang.
Gua duduk di tepi ranjang sambil kipas-kipas menggunakan potongan kardus.
“Haus?” Tanyanya.
Gua mengangguk pelan.
“Gua beliin minum ya”
Gua kembali mengangguk.
“Mau makan sekalian nggak?” Tanyanya lagi.
“Mau…” Gua menjawab.
“Tunggu disini ya” Ujarnya, kemudian ia keluar dari kamar.
Masih sambil duduk dan menyejukkan diri, gua menatap sekeliling. Jika saja, kamar ini memiliki jendela dan ventilasi yang proper, tentu saja kamar ini bakal lebih baik dari kamar gua sendiri.
Pandangan gua lalu tertuju tumpukan pakaian bersih milik Marshall yang berserakan di lantai. Sepertinya baru saja jatuh karena paku yang digunakan sebagai penahan saat digantung pada dinding lepas. Gua meraih pakaian miliknya yang berserakan, melipatnya dan menatanya di atas ranjang.
Saat tengah melipat celana panjang, beberapa lembar kertas kecil berjatuhan. Gua memungut kertas-kertas tersebut, kertas yang ternyata merupakan struk belanja dari minimarket tempat gua bekerja, terlihat dari detail pembeliannya yang tertulis roti kemasan.
Gua membalik kertas struk dan mendapati sketsa sebuah bangunan, gua mengenali bangunan tersebut; Kedai kopi tempatnya bekerja. Gambarnya detail dan memanjakan mata. Penasaran, gua meraih kertas struk lainnya dan mendapati gambar bangunan lain; Minimarket tempat gua bekerja. Dan hampir semua kertas struk di sana berisi gambar-gambar sketsa bangunan, pohon, lampu lalu lintas, gerobak hingga tong sampah. Dan semuanya terlihat memukau.
“Ini dia yang bikin? Gila sih, keren…” Gua menggumam pelan, seraya mengumpulkan lembaran kertas struk tadi menjadi satu dan menyimpannya kembali ke dalam lipatan.
Sementara sebuah map plastik transparan yang tergeletak di lantai menarik perhatian gua. Karena bentuknya yang transparan, tanpa membukanya pun gua mampu membaca isi di dalamnya; Sebuah Sertifikasi Barista atas namanya.
Namun, yang membuat gua begitu kaget adalah, nama instansi yang mengeluarkan sertifikasi tersebut; Sebuah Penjara.
—
The Used - Buried Myself Alive
you almost always pick the best times
to drop the worst lines
you almost made me cry again this time
another false alarm
red flashing lights
well this time I'm not going to watch myself die
I think I made it a game to play your game
and let myself cry
I buried myself alive on the inside
so I could shut you out
and let you go away for a long time
I guess it's ok I puked the day away
I guess it's better you trapped yourself in your own way
and if you want me back
you're gonna have to ask
I think the chain broke away
and I felt it the day that I had my own time
I took advantage of myself and felt fine
but it was worth the night
I caught an early flight and I made it home
I guess it's ok I puked the day away
I guess it's better you trapped yourself in your own way
and if you want me back
you're gonna have to ask
nicer than that
nicer than that
with my foot on your neck
I finally have you
right where I want you
right where I want you
right where I want you
right where I want you
I guess it's ok I puked the day away
I guess it's better you trapped yourself in your own way
and if you want me back
you're gonna have to ask
nicer than that
nicer than that
and if you want me back
you're gonna have to ask
nicer than that
nicer
nicer