Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
“Pop, bangun. Kuliah nggak?” Ibu berteriak memanggil dari lantai bawah.
Sebenarnya gua sudah bangun sejak tadi, sejak alarm di ponsel gua berbunyi. Namun, gua nggak langsung turun dari ranjang, masih berbaring sambil menatap layar ponsel yang menampilkan timeline sosial media.
“Poppy…” Ibu kembali memanggil.
“Iyaa…” gua menjawab. Kemudian bangkit dan duduk sebentar di tepian ranjang; mengumpulkan fokus untuk memulai kegiatan.
Gua berdiri, mendekat ke arah meja belajar dan menyambungkan kabel charger ke ponsel, kabel charger yang nggak pernah sekalipun berpindah, selalu menempel di stop kontak yang sama; di atas meja belajar. Gua meraih satu kabel lagi; kabel Jack 3,5, menyambungkan ujungnya ke bagian atas ponsel, sementara ujung satunya tersambung ke sebuah speaker besar di kedua sisi meja belajar.
“Poppy, udah siang…” Lagi-lagi Ibu memanggil. Enggan menunggu sampai kesabarannya habis, gua buru-buru membuka aplikasi pemutar musik di ponsel dan menekan tombol play. Kemudian meraih handuk yang sejak kemarin terlampir di punggung kursi dan bergegas mandi.
‘Duk duk duk’ gua menuruni tangga kayu yang reot menuju ke lantai bawah.
“Jangan lari-lari dong Pop” gumam Ibu, sementara gua langsung menuju ke kamar mandi.
Nggak seperti gadis-gadis lain pada umumnya yang kalo mandi bisa sampe satu jam. Gua nggak pernah menghabiskan waktu terlalu lama untuk mandi. Buat gua mandi hanyalah sebuah penggugur kewajiban.
Selesai mandi, gua kembali ke kamar di lantai atas, berpakaian dan bersiap berangkat kuliah.
Oiya, nama gua Poppy, Poppy Fazila.
Banyak yang bilang kalo nama gua terdengar kelewat keren buat keturunan Jawa yang hidup di ambang garis kemiskinan. Tapi, tunggu dulu. Bokap gua ngasih nama Poppy bukan karena terdengar keren atau alasan klise lainnya. Nama Poppy justru diambil dari penggalan nama bokap dan nyokap, kemudian disatukan; Ponijan dan Pinem. Jadilah nama Popi Fazilla. Tapi, karena ada kesalahan ketik pada saat mendaftarkan nama untuk akta kelahiran, nama gua malah jadi Poppy Fazila. Nama depan ketambahan ‘py’ sementara nama belakang malah hilang satu huruf ‘l’.
Gua merupakan anak pertama dari dua bersaudara keturunan Bokap dan Nyokap yang sama-sama berasal dari Jawa, dari Wonogiri, Jawa Tengah tepatnya. Bokap datang merantau ke Jakarta saat usianya belasan tahun, ia lalu bekerja sebagai tukang bajaj yang sering mangkal di Pasar Mayestik. Sementara, Nyokap juga datang merantau ke Jakarta di usia yang masih belia. Ia bekerja sebagai ART di salah satu rumah mewah di daerah Radio Dalam.
Mereka berdua lalu dipertemukan saat Nyokap yang sering ke Pasar Mayestik untuk berbelanja kerap kali naik Bajaj Bokap. Semakin lama, kayaknya tumbuh benih-benih cinta diantara mereka, hingga akhirnya lahirlah gua dan Dinar; Adik perempuan gua, dimana selisih usia kami berdua hanya 2 tahun.
Setelah pensiun menjadi supir bajaj di Pasar Mayestik, Bokap lalu ‘Naik Pangkat’. Ia lalu beralih menjadi supir mobil box di salah satu pabrik di daerah Tangerang. Sementara, Nyokap langsung pensiun menjadi ART dan kini kerja serabutan sebagai penyedia katering kecil-kecilan yang spesialisasinya membuat kue basah.
Berbekal dari uang tabungannya sebagai supir bajaj dan supir mobil box, bokap berhasil membeli sepetak tanah di daerah perbatasan antara Slipi dan Rawa Belong. Saat gua bilang ‘sepetak’ artinya benar-benar hanya sepetak. Tanah sempit dengan lebar 3 meter dan panjang nggak sampai 10 meter, tanah yang diapit dua bangunan rumah yang sudah lebih dulu berdiri. Karena tanahnya yang sempit, saat gua dan Dinar beranjak dewasa, bokap berinisiatif untuk ‘ningkat’ rumah. Tunggu dulu, jangan bayangkan rumah gua sebagai rumah bertingkat yang elegan. Bagian atas rumah gua, hanya dibuat dari kayu kaso sebagai rangkanya dan papan-papan berjajar digunakan sebagai lantai dan dindingnya. Di lantai atas dibuat dua buah kamar untuk kami berdua. Masing-masing kamar kamar berukuran 2,5 meter x 3 meter, sementara area yang tersisa digunakan oleh nyokap untuk kegiatan menyetrika.
Tempat tinggal kami berada di pemukiman pada penduduk. Akses untuk menuju ke rumah gua merupakan gang kecil yang lebarnya nggak sampai 2 meter. Sementara, rumah-rumah disini, punya bentuk yang mirip, dibuat dua lantai dengan bagian lantai atasnya terbuat dari kayu-kayu, untuk memaksimalkan ruang. Kami bahkan hampir nggak punya area parkir, kadang orang yang cukup beruntung bisa memiliki sepeda motor harus rela memarkirkan kendaraannya di sisi gang, membuat gang yang sudah sempit semakin sempit.
“Berangkat Pop?” Sapa salah satu tetangga begitu melihat gua keluar dari rumah.
“Iya nih Mbak” Gua menjawab sambil tersenyum. Kemudian berjalan secepat mungkin agar nggak ketinggalan kereta.
Iya, untuk menuju ke kampus di daerah Depok. Gua harus naik kereta dari stasiun Palmerah, ke stasiun Tanah Abang. Lalu berganti kereta yang bakal membawa gua ke arah Bogor, nantinya gua bakal turun di stasiun di depan Kampus lalu lanjut berjalan kaki selama sekitar 7-10 menitan untuk tiba di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI.
‘Wah, pasti pinter bisa kuliah di UI’
Nggak juga, gua malahan orang yang sama sekali jauh dari kata pintar apalagi cerdas. Jangankan peringkat 5 besar, selama bersekolah sejak SD hingga SMA, nggak pernah sekalipun gua masuk peringkat 10 besar. Tapi, demi masa depan profesi yang mapan, gua belajar mati-matian untuk bisa masuk kampus terbaik. Menurut gua, saat sudah berada di kampus terbaik, sudah tak perlu lagi menjadi lulusan yang terbaik. Jadi, lulusan ‘biasa-biasa’ saja asal dari UI sepertinya sudah bisa menjadi nilai tambah yang ‘buanyak’.
Menurut bokap, ‘orang kayak kita’ harus berupaya dua kali lebih keras, dua kali lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang sama dengan ‘orang lain’. Kalau orang yang pintar belajar dua jam, maka kita harus belajar 4 jam. Kalau orang lain berangkat jam 8, maka kita harus berangkat jam 9. Itu tips dari Bokap jika ingin sukses di Jakarta. Sebuah ironi tentunya mendengar nasihat dari orang yang hanya supir mobil box.
Tapi, biarpun begitu, ia tetap sosok bokap yang nggak ada duanya, nggak ada gantinya. Ia yang harus rela banting tulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, untuk bisa menafkahi keluarganya di Jakarta yang keras.
Selesai kuliah, biasanya gua bakal langsung bekerja di salah satu minimarket yang lokasinya nggak begitu jauh dari rumah; cari tambahan buat bayar uang kuliah. Gua harus bayar kuliah sendiri karena, saat ini Dinar juga tengah berkuliah di salah satu kampus swasta di daerah Grogol, Jakarta Barat. Dan tentu saja butuh biaya yang nggak sedikit. Bokap yang ‘cuma’ supir Mobil Box jelas nggak bakal mampu untuk membayar semuanya sendirian.
Karena kesibukan antara kuliah dan kerja, gua hampir nggak ada waktu untuk bermain bersama teman-teman, apalagi untuk ‘me time’ seperti ke salon atau belanja ke mall. Selain buang-buang uang tentu saja bakal buang-buang waktu. Selain mendengarkan musik, salah satu hiburan gua untuk melepas kepenatan ditengah kesibukan adalah dengan menggambar. Iya, hobi yang sudah lama gua tekuni, hobi yang bisa menjadi penghilang stress, hobi yang nggak makan banyak waktu dan biaya.
Diluar hal itu, kehidupan gua ya gini-gini aja. Kuliah, kerja, pulang.
Cita-cita gua adalah punya kerjaan yang mapan, sehingga bisa bikin bokap dan nyokap beristirahat di masa tuanya. Bokap bisa duduk di teras, sambil ngopi dan baca koran politik, sementara nyokap bisa nonton sinetron seharian sambil sesekali nyobain resep baru yang di dapat dari acaranya bu Sisca Soewitomo. Ya macam orang-orang gedongan itu.
Gitu kan yah kalo orang kaya? iya nggak sih?
Lalu, pernahkah gua merasa lelah karena harus hidup seperti ini?
Jawabannya; Nggak sama sekali. Walaupun hidup sederhana bahkan cenderung pas-pasan, gua nggak pernah sekalipun merasakan pahitnya kehidupan, nggak pernah merasa ‘lelah’ dan kecewa akan pilihan Tuhan dengan hidup seperti sekarang. Semakin gua melihat kondisi orang yang jauh lebih ‘susah’ dari gua, semakin gua bersyukur.
Rasa syukur gua semakin bertambah saat gua melihat sosok seorang cowok, salah satu pelanggan di minimarket di tempat gua bekerja. Yang tampil acak-acakan, pakaian kusut dan wajah, juga rambut yang nggak terurus. Ekspresinya terlihat murung, sementara langkahnya gontai seperti orang yang sama sekali nggak punya semangat untuk hidup.
Awalnya, gua curiga cowok tengah melakukan ‘survey’ sebelum akhirnya menjadi juru parkir di halaman minimarket. Hal yang selama ini kami; sebagai staff minimarket berusaha mati-matian untuk menolak hadirnya juru parkir. Karena selain, membuat calon pelanggan kabur, adanya juru parkir juga malah menambah beban operasional minimarket, dengan numpang ngecas, numpang nongkrong sambil main game, dan bahkan numpang mandi.
Pasalnya, gerak-geriknya mencurigakan dan ia hanya membeli sebungkus roti seharga 5 ribu rupiah.
Tapi, ini hanya prasangka awal gua. Nantinya, gua malah harus gigit jari kala merasakan sesuatu yang belum pernah gua rasakan saat berada dekat dengannya.
Setelah membeli sebungkus roti dan membayar, ia bergegas keluar. Dari balik meja kasir gua mengintip ke luar. Terlihat cowok itu tengah duduk sambil menikmati sebungkus roti, sementara matanya menatap kosong ke arah jalan.
Nggak mau kecolongan, begitu shift gua selesai, gua lantas meraih sweater abu-abu milik gua dan memakainya, lalu keluar, ingin bertanya langsung kepadanya.
Jika, ia benar-benar ingin jadi juru parkir maka gua harus berusaha mencegahnya. ‘Caranya? Ntar deh gua pikirin’ Batin gua dalam hati.
Gua berjalan mendekat dengan hati-hati, lalu berdiri tepat di hadapannya. Sejenak, ia nggak menyadari kehadiran gua. Di waktu yang singkat itu juga, gua menyadari kalau sejatinya cowok ini lumayan ganteng seandainya ia bisa merawat dirinya. Seandainya ia menata rambutnya, mencukur habis kumis dan jenggotnya yang berantakan.
Di saat yang sama, hilanglah prasangka gua. Berganti dengan alasan-alasan agar bisa berkenalan dengannya. Tapi, di posisi gua saat ini, mencari alasan lain tentu saja nggak memungkinkan. Jadilah gua tetap menggunakan prasangka 'Juru parkir' sebagai senjata.
Saat gua duduk tepat di sebelahnya, barulah ia menyadari kehadiran gua. Cowok itu menggeser posisi duduknya tanpa menghiraukan gua. Sempat terbesit keraguan di dalam hati; apakah benar cowok ini berniat jadi tukang parkir disini? Atau ia cuma cowok yang kebetulan lewat dan lapar.
“Mau markir ya?” Gua langsung bertanya tanpa basa-basi.
“Hah?” Cowok itu menoleh. Ekspresinya menunjukkan keheranan yang luar biasa. Mungkin kaget dengan kehadiran gua dan langsung mengajukan pertanyaan.
Menyadari kalau ia kebingungan dengan pertanyaan barusan, gua lalu menunjuk ke arah kertas besar bertuliskan ‘Parkir Gratis’ yang sengaja kami tempel disana agar nggak ada juru parkir disini.
“Daripada lo keburu jadi tukang parkir disini, mendingan gua bilangin duluan aja” Gua menambahkan, berharap ia langsung paham dengan maksud gua.
“Siapa yang mau jadi tukang parkir?” Cowo itu bertanya, wajahnya masih menunjukkan ekspresi yang sama, ekspresi keheranan.
“Ya elo, kan?” Gua memberi pertanyaan yang lebih cenderung ke sebuah tuduhan.
Saat ini, gua berharap kalau ia bilang ‘Iya’, agar gua bisa dengan cepat mengusirnya. Karena entah kenapa, semakin lama gua menatapnya, semakin hati ini bergejolak. Jujur, cowok ini beneran ganteng.
Selama ini gua merasa sulit jatuh hati. Sejak dulu, hanya dua cowok yang mampu membuat gua terpesona; Jared Leto dan Chester Bennington. Keduanya tentu saja mustahil gua dapatkan. Gua juga bukan tipikal cewek yang gampang luluh akan rayuan cowok. Bukanya sok cantik atau kepedean. Tapi, sejak SMA cukup banyak cowok yang mencoba mendekati gua, bahkan ada beberapa yang terang-terangan menyatakan perasaannya yang tentu saja gua tolak.
Alasan pertama; Tentu karena mereka bukan Jared Leto dan Chester Bennington. Alasan berikutnya; ini alasan yang sebenarnya; Gua nggak mau banyak menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan tentu saja biaya hanya untuk hal remeh yang namanya pacaran.
Tapi, cowok ini berbeda.
Walau tampilannya agak ‘kumuh’, namun ia seperti punya daya pikat yang ‘luar biasa’. Dibalik tatapan matanya yang murung dan gloomy seperti terdapat sebuah anomali yang sulit dijelaskan.
“Nggak kok” Cowok itu memberi jawaban sambil menggelengkan kepala dan memberi kode dengan kedua tangan.
“Bener?” Gua mencoba memastikan.
“Bener…” Ia memberi jawaban lagi, namun kali ini sambil mengangkat kedua jari tangan kanan ke atas.
Begitu mendengar jawaban yang cukup meyakinkan darinya, gua kembali memberi penjelasan. Bukan, bukan, ini bukan sebuah penjelasan. Ini malah mirip siasat agar gua bisa ngobrol dengannya lebih lama; “Yaudah, bagus deh. Soalnya kalo ada tukang parkir, orang jadi males kesini. Kadang belanjanya aja cuma 7.000 eh bayar parkirnya 2.000. Dulu malah pernah, ada mas-mas dateng mau ngambil ATM, eh nggak taunya ATM-nya rusak, pas balik dimintain parkir 2.000, duitnya nggak dapet, malah rugi 2.000”
“Ya harusnya lo minta maaf dulu aja, karena salah nuduh orang. Jangan maen cerita panjang lebar” Cowok itu bicara, kini nadanya terdengar sedikit meninggi.
“Iya, iya Maap deh…” Ucap gua mencoba meminta maaf.
Kami lalu sama-sama saling terdiam. Sementara ia menghabiskan roti, gua hanya bisa duduk sambil memainkan ujung jari. Mencoba kembali mencari celah agar bisa mengetahui namanya.
Gua mengambil inisiatif lebih dulu dengan mengajukan pertanyaan yang malah terdengar klise; “Lo nungguin apaan disini?”
“Nggak nunggu apa-apa. Lo?” Ia menjawab santai dan balik bertanya.
“Nunggu di jemput” Gua memberi jawaban singkat, berharap ia kembali mengajukan pertanyaan lain. Namun ia malah hanya merespon dengan; “Oh”
“Lo tinggal disini?” gua gantian bertanya.
“Hmmm… baru mau” Ia menjawab.
Nah, ini dia ‘celah’ yang gua maksud. Jawaban ambigu yang membuat gua bisa menggali lebih dalam.
“Hah, baru mau, gimana maksudnya?”
“Lagi nyari-nyari kontrakan” Ia kembali memberi jawaban.
“Oh.. kerja di sekitar sini?” Tanya gua lagi.
“Iya” Jawabnya.
‘Ok sip. Kalau dia bekerja disekitar sini dan tengah mencari tempat tinggal. Artinya, gua masih punya kesempatan untuk kembali bertemu dengannya.’ Batin gua dalam hati.
Tiba-tiba Bokap muncul disaat yang nggak tepat. ‘Duh kenapa udah sampe aja sih’ Gua kembali membatin; kecewa.
Bokap muncul dengan sepeda motornya. Seperti biasa, ia bakal menjemput saat gua selesai bekerja. Namun, biasanya bokap nggak pernah datang secepat ini.
Nggak mau kehilangan kesempatan, gua berdiri dan menjulurkan tangan; berniat mengajaknya berkenalan. Cowok itu nggak langsung menyambut uluran tangan gua, ia malah memberikan tatapan aneh yang membingungkan. Setelah beberapa saat, barulah ia meraih tangan gua dan menjabatnya sambil menyebutkan nama; “Marshall”
“Poppy” Gantian gua memperkenalkan diri, kemudian bergegas pergi.
Hari itu, malam itu, untuk pertama kalinya gua merasakan jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama ke cowok asing yang nantinya bakal merubah hidup gua.
—
Ednaswap - Torn (The Original Version)
I thought I saw a man brought to life
He was warm, he came around like he was dignified
He showed me what it was to cry
Well, you couldn't be that man I adored
You don't seem to know
Seem to care what your heart is for
But I don't know him anymore
There's nothing where he used to lie
My conversation has run dry
That's what's going on
Nothing's fine, I'm torn
I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I am shamed
Lying naked on the floor
Illusion never changed
Into something real
I'm wide awake and I can see
The perfect sky is torn
You're a little late, I'm already torn
So I guess the fortune teller's right
I should have seen just what was there
And not some holy light
But you crawled beneath my veins
And now I don't care, I have no luck
I don't miss it all that much
There's just so many things
That I can't touch, I'm torn
I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I am shamed
Lying naked on the floor
Illusion never changed
Into something real
I'm wide awake and I can see
The perfect sky is torn
You're a little late, I'm already torn, torn
There's nothing where he used to lie
My inspiration has run dry
That's what's going on
Nothing's right, I'm torn
I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I am shamed
Lying naked on the floor
Illusion never changed
Into something real
I'm wide awake and I can see
The perfect sky is torn
I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I'm ashamed
Bound and broken on the floor
You're a little late, I'm already torn, torn