- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#164
Part 8 - Kembali
Spoiler for Part 8 - Kembali:
Poppy kembali menyeruput Cafe Latte miliknya, matanya lalu tertuju ke arah rak-rak berisi buku di sudut ruangan kedai.
“Itu boleh dibaca?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah rak buku.
Gua mengangguk.
“Beneran? Tanyanya lagi.
“Iya, boleh. Tapi, jangan dibawa pulang” Gua memberi penjelasan.
“Lah, kalo belum selesai bacanya gimana?” Tanyanya seraya turun dari Bar stool dan berjalan pelan ke arah rak buku.
“Ya datang lagi aja kesini”
Gua bersandar pada meja konter seraya berpangku tangan dan menatap Poppy yang kini sudah berdiri di salah satu rak tinggi berisi buku-buku. Nampak keceriaan yang tak biasa terpancar dari wajahnya, rambutnya dikuncir ke atas, menyisakan sisa-sisa rambut kecil pada bagian tengkuknya. Seperti tanpa perintah, gua ikut tersenyum sambil terus menatap dirinya.
Poppy menoleh ke arah gua, tatapan kami kembali bertemu.
Tak ada kata-kata, kami hanya saling menatap dalam diam.
Sementara mata kami berdua masih saling menatap, ia mengambil sebuah buku dari rak, sepertinya diambil asal. Sambil membawa buku tersebut, ia lalu kembali mendekat kemudian duduk di bar stool. Ia baru mengalihkan pandangannya saat bersiap menyeruput Cafe Latte di hadapannya, lalu menunjukkan sampul buku yang barusan dibawanya ke arah gua.
“Ini bagus nggak?” Tanyanya seraya jarinya menunjuk ke arah sampul buku bernuansa merah dengan foto sosok wanita cantik dengan tulisan ‘Larasati’ di bagian bawahnya.
Gua mengangguk. Baru saja gua menyelesaikan buku itu semalam. Buku karya Pram yang bercerita tentang romansa percintaan jaman kemerdekaan.
Poppy tersenyum, kemudian membalik halam pertama. Matanya terlihat naik kemudian turun dengan cepat. Ia lalu menutup buku tersebut dan meletakkannya di atas meja.
“Nggak seru!” Ucapnya.
“Emang lo suka bacaan yang kayak apa?” Tanya gua.
“Yang lucu-lucu gitu, ada?”
“Ada, Komik. Tuh di rak yang itu” Gua menjawab sambil menunjuk ke arah salah satu rak yang paling pendek.
Poppy langsung berpaling dan menatap ke arah Rak buku yang baru saja gua tunjukkan. Namun, sepertinya ia nggak begitu tertarik.
“Lo suka komik?” Poppy bertanya, sambil menopang dagunya dengan tangan dan menatap gua.
“Hmm.. Suka” Gua menjawab santai, sambil mencoba mengingat komik terakhir yang gua baca. Bersiap seandainya Poppy melanjutkan pertanyaannya.
“Suka komik apa?” Tanyanya lagi, benar seperti apa yang gua duga sebelumnya.
“Kungfu boy” Gua menjawab penuh keraguan. Kalau dilihat dari usianya, sepertinya Poppy nggak cukup familiar dengan komik Kungfu Boy.
“Oh, tentang apa tuh?”
“Ya tentang kungfu lah”
“Hahaha, Iya ya.. Eh, lo harus banget baca; 20th Century Boys. Itu gambarnya baguuuuuusss banget deh” Poppy bicara, sementara ekspresi nampak bersemangat.
“Masa?”
“Asli dah, lo pasti suka deh…”
Gua nggak merespon, hanya menatap wajahnya.
Nggak seperti gadis yang sebelumnya gua kenal. Ya walaupun referensi dan database gadis yang gua kenal juga nggak banyak, karena masa muda gua keburu habis di penjara. Bayangkan aja, masa dimana remaja-remaja lain menghabiskan waktu untuk berkuliah, nongkrong bersama teman, jalan-jalan bareng pacar ataupun teman dan sahabat, gua justru harus mendekam di penjara. Ngumpul sama preman-preman yang mantan perampok, maling, dan bahkan mantan pembunuh. Tapi nggak sedikitpun gua menyesali hal itu, nggak sedikitpun.
Jika digambarkan dengan sebuah warna maka Poppy adalah warna jingga. Ia punya aura yang hangat dan menyenangkan. Apalagi, ekspresi wajahnya yang hampir nggak pernah terlihat cemberut, ia selalu nampak cerita dan murah senyum. Hal yang membuat segala sesuatu di sekitarnya jadi ikut punya nuansa positif. Nggak terkecuali gua. Sejak mengenal dirinya, mimpi gua yang selama ini terkubur jauh dalam kegelapan, kini mulai merangkak kembali.
“Nomer HP lo berapa?” Poppy tiba-tiba bertanya sambil mengeluarkan ponsel miliknya dari belakang saku celananya.
“Hah?”
“Nomer HP lo berapa?” Tanyanya lagi.
“Oh…” Gua lantas mengeluarkan ponsel, membuka menu ‘contact’ dan mencari nama sendiri disana. Karena, jujur, gua belum bisa menghapal nomor ponsel gua yang berisi deretan 12 angka yang sama sekali nggak ada kombinasinya.
Poppy yang kelihatan kebingungan lalu berjinjit, mencoba mengintip ke arah layar ponsel di tangan gua.
“Lo nggak apal nomer lo sendiri?” Tanyanya.
Gua menggeleng.
“Emang ada orang yang apal sama nomor HP-nya sendiri?” Gua balik bertanya.
“Ada”
“Siapa?”
“Gua!” Kesal karena terlalu lama menunggu gua mencari nomor, Poppy meraih ponsel dari tangan gua. Alih-alih menari nomor gua, Poppy justru memasukkan nomornya sendiri. Jari-jarinya yang lentik terlihat menari di atas layar ponsel kemudian diletakkannya ponsel milik gua di atas meja konter, sementara layarnya yang menghadap ke atas menampilkan sebuah panggilan.
Disusul terdengar lagu ‘Konservatif’-nya The Adams yang menggema dari ponsel miliknya yang sejak tadi berada di genggaman.
Poppy lalu menyeruput Cafe Latte miliknya hingga tetes terakhir, kemudian meletakkan selembar uang pecahan 20 ribuan di atas meja.
“Nanti chat gua kalo udah baca 20th Century Boys, ya” Ucap
Gua meraih lembaran uang dari atas meja sambil terus menatapnya menghilang dari pandangan. Gua berpaling ke lembaran uang 20 ribuan darinya; “Ya Allah, mana kurang duitnya”. Gua menggumam pelan, kemudian meletakkannya di laci mesin kasir.
Setelah selesai beres-beres, mencuci gelas dan peralatan, gua duduk di salah satu anak tangga, dengan secangkir kopi yang baru saja dibuat oleh Dahlan sebelum pulang tadi. Sementara sebatang rokok kretek berada di ujung jari; juga pemberian dari Dahlan.
Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam, dan udaranya semakin menggigit kulit; dingin. Sementara, rintik hujan mulai turun. Tetesannya terasa membasahi ujung lengan dan batang rokok yang belum habis kuhisap.
Ponsel gua bergetar, tanda sebuah notifikasi pesan masuk; dari Poppy.
‘Udah kelar kerja?’ Tanyanya melalui pesan.
‘Udah. Baru aja’ Balas gua.
‘Udah baca 20th century boys?’ Tanyanya lagi.
‘Belum’
‘Yaah…’
Gua memasukan ponsel ke saku celana, mematikan puntung rokok dan menyelipkannya ke selusur reiling tangga agar bisa gua sulut lagi nanti, kemudian bergegas masuk ke kedai.
Lonceng di atas pintu berbunyi, gua berjalan ke arah rak dimana tumpukan komik-komik berada. Mata gua lalu mulai mencari judul komik yang dimaksud oleh Poppy; “20th Century Boys, 20th Century Boys, 20th Century Boys…” gua menggumam pelan sambil terus mencari.
“Nah, dapet” seru gua. Kemudian meraih satu-satunya seri komik tersebut di deretan rak paling bawah.
Selesai mandi dan bersih-bersih, gua kembali menggelar kardus dibalik konter dan duduk dengan komik 20th Century Boys di tangan.
Impresi pertama gua begitu membaca dan melihat bagian awal komik: “Gambarnya keren”. Ilustrasinya sungguh berbeda dengan komik-komik yang pernah gua baca sebelumnya. Dengan premis yang terbilang ‘nyeleneh’ dan absurd, komik ini berhasil memikat hati ini.
Hari-hari berikutnya gua jalani seperti biasa. Mirip dengan hari pertama, namun sejak periode promo berakhir kepadatan pengunjung terbilang cukup merata dibanding sebelumnya yang menumpuk selepas jam makan siang.
Gua dan Poppy beberapa kali saling bertukar kabar melalui pesan, walaupun lokasi kerja kami berdua nggak terpaut terlalu jauh.
Hingga saat datangnya waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba; gajian.
Karena nggak punya rekening bank, dan gua belum sempat untuk mengurusnya, jadi gajian pertama gua ini dibayarkan tunai.
Mbak Elsa, dari bagian keuangan memberikan gua sebuah amplop putih. “Nih Mas.. itung dulu” ucapnya.
“Haha, nggak usahlah” gua menjawab sambil mengambil amplop putih darinya.
Mbak Elsa lalu mengeluarkan sebuah form yang mirip seperti nota dan memberikan pulpen ke gua: “Tanda Tangan dulu Mas Marshall” Ucapnya, seraya menunjuk ke arah sebuah kotak kecil pada kertas berukuran A5 tersebut.
Setelah membubuhkan tanda tangan dan sekali lagi mengucapkan terima kasih, gua keluar dari ruangan dan langsung menaiki tangga besi melingkar menuju ke dapur kotor di lantai dua kedai. Di dapur, gua mengeluarkan amplop dari saku celana dan mulai menghitungnya uang di dalamnya.
Gua cukup kaget dengan jumlah yang ada di dalam amplop. Seumur hidup, belum pernah sekalipun gua memegang uang dengan nominal: 2,5 juta. Tangan gua gemetar saking kaget dan shocknya. Masih dengan yang nggak bisa berhenti bergetar, gua meraih ponsel dari saku celana dan mengetik sebuah pesan; pesan untuk Poppy.
‘Pop, ayo gua traktir makan’. Sent.
Gua duduk di kursi kayu, masih di dapur, sambil menggoyang-goyangkan kaki; gugup.
Gugup karena jumlah uang gajian dan juga gugup menunggu balasan pesan dari Poppy.
‘Drrtt, Drrtt,’ ponsel bergetar. Sebuah notifikasi pesan, pesan balasan dari Poppy.
‘Hah, dalam rangka apa?’ Tanyanya.
Goyangan kaki gua semakin cepat, mikirin jawaban apa yang harus gua pakai sebagai alasan. ‘Ah, bilang baru gajian juga sepertinya gapapa’ gua membatin dalam hati. Baru saja gua hendak mengetik, Poppy kembali mengirim pesan; ‘Baru gajian yak? Heu heu, mau dong di traktir’
Gua tersenyum. Lalu membalas pesannya; ‘Nanti gua kesana ya abis kerja’
‘Ok’ Balas Poppy yang dibumbui sebuah emoticon kuning dengan ekspresi tersenyum.
Selesai bekerja, mematikan lampu seluruh area kedai, dan menguncinya, gua bergegas menuju ke minimarket tempat Poppy bekerja.
Meskipun waktu sudah larut dan jauh dari jam pulang kerja, jalanan masih terlihat ramai oleh kendaraan yang hilir mudik. Mungkin mereka baru saja pulang karena lembur atau bisa saja sebagian dari mereka merupakan pekerja kelas bawah yang pulang setelah menyelesaikan shift siangnya.
Poppy terlihat sudah duduk di teras minimarket yang rolling doornya kini sudah tertutup. Ia tengah menatap layar ponselnya sambil sesekali jarinya menari di atas layar. Wajahnya yang manis terlihat semakin jelas akibat pendar cahaya dari layar ponsel. Wajah yang kemudian berpaling dan mendongak menatap ke arah gua yang kini sudah berdiri di hadapannya.
“Baru kelar?” Tanyanya.
“Iya, tadi beres-beres kedai dulu. Lo udah lama?”
“Lumayan, setengah jam-an lah” Jawabnya.
“Sorry ya”
“Iya gapapa” Ucapnya seraya berdiri dan mengibas bagian belakang celananya.
Tak nampak sedikitpun kekecewaan di wajahnya akibat menunggu terlalu lama, ia malah tersenyum sambil menepuk bahu gua.
“Mau traktir apa?” Tanyanya.
Gua mengangkat bahu; Nggak tau.
“Gua ada langganan nasi goreng yang enak banget, mau?” Poppy memberi rekomendasi.
“Ok, asal nggak mahal” Gua menjawab, khawatir.
“Halah, semahal-mahalnya tukang nasi goreng pinggir jalan paling ceban” Ucapnya santai, kemudian mulai berjalan di depan gua.
Seperti biasa, ia tampil dengan sweater abu-abu yang membalut seragam kerjanya, dengan celana jeans biru tua dan sepatu kanvas yang sepertinya sudah cukup lama dipakai. Sementara, tas ransel kecil nampak selaras berada di punggungnya. Gua terus mengikuti, berjalan di belakangnya, keluar masuk gang sempit, hingga akhirnya kami berada kembali di jalan cukup besar.
Di seberang jalan terlihat sebuah kedai semi permanen dengan penerangan yang berlebihan. Bambu-bambu yang melintang digunakan sebagai rangka atap dengan terpal warna biru menutupinya. Sedangkan kain kusam dengan tulisan ‘Nasi Goreng Mas Mul’ mengelilingi area kedai semi permanen tersebut.
Beberapa sepeda motor dan orang-orang yang mengantri terlihat dari tempat kami berdiri. Tiba-tiba, Poppy meraih tangan gua, menggenggamnya dan membawa gua menyebrangi jalan menuju ke kedai tersebut. Gua yang kaget, hanya bisa terdiam diperlakukan seperti itu.
“Seberapa enak emang sampe ngantri begini?” Tanya gua ke Poppy sambil berbisik.
Poppy mendongak, mengarahkan wajahnya ke telinga gua dan memberi jawaban; “Rasanya sih biasa aja, tapi harganya murah. Makanya rame”
“Oh…”
“Itu boleh dibaca?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah rak buku.
Gua mengangguk.
“Beneran? Tanyanya lagi.
“Iya, boleh. Tapi, jangan dibawa pulang” Gua memberi penjelasan.
“Lah, kalo belum selesai bacanya gimana?” Tanyanya seraya turun dari Bar stool dan berjalan pelan ke arah rak buku.
“Ya datang lagi aja kesini”
Gua bersandar pada meja konter seraya berpangku tangan dan menatap Poppy yang kini sudah berdiri di salah satu rak tinggi berisi buku-buku. Nampak keceriaan yang tak biasa terpancar dari wajahnya, rambutnya dikuncir ke atas, menyisakan sisa-sisa rambut kecil pada bagian tengkuknya. Seperti tanpa perintah, gua ikut tersenyum sambil terus menatap dirinya.
Poppy menoleh ke arah gua, tatapan kami kembali bertemu.
Tak ada kata-kata, kami hanya saling menatap dalam diam.
Sementara mata kami berdua masih saling menatap, ia mengambil sebuah buku dari rak, sepertinya diambil asal. Sambil membawa buku tersebut, ia lalu kembali mendekat kemudian duduk di bar stool. Ia baru mengalihkan pandangannya saat bersiap menyeruput Cafe Latte di hadapannya, lalu menunjukkan sampul buku yang barusan dibawanya ke arah gua.
“Ini bagus nggak?” Tanyanya seraya jarinya menunjuk ke arah sampul buku bernuansa merah dengan foto sosok wanita cantik dengan tulisan ‘Larasati’ di bagian bawahnya.
Gua mengangguk. Baru saja gua menyelesaikan buku itu semalam. Buku karya Pram yang bercerita tentang romansa percintaan jaman kemerdekaan.
Poppy tersenyum, kemudian membalik halam pertama. Matanya terlihat naik kemudian turun dengan cepat. Ia lalu menutup buku tersebut dan meletakkannya di atas meja.
“Nggak seru!” Ucapnya.
“Emang lo suka bacaan yang kayak apa?” Tanya gua.
“Yang lucu-lucu gitu, ada?”
“Ada, Komik. Tuh di rak yang itu” Gua menjawab sambil menunjuk ke arah salah satu rak yang paling pendek.
Poppy langsung berpaling dan menatap ke arah Rak buku yang baru saja gua tunjukkan. Namun, sepertinya ia nggak begitu tertarik.
“Lo suka komik?” Poppy bertanya, sambil menopang dagunya dengan tangan dan menatap gua.
“Hmm.. Suka” Gua menjawab santai, sambil mencoba mengingat komik terakhir yang gua baca. Bersiap seandainya Poppy melanjutkan pertanyaannya.
“Suka komik apa?” Tanyanya lagi, benar seperti apa yang gua duga sebelumnya.
“Kungfu boy” Gua menjawab penuh keraguan. Kalau dilihat dari usianya, sepertinya Poppy nggak cukup familiar dengan komik Kungfu Boy.
“Oh, tentang apa tuh?”
“Ya tentang kungfu lah”
“Hahaha, Iya ya.. Eh, lo harus banget baca; 20th Century Boys. Itu gambarnya baguuuuuusss banget deh” Poppy bicara, sementara ekspresi nampak bersemangat.
“Masa?”
“Asli dah, lo pasti suka deh…”
Gua nggak merespon, hanya menatap wajahnya.
Nggak seperti gadis yang sebelumnya gua kenal. Ya walaupun referensi dan database gadis yang gua kenal juga nggak banyak, karena masa muda gua keburu habis di penjara. Bayangkan aja, masa dimana remaja-remaja lain menghabiskan waktu untuk berkuliah, nongkrong bersama teman, jalan-jalan bareng pacar ataupun teman dan sahabat, gua justru harus mendekam di penjara. Ngumpul sama preman-preman yang mantan perampok, maling, dan bahkan mantan pembunuh. Tapi nggak sedikitpun gua menyesali hal itu, nggak sedikitpun.
Jika digambarkan dengan sebuah warna maka Poppy adalah warna jingga. Ia punya aura yang hangat dan menyenangkan. Apalagi, ekspresi wajahnya yang hampir nggak pernah terlihat cemberut, ia selalu nampak cerita dan murah senyum. Hal yang membuat segala sesuatu di sekitarnya jadi ikut punya nuansa positif. Nggak terkecuali gua. Sejak mengenal dirinya, mimpi gua yang selama ini terkubur jauh dalam kegelapan, kini mulai merangkak kembali.
“Nomer HP lo berapa?” Poppy tiba-tiba bertanya sambil mengeluarkan ponsel miliknya dari belakang saku celananya.
“Hah?”
“Nomer HP lo berapa?” Tanyanya lagi.
“Oh…” Gua lantas mengeluarkan ponsel, membuka menu ‘contact’ dan mencari nama sendiri disana. Karena, jujur, gua belum bisa menghapal nomor ponsel gua yang berisi deretan 12 angka yang sama sekali nggak ada kombinasinya.
Poppy yang kelihatan kebingungan lalu berjinjit, mencoba mengintip ke arah layar ponsel di tangan gua.
“Lo nggak apal nomer lo sendiri?” Tanyanya.
Gua menggeleng.
“Emang ada orang yang apal sama nomor HP-nya sendiri?” Gua balik bertanya.
“Ada”
“Siapa?”
“Gua!” Kesal karena terlalu lama menunggu gua mencari nomor, Poppy meraih ponsel dari tangan gua. Alih-alih menari nomor gua, Poppy justru memasukkan nomornya sendiri. Jari-jarinya yang lentik terlihat menari di atas layar ponsel kemudian diletakkannya ponsel milik gua di atas meja konter, sementara layarnya yang menghadap ke atas menampilkan sebuah panggilan.
Disusul terdengar lagu ‘Konservatif’-nya The Adams yang menggema dari ponsel miliknya yang sejak tadi berada di genggaman.
Poppy lalu menyeruput Cafe Latte miliknya hingga tetes terakhir, kemudian meletakkan selembar uang pecahan 20 ribuan di atas meja.
“Nanti chat gua kalo udah baca 20th Century Boys, ya” Ucap
Gua meraih lembaran uang dari atas meja sambil terus menatapnya menghilang dari pandangan. Gua berpaling ke lembaran uang 20 ribuan darinya; “Ya Allah, mana kurang duitnya”. Gua menggumam pelan, kemudian meletakkannya di laci mesin kasir.
Setelah selesai beres-beres, mencuci gelas dan peralatan, gua duduk di salah satu anak tangga, dengan secangkir kopi yang baru saja dibuat oleh Dahlan sebelum pulang tadi. Sementara sebatang rokok kretek berada di ujung jari; juga pemberian dari Dahlan.
Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam, dan udaranya semakin menggigit kulit; dingin. Sementara, rintik hujan mulai turun. Tetesannya terasa membasahi ujung lengan dan batang rokok yang belum habis kuhisap.
Ponsel gua bergetar, tanda sebuah notifikasi pesan masuk; dari Poppy.
‘Udah kelar kerja?’ Tanyanya melalui pesan.
‘Udah. Baru aja’ Balas gua.
‘Udah baca 20th century boys?’ Tanyanya lagi.
‘Belum’
‘Yaah…’
Gua memasukan ponsel ke saku celana, mematikan puntung rokok dan menyelipkannya ke selusur reiling tangga agar bisa gua sulut lagi nanti, kemudian bergegas masuk ke kedai.
Lonceng di atas pintu berbunyi, gua berjalan ke arah rak dimana tumpukan komik-komik berada. Mata gua lalu mulai mencari judul komik yang dimaksud oleh Poppy; “20th Century Boys, 20th Century Boys, 20th Century Boys…” gua menggumam pelan sambil terus mencari.
“Nah, dapet” seru gua. Kemudian meraih satu-satunya seri komik tersebut di deretan rak paling bawah.
Selesai mandi dan bersih-bersih, gua kembali menggelar kardus dibalik konter dan duduk dengan komik 20th Century Boys di tangan.
Impresi pertama gua begitu membaca dan melihat bagian awal komik: “Gambarnya keren”. Ilustrasinya sungguh berbeda dengan komik-komik yang pernah gua baca sebelumnya. Dengan premis yang terbilang ‘nyeleneh’ dan absurd, komik ini berhasil memikat hati ini.
Hari-hari berikutnya gua jalani seperti biasa. Mirip dengan hari pertama, namun sejak periode promo berakhir kepadatan pengunjung terbilang cukup merata dibanding sebelumnya yang menumpuk selepas jam makan siang.
Gua dan Poppy beberapa kali saling bertukar kabar melalui pesan, walaupun lokasi kerja kami berdua nggak terpaut terlalu jauh.
Hingga saat datangnya waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba; gajian.
Karena nggak punya rekening bank, dan gua belum sempat untuk mengurusnya, jadi gajian pertama gua ini dibayarkan tunai.
Mbak Elsa, dari bagian keuangan memberikan gua sebuah amplop putih. “Nih Mas.. itung dulu” ucapnya.
“Haha, nggak usahlah” gua menjawab sambil mengambil amplop putih darinya.
Mbak Elsa lalu mengeluarkan sebuah form yang mirip seperti nota dan memberikan pulpen ke gua: “Tanda Tangan dulu Mas Marshall” Ucapnya, seraya menunjuk ke arah sebuah kotak kecil pada kertas berukuran A5 tersebut.
Setelah membubuhkan tanda tangan dan sekali lagi mengucapkan terima kasih, gua keluar dari ruangan dan langsung menaiki tangga besi melingkar menuju ke dapur kotor di lantai dua kedai. Di dapur, gua mengeluarkan amplop dari saku celana dan mulai menghitungnya uang di dalamnya.
Gua cukup kaget dengan jumlah yang ada di dalam amplop. Seumur hidup, belum pernah sekalipun gua memegang uang dengan nominal: 2,5 juta. Tangan gua gemetar saking kaget dan shocknya. Masih dengan yang nggak bisa berhenti bergetar, gua meraih ponsel dari saku celana dan mengetik sebuah pesan; pesan untuk Poppy.
‘Pop, ayo gua traktir makan’. Sent.
Gua duduk di kursi kayu, masih di dapur, sambil menggoyang-goyangkan kaki; gugup.
Gugup karena jumlah uang gajian dan juga gugup menunggu balasan pesan dari Poppy.
‘Drrtt, Drrtt,’ ponsel bergetar. Sebuah notifikasi pesan, pesan balasan dari Poppy.
‘Hah, dalam rangka apa?’ Tanyanya.
Goyangan kaki gua semakin cepat, mikirin jawaban apa yang harus gua pakai sebagai alasan. ‘Ah, bilang baru gajian juga sepertinya gapapa’ gua membatin dalam hati. Baru saja gua hendak mengetik, Poppy kembali mengirim pesan; ‘Baru gajian yak? Heu heu, mau dong di traktir’
Gua tersenyum. Lalu membalas pesannya; ‘Nanti gua kesana ya abis kerja’
‘Ok’ Balas Poppy yang dibumbui sebuah emoticon kuning dengan ekspresi tersenyum.
Selesai bekerja, mematikan lampu seluruh area kedai, dan menguncinya, gua bergegas menuju ke minimarket tempat Poppy bekerja.
Meskipun waktu sudah larut dan jauh dari jam pulang kerja, jalanan masih terlihat ramai oleh kendaraan yang hilir mudik. Mungkin mereka baru saja pulang karena lembur atau bisa saja sebagian dari mereka merupakan pekerja kelas bawah yang pulang setelah menyelesaikan shift siangnya.
Poppy terlihat sudah duduk di teras minimarket yang rolling doornya kini sudah tertutup. Ia tengah menatap layar ponselnya sambil sesekali jarinya menari di atas layar. Wajahnya yang manis terlihat semakin jelas akibat pendar cahaya dari layar ponsel. Wajah yang kemudian berpaling dan mendongak menatap ke arah gua yang kini sudah berdiri di hadapannya.
“Baru kelar?” Tanyanya.
“Iya, tadi beres-beres kedai dulu. Lo udah lama?”
“Lumayan, setengah jam-an lah” Jawabnya.
“Sorry ya”
“Iya gapapa” Ucapnya seraya berdiri dan mengibas bagian belakang celananya.
Tak nampak sedikitpun kekecewaan di wajahnya akibat menunggu terlalu lama, ia malah tersenyum sambil menepuk bahu gua.
“Mau traktir apa?” Tanyanya.
Gua mengangkat bahu; Nggak tau.
“Gua ada langganan nasi goreng yang enak banget, mau?” Poppy memberi rekomendasi.
“Ok, asal nggak mahal” Gua menjawab, khawatir.
“Halah, semahal-mahalnya tukang nasi goreng pinggir jalan paling ceban” Ucapnya santai, kemudian mulai berjalan di depan gua.
Seperti biasa, ia tampil dengan sweater abu-abu yang membalut seragam kerjanya, dengan celana jeans biru tua dan sepatu kanvas yang sepertinya sudah cukup lama dipakai. Sementara, tas ransel kecil nampak selaras berada di punggungnya. Gua terus mengikuti, berjalan di belakangnya, keluar masuk gang sempit, hingga akhirnya kami berada kembali di jalan cukup besar.
Di seberang jalan terlihat sebuah kedai semi permanen dengan penerangan yang berlebihan. Bambu-bambu yang melintang digunakan sebagai rangka atap dengan terpal warna biru menutupinya. Sedangkan kain kusam dengan tulisan ‘Nasi Goreng Mas Mul’ mengelilingi area kedai semi permanen tersebut.
Beberapa sepeda motor dan orang-orang yang mengantri terlihat dari tempat kami berdiri. Tiba-tiba, Poppy meraih tangan gua, menggenggamnya dan membawa gua menyebrangi jalan menuju ke kedai tersebut. Gua yang kaget, hanya bisa terdiam diperlakukan seperti itu.
“Seberapa enak emang sampe ngantri begini?” Tanya gua ke Poppy sambil berbisik.
Poppy mendongak, mengarahkan wajahnya ke telinga gua dan memberi jawaban; “Rasanya sih biasa aja, tapi harganya murah. Makanya rame”
“Oh…”
Lanjut kebawahnggak muat
Diubah oleh robotpintar 20-03-2024 04:16
yanagi92055 dan 40 lainnya memberi reputasi
41
Kutip
Balas
Tutup