- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
398.9K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#136
Part 7 - Pahit dan Getir
Spoiler for Part 7 - Pahit dan Getir:
Begitu Poppy pulang, gua pun berdiri, juga bersiap untuk pulang. Sebelumnya, gue mendekat ke sebuah ashtray metal yang berada di sudut teras minimarket. Memilih beberapa puntung rokok yang masih cukup panjang untuk disulut lagi dari permukaan ashtray beralas pasir berwarna putih. ‘Lumayan, daripada beli’ Gua membatin dalam hati sambil terus memilah puntung rokok.
Gua menghisap rokok sambil duduk beralas tumpukan kardus di balik konter. Sambil bersandar dan menatap ke arah pantulan diri sendiri yang nampak pada dinding keramik di depan. Gua kembali mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ke masa dimana gua akhirnya harus ‘tenggelam’ dalam lubang kegelapan, lubang yang sengaja kubuat sendiri.
Pertengahan 2007
Gua duduk di kursi dengan sebuah meja besar di depannya. Sebuah kursi kosong berada tepat di sisi kiri gua, di sebelahnya lagi duduk seorang pria dengan tumpukan kertas di depannya. Sementara di jauh di seberang ruangan, duduk dua orang pria yang usianya sekitar 40 tahunan, duduk sambil menatap ke arah tumpukan kertas di atas mejanya. Sementara di sisi sebelah kanan gua, seorang pria tua dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih, dibalik meja yang megah, ia duduk di atas kursi keagungan; seorang hakim yang mulia.
Dengan jubahnya yang sedikit kebesaran, melalui kacamata bacanya yang turun, ia melirik ke arah dua pria di seberang gua, ke arah Jaksa penuntut umum.
“Jaksa, udah apa siap apa belum?” Tanya Hakim.
“Sebentar yang mulia” Jawab salah satu Jaksa yang juga mengenakan jubah berwarna hitam.
Buat gua, ini merupakan pertama kalinya berada di sebuah ruang sidang, ruang sidang sungguhan. Nggak seperti yang sering gua lihat di film-film, dimana ruang sidang terlihat sakral, ruangan yang menjadi saksi para penjahat dijatuhi hukuman, dan yang nggak terbukti bersalah akhirnya bebas. Di dunia nyata, ruang sidang tempat gua duduk sekarang lebih mirip ruang kelas di sekolah namun dengan layout yang berbeda.
Sama-sama berlantai keramik kusam yang beberapa diantaranya sudah pecah atau retak. Dindingnya penuh dengan retakan halus dan lubang-lubang bekas paku dan tentu saja sebuah patung burung garuda berukuran besar berada di bagian depan, tepat di atas kursi Hakim.
Sementara, beberapa meter area tepat di depan hakim dibiarkan kosong; tempat dimana biasanya saksi, tersangka dan terduga dan sebagainya duduk untuk dimintai keterangan. Sebuah pagar yang terbuat dari kayu memisahkan area tersebut dengan area pengunjung dimana terdapat kursi-kursi kayu panjang yang kelihatannya juga nggak begitu terawat.
“Gimana Pengacara, udah siap?” Tanya Hakim lagi.
“Siap, Yang Mulia” Pengacara yang duduk di sebelah gua menjawab sambil mengangguk. Pengacara ini merupakan pengacara yang disediakan pengadilan, pengacara yang disediakan kalau terdakwa, nggak punya kesempatan atau biaya untuk menyewa seorang pengacara. Dalam kasus ini, sebenarnya Bokap dan Nyokap pernah menyewakan gua seorang pengacara. Tapi, setelah beberapa kali hadir di proses interogasi dan pra persidangan, si pengacara mundur; Nggak di bayar sama bokap.
Kemudian disusul terdengar suara seorang pria yang tampak sosoknya dari tempat gua duduk saat ini, membacakan aturan sidang dan informasi tentang sidang yang bakal gua jalani.
Tak banyak yang bisa gua lakukan saat di persidangan. Benar-benar tak seperti yang terlihat di film-film. Gua hanya duduk di kursi pesakitan, mendengar tuntutan-tuntutan dari Jaksa penuntut umum. Setelahnya, Hakim bakal mengkonfirmasi tuntutan tersebut ke gua, yang gua respon dengan jawaban ‘Iya’ dan anggukan kepala. Respon dari gua tersebut tentu saja bikin pengacara yang diberikan pihak pengadilan geleng-geleng kepala.
Hakim mulai membacakan vonis dan ‘Tok Tok Tok’ palu di ketok, kasus gua pun berakhir. Gua berdiri, dibimbing petugas keluar dari ruang sidang. Sementara, calon tersangka lain bergantian masuk ke dalam ruang sidang, menggantikan posisi gua.
Sempat gua dengar sebelumnya kalau hari ini, si Hakim, Jaksa dan Pak Pengacara harus ‘terlibat’ dalam 18 kasus persidangan. Wajar sih, sidangnya jadi kilat khusus kayak gua barusan.
Sempat ada yang nanya; ‘Kaget nggak waktu vonis dibacakan?’
Jujur, saat itu, gua udah tau hasil sidangnya dari si pengacara. Karena kasus-kasus rakyat biasa kayak gua ini biasanya nggak bakal banyak pembelaan dan kisruh-kisruh ala sidang petinggi atau kasus yang terlanjur masuk media. Di kasus ‘rakyat bawah’ kayak gua, Jaksa sudah menetapkan tuntutan-nya. Dan biasanya, kalau nggak ada pembelaan, makan vonis Hakim pun bakal nggak jauh berbeda dari tuntutan awal Jaksa.
Waktu itu, gua mendapat vonis kurungan penjara 10 Tahun yang dikurangi masa tahanan. Yang artinya masa kurungan gua bakal dikurangi waktu selama gua menjalani proses hukum; sejak awal gua ditangkap sampai vonis dijatuhkan. Jadi misalnya, proses hukumnya selama 6 bulan, berarti masa kurungannya 10 tahun dikurangi 6 bulan.
‘Drtt.. Drtt…’ Ponsel gua bergetar.
Gua jelas kaget, karena ini merupakan kali pertamanya ponsel gua berbunyi sejak dikasih sama Kang Jaya tempo hari. Gua meraih ponsel, layarnya menampilkan pesan dari nomor asing yang nggak gua kenal. Gua mengetap layar, dan pesan kini terbuka; “Sal, besok pagi-pagi ada yang dateng dua orang namanya Dahlan sama Yoha ya”
Dari isi pesannya, tentu saja ketebak kalau si pengirim adalah Mas Angga. Gua lalu membalasnya; “Oke Mas” Kemudian mulai mencari-cari cara untuk menyimpan kontak Mas Angga kedalam ponsel.
Sisa malam itu, gua menghabiskan waktu untuk kutak-katik ponsel. Semakin larut gua ke layar ponsel, semakin gua merasa jauh tertinggal dari teknologi jaman sekarang.
Paginya, gua buru-buru mandi. Karena nggak punya handuk, jadi gua selalu pake baju kotor sebelumnya untuk menyeka tubuh, baru setelah itu baju gua cuci. Selesai mandi yang sekalian nyuci, gua jemur baju di bagian belakang kedai. Di bagian belakang kedai terdapat sebuah area kosong dengan lebar nggak sampe setengah meter. Sepertinya oleh pemilik sebelumnya area ini digunakan sebagai tempat menyimpan tumpukan krat-krat minuman bersoda.
Tepat setelah selesai dengan urusan cucian, gua buru-buru kedepan untuk membuka kunci pintu depan kedai, takut karyawan yang dimaksud Mas Angga datang. Dan betul saja, beberapa menit setelah pintu gua buka, dua orang pemuda datang. Dengan sepeda motor yang di parkir di halaman di sisi kiri kedai, mereka turun lalu melangkah, mendekat ke arah pintu.
“Halo, Marshall ya?” Tanya salah satunya.
“Iya…” Gua menjawab singkat seraya menjulurkan tangan.
Salah satu pria dengan kacamata cukup tebal maju, menjabat tangan gua dan menyebutkan namanya; “Dahlan”
Ia lalu menoleh ke arah pemuda yang satu lagi, yang terlihat sedikit lebih muda, kemudian memperkenalkannya ke gua; “Ini Yoga”
“Oh Halo” Gua lalu menjabat tangan Yoga.
Kami berita lalu saling memperkenalkan diri lebih dalam, sambil minum kopi sachet yang tadi sempat dibeli oleh Yoga. Agak aneh memang kalau melihat karyawan kedai kopi tapi minumnya kopi sachet. Dari obrolan kami, gua akhirnya tau kalau Dahlan merupakan salah satu barista terlama yang bekerja buat Mas Angga, sementara Yoga baru saja genap sebulan bekerja. Sebelumnya Dahlan ditempatkan di cabang di daerah BSD, dan kini dipindahkan ke sini untuk memberi support ke gua. Sementara, Yoga nantinya bakal ditempatkan di BSD menggantikan posisi Dahlan sebelumnya.
Beberapa waktu setelahnya sebuah mobil sedan berhenti di halaman parkir, Mas Angga turun dari mobil dan segera masuk ke dalam. Dengan sebuah kertas di tangannya, ia lalu mulai berkeliling, mencatat, dan memilah-milah barang yang ingin disingkirkan dan mana yang ingin tetap disimpan. Setelah selesai, ia memberikan catatan tersebut ke kami, sehingga kami bisa langsung segera mengeluarkan barang-barang tersebut ke halaman.
“Sebelum truknya dateng nanti sore, barang-barangnya harus udah keluar ya guys” Mas Angga memberi instruksi, sebelum akhirnya ia kembali masuk ke mobil dan pergi.
Beberapa jam berikutnya; Mas Angga kembali datang. Kali ini dengan seorang perempuan yang sepertinya adalah istrinya dan seorang pria yang terlihat berusia sama. Mereka bertiga lalu berkeliling bangunan, terlihat mengukur, mencatat dan mendiskusikan posisi pintu juga jendela. Sepertinya pria yang bersama Mas Angga adalah seorang arsitek.
Sebelum pulang, Mas Angga memanggil gua.
“Sal, besok kamu mulai kerja di BSD dulu ya. Karena ini tempatnya kan mau di renov” Mas Angga memberi instruksi. Ia kemudian memanggil Dahlan dan Yoga, memberikan instruksi yang berbeda untuk keduanya.
“Lan, Kamu besok jemput Marshal kesini terus ke cabang Taman Anggrek. Minta seragam buat Marshall sama Salman. Terus sekalian diajarin Marshallnya ya” Mas Angga bicara ke Dahlan yang lalu diresponnya dengan anggukan kepala.
“Yog, kamu besok ke BSD gantiin Dahlan” Kini Mas Angga bicara ke Yoga.
Mas Angga lalu berpaling dan kembali bicara ke gua; “Kamu kalo belum ada tempat tinggal, Tidur disini dulu gapapa, Sal. Tapi bareng sama tukang-tukang”
“Iya gapapa mas” Gua menjawab senang. Sebelumnya gua agak takut karena jika dipindahin, nggak tau harus tinggal dimana.
Begitu Mas Angga pergi, Dahlan menghampiri gua dan bertanya; “Lo emang tidur disini?” Tanyanya.
“Iya”
“Sendiri?” Tanyanya lagi, dengan ekspresi nggak percaya.
“Iya”
“Keren” Responnya.
Gua lalu menggumam dalam hati; ‘Apa kerennya numpang tidur di kedai”
Selesai dengan urusan pekerjaan, malamnya gua kembali ke minimarket; beli roti. Seperti biasa, gua hanya membeli sepotong roti dan membawanya ke kasir.
“Udah ini aja kak?” Tanya Poppy berlagak serius melayani pembeli.
Gua mengangguk sambil tersenyum kemudian menyerahkan selembar uang pecahan 5 ribu. Sebelum menyerahkan struk, Poppy seperti mengambil sesuatu dari bagian bawah meja kasir, kemudian menyodorkan dua bungkus roti lainnya.
“Makasih ya kak” Tambahnya.
Gua hendak bertanya, kenapa tiba-tiba gua dapet tambahan dua roti? Tapi, Poppy keburu memberi kode dengan tangan agar gua cepat keluar karena antrian di belakang. Gua menurut, keluar dari minimarket dan duduk di teras sambil menikmati sepotong roti yang barusan gua beli. Sedangkan dua bungkus roti yang tadi diberikan oleh Poppy nggak berani gua sentuh, karena ‘statusnya’ masih diragukan.
Setiap ada suara pintu minimarket terbuka gua langsung menoleh, berharap yang keluar adalah Poppy, tapi nyatanya bukan. Poppy barulah keluar dari minimarket begitu lampu bagian dalam dimatikan, dan seorang staf pria mulai menutup rolling door.
“Kok Nggak dimakan?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah dua bungkus roti yang tadi ia berikan.
“Ini emang buat gua apa gimana?” Gua balik bertanya.
“Iya buat lo” Jawabnya, kemudian duduk di sebelah gua.
Gua lantas membuka kemasan salah satu roti pemberian darinya dan mulai memakannya.
“Kenapa?” Tanya gua penasaran, sambil terus mengunyah. Tentu saja merujuk alasan kenapa dia tiba-tiba memberikan gua roti.
“Apanya yang kenapa?” Poppy malah balik bertanya.
“Kenapa ngasih gua?”
“Oh.. Gapapa soalnya udah kadaluarsa”
Mendengar jawabannya barusan sontak gua langsung berhenti mengunyah dan langsung mengecek tanggal kadaluarsa pada kemasan. Dan benar, tanggalnya menunjukkan rotinya sudah kadaluarsa dua hari kemarin. Gua menoleh ke arahnya dan pasang ekspresi datar.
“Gapapa santai aja, gua sering makan kok” Poppy bicara seakan mengerti dengan ekspresi yang gua tunjukkan.
“Hah?”
“Halah, tikus pada makan sampah, gemuk-gemuk” Ia menambahkan, sambil menahan tawa.
Ingin membuktikan ucapannya, ia meraih roti yang tersisa, membuka kemasan dan mulai memakannya. Melihatnya makan dengan lahap, tentu saja membuat gua merasa sedikit lebih aman. Paling nggak kalo mati keracunan, ada temannya.
“Lo kerja dimana sih?” Tiba-tiba ia bertanya.
Gua lalu menunjuk ke arah selatan, ke arah kedai kopi berada. Kemudian memberi penjelasan singkat tentang kondisi pekerjaan gua kepadanya.
Ia mendengarkan sambil manggut-manggut dan mulut masih mengunyah potongan roti.
“Lo belum dijemput?” Gua gantian bertanya.
“Tau nih, bokap gua lagi jemput nyokap dulu soalnya” Poppy memberi penjelasan.
“Oh… Nyokap lo kerja juga?”
“Iya…” Jawabnya.
Baru saja ia selesai menjawab, pria separuh baya yang ternyata bokapnya, yang kemarin menjemputnya tiba. Ia menghentikan sepeda motornya tepat di depan pelataran minimarket dan membunyikan klakson.
Poppy lalu berdiri, menyerahkan sampah kemasan roti ke gua dan bersiap pergi.
“Besok gua masuk pagi” Ucapnya sebelum benar-benar pergi. Entah apa maksud Poppy memberitahu jadwal kerjanya besok ke gua.
“Ati-ati” Ucap gua pelan.
Sambil berjalan, ia menoleh, lalu membalas ucapan gua dengan lambaian tangan sambil tersenyum.
Mendapat perlakuan seperti itu dari seorang perempuan setelah sekian lama, membuat gua jelas salah tingkah. Nggak tau harus balas tersenyum, membalas lambaian tangan, atau keduanya. Tapi, gua nggak melakukan salah satunya, gua malah terdiam mematung.
—
Gua menghisap rokok sambil duduk beralas tumpukan kardus di balik konter. Sambil bersandar dan menatap ke arah pantulan diri sendiri yang nampak pada dinding keramik di depan. Gua kembali mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ke masa dimana gua akhirnya harus ‘tenggelam’ dalam lubang kegelapan, lubang yang sengaja kubuat sendiri.
Pertengahan 2007
Gua duduk di kursi dengan sebuah meja besar di depannya. Sebuah kursi kosong berada tepat di sisi kiri gua, di sebelahnya lagi duduk seorang pria dengan tumpukan kertas di depannya. Sementara di jauh di seberang ruangan, duduk dua orang pria yang usianya sekitar 40 tahunan, duduk sambil menatap ke arah tumpukan kertas di atas mejanya. Sementara di sisi sebelah kanan gua, seorang pria tua dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih, dibalik meja yang megah, ia duduk di atas kursi keagungan; seorang hakim yang mulia.
Dengan jubahnya yang sedikit kebesaran, melalui kacamata bacanya yang turun, ia melirik ke arah dua pria di seberang gua, ke arah Jaksa penuntut umum.
“Jaksa, udah apa siap apa belum?” Tanya Hakim.
“Sebentar yang mulia” Jawab salah satu Jaksa yang juga mengenakan jubah berwarna hitam.
Buat gua, ini merupakan pertama kalinya berada di sebuah ruang sidang, ruang sidang sungguhan. Nggak seperti yang sering gua lihat di film-film, dimana ruang sidang terlihat sakral, ruangan yang menjadi saksi para penjahat dijatuhi hukuman, dan yang nggak terbukti bersalah akhirnya bebas. Di dunia nyata, ruang sidang tempat gua duduk sekarang lebih mirip ruang kelas di sekolah namun dengan layout yang berbeda.
Sama-sama berlantai keramik kusam yang beberapa diantaranya sudah pecah atau retak. Dindingnya penuh dengan retakan halus dan lubang-lubang bekas paku dan tentu saja sebuah patung burung garuda berukuran besar berada di bagian depan, tepat di atas kursi Hakim.
Sementara, beberapa meter area tepat di depan hakim dibiarkan kosong; tempat dimana biasanya saksi, tersangka dan terduga dan sebagainya duduk untuk dimintai keterangan. Sebuah pagar yang terbuat dari kayu memisahkan area tersebut dengan area pengunjung dimana terdapat kursi-kursi kayu panjang yang kelihatannya juga nggak begitu terawat.
“Gimana Pengacara, udah siap?” Tanya Hakim lagi.
“Siap, Yang Mulia” Pengacara yang duduk di sebelah gua menjawab sambil mengangguk. Pengacara ini merupakan pengacara yang disediakan pengadilan, pengacara yang disediakan kalau terdakwa, nggak punya kesempatan atau biaya untuk menyewa seorang pengacara. Dalam kasus ini, sebenarnya Bokap dan Nyokap pernah menyewakan gua seorang pengacara. Tapi, setelah beberapa kali hadir di proses interogasi dan pra persidangan, si pengacara mundur; Nggak di bayar sama bokap.
Kemudian disusul terdengar suara seorang pria yang tampak sosoknya dari tempat gua duduk saat ini, membacakan aturan sidang dan informasi tentang sidang yang bakal gua jalani.
Tak banyak yang bisa gua lakukan saat di persidangan. Benar-benar tak seperti yang terlihat di film-film. Gua hanya duduk di kursi pesakitan, mendengar tuntutan-tuntutan dari Jaksa penuntut umum. Setelahnya, Hakim bakal mengkonfirmasi tuntutan tersebut ke gua, yang gua respon dengan jawaban ‘Iya’ dan anggukan kepala. Respon dari gua tersebut tentu saja bikin pengacara yang diberikan pihak pengadilan geleng-geleng kepala.
Hakim mulai membacakan vonis dan ‘Tok Tok Tok’ palu di ketok, kasus gua pun berakhir. Gua berdiri, dibimbing petugas keluar dari ruang sidang. Sementara, calon tersangka lain bergantian masuk ke dalam ruang sidang, menggantikan posisi gua.
Sempat gua dengar sebelumnya kalau hari ini, si Hakim, Jaksa dan Pak Pengacara harus ‘terlibat’ dalam 18 kasus persidangan. Wajar sih, sidangnya jadi kilat khusus kayak gua barusan.
Sempat ada yang nanya; ‘Kaget nggak waktu vonis dibacakan?’
Jujur, saat itu, gua udah tau hasil sidangnya dari si pengacara. Karena kasus-kasus rakyat biasa kayak gua ini biasanya nggak bakal banyak pembelaan dan kisruh-kisruh ala sidang petinggi atau kasus yang terlanjur masuk media. Di kasus ‘rakyat bawah’ kayak gua, Jaksa sudah menetapkan tuntutan-nya. Dan biasanya, kalau nggak ada pembelaan, makan vonis Hakim pun bakal nggak jauh berbeda dari tuntutan awal Jaksa.
Waktu itu, gua mendapat vonis kurungan penjara 10 Tahun yang dikurangi masa tahanan. Yang artinya masa kurungan gua bakal dikurangi waktu selama gua menjalani proses hukum; sejak awal gua ditangkap sampai vonis dijatuhkan. Jadi misalnya, proses hukumnya selama 6 bulan, berarti masa kurungannya 10 tahun dikurangi 6 bulan.
‘Drtt.. Drtt…’ Ponsel gua bergetar.
Gua jelas kaget, karena ini merupakan kali pertamanya ponsel gua berbunyi sejak dikasih sama Kang Jaya tempo hari. Gua meraih ponsel, layarnya menampilkan pesan dari nomor asing yang nggak gua kenal. Gua mengetap layar, dan pesan kini terbuka; “Sal, besok pagi-pagi ada yang dateng dua orang namanya Dahlan sama Yoha ya”
Dari isi pesannya, tentu saja ketebak kalau si pengirim adalah Mas Angga. Gua lalu membalasnya; “Oke Mas” Kemudian mulai mencari-cari cara untuk menyimpan kontak Mas Angga kedalam ponsel.
Sisa malam itu, gua menghabiskan waktu untuk kutak-katik ponsel. Semakin larut gua ke layar ponsel, semakin gua merasa jauh tertinggal dari teknologi jaman sekarang.
Paginya, gua buru-buru mandi. Karena nggak punya handuk, jadi gua selalu pake baju kotor sebelumnya untuk menyeka tubuh, baru setelah itu baju gua cuci. Selesai mandi yang sekalian nyuci, gua jemur baju di bagian belakang kedai. Di bagian belakang kedai terdapat sebuah area kosong dengan lebar nggak sampe setengah meter. Sepertinya oleh pemilik sebelumnya area ini digunakan sebagai tempat menyimpan tumpukan krat-krat minuman bersoda.
Tepat setelah selesai dengan urusan cucian, gua buru-buru kedepan untuk membuka kunci pintu depan kedai, takut karyawan yang dimaksud Mas Angga datang. Dan betul saja, beberapa menit setelah pintu gua buka, dua orang pemuda datang. Dengan sepeda motor yang di parkir di halaman di sisi kiri kedai, mereka turun lalu melangkah, mendekat ke arah pintu.
“Halo, Marshall ya?” Tanya salah satunya.
“Iya…” Gua menjawab singkat seraya menjulurkan tangan.
Salah satu pria dengan kacamata cukup tebal maju, menjabat tangan gua dan menyebutkan namanya; “Dahlan”
Ia lalu menoleh ke arah pemuda yang satu lagi, yang terlihat sedikit lebih muda, kemudian memperkenalkannya ke gua; “Ini Yoga”
“Oh Halo” Gua lalu menjabat tangan Yoga.
Kami berita lalu saling memperkenalkan diri lebih dalam, sambil minum kopi sachet yang tadi sempat dibeli oleh Yoga. Agak aneh memang kalau melihat karyawan kedai kopi tapi minumnya kopi sachet. Dari obrolan kami, gua akhirnya tau kalau Dahlan merupakan salah satu barista terlama yang bekerja buat Mas Angga, sementara Yoga baru saja genap sebulan bekerja. Sebelumnya Dahlan ditempatkan di cabang di daerah BSD, dan kini dipindahkan ke sini untuk memberi support ke gua. Sementara, Yoga nantinya bakal ditempatkan di BSD menggantikan posisi Dahlan sebelumnya.
Beberapa waktu setelahnya sebuah mobil sedan berhenti di halaman parkir, Mas Angga turun dari mobil dan segera masuk ke dalam. Dengan sebuah kertas di tangannya, ia lalu mulai berkeliling, mencatat, dan memilah-milah barang yang ingin disingkirkan dan mana yang ingin tetap disimpan. Setelah selesai, ia memberikan catatan tersebut ke kami, sehingga kami bisa langsung segera mengeluarkan barang-barang tersebut ke halaman.
“Sebelum truknya dateng nanti sore, barang-barangnya harus udah keluar ya guys” Mas Angga memberi instruksi, sebelum akhirnya ia kembali masuk ke mobil dan pergi.
Beberapa jam berikutnya; Mas Angga kembali datang. Kali ini dengan seorang perempuan yang sepertinya adalah istrinya dan seorang pria yang terlihat berusia sama. Mereka bertiga lalu berkeliling bangunan, terlihat mengukur, mencatat dan mendiskusikan posisi pintu juga jendela. Sepertinya pria yang bersama Mas Angga adalah seorang arsitek.
Sebelum pulang, Mas Angga memanggil gua.
“Sal, besok kamu mulai kerja di BSD dulu ya. Karena ini tempatnya kan mau di renov” Mas Angga memberi instruksi. Ia kemudian memanggil Dahlan dan Yoga, memberikan instruksi yang berbeda untuk keduanya.
“Lan, Kamu besok jemput Marshal kesini terus ke cabang Taman Anggrek. Minta seragam buat Marshall sama Salman. Terus sekalian diajarin Marshallnya ya” Mas Angga bicara ke Dahlan yang lalu diresponnya dengan anggukan kepala.
“Yog, kamu besok ke BSD gantiin Dahlan” Kini Mas Angga bicara ke Yoga.
Mas Angga lalu berpaling dan kembali bicara ke gua; “Kamu kalo belum ada tempat tinggal, Tidur disini dulu gapapa, Sal. Tapi bareng sama tukang-tukang”
“Iya gapapa mas” Gua menjawab senang. Sebelumnya gua agak takut karena jika dipindahin, nggak tau harus tinggal dimana.
Begitu Mas Angga pergi, Dahlan menghampiri gua dan bertanya; “Lo emang tidur disini?” Tanyanya.
“Iya”
“Sendiri?” Tanyanya lagi, dengan ekspresi nggak percaya.
“Iya”
“Keren” Responnya.
Gua lalu menggumam dalam hati; ‘Apa kerennya numpang tidur di kedai”
Selesai dengan urusan pekerjaan, malamnya gua kembali ke minimarket; beli roti. Seperti biasa, gua hanya membeli sepotong roti dan membawanya ke kasir.
“Udah ini aja kak?” Tanya Poppy berlagak serius melayani pembeli.
Gua mengangguk sambil tersenyum kemudian menyerahkan selembar uang pecahan 5 ribu. Sebelum menyerahkan struk, Poppy seperti mengambil sesuatu dari bagian bawah meja kasir, kemudian menyodorkan dua bungkus roti lainnya.
“Makasih ya kak” Tambahnya.
Gua hendak bertanya, kenapa tiba-tiba gua dapet tambahan dua roti? Tapi, Poppy keburu memberi kode dengan tangan agar gua cepat keluar karena antrian di belakang. Gua menurut, keluar dari minimarket dan duduk di teras sambil menikmati sepotong roti yang barusan gua beli. Sedangkan dua bungkus roti yang tadi diberikan oleh Poppy nggak berani gua sentuh, karena ‘statusnya’ masih diragukan.
Setiap ada suara pintu minimarket terbuka gua langsung menoleh, berharap yang keluar adalah Poppy, tapi nyatanya bukan. Poppy barulah keluar dari minimarket begitu lampu bagian dalam dimatikan, dan seorang staf pria mulai menutup rolling door.
“Kok Nggak dimakan?” Tanyanya sambil menunjuk ke arah dua bungkus roti yang tadi ia berikan.
“Ini emang buat gua apa gimana?” Gua balik bertanya.
“Iya buat lo” Jawabnya, kemudian duduk di sebelah gua.
Gua lantas membuka kemasan salah satu roti pemberian darinya dan mulai memakannya.
“Kenapa?” Tanya gua penasaran, sambil terus mengunyah. Tentu saja merujuk alasan kenapa dia tiba-tiba memberikan gua roti.
“Apanya yang kenapa?” Poppy malah balik bertanya.
“Kenapa ngasih gua?”
“Oh.. Gapapa soalnya udah kadaluarsa”
Mendengar jawabannya barusan sontak gua langsung berhenti mengunyah dan langsung mengecek tanggal kadaluarsa pada kemasan. Dan benar, tanggalnya menunjukkan rotinya sudah kadaluarsa dua hari kemarin. Gua menoleh ke arahnya dan pasang ekspresi datar.
“Gapapa santai aja, gua sering makan kok” Poppy bicara seakan mengerti dengan ekspresi yang gua tunjukkan.
“Hah?”
“Halah, tikus pada makan sampah, gemuk-gemuk” Ia menambahkan, sambil menahan tawa.
Ingin membuktikan ucapannya, ia meraih roti yang tersisa, membuka kemasan dan mulai memakannya. Melihatnya makan dengan lahap, tentu saja membuat gua merasa sedikit lebih aman. Paling nggak kalo mati keracunan, ada temannya.
“Lo kerja dimana sih?” Tiba-tiba ia bertanya.
Gua lalu menunjuk ke arah selatan, ke arah kedai kopi berada. Kemudian memberi penjelasan singkat tentang kondisi pekerjaan gua kepadanya.
Ia mendengarkan sambil manggut-manggut dan mulut masih mengunyah potongan roti.
“Lo belum dijemput?” Gua gantian bertanya.
“Tau nih, bokap gua lagi jemput nyokap dulu soalnya” Poppy memberi penjelasan.
“Oh… Nyokap lo kerja juga?”
“Iya…” Jawabnya.
Baru saja ia selesai menjawab, pria separuh baya yang ternyata bokapnya, yang kemarin menjemputnya tiba. Ia menghentikan sepeda motornya tepat di depan pelataran minimarket dan membunyikan klakson.
Poppy lalu berdiri, menyerahkan sampah kemasan roti ke gua dan bersiap pergi.
“Besok gua masuk pagi” Ucapnya sebelum benar-benar pergi. Entah apa maksud Poppy memberitahu jadwal kerjanya besok ke gua.
“Ati-ati” Ucap gua pelan.
Sambil berjalan, ia menoleh, lalu membalas ucapan gua dengan lambaian tangan sambil tersenyum.
Mendapat perlakuan seperti itu dari seorang perempuan setelah sekian lama, membuat gua jelas salah tingkah. Nggak tau harus balas tersenyum, membalas lambaian tangan, atau keduanya. Tapi, gua nggak melakukan salah satunya, gua malah terdiam mematung.
—
Lanjut dibawah
Diubah oleh robotpintar 18-03-2024 21:33
Herisyahrian dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Kutip
Balas
Tutup