Di sisi bangunan yang menghadap ke area parkir, terdapat sebuah pintu lain yang sepertinya pintu akses masuk lain ke dalam bangunan. Seorang pria tengah duduk di ambang pintu sambil menatap layar ponsel di tangannya.
Gua mendekat.

“Permisi Mas, Saya nyari Mas Angga?” Tanya gua dengan nada sesantun mungkin.

Pria itu mendongak, menatap gua sebentar kemudian balik bertanya; “Marshall?”
Gua mengangguk.

“Nah, udah gua tungguin dari tadi”Respon pria tersebut, kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah gua. Gua menyambut uluran tangan dan menjabatnya.

“Gua Angga, Kang Jaya udah telepon tadi…” Ucapnya memperkenalkan diri.
Ia lalu berdiri dan mengajak gua masuk ke dalam. Dengan singkat ia menjelaskan tentang tempat ini. Rupanya, Mas Angga baru saja membeli gedung bangunan bekas kedai kopi yang sepertinya nggak terlalu laku. ‘Ya kalo laku kenapa tutup?’ batin gua dalam hati sambil menatap sekeliling dan mendengarkan penjelasan Mas Angga.

Rencananya Mas Angga juga akan membuka kedai kopi disini, di tempat yang sama, namun dengan konsep yang berbeda.

“Kalo sebelumnya kedai kopi dan nggak laku, kenapa buka kedai kopi lagi mas?” Tanya Gua ke Mas Angga.

“Ya, bisnis yang gua ngerti itu…” Jawabnya singkat.

Sebelumnya Mas Angga sudah punya beberapa kedai kopi lain di Jakarta, Bogor dan Tangerang. Dan ini merupakan kedai kopi ke 6 miliknya.

Mas Angga meraih sebuah tas berwarna merah berbentuk nyaris kotak sempurna, meletakkannya di atas meja konter dan mengeluarkan beberapa barang dari dalam tas. Sebuah teko stainless steel berwarna hitam dengan moncong menyerupai leher angsa, sebuah V60 dripper berwarna senada, beberapa tumpuk kertas filter, bean jar berisi biji kopi dan sebuah hand grinder.
Kemudian sambil berjalan santai, ia menuju ke balik konter dan menekan tombol pada teko listrik yang sepertinya sudah ia siapkan sebelumnya.

“Coba bikin, gua pengen liat” Ucap Mas Angga seraya mengeluarkan cangkir putih berdebu dari rak di bagian bawah konter.

Gua lalu mulai meraih biji kopi dari toples kecil di atas meja. Begitu toples terbuka, aroma agak sangit langsung tercium. Gua mengendus mencoba memastikan, rupanya kopi arabika ini sudah sedikit tengik, mungkin akibat disimpan terlalu lama. Mengabaikan hal itu, gua mulai proses membuat kopi; tanpa takaran, hanya dengan kira-kira, gua memindahkan biji kopi ke wadah di hand grinder dan mulai menggiling, dengan memutar tuasnya.

Sementara, suara khas dari air yang meletup-letup karena mendidih di teko listrik terdengar dari belakang. Gua bergegas mematikan teko listrik tersebut. Menyiapkan kertas filter dan V60 dripper di atas gelas yang baru saja selesai gua cuci, kemudian mulai menuangkan biji kopi yang sudah selesai gua giling dengan ukuran giling medium.

Gua memindahkan air dari teko listrik ke teko stainless steel berwarna hitam dengan moncong menyerupai leher angsa, mengukur panasnya dengan telapak tangan yang gua posisikan tepat diatas permukaan teko. Kemudian mulai menuang air panas dalam teko kecil ke bubuk kopi yang sudah siap di atas gelas dengan V60 dripper.

Tuangan pertama haruslah seperlima dari takaran air, saat ini gua menggunakan kira-kira 230ml air. Kemudian gua diamkan selama kurang lebih 30 detik. Gunanya agar kandungan gas dari biji kopi menguap dan hilang. Selain itu, langkah ini juga berfungsi supaya biji kopi basah secara merata. Agar ekstraksi yang dihasilkan juga lebih merata.

Setelahnya, gua menuang air perlahan dengan gerakan memutar dan menyisakan seperlima dari takaran. Setelah tuangan air kedua mulai turun, barulah gua menuangkan sisa air dalam teko.

Mas Angga yang sejak tadi memperhatikan gua saat membuat kopi lalu berdiri dan melangkah ke ujung konter, dimana sebuah mesin espresso berukuran besar berada. “Pake mesin ini bisa, Sal?” Tanyanya seraya menunjuk mesin espresso tersebut.

“Bisa” Gua menjawab sambil mengangguk.

“Yaudah, beresin alat-alatnya deh…” Ucap Mas Angga.

Sebelum membereskan alat-alat yang tadi gua gunakan, gua meraih gelas berisi kopi yang tadi gua buat dan membuang isinya ke wastafel.

“Lo tau kalo kopinya udah nggak enak?” Tanya Mas Angga.

“Tau. Baunya udah apek” Gua menjawab.

“Good… Besok datang pagi-pagi, bantu beres-beres ya” Mas Angga memberikan instruksi untuk besok.

“Iya Mas”

“Nanti ada dua orang karyawan lain yang juga bantu-bantu” Mas Angga menambahkan.

“Oh ok Mas”

“Terus satu lagi Sal..”

“...”

“... Disini, orang-orang masih berpikiran tertutup. Mereka punya anggapan bekas napi tuh nggak layak dapet kesempatan kedua. Makanya, kalo bisa di rahasiain aja tentang status lo yang bekas napi ini ya” Mas Angga menambahkan.
Gua mengangguk, setuju dengannya.

“... Terus mana KTP lo, sini gua pinjem dulu”

Gua mengeluarkan plastik bening yang berisi gulungan uang tabungan gua beserta KTP dari dalam saku celana. Memberikan KTP tersebut ke Mas Angga, ia lalu memotret KTP itu dengan kamera ponselnya kemudian mengembalikannya ke gua.

"Nomer HP Lo" Pinta Mas Angga

Gua lalu mengeluarkan kertas kemasan nomor ponsel yang gua beli tadi dan memberikannya ke Mas Angga. Ia lalu mencatat di ponselnya nomor baru gua yang tercantum pada kemasan itu.

Sebelum pergi, ia menatap barang bawaan gua yang hanya sebuah plastik berwarna merah yang berisi pakaian.

“Lo beneran baru keluar penjara hari ini?” Tanya Mas Angga.

“Iya” Gua menjawab singkat.

Seakan tau kalau saat ini gua nggak punya tujuan, nggak punya tempat untuk tinggal. Mas Angga lalu menyerahkan satu set anak kunci ke gua; “Nih sementara tidur disini aja dulu. Nanti kalo udah gajian, cari kontrakan”

“Hah, beneran mas?” Gua bertanya, mencoba memastikan.

“Iya, tapi kalo bisa sekalian cek-cek air sama listriknya ya” Mas Angga menjawab.

“Iya Mas, Siap!”
—

Begitu Mas Angga pergi, gua langsung mulai bersih-bersih. Menurut rencana dari Mas Angga tadi, Kedai ini akan direnovasi terlebih dahulu sebelum benar-benar beroperasi. Dan gua diberi tugas untuk bersih-bersih sekaligus memilah-milah barang yang masih bagus dan bisa digunakan kembali.

Tempat pertama yang jadi target bersih-bersih adalah kamar mandi. Tentu saja, kamar mandi yang bersih adalah cerminan dari keseluruhan bangunan. Dengan berbekal sabun colek kadaluarsa yang sudah mengeras, yang gua temukan di sudut ruang cuci, gua mulai menggosok lantai dan dinding kamar mandi.

Mengabaikan rasa lelah, gua pindah ke area belakang konter, menaikkan kursi-kursi kayu ke atas meja dan mulai menyikat lantainya.

Jam menunjukkan pukul 9 malam ketika gua baru saja selesai mengepel area pelanggan. Gua duduk dan bersandar pada dinding seraya mencoba mengatur nafas. Dari posisi gua duduk, terlihat sebuah tangga besi melingkar yang menuju ke lantai atas. Penasaran, gua bangkit dan menaiki tangga tersebut.

Tak ada cahaya sama sekali begitu gua tiba di lantai dua bangunan ini. Gua meraba-raba dinding, menemukan saklar dan mencoba menekannya; tak terjadi apa-apa; ‘Mungkin lampunya putus’ batin gua dalam hati, sambil terus melangkah dengan meraba-raba bagian dinding. Berbekal cahaya minim dari lampu penerangan jalan yang menerobos masuk melalui area ventilasi, terlihat kalau area lantai dua ini punya luas yang sama dengan lantai bawah. Hanya saja, saat ini terlihat berantakan karena penuh dengan tumpukan meja dan kursi kayu tak terpakai dan kardus-kardus yang menjulang tinggi.

‘Wah, masih banyak yang harus diberesin besok’ Gua membatin dalam hati. Kemudian kembali turun ke lantai bawah.

Setelah selesai, gua bersih-bersih lalu duduk di lantai, di balik konter. Perut mulai keroncongan karena sejak tadi hanya diisi dengan air putih, gua bersiap untuk tidur mencoba mengabaikan rasa lapar yang sangat. Iya, hidup di dalam penjara membuat gua terbiasa dengan rasa lapar.

“Tapi gua kan udah nggak di sana sekarang” Gua bicara sendiri dengan nada yang lirih. Kemudian mengambil plastik kecil transparan dari saku celana dan mengeluarkan isinya. Beberapa lembar uang pecahan lima ribu, sepuluh dan dua puluh ribuan yang buluk dan tergulung, tergeletak di lantai. Gua mencoba memilah dan menghitungnya; 150 ribu. Ini merupakan sisa semua uang yang gua kumpulkan selama di penjara, tentu saja setelah dikurangi ongkos dan buat beli nomor ponsel tadi.

‘Kalo nunggu dibayar Mas Angga sampe bulan depan, apa cukup uang 150rb’ batin gua dalam hati sembari coba menghitung. 150rb jika dibagi 30 hari, maka sehari gua hanya bisa menghabiskan 5rb saja. ‘Ah, dapat makan apa jika cuma goceng?’

Akhirnya gua memutuskan untuk menghabiskan 5rb hari ini. Entah nanti cukup untuk membeli apa?

Gua keluar dari kedai, mengunci pintunya dan berjalan menyusuri jalan, mencoba mencari tukang penjual makanan yang nggak terlalu mahal.
‘Tapi, kalau terlalu jauh berjalan, nanti bakal tambah capek dan menguras energi, jadi percuma saja makan’

Sebuah mini market terlihat di ujung jalan, gua berjalan ke arahnya. Berniat untuk membeli sebungkus mie instan dan di masak di kedai nanti. Tapi begitu sudah di dalam mini market, gua baru teringat kalau di kedai tak ada alat masak. Jadi, gua putuskan untuk membeli sebungkus roti berukuran kecil yang harganya Rp4.999.

“Ini aja Kak?” Tanya seorang gadis yang berada di balik mesin kasir.

Gua mengangguk kemudian meletakkan selembar uang 5 ribuan di atas meja. Ia menatap ke arah gua sebentar, kemudian menyerahkan struk belanja ke gua; “Terima kasih kak”.

Di teras plataran mini market, Gua duduk, menikmati sepotong roti sambil menatap ramainya jalan di depan.

Sebenarnya, jalan di depan gua ini bukanlah jalan utama. Jalannya sempit, bahkan hanya cukup dilewati sebuah mobil. Namun, karena jalan ini merupakan akses ‘jalan tembus’ yang menghubungkan dua jalan utama, jadilah banyak para pengendara yang memilih ‘potong jalan’ melalui jalan ini. Ya walau resikonya malah mobil jadi baret kesenggol tiang listrik atau tempat sampah.

Cukup lama gua duduk di plataran Mini market, hingga salah satu stafnya bersiap menutup rolling door. Beberapa staff lainnya terlihat pulang dengan mengendarai sepeda motor.

Lalu seorang gadis, masih dengan seragam minimarket bernuansa biru-merah yang dilapis sweater abu-abu duduk tepat di sebelah gua. Gua menoleh dan mengenalinya sebagai sosok kasir yang tadi melayani gua.

“Mau markir ya?”Tanyanya tanpa basa-basi.

“Hah?” Gua menoleh dan mengernyitkan dahi, nggak mengerti dengan maksud pertanyaannya.

Gadis itu lalu menunjuk ke arah sebuah tulisan pada dinding halaman minimarket; ‘Parkir Gratis!’

“Daripada lo keburu jadi tukang parkir disini, mendingan gua bilangin duluan aja” Tambahnya.

“Siapa yang mau jadi tukang parkir?” Tanya gua.

“Ya elo, kan?” Ia balik bertanya, bukan, bukan, Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah tuduhan.

“Nggak kok” Gua menjawab sambil menggelengkan kepala dan memberi kode dengan kedua tangan.

“Bener?” Tanyanya, masih ragu, mencoba memastikan.

“Bener…” Kali ini gua menjawab sambil mengangkat kedua jadi tangan kanan ke atas, memperagakan gaya ‘suer’.

“Yaudah, bagus deh. Soalnya kalo ada tukang parkir, orang jadi males kesini. Kadang belanjanya aja cuma 7.000 eh bayar parkirnya 2.000. Dulu malah pernah, ada mas-mas dateng mau ngambil ATM, eh nggak taunya ATM-nya rusak, pas balik dimintain parkir 2.000, duitnya nggak dapet, malah rugi 2.000” Gadis itu tiba-tiba cerita.

“Ya harusnya lo minta maaf dulu aja, karena salah nuduh orang. Jangan maen cerita panjang lebar” Ucap gua.

“Iya, iya Maap deh…” Ucapnya, dengan nada cuek.

Kami lalu sama-sama saling terdiam. Hingga kemudian ia kembali buka suara; “Lo nungguin apaan disini?” Tanyanya.

“Nggak nunggu apa-apa. Lo?” Gua menjawab dan balik bertanya.

“Nunggu di jemput” Jawabnya singkat.

“Oh”

“Lo tinggal disini?” Kini dia yang gantian bertanya.

“Hmmm… baru mau”

“Hah, baru mau, gimana maksudnya?” Tanyanya.

“Lagi nyari-nyari kontrakan” Jawab gua setengah berbohong. Ya gua emang beneran nyari kontrakan tapi belum ada aja duitnya.

“Oh.. kerja di sekitar sini?” Tanyanya lagi.

“Iya” Gua menjawab singkat.

Tiba-tiba sebuah motor bebek berhenti tepat di pinggir jalan di depan minimarket. Seorang pria paruh baya yang mengendarainya menoleh ke arah kami berdua kemudian memberikan kode dengan klakson. Gadis di sebelah gua lalu menjulurkan tangannya sambil pasang senyum.

Gua menyambut jabat tangannya, sembari menyebutkan nama; “Marshall”

“Poppy” Ucapnya kemudian pergi ke arah pria setengah baya yang sudah menunggunya di sepeda motor.
—