- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
![Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa](https://s.kaskus.id/images/2024/06/10/6448808_20240610092903.jpg)
Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 14:29
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![mmmsemangat2858](https://s.kaskus.id/user/avatar/2024/06/23/avatar11656733_1.gif)
![maniacok99](https://s.kaskus.id/user/avatar/2022/08/07/avatar11272226_14.gif)
maniacok99 dan 154 lainnya memberi reputasi
155
247.3K
Kutip
3.8K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.7KThread•43.1KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#89
Part 5 - Waktu yang Hilang
Spoiler for Part 5 - Waktu yang Hilang:
Masih nggak percaya, aku membalik halaman selanjutnya, dan mendapati gambarku lagi. Kemudian, di sisa halaman sketchbook itu, hanya berisi gambar diriku dengan berbagai pose. Yang sepertinya diambilnya diam-diam tanpa sepengetahuanku.
“Kenapa? Kenapa aku?” Tanyaku pelan.
“Kenapa nggak” Jawabnya singkat.
Momen itulah yang akhirnya membuatku membuka hati untuknya. Cowok yang di kemudian hari mulai memperkenalkan dunianya kepadaku. Dunia yang nyata.
“Aku boleh minta satu?” Tanyaku ke Marshall sambil menunjuk salah satu gambar diriku di salah satu lembaran sketchbook miliknya.
Marshall nggak memberi jawaban. Ia justru meraih sketchbook tersebut, membalik-balik lembarannya, kemudian menyobek dengan hati-hati lembaran kertas yang berisi gambar diriku. Ia lalu menggulung lembaran kertas itu dan mengikatnya dengan seutas karet yang kebetulan berada di atas meja.
“Tapi ini nggak gratis lho” Ucapnya serahkan menyerahkan gulungan kertas tersebut kepadaku.
Aku yang sudah bersiap menerima gulungan kertas itu dengan mengulurkan tangan, sontak kembali menurunkan tangan begitu mendengar ucapannya barusan.
“Hah. Harus bayar? Berapa?” Tanyaku.
Marshall tersenyum, meraih tanganku dan meletakkan gulungan tersebut dalam genggamanku.
“Iya. Tapi nggak perlu pake duit” Jawabnya.
“Terus pake apa?” Tanyaku lagi, penasaran.
Ia lalu pasang tampang penuh kelicikan dan memandangiku dari atas hingga ke bawah, kemudian tersenyum layaknya cowok mesum. Mendapat perlakuan aneh darinya, aku langsung melingkarkan kedua tangan di dada. “Apaan sih, ngawur deh” Ucapku dengan nada ketus.
“Hahaha… Lo pasti mikir yang aneh-aneh deh. Nggak kok, gua cuma mau ngobrol sama lo sebagai bayarannya” Marshall menjelaskan.
“Ya gimana nggak mikir yang aneh-aneh, tampang kamu kayak gitu sih” Ucapku.
Sejak saat itu aku dan Marshall kerap menghabiskan waktu bersama. Hampir tak ada yang berubah dari hal-hal sebelumnya. Ia tetap menungguku di depan gerbang sekolah, menghampiri kelasku saat waktu istirahat dan menemaniku menunggu bunda menjemput selepas sekolah. Hanya saja, aku tak lagi berlaku jutek dan mendiamkannya, kini kami berdua saling ngobrol banyak hal, tentang apapun, tentang dirinya, tentang diriku dan tentang kita.
Setelah cukup mengenalnya, ternyata Marshall nggak seburuk apa yang terlihat. Ia pintar dan cerdas, ia bahkan pernah mewakili sekolah kami dalam kompetisi cerdas-cermat se-Indonesia dan berhasil meraih juara ketiga. Mungkin saja, sekolah kami bisa mendapat peringkat pertama kalau saja di ajang final Marshall nggak membolos hanya karena keasyikan menggambar hingga larut yang ujung-ujungnya bangun kesiangan.
Ia merupakan tipikal ‘social butterfly’ yang suka menclok sana-menclok sini. Gampang membaur dan mudah bergaul, bahkan sepertinya hampir seluruh warga sekolah ini mengenal dirinya. Ia tipikal orang yang lovable, baik hati dan perhatian. Ia nggak segan berkorban demi orang lain. Terbukti saat ia rela meminjamkan topi seragam miliknya untuk salah satu temannya saat hari upacara bendera hari Senin. Imbasnya, ia yang malah harus kena hukum karena atribut seragamnya nggak lengkap.
Dari ceritanya juga aku tahu kalau Bapak dan Ibunya adalah seorang dokter yang cukup sukses. Bapaknya merupakan dokter spesialis Jantung, sedangkan Ibunya merupakan dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta.
Berkat dirinya juga aku bisa merasakan kelumrahan di masa-masa SMA. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sensasi deg-degan akibat membolos sekolah karena diajak Marshall ke terminal Blok-M hanya sekedar ia ingin menggambar bus. Karenanya juga, aku pernah kena hukum guru karena bercanda dengannya di area perpustakaan. Hal-hal yang sebelumnya tabu untuk kulakukan.
Tapi, bergaul dengan Marshall nggak melulu membawa dampak buruk buatku. Marshall yang pandai di hampir semua mata pelajaran selalu membantuku dengan soal-soal yang njelimet. Nggak jarang ia mengajariku dan Nadia saat istirahat.
Biasanya kami menghabiskan waktu untuk ngobrol berdua selepas pulang sekolah. Sambil menunggu Bunda datang menjemput, aku dan Marshall biasanya bakal duduk di depan bangunan kecil di sisi sekolah; gedung koperasi. Di bagian depan gedung yang bentuknya mirip seperti warung terdapat sepasang kursi kayu panjang yang mengapit meja besar yang lapis plastik transparan.
Koperasi biasanya menjual perlengkapan-perlengkapan sekolah seperti topi, dasi, ikat pinggang, badge osis, pakaian olahraga hingga kertas jawaban ulangan. Nggak cuma itu aja, koperasi di sekolah kami juga menjual alat tulis, hingga makanan ringan seperti roti, gorengan dan aneka minuman. Bedanya dengan kantin, harga jajanan di koperasi agak sedikit mahal dan pilihannya nggak banyak. Jadi, sangat jarang ada siswa-siswi yang mau jajan di koperasi. Kecuali, saat ada ulangan, maka koperasi bakal diserbu oleh para siswa-siswi yang mau beli kertas jawaban ulangan.
Saat sekolah usai, koperasi pun langsung tutup. Dan disanalah kami berdua acap kali menghabiskan waktu bersama. Kadang kami ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan, kadang aku yang banyak curhat tentang keluarga, bahan kadang kami hanya tenggelam dalam diam; Marshall sibuk menggambar sementara aku berpangku tangan memandangnya.
Benih cinta yang sebelumnya sudah bertunas, kini tumbuh semakin subur. Aku tahu kalau dia suka kepadaku, begitu pula sebaliknya; kami berdua sama-sama tahu. Kadang kami berdua saling berpegangan tangan melalui bawah meja. Saat, ia kedapatan bersama cewek lain, maka aku akan cemberut dan marah padanya. Begitupun dengan dirinya, saat bertemu setelah libur sekolah, maka ia akan segera mendatangiku dan berbisik tentang kerinduan. Tapi, nggak satupun diantara kami berdua yang menyatakan cinta, kami hanya saling jatuh cinta.
“Ta, gimana? Lo tetep ikut kan?” Tanya Nadia begitu aku masuk ke dalam kelas.
Alih-alih langsung menjawabnya, aku duduk dan mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas. Sementara, Nadia masih duduk berpangku tangan, menunggu jawaban dariku.
“Nggak tau deh Nad, pasti nggak bakal di bolehin” Aku menjawab tanpa semangat.
Hari minggu nanti, bakal ada Pensi (Pentas Seni) yang diadakan oleh sekolah lain dalam rangka pesta kelulusan. Dan kebetulan Sheila On 7 bakal jadi performer utamanya. Kami berlima tentu saja langsung bikin rencana untuk datang ke acara pensi itu. Mulai dari outfit yang bakal kita kenakan, hingga titik kumpul kami di hari H nanti.
Tapi, tentu saja nggak bakal mendapat izin dari ayah. Jangankan datang ke acara pensi atau nonton konser. Untuk sekedar ikut kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan pihak sekolah pun, aku harus jatuh-bangun meminta restunya.
Sebelumnya, kami biasa pakai taktik ‘penjemputan’ jika ingin pergi bersama-sama berlima atau sekedar nongkrong sampai malam. Biasanya Nadia, Tya, Asri dan Icha bakal menjemputku di rumah. Mereka lalu berdalih ingin mengajakku belajar bersama di rumah salah satunya; biasanya rumah yang selalu jadi tempat nongkrong adalah rumah Nadia.
Melihat yang datang menjemput adalah teman-teman cewek yang ‘terlihat’ baik-baik, tentu saja ayah langsung mengijinkan.
Sementara, Nadia dengan idenya yang cemerlang lalu memberi sogokan ke kakak perempuannya di rumah untuk bilang kalau kami berlima memang sedang belajar di sana jika Ayah menelpon. Padahal saat itu kami bisa saja tengah berada di mall atau nongkrong di salah satu kafe di Blok-M atau Kemang.
Tapi, setelah beberapa kali menggunakan teknik yang sama. Ayah mulai mengendus adanya ‘persekutuan jahat’ dalam rencana kami. Akhirnya, ayah berhasil membongkar trik tersebut dengan mengikuti kami begitu selesai menjemputku.
That’s why, kita harus cari cara baru untuk ‘mengeluarkan’ aku dari rumah. Tentu saja tanpa harus melibatkan mereka berempat, karena sudah punya catatan ‘hitam’ di mata ayah.
“Kalo lo nggak dapet ijin, dan kita berempat akhirnya pergi, lo jangan marah ya?” Tanya Nadia.
Aku menoleh ke arahnya dan pasang tampang memelas.
“Ya masa gara-gara lo nggak ikut, terus kita semua jadi nggak bisa nonton sheila?” Tambahnya.
Aku terdiam dan kini pasang tampang cemberut, sementara kepala ini terus berputar, mencoba mencari cara agar bisa keluar bersama mereka.
Saat pulang sekolah, Marshall muncul di ambang pintu. Ia bersandar pada kusen sambil tersenyum ke arahku. Nadia yang juga menyadari kehadiran Marshall langsung menyenggol lenganku kemudian memberikan kode dengan matanya.
“Tuh udah di tungguin” goda Nadia.
Aku tersenyum lalu dengan cepat menghampiri Marshall. Kuraih tangan dan membawanya turun ke bawah bersama dengan gerombolan siswa-siswi lain. Kami lalu duduk di kursi kayu panjang di depan koperasi sekolah, tempat biasa kami menghabiskan waktu berdua.
Marshall mengeluarkan sketchbook miliknya dari dalam tas, ia lalu mulai meneruskan gambarnya; sebuah mobil sedan milik kepala sekolah yang sudah ia gambar sejak kemarin. Seperti biasa, aku hanya berpangku tangan dan menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa?” Tanyanya tanpa berpaling dari sketchbook, saat menyadari aku tengah menatapnya.
“Gapapa…” Jawabku singkat.
“...”
“... Aku suka aja ngeliat kamu kalo menggambar” Tambahku.
Marshall hanya menyeringai begitu mendengar ucapanku. Sementara tangannya yang menggenggam pensil mekanik masih menari-nari.
Saat itu, Marshall baru saja selesai ujian akhir sekolah dan nggak lama lagi ia bakal lulus kemudian meninggalkanku.
“Kamu nanti mau kuliah dimana?” Tanyaku, masih dengan pose yang sama; berpangku tangan sambil tersenyum menatapnya.
“Nggak tau deh, belum nentuin” Jawabnya.
“Emang cita-cita kamu apa?” Tanyaku lagi.
“Hmmm….” Marshall menghentikan kegiatannya, ia lalu menatap kosong ke depan seraya mengetuk-ketuk pensil mekanik di dahinya; seperti tengah berpikir.
Nggak lama, ia menjawab; “... Jadi Illustrator” Tambahnya.
“Illustrator?” Aku bertanya memastikan. Karena menurutku, profesi sebagai Illustrator bukanlah hal yang umum di tahun itu.
“Iya, Illustrator, tukang gambar-gambar” Marshall menjelaskan, kemudian melanjutkan kegiatannya.
“Oh… Ya berarti kalo kuliah harus ambil jurusan seni” Ucapku.
“Kalo lo? Nanti lo mau jadi apa?” Kini gantian Marshall yang bertanya.
“Hmmm… Nggak tau, profesinya apa nggak gitu penting kayaknya. Yang penting bisa bareng-bareng sama kamu” Aku memberi jawaban.
Selesai pembahasan tentang impian dan cita-cita, aku lalu mulai curhat perkara acara pensi yang ingin kami datangi. Namun, seperti biasa, bakal terkendala oleh ijin ayah. Saat tengah bercerita, Marshall berhenti menggambar, menutup sketchbook dan menatapku. Ia merupakan pendengar yang baik. Punya kemampuan mendengarkan tanpa memberikan judgement adalah salah satu kelebihannya.
Begitu aku selesai bercerita dan meminta pendapatnya, barulah ia buka suara. Saat aku tak minta pendapatnya ia bakal diam. Kalaupun bicara, ia hanya bicara tanpa menyerempet pembahasanku sebelumnya.
“Menurut kamu aku harus gimana?” Tanyaku setelah mencurahkan isi hatiku perihal acara Pensi.
Marshall tersenyum lalu, menepuk kepalaku dengan lembut.
“Yaudah nggak usah dateng. Nanti kalo udah lulus SMA gua ajak lo nonton konser Sheila” Ucapnya.
Aku langsung cemberut begitu mendengar tanggapannya. Bagaimana mungkin ia nggak sependapat denganku dan malah memihak ayah?
“Ya tapi kan aku mau nonton Sheila-nya sekarang” Responku, masih dengan tampang cemberut.
Saat pembahasan kami belum selesai terdengar suara klakson mobil dari depan gerbang sekolah, melalui celah pagar aku dapat melihat mobil milik bunda sudah berada disana. Aku meraih tas dan bersiap untuk pergi. Sebelum benar-benar pergi, Marshall meraih tanganku dan bicara pelan; “Gua janji, nanti gua bakal ajak lo nonton konser Sheila. Now on, ikutin aja kata bokap lo” Ucapnya pelan.
Aku tersenyum, dan menjawab; “Janji ya?”
Marshall lalu mengangguk.
—
“Kenapa? Kenapa aku?” Tanyaku pelan.
“Kenapa nggak” Jawabnya singkat.
Momen itulah yang akhirnya membuatku membuka hati untuknya. Cowok yang di kemudian hari mulai memperkenalkan dunianya kepadaku. Dunia yang nyata.
“Aku boleh minta satu?” Tanyaku ke Marshall sambil menunjuk salah satu gambar diriku di salah satu lembaran sketchbook miliknya.
Marshall nggak memberi jawaban. Ia justru meraih sketchbook tersebut, membalik-balik lembarannya, kemudian menyobek dengan hati-hati lembaran kertas yang berisi gambar diriku. Ia lalu menggulung lembaran kertas itu dan mengikatnya dengan seutas karet yang kebetulan berada di atas meja.
“Tapi ini nggak gratis lho” Ucapnya serahkan menyerahkan gulungan kertas tersebut kepadaku.
Aku yang sudah bersiap menerima gulungan kertas itu dengan mengulurkan tangan, sontak kembali menurunkan tangan begitu mendengar ucapannya barusan.
“Hah. Harus bayar? Berapa?” Tanyaku.
Marshall tersenyum, meraih tanganku dan meletakkan gulungan tersebut dalam genggamanku.
“Iya. Tapi nggak perlu pake duit” Jawabnya.
“Terus pake apa?” Tanyaku lagi, penasaran.
Ia lalu pasang tampang penuh kelicikan dan memandangiku dari atas hingga ke bawah, kemudian tersenyum layaknya cowok mesum. Mendapat perlakuan aneh darinya, aku langsung melingkarkan kedua tangan di dada. “Apaan sih, ngawur deh” Ucapku dengan nada ketus.
“Hahaha… Lo pasti mikir yang aneh-aneh deh. Nggak kok, gua cuma mau ngobrol sama lo sebagai bayarannya” Marshall menjelaskan.
“Ya gimana nggak mikir yang aneh-aneh, tampang kamu kayak gitu sih” Ucapku.
Sejak saat itu aku dan Marshall kerap menghabiskan waktu bersama. Hampir tak ada yang berubah dari hal-hal sebelumnya. Ia tetap menungguku di depan gerbang sekolah, menghampiri kelasku saat waktu istirahat dan menemaniku menunggu bunda menjemput selepas sekolah. Hanya saja, aku tak lagi berlaku jutek dan mendiamkannya, kini kami berdua saling ngobrol banyak hal, tentang apapun, tentang dirinya, tentang diriku dan tentang kita.
Setelah cukup mengenalnya, ternyata Marshall nggak seburuk apa yang terlihat. Ia pintar dan cerdas, ia bahkan pernah mewakili sekolah kami dalam kompetisi cerdas-cermat se-Indonesia dan berhasil meraih juara ketiga. Mungkin saja, sekolah kami bisa mendapat peringkat pertama kalau saja di ajang final Marshall nggak membolos hanya karena keasyikan menggambar hingga larut yang ujung-ujungnya bangun kesiangan.
Ia merupakan tipikal ‘social butterfly’ yang suka menclok sana-menclok sini. Gampang membaur dan mudah bergaul, bahkan sepertinya hampir seluruh warga sekolah ini mengenal dirinya. Ia tipikal orang yang lovable, baik hati dan perhatian. Ia nggak segan berkorban demi orang lain. Terbukti saat ia rela meminjamkan topi seragam miliknya untuk salah satu temannya saat hari upacara bendera hari Senin. Imbasnya, ia yang malah harus kena hukum karena atribut seragamnya nggak lengkap.
Dari ceritanya juga aku tahu kalau Bapak dan Ibunya adalah seorang dokter yang cukup sukses. Bapaknya merupakan dokter spesialis Jantung, sedangkan Ibunya merupakan dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta.
Berkat dirinya juga aku bisa merasakan kelumrahan di masa-masa SMA. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sensasi deg-degan akibat membolos sekolah karena diajak Marshall ke terminal Blok-M hanya sekedar ia ingin menggambar bus. Karenanya juga, aku pernah kena hukum guru karena bercanda dengannya di area perpustakaan. Hal-hal yang sebelumnya tabu untuk kulakukan.
Tapi, bergaul dengan Marshall nggak melulu membawa dampak buruk buatku. Marshall yang pandai di hampir semua mata pelajaran selalu membantuku dengan soal-soal yang njelimet. Nggak jarang ia mengajariku dan Nadia saat istirahat.
Biasanya kami menghabiskan waktu untuk ngobrol berdua selepas pulang sekolah. Sambil menunggu Bunda datang menjemput, aku dan Marshall biasanya bakal duduk di depan bangunan kecil di sisi sekolah; gedung koperasi. Di bagian depan gedung yang bentuknya mirip seperti warung terdapat sepasang kursi kayu panjang yang mengapit meja besar yang lapis plastik transparan.
Koperasi biasanya menjual perlengkapan-perlengkapan sekolah seperti topi, dasi, ikat pinggang, badge osis, pakaian olahraga hingga kertas jawaban ulangan. Nggak cuma itu aja, koperasi di sekolah kami juga menjual alat tulis, hingga makanan ringan seperti roti, gorengan dan aneka minuman. Bedanya dengan kantin, harga jajanan di koperasi agak sedikit mahal dan pilihannya nggak banyak. Jadi, sangat jarang ada siswa-siswi yang mau jajan di koperasi. Kecuali, saat ada ulangan, maka koperasi bakal diserbu oleh para siswa-siswi yang mau beli kertas jawaban ulangan.
Saat sekolah usai, koperasi pun langsung tutup. Dan disanalah kami berdua acap kali menghabiskan waktu bersama. Kadang kami ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan, kadang aku yang banyak curhat tentang keluarga, bahan kadang kami hanya tenggelam dalam diam; Marshall sibuk menggambar sementara aku berpangku tangan memandangnya.
Benih cinta yang sebelumnya sudah bertunas, kini tumbuh semakin subur. Aku tahu kalau dia suka kepadaku, begitu pula sebaliknya; kami berdua sama-sama tahu. Kadang kami berdua saling berpegangan tangan melalui bawah meja. Saat, ia kedapatan bersama cewek lain, maka aku akan cemberut dan marah padanya. Begitupun dengan dirinya, saat bertemu setelah libur sekolah, maka ia akan segera mendatangiku dan berbisik tentang kerinduan. Tapi, nggak satupun diantara kami berdua yang menyatakan cinta, kami hanya saling jatuh cinta.
“Ta, gimana? Lo tetep ikut kan?” Tanya Nadia begitu aku masuk ke dalam kelas.
Alih-alih langsung menjawabnya, aku duduk dan mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas. Sementara, Nadia masih duduk berpangku tangan, menunggu jawaban dariku.
“Nggak tau deh Nad, pasti nggak bakal di bolehin” Aku menjawab tanpa semangat.
Hari minggu nanti, bakal ada Pensi (Pentas Seni) yang diadakan oleh sekolah lain dalam rangka pesta kelulusan. Dan kebetulan Sheila On 7 bakal jadi performer utamanya. Kami berlima tentu saja langsung bikin rencana untuk datang ke acara pensi itu. Mulai dari outfit yang bakal kita kenakan, hingga titik kumpul kami di hari H nanti.
Tapi, tentu saja nggak bakal mendapat izin dari ayah. Jangankan datang ke acara pensi atau nonton konser. Untuk sekedar ikut kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan pihak sekolah pun, aku harus jatuh-bangun meminta restunya.
Sebelumnya, kami biasa pakai taktik ‘penjemputan’ jika ingin pergi bersama-sama berlima atau sekedar nongkrong sampai malam. Biasanya Nadia, Tya, Asri dan Icha bakal menjemputku di rumah. Mereka lalu berdalih ingin mengajakku belajar bersama di rumah salah satunya; biasanya rumah yang selalu jadi tempat nongkrong adalah rumah Nadia.
Melihat yang datang menjemput adalah teman-teman cewek yang ‘terlihat’ baik-baik, tentu saja ayah langsung mengijinkan.
Sementara, Nadia dengan idenya yang cemerlang lalu memberi sogokan ke kakak perempuannya di rumah untuk bilang kalau kami berlima memang sedang belajar di sana jika Ayah menelpon. Padahal saat itu kami bisa saja tengah berada di mall atau nongkrong di salah satu kafe di Blok-M atau Kemang.
Tapi, setelah beberapa kali menggunakan teknik yang sama. Ayah mulai mengendus adanya ‘persekutuan jahat’ dalam rencana kami. Akhirnya, ayah berhasil membongkar trik tersebut dengan mengikuti kami begitu selesai menjemputku.
That’s why, kita harus cari cara baru untuk ‘mengeluarkan’ aku dari rumah. Tentu saja tanpa harus melibatkan mereka berempat, karena sudah punya catatan ‘hitam’ di mata ayah.
“Kalo lo nggak dapet ijin, dan kita berempat akhirnya pergi, lo jangan marah ya?” Tanya Nadia.
Aku menoleh ke arahnya dan pasang tampang memelas.
“Ya masa gara-gara lo nggak ikut, terus kita semua jadi nggak bisa nonton sheila?” Tambahnya.
Aku terdiam dan kini pasang tampang cemberut, sementara kepala ini terus berputar, mencoba mencari cara agar bisa keluar bersama mereka.
Saat pulang sekolah, Marshall muncul di ambang pintu. Ia bersandar pada kusen sambil tersenyum ke arahku. Nadia yang juga menyadari kehadiran Marshall langsung menyenggol lenganku kemudian memberikan kode dengan matanya.
“Tuh udah di tungguin” goda Nadia.
Aku tersenyum lalu dengan cepat menghampiri Marshall. Kuraih tangan dan membawanya turun ke bawah bersama dengan gerombolan siswa-siswi lain. Kami lalu duduk di kursi kayu panjang di depan koperasi sekolah, tempat biasa kami menghabiskan waktu berdua.
Marshall mengeluarkan sketchbook miliknya dari dalam tas, ia lalu mulai meneruskan gambarnya; sebuah mobil sedan milik kepala sekolah yang sudah ia gambar sejak kemarin. Seperti biasa, aku hanya berpangku tangan dan menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa?” Tanyanya tanpa berpaling dari sketchbook, saat menyadari aku tengah menatapnya.
“Gapapa…” Jawabku singkat.
“...”
“... Aku suka aja ngeliat kamu kalo menggambar” Tambahku.
Marshall hanya menyeringai begitu mendengar ucapanku. Sementara tangannya yang menggenggam pensil mekanik masih menari-nari.
Saat itu, Marshall baru saja selesai ujian akhir sekolah dan nggak lama lagi ia bakal lulus kemudian meninggalkanku.
“Kamu nanti mau kuliah dimana?” Tanyaku, masih dengan pose yang sama; berpangku tangan sambil tersenyum menatapnya.
“Nggak tau deh, belum nentuin” Jawabnya.
“Emang cita-cita kamu apa?” Tanyaku lagi.
“Hmmm….” Marshall menghentikan kegiatannya, ia lalu menatap kosong ke depan seraya mengetuk-ketuk pensil mekanik di dahinya; seperti tengah berpikir.
Nggak lama, ia menjawab; “... Jadi Illustrator” Tambahnya.
“Illustrator?” Aku bertanya memastikan. Karena menurutku, profesi sebagai Illustrator bukanlah hal yang umum di tahun itu.
“Iya, Illustrator, tukang gambar-gambar” Marshall menjelaskan, kemudian melanjutkan kegiatannya.
“Oh… Ya berarti kalo kuliah harus ambil jurusan seni” Ucapku.
“Kalo lo? Nanti lo mau jadi apa?” Kini gantian Marshall yang bertanya.
“Hmmm… Nggak tau, profesinya apa nggak gitu penting kayaknya. Yang penting bisa bareng-bareng sama kamu” Aku memberi jawaban.
Selesai pembahasan tentang impian dan cita-cita, aku lalu mulai curhat perkara acara pensi yang ingin kami datangi. Namun, seperti biasa, bakal terkendala oleh ijin ayah. Saat tengah bercerita, Marshall berhenti menggambar, menutup sketchbook dan menatapku. Ia merupakan pendengar yang baik. Punya kemampuan mendengarkan tanpa memberikan judgement adalah salah satu kelebihannya.
Begitu aku selesai bercerita dan meminta pendapatnya, barulah ia buka suara. Saat aku tak minta pendapatnya ia bakal diam. Kalaupun bicara, ia hanya bicara tanpa menyerempet pembahasanku sebelumnya.
“Menurut kamu aku harus gimana?” Tanyaku setelah mencurahkan isi hatiku perihal acara Pensi.
Marshall tersenyum lalu, menepuk kepalaku dengan lembut.
“Yaudah nggak usah dateng. Nanti kalo udah lulus SMA gua ajak lo nonton konser Sheila” Ucapnya.
Aku langsung cemberut begitu mendengar tanggapannya. Bagaimana mungkin ia nggak sependapat denganku dan malah memihak ayah?
“Ya tapi kan aku mau nonton Sheila-nya sekarang” Responku, masih dengan tampang cemberut.
Saat pembahasan kami belum selesai terdengar suara klakson mobil dari depan gerbang sekolah, melalui celah pagar aku dapat melihat mobil milik bunda sudah berada disana. Aku meraih tas dan bersiap untuk pergi. Sebelum benar-benar pergi, Marshall meraih tanganku dan bicara pelan; “Gua janji, nanti gua bakal ajak lo nonton konser Sheila. Now on, ikutin aja kata bokap lo” Ucapnya pelan.
Aku tersenyum, dan menjawab; “Janji ya?”
Marshall lalu mengangguk.
—
Lanjutan di bawah (nggak muat)
Diubah oleh robotpintar 15-03-2024 15:08
![mmuji1575](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/10/16/avatar10724019_1.gif)
![pavidean](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/10/30/avatar9974255_2.gif)
![ym15](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/12/29/avatar10054844_20.gif)
ym15 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
Kutip
Balas
Tutup