- Beranda
- Stories from the Heart
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa
...
TS
robotpintar
Jelaga - Sehitam yang Rasanya Tidak Biasa

Bahkan Putih Pun Sudah Seperti Jelaga
"Marsal!"Petugas memanggil namaku asal-asalan.
Gua berdiri dan mendekat ke arah petugas sipir yang menatap ke arah lembaran kertas di atas meja kerjanya. Dengan kacamata baca yang turun hingga ke hidungnya, ia menatapku, lalu tersenyum.
"Tanda tangan" Ucapnya seraya menyerahkan lembaran kertas dari tangannya dan sebuah pulpen.
Gua meraih pulpen itu dan membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah lembaran kertas, kemudian mengembalikannya ke petugas tadi.
Ia menerima kertas tersebut, memasukkannya ke dalam sebuah map berwarna hijau dan menumpuknya dengan map-map lain yang memiliki warna yang sama. Dengan gerakan yang lambat dan ogah-ogahan, petugas itu menarik laci, mengeluarkan map plastik transaparan yang di dalamnya terlihat beberapa lembar kertas.
"Nih..." Ucapnya seraya menggeser map transparan tersebut ke arah gua.
"Ada yang jemput, Sal? Nggak ada ya?" Tanya si petugas sambil mencari-cari sesuatu dari laci meja kerjanya.
Belum sempat gua menjawab pertanyaannya, ia lalu menyodorkan sebuah kartu nama. Gua meraih kartu nama tersebut, kartu nama berbahan kertas Ivory yang terlihat murahan. Gua mengernyitkan dahi dan mulai membaca tulisan pada kartu tersebut.
'Jaya Teknik' Gua membaca tulisan paling besar pada kartu tersebut, disusul informasi nomor telepon dan alamat di bagian bawahnya.
"Kang Jaya?" Tanya gua ke petugas itu.
"Iya. Kamu kesana aja, biasanya anak-anak yang baru 'keluar' diajak kerja sama dia" Tambah si petugas sambil tetap menatap ke arah gua.
"Oh..." Gua memberi respon singkat.
Petugas itu berdiri, mengulurkan tangannya. Gua menyambut dan menjabat tangannya.
"Hati-hati ya, Sal. Pokoknya jangan sampe kamu balik kesini lagi" Ucapnya, masih sambil menjabat tangan gua.
"Iya Pak Didi" Jawabku, kemudian bersiap pergi.
Sementara aku pergi, terdengar Pak Didi kembali memanggil nama lain. Seorang petugas menghampiri, membimbing gua melewati lorong berliku yang berpagar tinggi. Hingga akhirnya, kami tiba di sebuah pintu besi berukuran besar. Petugas itu, menekan tombol pada sisi pintu, menimbulkan bunyi meraung keras disusul suara 'cklek' dan pintu otomatis terbuka.
Petugas itu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan gua untuk keluar.
---
Spoiler for Prolog:
Sebuah ruangan dengan atap tinggi, tanpa dinding dan riuh rendah dari para pengunjung yang tengah mengantri untuk membesuk keluarganya ditambah kerasnya pengumuman dari pelantang suara di ruang semi terbuka itu menyambut gua.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Beberapa mata langsung tertuju ke arah gua. Mungkin aneh melihat ada yang keluar dari pintu besar berukuran tebal itu. Dengan mengabaikan pandangan orang-orang, gua terus melangkah, menuju ke halaman gedung.
Dengan sebuah plastik berwarna merah berisi pakaian seadanya, dan map transparan yang diberikan oleh Pak Didi tadi, gua melangkahkan kaki keluar dari area bangunan itu, untuk pertama kalinya dalam 8 tahun.
Gua menyusuri jalan kecil yang mengubungkan bangunan ini dengan jalan utama yang berada di ujung sana. Sepanjang jalan terdapat beberapa tempat makan sederhana dan warung-warung kopi yang mungkin menjadi tempat para petugas makan dan beristirahat.
Di ujung jalan, terlihat sebuah gapura besar yang terbuat dari batang-batang besi. Pada bagian atasnya nampak motto; "Pasti Baik" dengan tulisan 'Lembaga Pemasyarakatan' di bagian bawahnya. Beberapa tukang ojek pangkalan langsung bersiul begitu melihat kehadiran gua, mencoba menawarkan jasanya.
Gua mengangkat tangan sambil menggeleng, memberi kode dengan cara sesantun mungkin untuk menolak tawaran mereka. Entah mungkin karena nggak ngerti kode yang gue berikan atau memang gigih, mereka tetap menawarkan jasanya. Malah kali ini lebih brutal, mereka menyalakan mesin motor dan langsung mengendarainya mendekat ke arah gua; "Ayok ojek Mas".
"Nggak mas, makasih"Gua menjawab, sambil kembali mengangkat tangan, kemudian melanjutkan langkah.
Akhirnya karena terus dipaksa, gua naik ke boncengan si abang tukang ojek itu. 'Ya emang rejeki dari kegigihannya' Gua membatin dalam hati.
"Kemana?" Tanyanya.
"Terminal" Gua menjawab singkat.
"Siap" Ia langsung memacu sepeda motornya.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya si tukang ojek ini mengajak gua bicara. "Abis besuk siapa? sodara? temen?" Tanyanya.
"Nggak, bukan" Gua menjawab singkat.
"Lah terus ngapain ke lapas?" Tanyanya lagi.
"Gua baru keluar"
"Hah?" Dari nada suaranya terdengar si tukang ojek ini sedikit terkejut. Nggak hanya nada suaranya yang terdengar kaget. Begitu mendengar jawaban gua barusan, sontak ia juga langsung melambatkan laju sepeda motornya.
"Situ Napi?" Tanyanya lagi.
"Bekas" Gua mengoreksi pertanyaanya barusan.
Sejak saat itu, si tukang ojek nggak pernah lagi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Ia hanya diam dan fokus pada jalanan.
"Ngojek deket lapas, emang nggak pernah bawa penumpang bekas napi?" Tanya gua memecah keheningan.
Si Tukang ojek menggelengkan kepala.
"Biasanya mah, yang keluar dari lapas di jemput sama keluarganya. Langganan ojek saya kebanyakan orang yang besuk" Si Tukang ojek berusaha menjelaskan.
"Oh... Pantesan"
Nggak berselang lama, kami akhirnya tiba di terminal bus. Gua turun dari goncengan sepeda motor, mengeluarkan plastik berisi gulungan uang dari saku celana jeans, bersiap untuk membayar. Namun, Si Tukang ojek sudah keburu memutar sepeda motornya dan bersiap untuk pergi.
"Eh, tunggu mas, mau kemana?" Tanya gua, berusaha memegang tangannya mencegah agar dia nggak pergi. Namun, dengan sigap ia menepisnya lalu kabur dengan kecepatan penuh.
Melihat kejadian tersebut tentu membuat gua geleng-geleng kepala, bagaimana tidak. Si Tukang ojek barusan merupakan gambaran umum dari masyarakat Indonesia. Yang punya ketakutan sebesar gunung terhadap para bekas narapidana. Atau jika terlalu 'kasar' menyebut kami sebagai bekas narapidana, mungkin bekas masyarakat binaan bisa menjadi kata ganti yang tepat.
Gua duduk di kursi bis menuju ke Jakarta. Sementara, satu persatu penumpang naik dan duduk dikursi kosong secara acak, mengabaikan nomor yang tertera pada karcis dan kursi. Riuh pedagang asongan yang bolak-balik di lorong antara kursi menjajakan dagangannya dan suara sumbang pengamen dibagian depan bus, membuat rasa kantuk yang sejak tadi hinggap kini hilang.
Cukup lama kami, para penumpang dibiarkan menunggu. Jadi, si supir bus hanya akan jalan jika semua kursi sudah terisi. Kalau masih ada yang kosong, sampai kiamat pun, bus nggak bakalan berangkat. Setelah beberapa saat, hampir semua kursi penuh, bahkan ada sebagian penumpang yang duduk di lorong antar kursi dengan menggunakan kursi plastik.
Raung mesih bus terdengar. Kami lalu perlahan melaju, meninggalkan terminal, menuju ke Jakarta.
---
Masih dengan pakaian yang sama, sambil menggenggam plastik merah, gua berdiri tepat di depan sebuah bengkel las dengan papan nama besar di bagian atas yang bertuliskan 'Jaya Teknik'.
"Sal, Marshall" Terdengar teriakan seorang pria yang samar dengan suara dentingan besi.
Gua menoleh dan mendapati Kang Jaya berdiri, melambaikan tangannya ke arah gua.
Menit berikutnya, kami berdua sudah terlibat obrolan seru di sebuah ruangan yang digunakan Kang Jaya sebagai 'kantor'nya. Di sela-sela obrolang, gua pun menyampaikan niat kedatangan gua kepadanya.
"Kang, bisa ajak gua kerja nggak?" Tanya gua.
Kang Jaya terdiam sesaat, lalu menatap ke arah gua.
"Kamu disana emang belajar nge-las?" Tanyanya.
Gua meresponnya dengan gelengan kepala.
"Terus ngambil sertifikasi apa?" Tanyanya lagi.
Gua lantas memberikan map transparan dari Pak Didi kepadanya. Ia lalu menyeka tangannya dengan ujung kaos dan dengan hati-hati mengeluarkan lembaran kertas dari Map transparan yang berisi sertifikat life skill yang gua pelajari sewatku di Lapas.
"Barista" Gumamnya, sambil menatap gua.
"Iya kang"
"Barista mau jadi tukang las?" Tanyanya.
"Gua mau belajar dulu kok, bantu angkat-angkat besi, ngapain kek..." Jawab gua, dengan nada memohon.
Kang Jaya menghela nafas panjang, kemudian meraih ponselnya dari atas meja.
"Saya ada temen yang baru aja ngambil alih kedai kopi, Siapa tau masih butuh barista. Mau?" Tanyanya.
Gua langsung mengangguk. "Mau!"
Kang Jaya lalu tersenyum dan mulai melakukan panggilan melalui ponselnya.
Diubah oleh robotpintar 10-06-2024 21:29
viper990 dan 214 lainnya memberi reputasi
215
399K
Kutip
4.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#28
Part 1
Spoiler for Perempuan Yang Bermuram Durja:
Januari 2015
“Belum pulang Mbak Tata?” Tanya Mas Ogi yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
“Belum mas, sebentar lagi. Tanggung” Jawabku, tanpa memalingkan pandangan dari layar laptop yang menampilkan ‘card’ sprint schedule.
Sebagai seorang Product Manager, memang sudah tugasku melakukan tracking pada ‘task-task’ yang akan berjalan di sprint berikutnya. Memastikan, kalau jadwal rilis untuk bug fix sesuai dengan rencana agar nggak mengganggu aplikasi nantinya.
Karena ada nama Manager pada jabatanku, bukan berarti aku adalah benar-benar seorang ‘manajer’. Kalau diklasifikasi berdasarkan level, sejatinya aku hanya staf ‘biasa’ yang punya tugas untuk ‘mengatur’ produk. Produk disini juga bukan produk ‘nyata’, melainkan sebuah aplikasi.
Ini adalah tahun kedua ku bekerja di sebuah perusahaan agensi teknologi. Beberapa tahun sebelumnya, mungkin kantorku ini bisa disebut dengan ‘software house’. Tapi, kini semenjak teknologi portable semakin umun, banyak ‘software house’ yang merubah arah bisnisnya menjadi ‘Apps Developer’, atau mungkin bisa dikatakan hanya mengubah ‘namanya’.
Gampangnya, perusahaan tempatku bekerja sekarang ini merupakan agensi yang akan membantu klien untuk membuat sebuah aplikasi. Kedepannya, perusahaan ini juga akan menyediakan services A-Z. Jadi, nggak hanya melayani pembuatan aplikasi, tapi juga termasuk marketing, sales hingga creative-nya. Kalau kata bos ku yang bule; ‘One stop solutions’.
Saat ini aku kebagian menghandle klien dari sebuah perusahaan retail yang ingin membuat aplikasi penjualannya sendiri. Sebagai Product Manager, aku bertanggung jawab mengkoordinasi para Developer, UI/UX Designer, Engineer dan Quality Assurance. Biasanya dalam satu project dengan skala dan prioritas minim, terdiri dari 1 Product Manager, 3 Developer, 1 UI/UX Designer, 2 Engineer dan 1 Quality Assurance. Tim kecil tersebut nantinya akan disebut sebagai ‘Squad’.
Jumlah dan komposisi ‘Squad’ untuk masing-masing project bisa berbeda-beda, tergantung dari skala dan prioritas yang diset oleh pihak manajemen. Biasanya untuk squad yang memegang project ‘besar’ akan ada beberapa tambahan role di dalam squad, seperti; Scrum Master, Visual Designer, UX Writer hingga Data Analyst. Dan salah satu tugasku adalah memastikan project selesai sesuai dengan timeline dari klien dan manajemen.
Untuk memudahkan tracking pekerjaan, biasanya kami menggunakan tracker berbasis web buatan para developer kantor ini. Tracker ini akan menampilkan ‘board’ berisi, task-task berbentuk ‘card’, kami biasanya menyebut hal ini sebagai; Kanban system.
Board ini nantinya bisa di akses oleh seluruh anggota ‘squad’. Jadi, masing-masing member bisa melihat task apa saja yang diberikan padanya, dan aku sebagai project manager bisa memantau sudah sejauh mana progres dari task tersebut. Nggak hanya itu, pihak top management juga punya akses penuh terhadap boardtracker ini. Jadi, nggak bisa tuh kita tipu-tipu mereka dengan bilang ‘Oiya, udah masuk sprint ini kok’ padahal belum.
Aku meraih plastik berisi sampah bekas coklat dan snack sisa ngemil tadi siang, dan memasukkannya ke dalam plastik sampah besar yang sejak tadi dibawa oleh Mas Ogi. Oiya, Mas Ogi ini merupakan petugas kebersihan di kantor.
“Titip ya mas” Ucapku.
“Iya mbak”
“Di bawah masih rame mas?” Tanyaku, merujuk ke lantai satu, tempat biasanya rekan-rekan yang lain ‘nongkrong’ selepas bekerja.
“Masih mbak, soalnya ujan. Jadi, pada nunggu reda, sambil pada billiard” Jawab Mas Ogi, sementara tangannya sibuk mengumpulkan gelas dan sesekali menyeka permukaan meja.
“Oh” Aku lalu berdiri, mendekat ke arah jendela besar di sisi ruangan, memutar knop untuk menyibak tirai penutup.
Terlihat bulir-bulir air menempel dan mengalir di sisi terluar jendela. Sementara, di luar hujan turun begitu lebatnya.
Hujan. Hujan, selalu berhasil membangkitkan kenangan lama tentangnya. Sekeras apapun aku mencoba melupakannya, hujan akan mengembalikan memori itu.
Tanpa terasa, air mata mengalir, membasahi pipi. Aku menyeka pipi hingga ke ujung mata. Tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, aku kembali ke meja, menutup layar laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang.
“Aku duluan ya Mas Ogi” Pamitku ke Mas Ogi yang lalu diresponnya dengan mengangkat ibu jarinya ke udara. Sambil berjalan menyusuri lorong menuju ke lobby lift, ku keluarkan ponsel, membaca pesan dari Aris yang masuk beberapa puluh menit lalu.
‘Maaf ya aku nggak bisa jemput’ Isi pesan dari Ari.
Aku mulai mengetik pesan balasan; ‘Iya gpp, aku jalan aja’
‘Ting’ Pintu lift terbuka.
Riuh rendah suara candaan rekan-rekan lain, bercampur dengan suara musik yang menggema dan benturan suara bola billiard menyambutku.
“Ta… ngopi yuk, mau nggak?” Ajak salah satu rekan kerjaku, Elsa.
“Males ah…” Jawabku singkat.
“Yah, ayo dong Ta, sebentar doang” Pinta Elsa memohon.
Aku menoleh, menatap ke arahnya yang kini pasang tampang memelas.
“Mau ya? Ya?” Pintanya lagi.
Ocha, salah satu temanku yang lain lalu ikut bergabung. Ia memposisikan diri tepat di depanku dan mulai bicara; “Mas Baristanya ganteng, Ta”
Aku menggeleng.
“Deket kok Ta, bisa sekalian jalan balik ke Kos” Tambah Ocha.
Aku menghela nafas. “Emang dimana?” Tanyaku.
“Itu lho, yang deket tempat laundry” Elsa menambahkan.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat lokasi yang disebutkan Elsa. Seingatku, disana memang ada kedai kopi, tapi rasa-rasanya, tempatnya nggak begitu nyaman dan kopinya juga nggak terlalu enak. Tapi, demi ‘menghibur’ mereka berdua, akhirnya kusetujui rencana tersebut.
“Tapi kan masih ujan” Gumamku.
“Gerimis doang, Lagian sekarang ini ada teknologi namanya payung” Jawab Ocha, lalu menarik tanganku.
Kami bertiga keluar dari kantor, mulai menyusuri trotoar jalan utama, lalu berbelok ke kiri, ke sebuah jalan yang lebih kecil dimana banyak pohon-pohon besar dan rindang berdiri di setiap sisinya. Aku menjulurkan tangan keluar dari naungan payung, memastikan apakah hujan masih turun. Hujan menyisakan gerimis, gerimis yang rintiknya sudah tak mulai terasa karena terhalang lebatnya pepohonan.
Di depanku, Elsa dan Ocha berjalan berdua, berada dibawah payung berukuran besar dengan logo brand otomotif di bagian luarnya. Sementara, aku memakai payung kecil milik Ocha yang beberapa besi penahan-nya sudah patah. Sesekali, Ocha menoleh ke belakang, ke arahku seraya mencoba mendapatkan afirmasi perihal gosip antara Boy si anak legal baru dan Becca.
“Iya kan Ta?” Tanya Ocha.
“Iya apaan?” Aku balik bertanya.
“Si Becca sama Boy balik bareng kemaren. Lo liat kan?” Tanya Ocha lagi.
“Iya…” Aku menjawab santai.
“Tuh kan, apa gue bilang” Ucap Ocha seraya menepuk punggung Elsa yang sebelumnya nggak yakin dengan gosip tersebut.
Kami terus melangkah, menyusuri trotoar yang basah. Sesekali, aku melompat, melangkahi genangan air yang enggan surut. Di depanku, Ocha dan Elsa mulai menyeberang jalan, berbelok ke jalan yang lebih kecil. Sebuah jalan yang hanya cukup dilewati sebuah mobil. Jadi, di jalan ini, jika ada dua mobil yang berpapasan, maka salah satunya harus mengalah. Entah dengan melipir ke salah satu halaman toko atau mundur hingga kuldesak terdekat.
Nggak begitu jauh dari pertigaan tempat kami menyebrang tadi terdapat sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua lantai. Sebuah bangun yang sepertinya belum lama dipugar, terlihat dari warna cat pada bagian kusen jendela-nya yang masih mengkilap dan berbau tiner saat kami semakin dekat. Sebenarnya aku beberapa kali pernah mampir ke kedai kopi ini, tapi setelah mencoba rasa kopi dan tempatnya yang ‘biasa’ saja, aku jadi enggan datang kembali.
Di bagian depan bangunan lantai dua terdapat sebuah papan berbentuk lingkaran dengan diameter kira-kira hampir satu meter. Tulisan ‘Kopi Yuk’ terpampang, menyala, di papan berbentuk lingkaran tersebut. Sementara sebuah papan arah bertuliskan ‘Masuk’ terlihat pada sisi dinding, dengan tangga besi yang langsung mengarah ke lantai dua.
Ocha dan Elsa yang masih bercengkrama langsung menaiki tangga tersebut. Ragu, aku mengikutinya. Rupanya, Kedai Kopi ini baru saja dipugar, karena sebelumnya akses masuk ke kedai, berada di lantai bawah.
Jariku mulai meniti selusur tangga besi yang basah akibat hujan.
Di ujung anak tangga, terdapat pintu kayu dengan kaca kecil buram di permukaannya. Ocha dan Elsa masuk lebih dulu, disusul bunyi lonceng yang sepertinya sengaja dipasang pada bagian atas pintu. Aku menahan daun pintu dengan ujung kaki, dan menyelip masuk ke dalam.
Suasana hangat langsung menyambut begitu kami sudah berada di dalam. Lampu-lampu gantung estetik yang dipadukan dengan pipa-pipa besi sebagai pembungkus kabel menerangi seluruh ruangan. Bata plester unfinished di sudut kedai dan tumpukan ban mobil beralas kaca yang digunakan sebagai meja, membuat nuansa industrial kedai ini semakin kentara.
Terakhir kali aku datang kesini, kedai ini hanya nampak seperti kedai kopi tak terurus yang kotor dan minim cahaya. Namun sekarang kedai ini nampak berbeda, nampak bersih, terang dan ‘cantik’. ‘Ya mudah-mudahan aja, rasa kopinya seenak tampilan kedainya’ batinku dalam hati.
Di salah satu sisi ruangan yang bersebelahan dengan konter pramusaji, terdapat beberapa rak berisi buku-buku. Mulai dari komik, novel teenlit hingga buku sastra berbahasa Inggris berjejer rapi sesuai kategorinya. Aku lalu mendekat ke arah rak dan mulai meniti sampul-sampul buku tersebut, sementara Ocha dan Elsa langsung menuju ke depan konter.
Seorang pramusaji perempuan berdiri dari balik konter, Ia mengenakan masker wajah, rambutnya disanggul dan ditutupi oleh sebuah topi berlogo kedai kopi tersebut. Walaupun mengenakan masker, senyumnya terlihat cantik, dan ia pun mulai menyapa kami; “Malam kak? Mau pesan apa?” Tanyanya.
Aku menjauh dari rak buku, menghampiri Ocha dan Elsa yang masih menatap papan kecil di atas meja konter yang berisi menu.
Ocha dan Elsa kompak memesan Americano dingin. Sementara, aku masih bingung, belum memutuskan.
Saat seorang pegawai pria keluar dari pintu di belakang konter, spontan Ocha langsung menyenggol lenganku. Kemudian mengerlingkan matanya, memberikan kode agar aku menoleh ke arah pria tersebut. Aku pun berpaling dan mendapati seorang pria yang baru saja keluar dan kini tengah bersiap mengenakan apron barista miliknya. Sama seperti si pramusaji perempuan tadi, pria ini mengenakan masker wajah dan topi dengan warna dan model yang sama.
“Iced Americano dua” Pramusaji perempuan menyampaikan pesanan Ocha dan Elsa ke barista tersebut. Yang langsung di responnya dengan anggukan kepala.
Pria itu lalu sibuk dengan alat takar dan mesin penggiling. Sementara, aku masih menatap ke arahnya, merasa mengenal pria tersebut. Sayangnya dengan masker dan topi, wajahnya nggak tampak terlalu jelas. Mungkin, sudah SOP di kedai kopi ini kalau para pegawainya diwajibkan mengenakan masker dan topi, untuk melindungi makanan dari droplets dan helaian rambut yang jatuh.
Lamunanku buyar saat Ocha kembali menyenggol lenganku. “Lo pesen apa?” Tanyanya.
“Iced Cafe Latte” Aku sontak memberi jawaban, asal.
Tadinya aku berencana memilih meja yang paling dekat dengan rak buku, agar aku bisa dengan mudah memilih buku untuk kubaca. Tapi, Ocha menolak; “Duh, kalo lu mau baca buku nanti aja lo dateng kesini lagi sendiri, hari ini kita bergunjing” Ujarnya.
Sambil menunggu kopi pesanan kami selesai dibuat. Ocha dan Elsa dengan intens membahas si pria barista itu.
“Asli! ditutup masker aja, keliatan masih ganteng” Seru Ocha, masih sambil memandangnya.
“Yakin? Kalo pas dibuka ompong gimana?” Tanya Elsa menggoda Ocha. Pertanyaan yang tentu saja membuat Ocha langsung tertawa terbahak-bahak.
“Gimana menurut lo Ta? Ganteng nggak kira-kira?” Tanya Ocha kepadaku.
“Hmmm… Nggak tau deh” Jawabku sambil mengangkat kedua bahu. Sementara mataku masih memandang ke arah barista itu, berharap ia menoleh ke arahku dan aku bisa melihat matanya. Elsa yang menyadari sejak tadi aku menatap ke arah barista itu langsung tersenyum dan menggodaku.
“Mau kenalan? Mau gue mintain nomernya?” Tanya Elsa yang langsung bersiap berdiri. Aku buru-buru meraih tangannya dan menggeleng.
“Jangan!” Ucapku dengan suara lirih. Elsa pun kembali duduk dan tertawa.
“Bercanda. Gue juga nggak bakal berani” Ucap Elsa. Ocha lalu ikut nimbrung.
“Tatapan lo tuh tapi beda banget lho, Ta. Jangan-jangan lo kenal?” Tanya Ocha.
“Nggak. Cuma…” Aku nggak melanjutkan kalimat. Enggan memberi penjelasan.
“Cuma apa?” Tagih Elsa.
“Gapapa…” Jawabku singkat. Berbohong. Barista itu mengingatkanku akan seseorang dari masa lalu, seseorang yang membuatku membenci hujan, membenci diriku sendiri, membenci hidupku. Dan sejujurnya, jikalau masih ada kesempatan untukku bertemu dengannya. Aku ragu, apakah aku masih punya nyali untuk menghadapinya.
Nggak lama berselang, kopi pesanan kami tiba. Selesai mengantarkan kopi, si pramusaji perempuan dengan sopan menawarkan kami untuk membaca buku yang ada di rak, di sisi ruangan.
“Silahkan kak, dua Iced Americano dan satu Iced Cafe Latte ya . Oiya, Buku-buku yang ada di rak boleh dibaca lho kak…” Ucapnya ramah, seraya ibu jarinya menunjuk ke arah rak berisi buku-buku.
“Iya, makasih ya” Jawab kami nyaris serempak.
Lonceng kecil di atas pintu berbunyi, disusul beberapa pelanggan masuk. Pasangan muda-mudi yang sepertinya langganan tetap di kedai ini, terlihat dari gaya bicara mereka yang santai ke si pramusaji perempuan. Sementara, sejak tadi kuperhatikan si barista nggak sekalipun bicara.
Selesai dengan per-gosipan duniawi yang dibalut acara minum kopi. Kami pulang, karena tinggal di tempat kos yang sama, maka pulangnya pun kami sama-sama. Jarak tempat kos kami dari kedai kopi ini nggak terlalu jauh, jika ditempuh dengan sepeda motor, paling hanya menghabiskan waktu nggak sampai 7 menit. Dan 15 menit jika berjalan santai. Tapi, jika berlari sambil dikejar anjing, mungkin bisa sampai di kos dalam waktu 10 menit saja.
Karena nggak buru-buru, dan bisa sambil lanjut ngobrol, kami bertiga memutuskan untuk pulang ke kos dengan berjalan kaki. Si Ocha, juga rencananya mau mampir ke minimarket untuk membeli cemilan.
“Lho itu di rak harganya nggak segitu kok Mbak!” Seru Ocha ketika ingin membayar di kasir dan mendapati kalau harga snack yang dibelinya tertera harga normal.
Si Mbak kasir lalu sibuk mengecek melalui komputer di depannya. Sepertinya nggak puas, ia lalu keluar dari meja kasir dan menuju ke rak tempat snack yang dimaksud oleh Ocha. Ia kembali dan memohon maaf.
“Maaf kak, itu kayaknya label harganya ketuker. Jadi ini harganya normal, nggak diskon” Jawab si Mbak kasir sambil menyatukan kedua tangannya, membentuk gestur meminta maaf.
“Lho, nggak bisa dong” Balas Ocha, nggak mau kalah.
Aku yang sejak tadi berdiri menunggu di belakangnya lalu menepuk bahu Ocha; "Udah lah cha. Berapa sih emang selisihnya?”
“Nggak bisa Ta, selisihnya emang dikit, tapi lama-lama nanti kebiasaan” Jawab Ocha, masih menggebu-gebu.
“Mohon Maaf ya kak” Tambah si Mbak Kasir.
Akhirnya setelah lelah berdebat dan melihat antrian di belakang kami yang mulai mengular; Ocha mengalah. Ia membayar selisihnya dan kami buru-buru keluar dari mini market itu.
Sementara, hujan menyisakan genangan air dimana-mana, kami melangkah berhimpitan di jalan yang sempit, takut kecipratan air genangan dari kendaraan yang lewat. Tetap sambil bercanda dan membahas gosip seputar rekan di kantor dan pria barista di kedai tadi.
Nggak lama kami tiba di kos.
Sebuah bangunan 3 lantai yang membentuk huruf U. Layoutnya mirip dengan layout sekolah negeri yang umum berada di Jakarta, hanya saja, jauh lebih kecil. Setiap lantai terdiri dari 10 kamar. 5 kamar di sisi sebelah kiri, dan 5 kamar di sisi sebelah kanan. Sebuah tangga besar berada di tengah-tengah bangunan. Tepat di kedua sisi tangga terdapat ruang komunal lengkap dengan sofa dan meja untuk menerima tamu. Sementara di seberangnya terdapat dapur umum yang dilengkapi dengan alat masaknya. Ya walaupun kedua tempat itu kayaknya hampir nggak pernah digunakan, karena masing-masing penghuni punya alat masak sederhana sendiri dan hampir nggak pernah menerima tamu. Terkecuali para penghuni yang diam-diam membawa masuk pasangannya ke dalam kamar.
“Lo mau ikut nonton drakor nggak?” Tanya Elsa kepadaku sambil menaiki tangga.
“Nggak ah, ngantuk” Jawabku.
“Besok lo balik ya?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
Iya, setiap weekend biasanya aku pulang ke rumah ayah di daerah Ciputat. Sejatinya, aku bisa saja nggak ngekos dan pulang-pergi dari rumah di Ciputat ke kantor di daerah Slipi, Jakarta Barat. Tapi, menurutku terlalu menghabiskan waktu dan tenaga. Setelah kuhitung-hitung, untuk ongkos bolak-balik dari Ciputat ke Slipi hampir sama dengan biara kos disini. Jadi, kuputuskan untuk ngekos bareng mereka berdua yang sudah lebih dulu tinggal disini.
Elsa adalah anak rantau yang berasal dari Malang, sementara kedua orang tua Ocha kini tinggal di Aussie, jadi daripada hidup sendirian di rumah, ia memilih untuk ngekos.
“Kita duluan ya” Pamit Elsa begitu tiba di lantai satu, sementara kamarku berada di lantai tiga.
“Bye” Ucapku seraya lanjut naik ke lantai berikutnya sambil melambaikan tangan.
Saat tengah mencoba membuka pintu kamar, ponselku berdering, susah payah aku mencari ponsel dari dalam tas, dan meraihnya. Layar ponsel menunjukkan nama bunda.
“Halo Assalamualaikum, Ta…” Sapa Bunda dari ujung sana.
“Waalaikum salam, bund”. Jawabku, masih mencoba membuka kunci kamar.
“Kamu dimana Ta?” Tanyanya dengan suara lembutnya yang khas.
“Baru sampe kos bund” Kini, pintu kamar sudah terbuka. Aku membuka sepatu dan bergegas masuk.
“Oh, nggak langsung pulang ke rumah?” Tanyanya lagi.
“Kayaknya besok pagi aja deh, bund. Soalnya hari ini capek banget”
“Oh Ok. Udah makan?” Tanyanya lagi.
“Udah” Jawabku singkat, berbohong. Padahal sejak tadi siang, aku hanya ngemil snack dan coklat.
“Sip, Besok kamu mau dimasakin apa?”
“Hmmm… Apa aja deh, eh… boleh request sayur sop nggak bund” Pintaku, sambil berlagak manja.
“Ya boleh dong. Sayur sop sama apa?”
“Perkedel dong…” Jawabku, masih berlagak manja.
“Oke… Yaudah kamu istirahat deh, jangan begadang ya sayang”
“Iya bund…”
Aku mengakhiri panggilan, dan langsung berbaring di atas ranjang. Dalam kegelapan, aku menatap ke arah langit-langit kamar yang nampak samar akibat pantulan cahaya dari luar yang masuk melalui sela-sela jendela.
Melihat barista di kedai kopi tadi membuat pikiran melayang kembali ke masa 9 tahun yang lalu. Di masa itu, ada momen indah yang tak ingin kulupakan, tapi disisi lain ada pula masa menyakitkan yang terus membawa luka hingga saat ini. Bayangan masa lalu itu kini berputar di kepala, terus berputar, hingga aku tertidur.
Jam menunjukkan pukul 4 dini hari saat aku tiba-tiba terbangun dari mimpi buruk. Mimpi buruk yang terus datang setiap hari selama 9 tahun, dan kini mimpi itu terasa lebih nyata. Dengan tubuh penuh keringat, aku duduk di tepian ranjang, meraih tas, merogoh dan mencari bungkusan rokok di dalamnya.
Nyala korek api membias di seisi ruangan yang gelap. Kuhisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. Sambil memijat kening, aku meraih ponsel dan mendapati beberapa pesan masuk dari Aris yang isinya kurang lebih menanyakan kabarku, apakah aku sudah sampai di kos, apakah aku sudah makan dan kenapa aku tak membalas pesannya. Ku Abaikan pesan darinya dan kembali berbaring masih dengan sebatang rokok di tangan.
“Belum pulang Mbak Tata?” Tanya Mas Ogi yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
“Belum mas, sebentar lagi. Tanggung” Jawabku, tanpa memalingkan pandangan dari layar laptop yang menampilkan ‘card’ sprint schedule.
Sebagai seorang Product Manager, memang sudah tugasku melakukan tracking pada ‘task-task’ yang akan berjalan di sprint berikutnya. Memastikan, kalau jadwal rilis untuk bug fix sesuai dengan rencana agar nggak mengganggu aplikasi nantinya.
Karena ada nama Manager pada jabatanku, bukan berarti aku adalah benar-benar seorang ‘manajer’. Kalau diklasifikasi berdasarkan level, sejatinya aku hanya staf ‘biasa’ yang punya tugas untuk ‘mengatur’ produk. Produk disini juga bukan produk ‘nyata’, melainkan sebuah aplikasi.
Ini adalah tahun kedua ku bekerja di sebuah perusahaan agensi teknologi. Beberapa tahun sebelumnya, mungkin kantorku ini bisa disebut dengan ‘software house’. Tapi, kini semenjak teknologi portable semakin umun, banyak ‘software house’ yang merubah arah bisnisnya menjadi ‘Apps Developer’, atau mungkin bisa dikatakan hanya mengubah ‘namanya’.
Gampangnya, perusahaan tempatku bekerja sekarang ini merupakan agensi yang akan membantu klien untuk membuat sebuah aplikasi. Kedepannya, perusahaan ini juga akan menyediakan services A-Z. Jadi, nggak hanya melayani pembuatan aplikasi, tapi juga termasuk marketing, sales hingga creative-nya. Kalau kata bos ku yang bule; ‘One stop solutions’.
Saat ini aku kebagian menghandle klien dari sebuah perusahaan retail yang ingin membuat aplikasi penjualannya sendiri. Sebagai Product Manager, aku bertanggung jawab mengkoordinasi para Developer, UI/UX Designer, Engineer dan Quality Assurance. Biasanya dalam satu project dengan skala dan prioritas minim, terdiri dari 1 Product Manager, 3 Developer, 1 UI/UX Designer, 2 Engineer dan 1 Quality Assurance. Tim kecil tersebut nantinya akan disebut sebagai ‘Squad’.
Jumlah dan komposisi ‘Squad’ untuk masing-masing project bisa berbeda-beda, tergantung dari skala dan prioritas yang diset oleh pihak manajemen. Biasanya untuk squad yang memegang project ‘besar’ akan ada beberapa tambahan role di dalam squad, seperti; Scrum Master, Visual Designer, UX Writer hingga Data Analyst. Dan salah satu tugasku adalah memastikan project selesai sesuai dengan timeline dari klien dan manajemen.
Untuk memudahkan tracking pekerjaan, biasanya kami menggunakan tracker berbasis web buatan para developer kantor ini. Tracker ini akan menampilkan ‘board’ berisi, task-task berbentuk ‘card’, kami biasanya menyebut hal ini sebagai; Kanban system.
Board ini nantinya bisa di akses oleh seluruh anggota ‘squad’. Jadi, masing-masing member bisa melihat task apa saja yang diberikan padanya, dan aku sebagai project manager bisa memantau sudah sejauh mana progres dari task tersebut. Nggak hanya itu, pihak top management juga punya akses penuh terhadap boardtracker ini. Jadi, nggak bisa tuh kita tipu-tipu mereka dengan bilang ‘Oiya, udah masuk sprint ini kok’ padahal belum.
Aku meraih plastik berisi sampah bekas coklat dan snack sisa ngemil tadi siang, dan memasukkannya ke dalam plastik sampah besar yang sejak tadi dibawa oleh Mas Ogi. Oiya, Mas Ogi ini merupakan petugas kebersihan di kantor.
“Titip ya mas” Ucapku.
“Iya mbak”
“Di bawah masih rame mas?” Tanyaku, merujuk ke lantai satu, tempat biasanya rekan-rekan yang lain ‘nongkrong’ selepas bekerja.
“Masih mbak, soalnya ujan. Jadi, pada nunggu reda, sambil pada billiard” Jawab Mas Ogi, sementara tangannya sibuk mengumpulkan gelas dan sesekali menyeka permukaan meja.
“Oh” Aku lalu berdiri, mendekat ke arah jendela besar di sisi ruangan, memutar knop untuk menyibak tirai penutup.
Terlihat bulir-bulir air menempel dan mengalir di sisi terluar jendela. Sementara, di luar hujan turun begitu lebatnya.
Hujan. Hujan, selalu berhasil membangkitkan kenangan lama tentangnya. Sekeras apapun aku mencoba melupakannya, hujan akan mengembalikan memori itu.
Tanpa terasa, air mata mengalir, membasahi pipi. Aku menyeka pipi hingga ke ujung mata. Tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, aku kembali ke meja, menutup layar laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang.
“Aku duluan ya Mas Ogi” Pamitku ke Mas Ogi yang lalu diresponnya dengan mengangkat ibu jarinya ke udara. Sambil berjalan menyusuri lorong menuju ke lobby lift, ku keluarkan ponsel, membaca pesan dari Aris yang masuk beberapa puluh menit lalu.
‘Maaf ya aku nggak bisa jemput’ Isi pesan dari Ari.
Aku mulai mengetik pesan balasan; ‘Iya gpp, aku jalan aja’
‘Ting’ Pintu lift terbuka.
Riuh rendah suara candaan rekan-rekan lain, bercampur dengan suara musik yang menggema dan benturan suara bola billiard menyambutku.
“Ta… ngopi yuk, mau nggak?” Ajak salah satu rekan kerjaku, Elsa.
“Males ah…” Jawabku singkat.
“Yah, ayo dong Ta, sebentar doang” Pinta Elsa memohon.
Aku menoleh, menatap ke arahnya yang kini pasang tampang memelas.
“Mau ya? Ya?” Pintanya lagi.
Ocha, salah satu temanku yang lain lalu ikut bergabung. Ia memposisikan diri tepat di depanku dan mulai bicara; “Mas Baristanya ganteng, Ta”
Aku menggeleng.
“Deket kok Ta, bisa sekalian jalan balik ke Kos” Tambah Ocha.
Aku menghela nafas. “Emang dimana?” Tanyaku.
“Itu lho, yang deket tempat laundry” Elsa menambahkan.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat lokasi yang disebutkan Elsa. Seingatku, disana memang ada kedai kopi, tapi rasa-rasanya, tempatnya nggak begitu nyaman dan kopinya juga nggak terlalu enak. Tapi, demi ‘menghibur’ mereka berdua, akhirnya kusetujui rencana tersebut.
“Tapi kan masih ujan” Gumamku.
“Gerimis doang, Lagian sekarang ini ada teknologi namanya payung” Jawab Ocha, lalu menarik tanganku.
Kami bertiga keluar dari kantor, mulai menyusuri trotoar jalan utama, lalu berbelok ke kiri, ke sebuah jalan yang lebih kecil dimana banyak pohon-pohon besar dan rindang berdiri di setiap sisinya. Aku menjulurkan tangan keluar dari naungan payung, memastikan apakah hujan masih turun. Hujan menyisakan gerimis, gerimis yang rintiknya sudah tak mulai terasa karena terhalang lebatnya pepohonan.
Di depanku, Elsa dan Ocha berjalan berdua, berada dibawah payung berukuran besar dengan logo brand otomotif di bagian luarnya. Sementara, aku memakai payung kecil milik Ocha yang beberapa besi penahan-nya sudah patah. Sesekali, Ocha menoleh ke belakang, ke arahku seraya mencoba mendapatkan afirmasi perihal gosip antara Boy si anak legal baru dan Becca.
“Iya kan Ta?” Tanya Ocha.
“Iya apaan?” Aku balik bertanya.
“Si Becca sama Boy balik bareng kemaren. Lo liat kan?” Tanya Ocha lagi.
“Iya…” Aku menjawab santai.
“Tuh kan, apa gue bilang” Ucap Ocha seraya menepuk punggung Elsa yang sebelumnya nggak yakin dengan gosip tersebut.
Kami terus melangkah, menyusuri trotoar yang basah. Sesekali, aku melompat, melangkahi genangan air yang enggan surut. Di depanku, Ocha dan Elsa mulai menyeberang jalan, berbelok ke jalan yang lebih kecil. Sebuah jalan yang hanya cukup dilewati sebuah mobil. Jadi, di jalan ini, jika ada dua mobil yang berpapasan, maka salah satunya harus mengalah. Entah dengan melipir ke salah satu halaman toko atau mundur hingga kuldesak terdekat.
Nggak begitu jauh dari pertigaan tempat kami menyebrang tadi terdapat sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua lantai. Sebuah bangun yang sepertinya belum lama dipugar, terlihat dari warna cat pada bagian kusen jendela-nya yang masih mengkilap dan berbau tiner saat kami semakin dekat. Sebenarnya aku beberapa kali pernah mampir ke kedai kopi ini, tapi setelah mencoba rasa kopi dan tempatnya yang ‘biasa’ saja, aku jadi enggan datang kembali.
Di bagian depan bangunan lantai dua terdapat sebuah papan berbentuk lingkaran dengan diameter kira-kira hampir satu meter. Tulisan ‘Kopi Yuk’ terpampang, menyala, di papan berbentuk lingkaran tersebut. Sementara sebuah papan arah bertuliskan ‘Masuk’ terlihat pada sisi dinding, dengan tangga besi yang langsung mengarah ke lantai dua.
Ocha dan Elsa yang masih bercengkrama langsung menaiki tangga tersebut. Ragu, aku mengikutinya. Rupanya, Kedai Kopi ini baru saja dipugar, karena sebelumnya akses masuk ke kedai, berada di lantai bawah.
Jariku mulai meniti selusur tangga besi yang basah akibat hujan.
Di ujung anak tangga, terdapat pintu kayu dengan kaca kecil buram di permukaannya. Ocha dan Elsa masuk lebih dulu, disusul bunyi lonceng yang sepertinya sengaja dipasang pada bagian atas pintu. Aku menahan daun pintu dengan ujung kaki, dan menyelip masuk ke dalam.
Suasana hangat langsung menyambut begitu kami sudah berada di dalam. Lampu-lampu gantung estetik yang dipadukan dengan pipa-pipa besi sebagai pembungkus kabel menerangi seluruh ruangan. Bata plester unfinished di sudut kedai dan tumpukan ban mobil beralas kaca yang digunakan sebagai meja, membuat nuansa industrial kedai ini semakin kentara.
Terakhir kali aku datang kesini, kedai ini hanya nampak seperti kedai kopi tak terurus yang kotor dan minim cahaya. Namun sekarang kedai ini nampak berbeda, nampak bersih, terang dan ‘cantik’. ‘Ya mudah-mudahan aja, rasa kopinya seenak tampilan kedainya’ batinku dalam hati.
Di salah satu sisi ruangan yang bersebelahan dengan konter pramusaji, terdapat beberapa rak berisi buku-buku. Mulai dari komik, novel teenlit hingga buku sastra berbahasa Inggris berjejer rapi sesuai kategorinya. Aku lalu mendekat ke arah rak dan mulai meniti sampul-sampul buku tersebut, sementara Ocha dan Elsa langsung menuju ke depan konter.
Seorang pramusaji perempuan berdiri dari balik konter, Ia mengenakan masker wajah, rambutnya disanggul dan ditutupi oleh sebuah topi berlogo kedai kopi tersebut. Walaupun mengenakan masker, senyumnya terlihat cantik, dan ia pun mulai menyapa kami; “Malam kak? Mau pesan apa?” Tanyanya.
Aku menjauh dari rak buku, menghampiri Ocha dan Elsa yang masih menatap papan kecil di atas meja konter yang berisi menu.
Ocha dan Elsa kompak memesan Americano dingin. Sementara, aku masih bingung, belum memutuskan.
Saat seorang pegawai pria keluar dari pintu di belakang konter, spontan Ocha langsung menyenggol lenganku. Kemudian mengerlingkan matanya, memberikan kode agar aku menoleh ke arah pria tersebut. Aku pun berpaling dan mendapati seorang pria yang baru saja keluar dan kini tengah bersiap mengenakan apron barista miliknya. Sama seperti si pramusaji perempuan tadi, pria ini mengenakan masker wajah dan topi dengan warna dan model yang sama.
“Iced Americano dua” Pramusaji perempuan menyampaikan pesanan Ocha dan Elsa ke barista tersebut. Yang langsung di responnya dengan anggukan kepala.
Pria itu lalu sibuk dengan alat takar dan mesin penggiling. Sementara, aku masih menatap ke arahnya, merasa mengenal pria tersebut. Sayangnya dengan masker dan topi, wajahnya nggak tampak terlalu jelas. Mungkin, sudah SOP di kedai kopi ini kalau para pegawainya diwajibkan mengenakan masker dan topi, untuk melindungi makanan dari droplets dan helaian rambut yang jatuh.
Lamunanku buyar saat Ocha kembali menyenggol lenganku. “Lo pesen apa?” Tanyanya.
“Iced Cafe Latte” Aku sontak memberi jawaban, asal.
Tadinya aku berencana memilih meja yang paling dekat dengan rak buku, agar aku bisa dengan mudah memilih buku untuk kubaca. Tapi, Ocha menolak; “Duh, kalo lu mau baca buku nanti aja lo dateng kesini lagi sendiri, hari ini kita bergunjing” Ujarnya.
Sambil menunggu kopi pesanan kami selesai dibuat. Ocha dan Elsa dengan intens membahas si pria barista itu.
“Asli! ditutup masker aja, keliatan masih ganteng” Seru Ocha, masih sambil memandangnya.
“Yakin? Kalo pas dibuka ompong gimana?” Tanya Elsa menggoda Ocha. Pertanyaan yang tentu saja membuat Ocha langsung tertawa terbahak-bahak.
“Gimana menurut lo Ta? Ganteng nggak kira-kira?” Tanya Ocha kepadaku.
“Hmmm… Nggak tau deh” Jawabku sambil mengangkat kedua bahu. Sementara mataku masih memandang ke arah barista itu, berharap ia menoleh ke arahku dan aku bisa melihat matanya. Elsa yang menyadari sejak tadi aku menatap ke arah barista itu langsung tersenyum dan menggodaku.
“Mau kenalan? Mau gue mintain nomernya?” Tanya Elsa yang langsung bersiap berdiri. Aku buru-buru meraih tangannya dan menggeleng.
“Jangan!” Ucapku dengan suara lirih. Elsa pun kembali duduk dan tertawa.
“Bercanda. Gue juga nggak bakal berani” Ucap Elsa. Ocha lalu ikut nimbrung.
“Tatapan lo tuh tapi beda banget lho, Ta. Jangan-jangan lo kenal?” Tanya Ocha.
“Nggak. Cuma…” Aku nggak melanjutkan kalimat. Enggan memberi penjelasan.
“Cuma apa?” Tagih Elsa.
“Gapapa…” Jawabku singkat. Berbohong. Barista itu mengingatkanku akan seseorang dari masa lalu, seseorang yang membuatku membenci hujan, membenci diriku sendiri, membenci hidupku. Dan sejujurnya, jikalau masih ada kesempatan untukku bertemu dengannya. Aku ragu, apakah aku masih punya nyali untuk menghadapinya.
Nggak lama berselang, kopi pesanan kami tiba. Selesai mengantarkan kopi, si pramusaji perempuan dengan sopan menawarkan kami untuk membaca buku yang ada di rak, di sisi ruangan.
“Silahkan kak, dua Iced Americano dan satu Iced Cafe Latte ya . Oiya, Buku-buku yang ada di rak boleh dibaca lho kak…” Ucapnya ramah, seraya ibu jarinya menunjuk ke arah rak berisi buku-buku.
“Iya, makasih ya” Jawab kami nyaris serempak.
Lonceng kecil di atas pintu berbunyi, disusul beberapa pelanggan masuk. Pasangan muda-mudi yang sepertinya langganan tetap di kedai ini, terlihat dari gaya bicara mereka yang santai ke si pramusaji perempuan. Sementara, sejak tadi kuperhatikan si barista nggak sekalipun bicara.
Selesai dengan per-gosipan duniawi yang dibalut acara minum kopi. Kami pulang, karena tinggal di tempat kos yang sama, maka pulangnya pun kami sama-sama. Jarak tempat kos kami dari kedai kopi ini nggak terlalu jauh, jika ditempuh dengan sepeda motor, paling hanya menghabiskan waktu nggak sampai 7 menit. Dan 15 menit jika berjalan santai. Tapi, jika berlari sambil dikejar anjing, mungkin bisa sampai di kos dalam waktu 10 menit saja.
Karena nggak buru-buru, dan bisa sambil lanjut ngobrol, kami bertiga memutuskan untuk pulang ke kos dengan berjalan kaki. Si Ocha, juga rencananya mau mampir ke minimarket untuk membeli cemilan.
“Lho itu di rak harganya nggak segitu kok Mbak!” Seru Ocha ketika ingin membayar di kasir dan mendapati kalau harga snack yang dibelinya tertera harga normal.
Si Mbak kasir lalu sibuk mengecek melalui komputer di depannya. Sepertinya nggak puas, ia lalu keluar dari meja kasir dan menuju ke rak tempat snack yang dimaksud oleh Ocha. Ia kembali dan memohon maaf.
“Maaf kak, itu kayaknya label harganya ketuker. Jadi ini harganya normal, nggak diskon” Jawab si Mbak kasir sambil menyatukan kedua tangannya, membentuk gestur meminta maaf.
“Lho, nggak bisa dong” Balas Ocha, nggak mau kalah.
Aku yang sejak tadi berdiri menunggu di belakangnya lalu menepuk bahu Ocha; "Udah lah cha. Berapa sih emang selisihnya?”
“Nggak bisa Ta, selisihnya emang dikit, tapi lama-lama nanti kebiasaan” Jawab Ocha, masih menggebu-gebu.
“Mohon Maaf ya kak” Tambah si Mbak Kasir.
Akhirnya setelah lelah berdebat dan melihat antrian di belakang kami yang mulai mengular; Ocha mengalah. Ia membayar selisihnya dan kami buru-buru keluar dari mini market itu.
Sementara, hujan menyisakan genangan air dimana-mana, kami melangkah berhimpitan di jalan yang sempit, takut kecipratan air genangan dari kendaraan yang lewat. Tetap sambil bercanda dan membahas gosip seputar rekan di kantor dan pria barista di kedai tadi.
Nggak lama kami tiba di kos.
Sebuah bangunan 3 lantai yang membentuk huruf U. Layoutnya mirip dengan layout sekolah negeri yang umum berada di Jakarta, hanya saja, jauh lebih kecil. Setiap lantai terdiri dari 10 kamar. 5 kamar di sisi sebelah kiri, dan 5 kamar di sisi sebelah kanan. Sebuah tangga besar berada di tengah-tengah bangunan. Tepat di kedua sisi tangga terdapat ruang komunal lengkap dengan sofa dan meja untuk menerima tamu. Sementara di seberangnya terdapat dapur umum yang dilengkapi dengan alat masaknya. Ya walaupun kedua tempat itu kayaknya hampir nggak pernah digunakan, karena masing-masing penghuni punya alat masak sederhana sendiri dan hampir nggak pernah menerima tamu. Terkecuali para penghuni yang diam-diam membawa masuk pasangannya ke dalam kamar.
“Lo mau ikut nonton drakor nggak?” Tanya Elsa kepadaku sambil menaiki tangga.
“Nggak ah, ngantuk” Jawabku.
“Besok lo balik ya?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
Iya, setiap weekend biasanya aku pulang ke rumah ayah di daerah Ciputat. Sejatinya, aku bisa saja nggak ngekos dan pulang-pergi dari rumah di Ciputat ke kantor di daerah Slipi, Jakarta Barat. Tapi, menurutku terlalu menghabiskan waktu dan tenaga. Setelah kuhitung-hitung, untuk ongkos bolak-balik dari Ciputat ke Slipi hampir sama dengan biara kos disini. Jadi, kuputuskan untuk ngekos bareng mereka berdua yang sudah lebih dulu tinggal disini.
Elsa adalah anak rantau yang berasal dari Malang, sementara kedua orang tua Ocha kini tinggal di Aussie, jadi daripada hidup sendirian di rumah, ia memilih untuk ngekos.
“Kita duluan ya” Pamit Elsa begitu tiba di lantai satu, sementara kamarku berada di lantai tiga.
“Bye” Ucapku seraya lanjut naik ke lantai berikutnya sambil melambaikan tangan.
Saat tengah mencoba membuka pintu kamar, ponselku berdering, susah payah aku mencari ponsel dari dalam tas, dan meraihnya. Layar ponsel menunjukkan nama bunda.
“Halo Assalamualaikum, Ta…” Sapa Bunda dari ujung sana.
“Waalaikum salam, bund”. Jawabku, masih mencoba membuka kunci kamar.
“Kamu dimana Ta?” Tanyanya dengan suara lembutnya yang khas.
“Baru sampe kos bund” Kini, pintu kamar sudah terbuka. Aku membuka sepatu dan bergegas masuk.
“Oh, nggak langsung pulang ke rumah?” Tanyanya lagi.
“Kayaknya besok pagi aja deh, bund. Soalnya hari ini capek banget”
“Oh Ok. Udah makan?” Tanyanya lagi.
“Udah” Jawabku singkat, berbohong. Padahal sejak tadi siang, aku hanya ngemil snack dan coklat.
“Sip, Besok kamu mau dimasakin apa?”
“Hmmm… Apa aja deh, eh… boleh request sayur sop nggak bund” Pintaku, sambil berlagak manja.
“Ya boleh dong. Sayur sop sama apa?”
“Perkedel dong…” Jawabku, masih berlagak manja.
“Oke… Yaudah kamu istirahat deh, jangan begadang ya sayang”
“Iya bund…”
Aku mengakhiri panggilan, dan langsung berbaring di atas ranjang. Dalam kegelapan, aku menatap ke arah langit-langit kamar yang nampak samar akibat pantulan cahaya dari luar yang masuk melalui sela-sela jendela.
Melihat barista di kedai kopi tadi membuat pikiran melayang kembali ke masa 9 tahun yang lalu. Di masa itu, ada momen indah yang tak ingin kulupakan, tapi disisi lain ada pula masa menyakitkan yang terus membawa luka hingga saat ini. Bayangan masa lalu itu kini berputar di kepala, terus berputar, hingga aku tertidur.
Jam menunjukkan pukul 4 dini hari saat aku tiba-tiba terbangun dari mimpi buruk. Mimpi buruk yang terus datang setiap hari selama 9 tahun, dan kini mimpi itu terasa lebih nyata. Dengan tubuh penuh keringat, aku duduk di tepian ranjang, meraih tas, merogoh dan mencari bungkusan rokok di dalamnya.
Nyala korek api membias di seisi ruangan yang gelap. Kuhisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. Sambil memijat kening, aku meraih ponsel dan mendapati beberapa pesan masuk dari Aris yang isinya kurang lebih menanyakan kabarku, apakah aku sudah sampai di kos, apakah aku sudah makan dan kenapa aku tak membalas pesannya. Ku Abaikan pesan darinya dan kembali berbaring masih dengan sebatang rokok di tangan.
viper990 dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup